Tingkat resistensi Amblyseius deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS

April 5, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

I. PENDAHULUAN Tanaman teh (Camellia sinensis, L.) sebagai salah satu tanaman budidaya banyak mendapat serangan hama terutama dari golongan tungau. Tungau merupakan kelompok Acari dari phylum Arthropoda, classis Arachnida yang memiliki sebaran luas dan memiliki anggota paling besar (Nurbaya, 2000). Di berbagai perkebunan teh di Indonesia, ada beberapa jenis tungau hama yang sering dijumpai diantaranya adalah Polyphagotarsonemus latus Banks, Acaphylla theae Watt, Calacarus carinatus Green dan Brevipalpus phoenicis Geijskes (Oomen, 1982). Semua jenis tungau hama tanaman teh tinggal pada bagian bawah daun pemeliharaan. Daun yang terdapat pada tanaman teh dibagi menjadi 2 bidang yaitu bidang petik dan bidang pemeliharaan. Bidang petik adalah daun yang terletak di atas yang terdiri atas daun-daun muda, sedangkan bidang pemeliharaan terletak di bawah bidang petik yang terdiri atas daun-daun tua. Berbagai tungau hama sebagaimana dikemukakan oleh Nurbaya (2000), mengisap cairan daun sehingga daun dapat mengalami klorosis bahkan menjadi rontok. Kerugian yang ditimbulkan meliputi kerusakan areal perkebunan mencapai sekitar 50% dan menurunnya pertumbuhan pucuk daun teh sampai 30% (Sudoi et al., 1994). Tingginya tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh serangan tungau hama tersebut, mendorong penggunaan bahan kimiawi sintetis (pestisida) dan kondisi ini telah berlangsung cukup lama. Berbagai masalah timbul akibat pemakaian pestisida diantaranya yaitu selain mencemari produk teh dan lingkungan, tungau hama juga menjadi resisten dan seringkali mengalami resurjensi sehingga dosis pemakaian pestisida cenderung terus ditingkatkan. Salah satu cara untuk mengurangi penggunaan pestisida adalah dengan memanfaatkan musuh-musuh alami tungau hama (Agnithothrudu, 1996). Salah satu musuh alami yang paling sering ditemukan dan diketahui sebagai predator bagi beberapa jenis tungau hama teh adalah Amblyseius deleoni Muma et Denmark (Budianto, 2000). A. deleoni merupakan tungau predator famili Phytoseiidae yang paling dominan dalam memangsa tungau jingga. Hidup sebagai predator generalis, lebih menyukai tungau hama Cryophidae daripada Tenuipalpidae (seperti tungau jingga) dan sangat menggemari polen bunga (Pratiknyo, 1998). Pada keadaan alami tungau ini umumnya melimpah dan distribusinya relatif sama dibandingkan dengan tungau parasit tumbuhan (Mc Murty and Walter, 1996). A. deleoni memiliki kelimpahan yang sangat tinggi pada tanaman teh dan dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis dengan 4 stadia perkembangan yaitu telur, larva, nimfa dan dewasa (Schica, 1987). A. deleoni berdasarkan morfologinya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: ventral shield membulat, kaki ada 8 buah atau 4 pasang pada tungau dewasa tetapi yang masih larva hanya 3 pasang kaki, tubuhnya transparan, tipe mulutnya pencucuk dan pengisap, mempunyai setae yang terdiri dari dua setae yang panjang dan 2 setae pendek di bagian posterior tubuhnya. Cheliceranya normal, jantan mempunyai sternogenital dan ventrianal shield, betina mempunyai epyginial dan ventrianal shield. Ventrianal shield di dalamnya terdapat 8 setae dan 3 setae yang lain terletak pada bagian samping dan bawah anus, panjang tubuh keseluruhan yaitu dari gnatosoma sampai idiosoma mencapai rata-rata 526,36 µm, untuk setae yang terletak di bagian posterior mencapai panjang rata-rata 372,4 µm (Budianto, 2000). Rosen dan Hufakker (1982) menyatakan bahwa A. deleoni memiliki kriteria sebagai pengendali hayati tungau hama karena predator ini mudah diperbanyak, memiliki daya mangsa dan laju reproduksi tinggi serta mampu bertahan pada kondisi kelangkaan pakan utamanya. Pemanfaatannya yang aman dan ramah lingkungan perlu didukung oleh usaha perbanyakan dan pengembangan tungau predator A. deleoni. Telah dikemukakan di atas, bahwa pengendalian alamiah tungau hama dapat dilakukan dengan menggunakan tungau predator. Meskipun demikian, pada umumnya perkebunan-perkebunan termasuk perkebunan teh, menggunakan pestisida seperti akarisida, insektisida, fungisida dan herbisida dalam upayanya memperoleh hasil pengendalian yang lebih cepat. Pestisida menurut The United States Federal Environmental Pesticide Control Act adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas atau mencegah gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya (Green, 1979). Beberapa pestisida yang sering digunakan pada perkebunan teh berdasarkan jasad hidup sasarannya yaitu insektisida (racun serangga), akarisida (racun tungau dan caplak), herbisida (racun gulma atau tanaman pengganggu) dan fungisida (racun jamur) (Sudarmo,1992). Fungisida merupakan bahan kimia yang dapat mengendalikan patogen berupa jamur. Fungisida dapat dibedakan berdasarkan kandungan bahan aktifnya yaitu fungisida merkuri, tembaga, karbamat, belerang dan lain-lain. Senyawa tembaga anorganik memiliki daya larut yang rendah dalam air sehingga dapat digunakan sebagai pestisida (Sastroutomo, 1992). Kocide 77 WP (Wettable Powder) merupakan salah satu jenis fungisida protektan yang bersifat racun kontak, berbentuk tepung berwarna biru muda yang dapat disuspensikan untuk mengendalikan penyakit busuk daun pada tanaman kentang, penyakit cacar pada daun teh, penyakit karat pada kopi dan busuk buah pada kakao. Daya kendalinya lebih besar karena memiliki bahan aktif tembaga hidroksida 77 %. Tembaga hidroksida merupakan jenis fungisida tembaga generasi terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerjanya yang efektif dan efisien (Tjionger’s, 2001). Fungisida kocide 77 WP ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya : partikelnya sangat kecil sehingga mudah masuk sampai ke pusat penyakit dengan hanya menggunakan dosis yang rendah, lebih mudah larut dalam air, tidak mudah mengendap, larutan yang terbentuk menjadi lebih merata, daya rekat lebih lama lebih baik, tidak mudah tercuci dan tidak mudah menggumpal (Jhony, 