HUKUM INTERNASIONAL TANGGUNG JAWAB NEGARA DISUSUN OLEH: Army Anggara Liely Noor Qadarwati Lasma Natalia Mayang Kemulandari Yamin Vicky Veronika Aruan Gita Santika Amalia Tri Nurul Widia Wardhani Saskia Wahyu Riani Mulyana 110110080083 110110080092 110110080096 110110080122 110110080128 110110080131 110110080134 110110080135 110110080138 DOSEN PENGAJAR: Prof. Dr. Eddy Damian, S. H. Idris, S. H., M. A. Diajeng Wulan Christianti, S. H., LL. M FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010 KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu nilai tugas dari mata kuliah Hukum Internasional. Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada para dosen mata kuliah Hukum Internasional kami, karena berkat bimbingannyalah penulis dapat menyusun makalah ini, serta kepada teman-teman yang selalu memberikan dukungan atas apa yang penulis kerjakan. Makalah ini membahas mengenai Materi Hukum Internasional tentang tanggung jawab Negara serta kasus-kasu dalam dunia Internasional mengenai tanggung jawab Negara. Dalam penyusunan makalah ini penulispun tak lepas dari hambatan-hambatan, namun karena banyaknya dukungan maka hambatan tersebut dapat teratasi dengan baik. Penulis sadar bahwa makalah ini memang tidak sempurna maka dari itu penulis meminta saran dan kritik agar penulis tidak mengulangi kesalahan pada masa yang akan datang. Wassalamualaikum wr.wb. Bandung, 10 Mei 2010 Penulis DAFTAR ISI COVER KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Pembahasan Kegunaan Penulisan Manfaat Penulisan 1 1 2 2 2 i ii BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pendahuluan 2.2. Tanggung Jawab Negara: Perdata dan Pidana 2.3. Macam-macam Tanggung Jawab Negara 2.4. Teori Kesalahan 2.5. Doktrin Imputabilitas 2.6. Eksproriasi (Nasionalisasi) 2.7. Tanggung Jawab Negara terhadap Orang Asing 2.8. Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan BAB III PEMBAHASAN 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. Hubungan teori Tanggung Jawab Negara dengan Kasus Rainbow Case Hubungan teori Tanggung Jawab Negara dengan Kasus Corfu Channel Case 21 17 3 4 5 9 10 11 12 15 BAB IV PENUTUP 4.1. 4.2. SIMPULAN SARAN 26 27 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanggung jawab negara dalam hukum internasional merujuk pada pertanggungjawaban satu negara terhadap yang lain akan ketidaktaatannya memenuhi kewaiban yang ditentukan oleh sistem hukum internasional. Semua negara bertanggung jawab sama atas tindakan illegal mereka, terutama tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerusakan internasional. Mengenai masalah tanggung jawab negara, merupakan masalah yang kompleks. Salah satu badan yang memprakarsai mengenai hal ini adalah Komisi Hukum Internasional, dengan usaha awal untuk menghasikan konvensi yang berhubungan dengan masalah tanggung jawab pada umumnya, dengan tanggung jawab terhadap perlakuan orang asing pada khususnya. Sehingga, pembahasan mengenai tangung jawab negara ini, membahas mengenai bagaimana bentuk tanggung jawab negara, dan dalam hal apa. Kemudian, sejauh mana suatu negara dapat bertanggung jawab dan tindakan-tindakan apa yang masuk ke dalam tanggung jawab negara. Setelah mengerti bagaimana konsep dari tanggung jawab negara tersebut, beserta karateristiknya, maka penulis akan menghubungkan dengan kasus-kasus internasional yang terjadi. 1.2. Rumusan Masalah Dalam membuat makalah ini, kami membatasi rumusan masalah yang menjadi kajian landasan teori dan pembahasan kelompok kami yaitu pada hal-hal berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab negara? 2. Apakah hubungan teori mengenai tanggung jawab negara bila dihubungkan dengan Rainbow Warrior case? 3. Apakah hubungan teori mengenai tanggung jawab negara bila dihubungkan dengan The Corfu Channel Case (Merits)? 1.3. Tujuan Pembahasan Tujuan dibuatnya makalah ini adalah : 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami teori – teori : Tanggung Jawab Negara Hubungan teori tanggung jawab negara dihubungkan dengan Rainbow Warrior case Hubungan teori tanggung jawab negara dihubungkan dengan The Corfu Channel Case (Merits). 1.4 Kegunaan Penulisan Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah serta maksud dan tujuan penulisan, maka manfaat yang akan diperoleh dari penulisan ini adalah: kegunaan secara akademis, diharapkan hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dan sebagai referensi tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum internasional khususnya mengenai tanggung jawab negara dan hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. 1.5 Metode Penulisan Metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah tinjauan kepustakaan melalui web research dan analisis data dan teori dari buku. BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pendahuluan Yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya. Suatu negara bertanggung jawab, misalnya, karena telah melanggar kedaulatan wilayah negara lain, merusak wilayah atau harta benda negara lain dan lain-lain. Menurut Professor Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara tidak lain adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran hukum internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang dilakukannya. Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama, negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, terdapat suatu tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internsional (internationally wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut (liability) harus dilaksanakan. Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) ini bergantung kepada faktor-faktor sebagai berikut: 1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu. 2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara. 3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. 2.2. Tanggung Jawab Negara: Perdata dan Pidana Menurut para sarjana penganut aliran hukum internasional tradisional, sepanjang menyangkut perbuatan atau tindakan suatu negara yang bertentangan dengan hukum internasional, maka tanggung jawab yang lahirnya daripadanya selalu akan berupa tanggung jawab perdata. Aliran tradisional tidak mengenal pembedaan tanggung jawab negara dalam arti tanggung jawab pidana. Sarjana hukum internasional ternama, seperti Shaw dan Brownlie, berpendapat bahwa konsep suatu negara dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak mempunyai nilai hukumnya sama sekali dan tidak ada justifikasi (pembenaran) terhadapnya. Namun, penulis-penulis selain penganut ajaran tradisional, berpendapat bahwa pembedaan tersebut seyogyanya diadakan. Pendapat ini didasarkan pada adanya perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam konsep hukum internasional khususnya sejak tahun 1945. Perkembangan yang dimaksud yaitu: 1) Perkembangan konsep Jus Cogens 2) Lahirnya tanggung jawab pidana individu menurut hukum internasional 3) Lahirnya piagam PBB dan ketentuan-ketentuannya untuk tindakan penegakan hukum (enforcement) terhadap suatu negara sehubungan dengan tindakannya yang mengancam atau melanggar perdamaian atau tindakan agresi. Sanksi terhadap tanggung jawab negara dalam bidang pidana bisa berupa sanksi embargo ekonomi atau diadakannya persidnagan terhadap pelaku atau organ negara (misalnya tentara) yang melanggar hukum internasional. Hal terakhir ini sesuai dengan doktrin imputabilitas. Dengan kata lain, tanggung jawab negara di bidang pidana dapat diwujudkan ke dalam tanggung jawab pejabat pemerintanhnya (yang berkuasa pada waktu pelanggaran hukum internasional terjadi) Tanggung jawab perdata tampak misalnya dari tanggung jawab negara terhadap negara lain atau pengusaha asing sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajibankewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak komersil. Lahirnya pembedaan perbuatan negara ke dalam jure imperii dan jure gestionis juga memperkuat kesimpulan perlu adanya pembedaan tanggung jawab negara. Dalam hal jure gestionis suatu negara diperlakukan sebagai halnya „orang perorangan‟ yang melakukan kegiatan atau transaksi komersial. 2.3. Macam-macam Tanggung Jawab Negara Secara garis besar, tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi: 1. Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum (Delictual Liability) Tanggung jawab seperti ini dapat lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau wilayah negara lain. Hal ini dapat timbul karena: a. Ekplorasi Ruang Angkasa Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang disebabkan oleh satelit terhadap benda-benda (obyek) di wilayah negara lain. Sistem tanggung jawabnya adalah tanggung jawab absolut (absolut liability). Ketentuan hukum yang mengatur tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan peluncuran satelit (benda-benda ruang angkasa) ini diatur oleh Konvensi tentang Tanggung Jawab Internasional untuk Kerusakan yang Disebabkan oleh Benda-Benda Ruang Angkasa tahun 1972 (Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects). b. Eksplorasi Nuklir Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabkan karena kegiatan-kegiatnnya dalam bidang eksplorasi nuklir. Sistem tanggung jawabnya pun adalah tanggung jawab absolut. Perjanjian internasional yang mengatur eksplorasi nuklir adalah the Vienna Convention on Civil Liability, tanggal 21 Mei 1963. Konvensi mulai berlaku efektif tanggal 27 November 1977. Menurut Konvensi, operator nuklir bertanggung jawab atas kerusakan (rekator) nuklir (Pasal II). Tanggung jawab tersebut sifatnya adalah absolut (Pasal IV). c. Kegiatan-kegiatan Lintas Batas Nasional Setiap negara harus mengawasi dan mengatur setiap kegiatan di dalam wilayahnya, baik yang sifatnya publik maupun perdata, yang tampaknya kegiatan tersebut dapat melintasi batas negaranya dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Sistem tanggung jawab yang berlaku di sini bergantung kepada bentuk kegiatan yang bersangkutan. 