Tuli Akibat Bising 2.5.1. Definisi Tuli akibat bising (TAB) adalah tuli sensorineural yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama. (18) 2.5.2. Faktor yang Mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas kebisingan, frekwensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising, kerentanan individu, jenis kelamin, usia dan kelainan di telinga tengah. (10, 18) Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh toksin (seperti arsen dan quinine) dan antibiotika seperti streptomisin yang dapat merusak koklea. (12) 2.5.3. Patogenesis Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak. (10) 2.5.4. Gambaran Klinis Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi. (5, 10) Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss ) adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ). (10, 19) Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap ( permanent threshold shift). Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.(7,8) Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan, kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz, dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 â 15 tahun. Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi. (10) 2.5.5. Diagnosis Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula pekerja mengalami kesulitan berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga ke orang yang berbicara, berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan; untuk itu informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada pekerja lain atau pada pihak keluarga. (2, 5, 10) Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu pendengaran.(3) 2.5.6. Prognosis Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan. (6) Penggunaan alat bantu dengar hanya sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut hanya memberikan rangsangan vibrotaktil dan bukannya perbaikan diskriminasi bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian pasien dianjurkan pemakaian implan koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-pasien dengan tuli sensorineural. (7) 2.5.7. Penatalaksanaan Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet). Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant).(7) Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4 Negara Di Asia Tenggara Dengan Prevalensi Ketulian 4,6%. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=. 2. Novianto. Ronny. 2007. Audiometri di JIH. Available from: http://www.rs-jih.com/jatel/index.php?option=com_content&task=view&id=94&Itemid=85. 3. Sari. Halinda. 2002. Program Perlindungan Pendengaran Pekerja Terhadap Kebisingan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Universitas Sumatera Utara. 4. Smith, Andrew. Stansfeld, Stephen. 1986. Aircraft Noise Exposure, Noise Sensitivity, and Everyday Errors. Available from: sagejournalsonline. 5. Hong OS, Chen SP, Conrad KM, 1998. Noise induced hearing loss among male airport workers in Korea. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9526275?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=1&log$=relatedarticles&logdbfrom=pubmed. 6. Soetirto, I.,Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 7. Bashiruddin, J., Soetirto, I., 2006. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, editor Soepardi, E, et al. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta. 8. Adams L, Goerge dkk. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC 9. Ganong WF. 1983. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology) Edisi 10. Jakarta: EGC 10. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara. 11. Guyton. dkk. 19 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC 12. Japardi Iskandar. 2003. Nervus Vestibulocochlearis . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara. 13. Eroschenko. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9. Jakarta: EGC 14. Sukardi. Elias. 1985. Neuroanatomi Medika. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia 15. Susanto, Arif. 2006. Kebisingan Serta Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Dan Lingkungan. Available from: http://hseclubindonesia.wordpress.com/2006/10/13/kebisingan-serta-pengaruhnya-terhadap-kesehatan-dan-lingkungan/. 16. KepMenLH No.48 Tahun 1996 17. KepMenNaker No.51 Tahun 1999 18. Soetjipto Damayanti. 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising /GPAB. Available from: http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Hear-Loss-Noise-000110/Hear-Loss-Noise.htm. 19. Harger MR, Barbosa-Branco A. 2004. Effects on hearing due to the occupational noise exposure of marble industry workers in the Federal District, Brazil. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez. 20. Arifiani, Novi. 2004. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja. Subdepartemen Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 21. Henny Kartika. 2007. Audiometri Dasar. Available from: http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/11/audiometri-dasar/. 22. Sub. Dep.THT Komunitas. 2008. Cara Pengukuran dengan Audiometri. Available from: http://www.thtkomunitas.org. 23. Priyo. Dwi. Dkk. 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS. Dr. Kariadi, Semarang.