2002). Jenis fungisida tembaga ini umumnya bekerja dengan cara menghambat enzim. Efek ini biasanya timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus -SH pada enzim tersebut. Suatu enzim dapat juga dihambat oleh logam toksik melalui penggusuran kofaktor logam yang penting dari enzim. Mekanisme lain dalam mengganggu fungsi enzim adalah dengan menghambat sintesisnya (Lu, 1995). Fungisida tembaga ini bersifat akumulatif yang nantinya akan terionisasi dan menghasilkan ion kupri yang bebas (Osborne, 1997). Selain kocide 77 WP jenis pestisida lain yang digunakan adalah herbisida. Herbisida merupakan senyawa kimia yang berfungsi untuk membunuh gulma. Round up 486 AS (Aquaeous Solution) merupakan salah satu jenis herbisida yang bersifat sistemik, berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma dengan cara menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma tersebut (Sukman dan Yakup, 1995). Round up 486 AS memiliki formulasi berbentuk cair, yang dalam penggunaannya dicampur dengan air dan larutan ini berwarna kuning keemasan (Wudianto, 1997). Bahan aktif dari herbisida ini adalah isopropilamina glifosat 486 g/l (setara dengan glifosat 360 g/l). Nivia (2001), menyatakan bahwa secara teknik glifosat merupakan asam, tetapi umumnya glifosat sering digunakan dalam bentuk garam yang dikenal dengan nama garam isopropylamine. Glifosat memiliki nama kimia N-(phosphometyl) glycine dengan rumus formula C3H8NO5P. Menurut Moenandir (1990), herbisida berbahan aktif glifosat merupakan jenis herbisida yang cukup baru dalam pemasaran dan hampir semua jenis tumbuhan gulma akan peka terhadap herbisida ini. Herbisida round up 486 AS merupakan salah satu jenis herbisida golongan organofosfat. Jenis pestisida ini mengandung unsur-unsur karbon dan fosfor. Pada umumnya senyawa-senyawa organofosfat merupakan senyawa yang paling cepat dihidrolisis bila tercampur dengan air, dan sedikit meninggalkan residu apabila disemprotkan (Ekha, 1988). Meskipun herbisida organofosfat termasuk ke dalam kelompok racun syaraf, namun hasil pengujian terhadap beberapa organisme tidak menunjuk pada racun syaraf seperti halnya pada insektisida organofosfat (Nivia, 2001). Sebagaimana diketahui bahwa daya racun insektisida organofosfat mampu menurunkan populasi serangga dengan cepat dan persistensinya di lapang tergolong sedang. Kebanyakan insektisida organofosfat bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase (AcHE) yang berakibat pada terjadinya penumpukan asetilkolin sehingga menyebabkan kekacauan pada sistem penghantaran impuls ke sel-sel otot. Keadaan ini menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat diteruskan, otot kejang, dan berakhir dengan kelumpuhan atau kematian (Rumondang, 2003). Berbeda dengan insektisida organofosfat, mekanisme kerja herbisida organofosfat (glifosat) diduga didasarkan pada terganggunya fungsi enzim, dimana glifosat melakukan inhibisi pada tempat katalitik Mix Function Enzyme (MFO). Penggunaan kocide 77 WP dan round up 486 AS selain bertujuan mengendalikan berbagai jenis hama tanaman teh, juga dapat berdampak pada terganggunya keseimbangan hubungan mangsa-pemangsa. Gangguan keseimbangan tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah individu pada suatu populasi, dalam hal ini umumnya populasi tungau predator biasanya lebih rentan terhadap intervensi pestisida (Chouinard dan Brodeur, 1996). Selain itu, tingkat resistensi pada tungau predator juga dapat meningkat terutama apabila kocide dan round up dipergunakan oleh perkebunan teh dalam jangka waktu yang lama. Menurut Budianto (2000) menyatakan bahwa penggunaan kocide dan round up dalam jangka waktu yang lama, akan menyebabkan terseleksinya alel-alel yang rentan dan resisten pada suatu populasi organisme. Organisme yang resisten terhadap berbagai konsentrasi pesitisida dapat lulus hidup dan berkembang lebih baik, sedangkan organisme dengan alel yang rentan akan mengalami mortalitas yang besar. Pada umumnya kemampuan mentoleransi pestisida dan tingkat resurjensi tungau hama termasuk tungau jingga, sangat tinggi (McMurtry dan Croft, 1997). Sebaliknya, A. deleoni yang merupakan predator tungau jingga, sangat rentan terhadap berbagai pestisida yang diaplikasikan (Chouinard dan Brodeur, 1996). Mortalitas yang besar pada A. deleoni menyebabkan pengendalian hayati alamiahnya terganggu dan menurun drastis. Akibatnya pada suatu saat tertentu, populasi tungau jingga akan sangat meningkat, sedangkan populasi tungau predatornya, A. deleoni sangat rendah. Untuk mengurangi pemakaian pestisida dan meningkatkan kemampuan predasi tungau predator dalam kondisi terdedah pestisida, perlu dikembangkan teknologi yang lebih ramah terhadap agroekosistem (Sivapalan, 1996). Seleksi A. deleoni yang resisten terhadap berbagai pestisida yang telah lama dipergunakan di perkebunan teh, merupakan upaya mengatasi penurunan pengendalian hayati alamiah oleh tungau predator tersebut. Pengendalian hayati yang efektif akan meningkatkan kualitas produk teh dikarenakan pemakaian pestisida hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja. Resistensi pada dasarnya merupakan suatu fenomena evolusi (Tarumingkeng, 1992). Resistensi adalah kesanggupan dari suatu organisme memakan racun yang berdosis lebih tinggi dari pada dosis biasa. Resistensi menyebabkan organisme pengganggu dapat menjadi tahan atau kebal terhadap pestisida yang digunakan. (Sastroutomo, 1992). Dengan demikian resistensi pada dasarnya merupakan hasil dari tekanan seleksi pestisida terhadap suatu kumpulan individu-individu yang mayoritas tersusun atas individu yang rentan. Tekanan seleksi menggunakan pestisida ini dapat menyebabkan perubahan gene pool yaitu dari mayoritas kelompok yang rentan menjadi toleran bahkan resisten (Kartasaputra, 1993). Mekanisme resistensi pada tungau menurut Natawigena (1985) dapat disebabkan oleh 4 sifat antara lain: (1) sifat morfologis yaitu adanya perbedaan dalam tebal tipisnya kutikula; (2) sifat fisiologis yaitu adanya perbedaan kecepatan dalam menguraikan jenis pestisida pada tungau yang resisten dan tungau yang rentan. Pada strain yang resisten penguraiannya berlangsung cepat; (3) sifat biokimia yaitu adanya kemampuan tungau untuk melakukan proses inaktivasi; dan (4) sifat perilaku yaitu tungau yang gerakannya cepat dan lincah lebih mampu menghindari racun. Mekanisme resistensi tersebut merupakan suatu cara yang diperlukan untuk merespon kondisi toksik ketika terpajan dalam kandungan bahan aktif pestisida yang tinggi. Kemampuan tungau predator dalam mentolerir pestisida merupakan langkah utama menuju seleksi tingkat resistensinya. Seleksi resistensi tungau predator pada dasarnya merupakan upaya pemilihan sifat-sifat resisten dari individu-individu dalam populasi (Mochizuki, 1994). Sifat resisten tersebut ditunjukkan oleh kemampuan lulus hidup dan berkembang, meskipun terdedah dalam bahan beracun. Kemampuan mentoleransi beberapa spesies Amblyseius terhadap berbagai jenis pestisida sudah dapat dibuktikan (Mochizuki, 1994; Momen, 1994, 1996; Thistlewood et al., 1995; Yue dan Tsai, 1996; Shipp dan van Houten, 1997; James, 1997; Zhang dan Sanderson, 1997). Namun, untuk A. deleoni belum diketahui kemampuan mentoleransinya terhadap dua pestisida sekaligus . Berdasarkan uraian diatas maka dapat diajukan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh pemberian kocide 77 WP dan round up 486 AS terhadap generasi induk dan F1 Amblyseius deleoni ? 2. Bagaimana tingkat resistensi tungau predator Amblyseius deleoni generasi induk dan F1 terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS ? Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukan penelitian adalah untuk : 1. Mengetahui pengaruh pemberian kocide 77 WP dan round up 486 AS terhadap generasi induk dan F1 Amblyseius deleoni. 2. Mengetahui tingkat resistensi tungau predator Amblyseius deleoni generasi induk dan F1 terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai seleksi tungau predator A. deleoni terhadap pemberian kocide 77 WP dan round up 486 AS. II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Bahan : Tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark (Gambar 2.1), fungisida kocide 77 WP, herbisida round up 486 AS, aquades, ranting teh dan polen teh. 1.1.2 Alat : Kantong plastik, nampan, busa, lem "tangle-foot", "black tile”, tissue tidak berparfum, kapas, kuas kecil dan besar, gelas ukur, kertas label, gelas penutup, sprayer, mikropipet, termometer, higrometer, dan mikroskop binokuler. Gambar 2.1 Tungau Amblyseius deleoni Muma et Denmark dengan setaenya (anak panah) pada perbesaran 400X 1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian seleksi tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark terhadap beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS dilakukan di dua tempat. Pengambilan sampel berupa tungau predator A. deleoni diperoleh dari kebun teh milik penduduk di Kecamatan Sumbang, Purwokerto (Gambar 2.2), sedangkan pengamatan seleksi resistensi tungau predator A. deleoni dilakukan di Laboratorium Entomologi-Parasitologi, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto pada bulan Maret – Agustus 2006. Gambar 2.2. Lokasi pengambilan sampel teh, Sumbang 2. Metode Penelitian 2.1 Metode dan Rancangan Percobaan Metode penelitian yang digunakan untuk menyeleksi tungau predator adalah metode eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan dicobakan pada beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS. Konsentrasi kocide dan round up yang didedahkan pada A. deleoni adalah 0 (kontrol); 0,001; 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada 10 individu tungau predator hasil perbanyakan di laboratorium. Hasil dari pendedahan ini berupa tungau predator A. deleoni yang lulus hidup pada konsentrasi tertentu. Dihitung pula tungau predator yang mati dan tungau predator yang lulus hidup dipelihara kembali pada tempat pemeliharaan dan dianggap sebagai tungau induk. Hasil perbanyakan tungau induk akan menghasilkan tungau anakan F1. Sebagaimana pada metode untuk tungau induk, maka dilakukan pendedahan dengan konsentrasi yang sama terhadap tungau generasi F1. Dihitung tungau yang berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu pendedahan untuk setiap tahap adalah 24 jam kemudian dihitung nilai LC50/24 jam. 2.2 Cara Kerja 1) Pemeliharaan tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark Metode pemeliharaan predator berdasarkan metode Overmeer et al. (1982) dalam Klashorst (1992) sebagai berikut : tempat pemeliharaan tungau terdiri dari nampan berisi air dengan busa didalamnya. Di atas busa, diletakkan “black tile” yang seukuran dengan busa, dengan bagian tepinya dialasi kertas tissue tidak berparfum yang tercelup hingga ke air dalam nampan. Pada sepanjang alas kertas tissue, dibuat tanggul dari lem “tangle-foot” untuk mencegah predator tidak lari dari wilayah pemeliharaan. Untuk tempat berlindung dan meletakkan telurnya, di bagian tengah “black tile” diletakkan sedikit kapas yang ditutup dengan cover glass (Gambar 2.3). Untuk mendapatkan dan memperbanyak predator A. deleoni, sejumlah daun teh dari wilayah perkebunan teh yang memperlihatkan gejala serangan tungau hama dipetik dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Seluruh daun tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop binokuler, di laboratorium A. deleoni yang diperoleh, dipindah ke tempat pemeliharaan. Jenis pakan yang diberikan dalam masa perbanyakan tungau predator adalah polen teh. A B E D C Gambar 2.3 Tempat rearing A. deleoni Keterangan : A = nampan berisi air B = tissue C = busa D = black tile E = cover glass dengan kapas 2) Menentukan seleksi A. deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS Seleksi tungau predator A. deleoni dilakukan pada nampan berisi busa yang di bagian atasnya ditancapkan ranting teh yang berisi kurang lebih 4 helai daun yang telah dibersihkan dari semua serangga dan tungau yang ada. Pangkal daun teh tersebut diberi lem “tangle foot” untuk menghindari agar tungau tidak melarikan diri pada saat dipindahkan dari tempat pemeliharaan. Kemudian, daun pada ranting teh tersebut disemprot dengan beberapa konsentrasi kocide 77 WP dan round up 486 AS yang telah ditentukan, lalu ditunggu sampai kering. Setelah mengering, maka sebanyak 10 individu tungau predator A. deleoni dipindahkan ke daun tersebut. Banyaknya tungau yang mati dicatat setelah 24 jam masa pendedahan tersebut (Gambar 2.4) Gambar 2.4 Tata letak percobaan uji seleksi A. deleoni terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pada tahap pertama, konsentrasi kocide 77 WP yang didedahkan selama 24 jam pada A. deleoni adalah 0 (kontrol); 0,01; 0,1; 1; 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan pada populasi tungau predator hasil perbanyakan di laboratorium. Setiap konsentrasi yang dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali ulangan, dan diulang sebanyak empat kali ulangan. Dari tahap pertama akan diperoleh tungau predator A. deleoni generasi induk yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP. Tungau yang mati dihitung dan yang hidup dipelihara kembali sehingga didapatkan generasi F1. Pada tahap kedua, generasi F1 A. deleoni yang telah melalui pendedahan pada tahap pertama didedahkan lagi dengan round up 486 AS. Konsentrasi yang dicobakan adalah sama dengan konsentrasi kocide 77 WP pada tahap pertama. Setiap konsentrasi yang dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali ulangan, yang diulang sebanyak empat kali. Hasil pendedahan tahap kedua akan diperoleh generasi F1 A. deleoni yang lulus hidup terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS. Dihitung tungau yang berhasil lulus hidup dan yang mati. Lama waktu pendedahan untuk setiap tahap adalah 24 jam. resistensi tungau predator (nilai LC50/24 jam) 3. Analisis Data Data hasil percobaan seleksi terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS berupa jumlah tungau predator yang mati pada pendedahan pestisida, dianalisis dengan menggunakan analisis probit dan logit (POLO) sehingga akan diperoleh nilai LC50/24 jam. Kemudian dibandingkan nilai LC50/24 jam, rasio resistensi dan nilai X2 antara induk dan F1. Kriteria seleksi adalah tingkat III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis probit logit (POLO) dengan menggunakan Le Ora Software 1987 terhadap tungau predator Amblyseius deleoni yang didedahkan dengan kocide 77 WP kemudian didedahkan dengan round up 486 AS diperoleh nilai LC 50 sebesar 140,78 %/24 jam pada generasi parental dan 10,76 %/24 jam pada generasi F1 (Tabel 3.1) Tabel 3.1 Tingkat Resistensi Amblyseius deleoni Muma et Denmark terhadap kocide 77 WP dan round up 486 AS selama 24 jam pada setiap generasi Generasi P F1 Jenis Pestisida Kocide 77 WP Kocide 77 WP + Round up 486 AS LC50/24 Jam (%) 140.77826 10.76258 RR 1 0,076 Slope ± SE (%) 0.076 ± 0.048 0.104 ± 0.048 X2 (df = 22) 20.7208 7.3750 Keterangan : P = Generasi Induk (Parental) F1 = Generasi Pertama Berdasarkan table 3.1 dapat diketahui bahwa generasi pertama (F1) A. deleoni lebih rentan dibandingkan generasi induk (parental). Meningkatnya kerentanan populasi tungau predator selain dapat dilihat dari nilai LC50/24 jam setiap generasinya, juga dapat dinilai dari tingkat rasio resistensinya. Semakin rentannya populasi tungau predator A. deleoni mengakibatkan mortalitas generasi F1 juga lebih besar dibandingkan generasi parental (tabel 3.2). Tabel 3.2 Mortalitas populasi tungau predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark Data hasil uji toksisitas Kocide 77 WP dan Round up 486 AS terhadap selama 24 jam Generasi induk yang didedah dengan Kocide 77 WP ∑ Organism Mortali ∑ e (ekor) tas total Mortalitas (%) 1 2 3 4 40 0 0 0 0 0 40 2 3 2 2 20 40 3 3 5 3 30 40 5 5 5 6 50 40 6 8 6 6 75 40 3 5 3 5 45 40 4 4 4 3 40 Generasi F1 yang didedah dengan Kocide 77 WP + Round up 486 AS ∑ Mortalitas 1 0 3 4 4 4 3 6 2 0 5 3 4 4 6 7 3 0 3 4 4 6 5 7 4 0 3 4 5 4 3 7 Mortalitas total (%) 0 30 40 50 45 45 80 Konsentrasi (%) 0 (Kontrol) 0,001 0,01 0,1 1 10 100 Selain nilai LC50/ 24 jam dan nilai rasio resistensi (RR), pada setiap generasinya (parental dan F1) diperoleh pula nilai χ2 hitung yang lebih kecil dibandingkan nilai χ 2 tabel (Tabel 3.1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa populasi tungau A. deleoni masih terdiri oleh banyak individu-individu yang rentan dibandingkan yang resisten. Demikian pula apabila dilihat dari nilai slope yakni antara 0.076 ± 0.048 pada generasi parental dan 0.104 ± 0.048 pada generasi F1 yang menunjukkan gambaran garis yang mendatar (Gambar 2.5) Gambar 2.5 Grafik nilai slope antara 0.076 ± 0.048 dan 0.104 ± 0.048 Kemampuan lulus hidup dan berkembang pada pendedahan pestisida berulang terjadi oleh karena menurunnya kompetisi intraspesies akibat matinya individu yang rentan (Knulle, 1991). Kematian individu yang rentan, yang menjadi komponen penyusun utama populasi, akan menyebabkan terjadinya pergeseran komponen penyusun utama populasi tersebut. Cepat atau lambatnya perubahan komposisi individu-individu menjadi resisten pestisida, sangat ditentukan oleh perbedaan tanggap resistensinya terhadap pestisida dan cara kerja pestisida itu sendiri (James, 1997; Bakker dan Jacas, 1995). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa generasi pertama tungau predator dalam penelitian ini lebih rentan terhadap round up 486 AS dibandingkan generasi induk yang sebelumnya juga telah didedahkan dengan kocide 77 WP. Perbedaan tanggap resistensi ini menunjukkan bahwa meskipun generasi induk yang berhasil lulus hidup terhadap kocide 77 WP, tetap dapat menghasilkan keturunan (generasi pertama), namun generasi pertama yang dihasilkan lebih banyak mengalami kematian ketika didedah dengan jenis pestisida yang berbeda (roundup). Diduga, hal ini berkaitan dengan perbedaan bahan aktif ke dua jenis pestisida dan “mode of action” nya. Kocide 77 WP merupakan salah satu jenis fungisida protektan berbentuk tepung berwarna biru muda yang dapat disuspensikan. Fungisida ini mengandung bahan aktif tembaga hidroksida (Cu (OH)2) yang merupakan fungisida tembaga generasi terakhir yang bersifat racun kontak dengan cara kerja yang efektif dan efisien (Tjionger’s, 2001). Bahan aktifnya yang berupa tembaga (Cu) termasuk ke dalam golongan logam berat dan bersifat sangat toksik. Timmermans (1983) menyebutkan bahwa logam berat Cu merupakan logam berat yang paling beracun disusul Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn yang hampir tidak beracun. Keberadaan logam berat tersebut dapat berdampak pada perubahan komposisi spesies dan penurunan jumlah atau kematian spesies tersebut. Dengan demikian dapat dipahami apabila pada konsentrasi kocide yang sangat rendah, telah mempunyai pengaruh mortalitas yang cukup besar sebagaimana terlihat pada tabel 3.2. Toksisitas fungisida khususnya kocide 77 WP berkaitan dengan konsentrasi logam Cu yang masuk ke dalam tubuh hewan uji melebihi konsentrasi yang dibutuhkan yaitu 40-200 kali lipat. Diduga kematian hewan uji tersebut terjadi disebabkan senyawa logam berat yang masuk ke dalam tubuh hewan uji telah melampaui konsentrasi yang dibutuhkan (Fostner dan Wittman, 1983). Tembaga (Cu) pada konsentrasi tinggi berada dalam bentuk Cu2+ dan bersifat toksik. Toksisitas terjadi karena tembaga bertindak sebagai oksidator dan berikatan dengan molekul asam organik seperti deoksiribonukleat (DNA) dan protein (Harwood dan Gordon, 1974, dalam Irawati et al., 1997). Ion Cu2+ merupakan trace element nutrient yang dibutuhkan tubuh tetapi bila ada dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan kerusakan sel tubuh dan terganggunya metabolisme (Silver dan Misra, 1988). Masuknya senyawa-senyawa toksik ke dalam tubuh dapat melalui mulut (oral) maupun kulit (dermal), dan logam tersebut mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan protein terutama pada gugus sulfhidril (-SH) (Foster dan Wittman, 1983). Cano dan Colone (1986) dalam Irawati et al. (1997) menyatakan bahwa di dalam tubuh, tembaga berikatan dengan protein sel tubuh yang akan menyebabkan protein terdenaturasi karena mengikat gugus sulfhidril protein sehingga akan mengubah struktur protein tersebut. Sifat ini akan menimbulkan gejala atau pengaruh buruk pada kehidupan hewan atau mahluk hidup lainnya dimana tembaga yang mula-mula dapat larut dalam air akhirnya akan mengendap di dalam tubuh hewan tersebut dan pada akhirnya terakumulasi. Setiap mahluk hidup mempunyai tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap logam berat dan logam berat juga mempunyai tingkat toksisitas yang tidak sama. Menurut Sernitt dan Laster (1980) dalam Irawati et al. (1997) toksisitas logam berhubungan dengan afinitasnya terhadap agen pengkhelat sejak logam berinteraksi dengan sel hidup. Coyne (1999) menambahkan bahwa logam akan menyeleksi beberapa sel mahluk hidup yang mempunyai mekanisme untuk bertahan pada kondisi media yang mengandung logam toksik, sebagian logam berat akan mempunyai pola yang bebas dalam mempengaruhi mahluk hidup, maka semakin tinggi konsentrasi semakin sedikit pula yang bertahan hidup Round up 486 AS dengan bahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l (setara dengan glifosat 360 g/l) merupakan salah satu jenis herbisida yang bersifat sistemik, berspektrum luas, tidak selektif dan dapat mematikan gulma dengan cara menghambat sintesis protein dan metabolisme asam amino gulma tersebut (Sukman dan Yakup, 1995). Glifosat berpengaruh merugikan pada sejumlah fauna tanah dan fauna tanaman seperti tungau predator yang bermanfaaat. Glifosat juga mampu meningkatkan mortalitas pada beberapa tungau tanah dan isopoda, tetapi percobaan di lapang belum diperoleh bukti yang meyakinkan (Eijsackers, 1985 dalam Jasinski et al., 2003). Penggunaan glifosat dapat menyebabkan mortalitas pada tungau labalaba Tetranychus lintearius (Searle et al., dalam Jasinski et al., 2003). Cox (1995), menyatakan bahwa glifosat termasuk ke dalam salah satu jenis herbisida yang memiliki kemungkinan kecil dalam menimbulkan bahaya akut jika digunakan secara normal. Pada umumnya uji toksisitas terkontrol, melaporkan gejala merugikan terkena glifosat hanya akan terjadi pada dosis ekstrim yang tinggi Meskipun herbisida glifosat termasuk ke dalam kelompok racun syaraf, namun hasil pengujian pada beberapa organisme tidak menunjuk pada kerja racun syaraf seperti halnya insektisida organofosfat (Nivia, 2001). Hampir seluruh insektisida organofosfat bekerja mempengaruhi sistem syaraf melalui inhibisi enzim asetilkolinesterase (AcHE) (Sudarmo, 1990; Sastroutomo, 1992; Tarumingkeng, 1992; Rumondang; 1993 Wudianto, 1994; dan Lu 1995). Berbeda dengan insektisida organofosfat, mekanisme kerja herbisida secara umum terjadi melalui gangguan proses anabolisme penting seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya (Schopfer dan Brennicke, 2005). Mekanisme kerja glifosat terjadi melalui penghambatan enzim 5-enolpyruvoyl-shikimate-3-phosphate synthase (EPSPS), dalam bentuk asam amino aromatik, fenilalanin, tirosin dan triptofan. EPSPS merupakan enzim utama yang terlibat dalam biosintesis asam amino aromatik. EPSPS mengkatalisasi reaksi dari shikimate 3-phosphate (S3P) dan phosphoenolpyruvate (PEP) menjadi bentuk ESP dan fosfat. Dengan demikian, glifosat dapat mengganggu sintesis asam amino aromatik karena berkompetisi dengan fosfoenol piruvat( Hartzler, 1998). Beberapa organisme memiliki versi enzim 5-enolpyruvoyl-shikimate-3phosphate synthetase (EPSPS) yang resisten terhadap inhibisi glifosat (Hartzler, 1998). Inhibisi glifosat bersifat non kompetitif, hal ini terbukti dari rendahnya konsentrasi glifosat yang dibutuhkan untuk dapat mematikan 50% individu dari jumlah total populasi tungau setelah tungau terdedah oleh kocide. Dugaan mekanisme kerja herbisida glifosat pada tungau diawali oleh pemikiran adanya protein reseptor pada membran sel tungau. Pada konsentrasi glifosat yang kecil, protein reseptor masih mampu mengikat dan mendetoksifikasinya, tanpa terjadi perubahan konformasi pada protein reseptor itu sendiri sehingga dikatakan membran impermeable. Namun, apabila konsentrasi glifosat ditingkatkan maka fungsi protein reseptor terganggu dan menyebabkan perubahan konformasinya sehingga permeabilitas membran menjadi lebih besar. Akibat terganggunya permeabilitas membran, maka pada konsentrasi yang mematikan 50% dari total populasi, glifosat dapat masuk dan mematikan tungau. Menurut Untung (1996), resistensi berkembang dalam suatu populasi karena terdapat sifat pertahanan tubuh, yaitu melalaui keterlibatan mekanisme resistensi. Tiga mekanisme resistensi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena bekerjanya enzim-enzim tertentu seperti enzim dehidroklorinase (terhadap DDT), enzim mikrosomaloksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP). 2. Penurunan kepekaaan tempat sasaran pestisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinesterse (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid. 3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan pestisida. Flint dan Van den Bosch (1990), menyatakan hanya individu-individu yang memiliki sifat-sifat pertahanan tersebut yang dapat bertahan hidup, maka sangat mudah dipahami bahwa generasi berikutnya akan memiliki organisme yang tahan terhadap pestisida dalam prosentase yang lebih besar. Jika setiap generasi dihadapkan pada bahan kimia beracun, maka hanya dalam waktu yang cepat akan terdapat banyak sekali individu yang resisten dalam suatu populasi. Menurut Georghiou dan Taylor (1976) dalam Georghiou Mellon (1983), ada 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi yaitu faktor genetik, faktor biologi dan faktor operasional. Faktor genetik terdiri dari frekuensi alel R, jumlah alel R, dominansi alel R, dan interaksi alel R. Faktor biologi terdiri dari jumlah keturunan per generasi, siklus hidup satu generasi, monogami/poligami atau partenogenesis, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional terdiri dari bahan kimia pestisida yang digunakan, lamanya residu, formulasi pestisida, waktu aplikasi dilakukan, stadium yang dipilih, cara aplikasi, frekuensi aplikasi dan penggunaan pestisida yang berganti-ganti. Selain berbagai faktor yang diuraikan sebelumnya, toksisitas suatu pestisida sangat dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban (table 3.3). Tabel. 3.3 Pengukuran Temperatur Dan Kelembaban Faktor Temperatur (0C) Kelembaban (%) Nilai Kisaran 200C – 320C 75%- 95% Lokasi penelitian ini memiliki kisaran temperatur 200 C sampai 320C sedikit lebih tinggi dari kisaran temperatur di ketinggian wilayah 600-1500 m dpl, sedangkan pada saat malam hari kisaran temperaturnya dapat mencapai 180C. Kisaran suhu yang tinggi ini akan mengakibatkan peningkatan kepekaan tungau terhadap pestisida (Prijono, 1988). Hal tersebut terjadi dikarenakan pada suhu yang tinggi sekresi kelenjar minyak tungau meningkat sehingga mengakibatkan pestisida akan lebih mudah menempel pada tubuh tungau. Selain itu kelembaban yang tinggi yaitu berkisar antara 75%-95% juga meningkatkan konsentrasi air di udara sehingga menghambat penguapan kelenjar minyak yang disekresikan, hal ini diduga berakibat pada bertambahnya kepekaan A. deleoni terhadap pestisida. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pendedahan kocide 77 WP dan dilanjutkan dengan roundup 486 AS menurunkan tingkat resistensi populasi tungau predator Amblyseius deleoni. B. Saran Perlu dilakukan pendedahan lebih lanjut menggunakan jenis pestisida yang sama terhadap generasi-generasi A. deleoni berikutnya sehingga dapat diperoleh individu yang resisten. DAFTAR REFERENSI Agnithothrudu, V. 1996. Potential biocontrol agent and their impact on the tea industry. International Tea Workshop, July 9-11 1996. Beijing, China. 50-54. Bakker, F. and J.A. Jacas. 1995. Phytoseiid mites : strategies for risk assessment. Exotoxicology and Environmental Safety. 32 : 58-67. Budianto, B.H. 2000. Biologi Perilaku Predasi Amblyseius deleoni Muma et Denmark Dan Perubahan Daya Tahannya Terhadap Pestisida. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Chouinard, G. and J. Brodeur. 1996. Comparing insecticide - resistant and indigenous strains of The predatory mite Amblyseius fallacis for field effectiveness against Panonychus ulmi, Aculus schlechtendali and Tetranychus urticae in apple orchads, XX International Congress of Entomology, August 25-31 1996. Firenze, Italy. Cox, C. 1995. Glyphosate, Part 1 : Toxicology. Journal of Pesticides Reform, 15 : 14-19. Coyne, M.S. 1999. Soil Microbiology An Exploratiory Approach. Publisher Ltd, Washington. Ekha, I. 1988. Dilema Pestisida Tragedi Revolusi Hijau. Yogyakarta. Delmar Penerbit Kanisius, Flint, M.I dan R. Van den Bosch. 1990. Pengendalian Hama Terpadu diterjemahkan oleh Kartini I. K dan John, P. Kanisius, Yogyakarta. Fostner , U. and Wittmann, G. T. W. 1983. Metal Pollution In The Aquatic Environment. Springer-Verlag, Berlin Green, M. B. 1979. Chemical for Crop Protection and Pest Control. Pergamon Press Ltd, England. Hartzler, B. 1998. Herbicide Site Action. URL : http//www.weeds.iastate.edu/ Reference/siteofaction.htm. Diakes 2 September 2006. Irawati, W., Joetono, dan H. Hartiko. 1997. Profil-Profil mikroorganisme pengikat tembaga setelah penginduksian tembaga. Jurnal Pasca Sarjana, 23 : 13-17. James, D.G. 1997. Imidacloprid increases egg production in Amblyseius victoriensis (Acari : Phytoseiidae). Experimental & Applied Acarology, 21: 75-82. Jasinski, J.R, J.B. Esley, C.E Young, J. Kovacs, H. Wilson . 2003. Select nontarget Arthropod Abundance in transgenic and nontransgenic field crops in Ohio. Environmental Entomology, 32 : 407-413. Jhony, A. 2002. Kocide atasi penyakit Bawang Merah. URL: http://www.tanindo.com/abdi17/hal2501.html. Diakses 19 Agustus 2006. Kartasaputra, A. G. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Radar Jaya Offset, Jakarta. Kasumbago, U. 2005. Manajemen Resistensi Pestisida sebagai Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu. URL: http:/kasumbogo.staff. ugm. ac. id/detailarticle.php. Diakses 19 Agustus 2006. Klashorst, V.D.G. 1992. Why have mites become a problem in agriculture?, Applied Acarology Workshop, Institute of Technology Bandung, IUC Life Sciences, Bandung. Knulle, W. 1991. Life-cycle strategies in unpredictably varying environments : genetics adaptations in a colonizing mite, dalam The Acari Reproduction, development and life-history strategies, Schuster R and P.W Murphy, 51-56. Chapman & Hall. Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar :Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko Edisi Kedua. UI Press, Jakarta. McMurtry, J.A.; and B.A. Croft. 1997. Life-styles of phytoseiid mites and their role in biological control, Annual Review of Entomology, 42: 291-321. Mc Murty and D.E Walter. 1996. Phytoseiid mites and biological control in agricultural acarology at Ohio State, Week I. Ohio State University. Mochizuki, M. 1994. Variations in insecticide susceptibility of The predatory mite, Amblyseius-womersleyi Schicha (Acarina, Phytoseiidae) in the tea fields of Japan, Applied Entomology & Zoology, 29: 203-209. Momen, F.M.; and S.A.A. Amer. 1994. Effect of some foliar extracts on the predatory mite, Amblyseius barkeri (Acarina, Phytoseiidae), Acarologia, 35: 223-228. Momen, F.M. 1996. Effect of prey density on reproduction, prey consumption and sex ratio of Amblyseius barkeri (Acari, Phytoseiidae) Acarologia, 37: 3-6 Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma : Buku II). Rajawali, Jakarta. Natawigena, H. 1985. Pestisida dan Kegunaannya. CV. Armico, Bandung. Nivia, E. 2001. General Characteristics of Round up (Glyphosate). http://www.itass.dk/pestdb.htm. Diakses 4 September 2006. URL : Nurbaya, S. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Tungau Perusak Daun Teh di Perkebunan Teh Tanjung Sari Wonosobo. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto Oomen, P. A. 1982. Studies on population dynamics of scarlet Mite, Brevipalpus phoenicis, A pest of Tea in Indonesia. Meded Landbouwhogeschool Wagengingen, 82: 1-82. Osborne, L.S.; L.E. Ehler and J.R. Nechols. 1997. Biological control of the twospotted spider mite in Greenhouse. University of Florida, Central Florida Research and Education Center 2807 Binion Road, Apopka, FL 32703. Pracaya. 1983. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta Pratiknyo, H. 1998. Kerapatan Relatif Tungau Jingga (Brevipalpus phoenicis) dan Predatornya Per Daun Teh (Camellia sinensis). Tesis. Tidak dipblikasikan. ITB, Bandung. Pratiknyo, H. dan B.H. Budianto. 2000. Pengendalian Hayati Tungau Hama Teh dengan Tungau Predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark. Laporan Hasil Penelitian. UNSOED. Purwokerto. Prijono, D. 1988. Pengujian Insektisida. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Rosen, D. & C.B. Huffaker. 1982. An Overview of desired attributes of effective biological control agents with particular emphasis on mites. Proceeding of a Confrence held on April 5-7,1982 at The University of California, Biological Control of Pest by Mites. Hoy, M.A., G.L. Cunningham and L. Knutson, Editor, Berkeley. Rumondang, R. 2003. Status Resistensi Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana Fubricus (Lepidoptera: Pyralidae) dari Beberapa Daerah di Jawa Barat Terhadap Insektisida Prefenofos dan Emamektin Benzoat. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Sastroutomo, S. 1992. Pestisida : Dasar-Dasar dan Dampak Penggunaannya. Gramedia, Jakarta. Schicha, E. 1987. Phytoseiidae of A. deleoni and Neighbouring Areas. Indira Publishing House, Michigan. Schopfer dan Brennicke. 2005. Pfalanzenphysiologie. URL http://id.wikipedia.org/wiki/Herbisida. Diakses 2 September 2006. : Shipp, J.L. and Y.M. Van Houten. 1997. Influence perature and vapor pressure deficit on survival of the predatory mite, Amblyseius cucumeris (Acari, Phytoseiidae), Enviromental Entomology, 26 , 106-113. Silver, S & T. Misra. 1988. Plasmid mediated heavy metal resistance. Annual Research Microbiology, 42 : 717-743 Sivapalan, P. 1996. Development of new methods of pest control and their consequences in tea Production. International Tea Workshop, 9-11 July 1996, Beijing, China, 46-49. Sudarmo, S. 1992. Pestisida Tanaman. Kanisius, Yogyakarta Sudoi, V.; B.M. Khaemba and F.M.E. Wanjala (1994), Screening of Kenyan tea clones for their resistance to Brevipalpus phoenicis Geijskes (Acari, Tenuipalpidae) Attack, Tea, 15 (2), 105-109. Sukman, Y dan Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Grafindo Persada, Jakarta. PT. Raja Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. PAU-IPB, Bogor Thistlewood, H.M.A.; D.J. Pree and L.A. Crawford. 1995. Selection and genetic analysis of permethrin resistance in Amblyseius fallacis (Garman) (Acari, Phytoseiidae) from Ontario Apple Orchads Experimental & Applied Acarology. 19: 707-721. Timmermans, W.T. 1983. Removal of lead, cadmium and zinc by waste tea leaves. Journal Environmental Technology. 9 : 1223-1232. Tjionger’s, M, Ir. 2002. Kocide 77 WP Lipat Gandakan Hasil Kakao. URL: http://www.tanindo.co.id/abdi10/hal1901.htm. Diakses 19 Agustus 2006 Wudianto, R. 1997. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta. Yue, B.S. and J.H. Tsai. 1996. Development, survivorship and reproduction of Amblyseius largoensis (Acari, Phytoseiidae) on selected plant pollens and temperatures, Enviromental Entomology, 25, 488-494. Zhang, Z.Q.; and J.P. Sanderson (1997), Patterns, mechanisms and spatial scale of agregation in generalist and specialist predatory mites (Acari, Proceedings of the Symposium on Advances of Acarology in Poland. Siedlce, Boczek, J. and S. Ignatowicz, Experimental & Applied Acarology, 21, 393-404. Lampiran 1. Hasil analisis probit dan logit (POLO) nilai LC50/24 jam A. deleoni terhadap Kocide 77 WP dan Round Up 486 AS POLO-PC (C) Copyright LeOra Software 1987 Input file > amalia.dat input: =LC50 Kocide 77WP terhadap A. deleoni input: *% input: 0 10 0 input: 0 10 0 input: 0 10 0 input: 0 10 0 input: 0.001 10 2 input: 0.001 10 3 input: 0.001 10 2 input: 0.001 10 2 input: 0.01 10 3 input: 0.01 10 5 input: 0.01 10 3 input: 0.01 10 3 input: 0.1 10 5 input: 0.1 10 5 input: 0.1 10 5 input: 0.1 10 6 input: 1 10 6 input: 1 10 8 input: 1 10 6 input: 1 10 6 input: 10 10 3 input: 10 10 5 input: 10 10 3 input: 10 10 5 input: 100 10 4 input: 100 10 4 input: 100 10 4 input: 100 10 3 preparation dose log-dose % .00000 .000000 .00100 -3.000000 .00100 -3.000000 .00100 -3.000000 .00100 -3.000000 .01000 -2.000000 .01000 -2.000000 .01000 -2.000000 .01000 -2.000000 .10000 -1.000000 .10000 -1.000000 .10000 -1.000000 .10000 -1.000000 1.00000 .000000 1.00000 .000000 1.00000 .000000 1.00000 .000000 10.00000 1.000000 10.00000 1.000000 10.00000 1.000000 10.00000 1.000000 100.00000 2.000000 subjects responses resp/subj 40. 0. .000 10. 2. .200 10. 3. .300 10. 2. .200 10. 2. .200 10. 3. .300 10. 5. .500 10. 3. .300 10. 3. .300 10. 5. .500 10. 5. .500 10. 5. .500 10. 6. .600 10. 6. .600 10. 8. .800 10. 6. .600 10. 6. .600 10. 3. .300 10. 5. .500 10. 3. .300 10. 5. .500 10. 4. .400 100.00000 100.00000 100.00000 2.000000 2.000000 2.000000 10. 10. 10. 4. 4. 3. .400 .400 .300 Number of preparations: 1 Number of dose groups: 24 Do you want probits [Y] ? Is Natural Response a parameter [Y] ? Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ? LD's to calculate [10 50 90] > Do you want to specify starting values of the parameters [N] ? The probit transformation is to be used The parameters are to be estimated by maximizing the likelihood function Maximum log-likelihood -162.08239 parameter standard error t ratio % -.16386766 .84623400E-01 -1.9364344 SLOPE .76269464E-01 .48306408E-01 1.5788685 Variance-Covariance matrix % SLOPE % .7161120E-02 .1057048E-02 SLOPE .1057048E-02 .2333509E-02 Chi-squared goodness of fit test preparation subjects responses % 10. 2. 3.473 10. 3. 3.473 10. 2. 3.473 10. 2. 3.473 10. 3. 3.758 10. 5. 3.758 10. 3. 3.758 10. 3. 3.758 10. 5. 4.051 10. 5. 4.051 10. 5. 4.051 10. 6. 4.051 10. 6. 4.349 10. 8. 4.349 10. 6. 4.349 10. 6. 4.349 10. 3. 4.651 10. 5. 4.651 10. 3. 4.651 10. 5. 4.651 expected -1.473 -.473 -1.473 -1.473 -.758 1.242 -.758 -.758 .949 .949 .949 1.949 1.651 3.651 1.651 1.651 -1.651 .349 -1.651 .349 deviation probability .347279 .347279 .347279 .347279 .375847 .375847 .375847 .375847 .405112 .405112 .405112 .405112 .434918 .434918 .434918 .434918 .465098 .465098 .465098 .465098 10. 10. 10. 10. 4. 4. 4. 3. 4.955 4.955 4.955 4.955 -.955 -.955 -.955 -1.955 .495481 .495481 .495481 .495481 heterogeneity .94 chi-square 20.7208 degrees of freedom 22 Index of significance for potency estimation: g(.90)=1.0853 g(.95)=1.5410 g(.99)=2.6616 "With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. Effective Doses LC10 % LC50 % LC90 % dose limits .00000 140.77826 .00000 0.90 0.95 0.99 LC50 Kocide 77WP terhadap A. deleoni % subjects 240 controls 40 log(L)=-162.1 slope=.076+-.048 nat.resp.=.000+-.000 heterogeneity=.94 g=1.541 KOCIDE 77 WP DAN ROUNDUP 486 AS POLO-PC (C) Copyright LeOra Software 1987 Input file > AMEL.DAT input: =LC50 Kocide77WP dan Roundup 486 AS terhadap A. deleoni input: *% input: 0 10 0 input: 0 10 0 input: 0 10 0 input: 0 10 0 input: 0.001 10 3 input: 0.001 10 5 input: 0.001 10 3 input: 0.001 10 3 input: 0.01 10 4 input: 0.01 10 3 input: 0.01 10 4 input: 0.01 10 4 input: 0.1 10 4 input: 0.1 10 4 input: 0.1 10 4 input: 0.1 10 5 input: 1 10 4 input: 1 10 4 input: 1 10 6 input: 1 10 4 input: 10 10 3 input: 10 10 6 input: 10 10 5 input: 10 10 3 input: 100 10 6 input: 100 10 7 input: 100 10 7 input: 100 10 7 preparation dose log-dose % .00000 .000000 .00100 -3.000000 .00100 -3.000000 .00100 -3.000000 .00100 -3.000000 .01000 -2.000000 .01000 -2.000000 .01000 -2.000000 .01000 -2.000000 .10000 -1.000000 .10000 -1.000000 .10000 -1.000000 .10000 -1.000000 1.00000 .000000 1.00000 .000000 1.00000 .000000 1.00000 .000000 10.00000 1.000000 10.00000 1.000000 10.00000 1.000000 10.00000 1.000000 100.00000 2.000000 subjects responses resp/subj 40. 0. .000 10. 3. .300 10. 5. .500 10. 3. .300 10. 3. .300 10. 4. .400 10. 3. .300 10. 4. .400 10. 4. .400 10. 4. .400 10. 4. .400 10. 4. .400 10. 5. .500 10. 4. .400 10. 4. .400 10. 6. .600 10. 4. .400 10. 3. .300 10. 6. .600 10. 5. .500 10. 3. .300 10. 6. .600 100.00000 100.00000 100.00000 2.000000 2.000000 2.000000 10. 10. 10. 7. 7. 7. .700 .700 .700 Number of preparations: 1 Number of dose groups: 24 Do you want probits [Y] ? Is Natural Response a parameter [Y] ? Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ? LD's to calculate [10 50 90] > Do you want to specify starting values of the parameters [N] ? The probit transformation is to be used The parameters are to be estimated by maximizing the likelihood function Maximum log-likelihood -161.38382 % SLOPE parameter standard error -.62444152E-01 .85006550E-01 .13173521 .48300751E-01 SLOPE .1102602E-02 .2332963E-02 t ratio -.73458049 2.7273946 Variance-Covariance matrix % % .7226113E-02 SLOPE .1102602E-02 Chi-squared goodness of fit test preparation subjects responses expected deviation probability % 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 5. 3.236 1.764 .323602 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 3. 3.236 -.236 .323602 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 3. 3.722 -.722 .372244 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 4. 3.722 .278 .372244 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 4. 4.230 -.230 .423018 10. 5. 4.230 .770 .423018 10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 6. 4.751 1.249 .475105 10. 4. 4.751 -.751 .475105 10. 3. 5.276 -2.276 .527621 10. 10. 10. 10. 10. 10. 10. chi-square 7.3750 6. 5. 3. 6. 7. 7. 7. 5.276 5.276 5.276 5.797 5.797 5.797 5.797 .724 -.276 -2.276 .203 1.203 1.203 1.203 .527621 .527621 .527621 .579661 .579661 .579661 .579661 heterogeneity .34 degrees of freedom 22 Index of significance for potency estimation: g(.90)=.57588 g(.95)=.81766 g(.99)=1.4122 "With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. We will use only the probabilities for which g is less than 0.5 Effective Concentration concent limits 0.90 0.95 0.99 LC10 % .00000 lower upper LC50 % 10.76258 lower . upper LC90 % .00000 lower upper LC50 kocide77WP+Roundup 486AS terhadap tungau predator A. deleoni % subjects 240 controls 40 log(L)=-162.1 slope= .104+-.048 nat.resp.=.000+-.000 heterogeneity=.34 g=.818 Stop - Program terminated.


Comments

Copyright © 2025 UPDOCS Inc.