2. Tanggung Jawab Atas Pelanggaran Perjanjian (Contractual Liability) a. Pelanggaran Suatu Perjanjian Pada sengketa Chorzow Factory (1927), pelanggaran terhadap perjanjian melahirkan suatu kewajiban untuk membayar ganti rugi. Sifat dan berapa ganti rugi untuk pelanggaran suatu internasional dapat ditentukan oleh Mahkamah Internasional, pengadilan, peradilan arbitrase atau melalui perlindungan. Pelanggaran seperti ini dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt servanda atau bone fides dalam hukum internasional. b. Pelanggaran Kontrak Dalam hal pelanggran kontrak, hukum internsional dapat memainkan perannya dalam dua hal kemungkinan berikut: Pertama, para pihak (negara dan negara atau negara dan perusahaan asing) sepakat untuk memberlakukan prinsip-prinsip hukum internasional dalam kontrak mereka. Sejak hukum internasional diberlakukan, hukum internasional akan memberi perlindungan hukum kepada pihak yang lemah dalam suatu kontrak. Kedua, hukum internasional akan memainkan peran pentingnya manakala suatu negara melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kontrak menurut hukum internasional. Tindakan tersebut umumnya dilakukan berupa tundakan untuk menghindari kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam kontrak. 1) Kontrak dengan indikasi KKN Masalah lain timbul manakala pejabat negara atau pejabat pemerintah yang menandatangani kontrak ternyata menyalahgunakan jabatannya. Praktek seperti ini tampak cukup subur di negara-negara berkembang. 2) Internasionalisasi Kontrak Istilah ini diperkenalkan secara formal oleh guru besar hukum internasional ternama kebangsaan Perancis, Profesor Dupuy dalam sengketa Texaco v Libya (1977). Internasionalisasi kontrak adalah suatu kontrak yang dibuat oleh negara dengan perusahaan asing (foreign private person) yang di dalamnya termuat 3 hal berikut: 1) Para pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum umum (genaral principles of law) yang dikenal dalam hukum internasional untuk mengatur kontrak. 2) Para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase internasional. 3) Kontrak yang dibuat antar negara dengan individu (perusahaan) termasuk ke dalam bentuk atau kategori yang dinamakan dengan perjanjian pembangunan ekonomi (economic development agreements). Kontrak seperti ini misalnya adalah perjanjian eksploitasi minyak. 3. Pengecualian Tanggung Jawab Negara a. Adanya persetujuan dari negara yang dirugikan (consent) Contoh yang umum tentang hal ini adalah pengiriman tentang negara lain atas permintaannya. Persetujuan ini harus diberikan sebelum atau pada saat pelanggran terjadi. Persetujuan yang diberikan setelah terjadinya pelanggaran sama artinya dengan penanggalan hak untuk mengklaim ganti rugi. Namun dalam hal ini, persetujuan yang diberikan kemudian itu tidak menghilangkan unsur pelanggran hukum internasional. b. Diterapkannya sanksi-sanksi yang sah Suatu tindakan pelanggran dikesampingkan manakala tindakan itu dilakukan sebagau sautu upaya yang sah menurut hukum internasional sebagai akibat adanya pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara lainnya. c. Keadaan Memaksa (Force Majeure) Pasal 23 Rancangan Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab negara menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang dapat diduga sebelumnya di luar kontrol/pengawasan suatu negara yang membuatnya da yang secara materiil tidak mungkin bagi negara yang bersangkutan untu memnuhi kewajiban internasional tersebut. d. Tindakan yang sangat diperlukan (Doctrine of necessity) Doctrine of necessity menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan suatu tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang esensil terhadap bahaya yang sangat besar. Ada perbedaan antara doctrine of necessity dengan force majeure. Dalam doctrine of necessity tindakan pelanggaran hukum suatu negara terpaksa dilakukan karena tindakan tersebut adalah satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan vitalnya. Sedang force majeure adalah suatu keadaan di mana kekuatan yang bersifat di luar kemampuan dan tidak dapat dihindari serta suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan karena adanya kondisi yang berada di luar kontrol atau pengawasan negara. e. Tindakan Bela Diri (Self-defense) Yang menjadi tolok ukur dari dari sautu tindakan tersebut harus sesuai dengan Piagam PBB. Jika tidak, tindakan tersebut harus menghapus tindakan tanggung jawab negara. 2.4. Teori Kesalahan a. Teori Subyektif (Teori Kesalahan) Menurut teori subyektif, tanggung jawab negara ditentukan oleh adanya unsur keinginan atau maksud untuk melakukan suatu perbuatan (kesengajaan atau dolus) atau kelalaian (culpa) pada pejabat atau agen negara yang bersangkutan. b. Teori Obyektif (Teori Risiko) Menurut teori obyektif, tanggung jawab negara adalah selalu mutlak (strict). Manakala suatu pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka negara bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut terdapat unsur kesalahan atau kelalaian. Dari kasus-kasus yang timbul, kedua teori tersebut mendapat pengakuan dalam hukum internasional. Namun demikian, kecenderungan penerapan yang lebih banyak dianut adalah teori obyektif. 3. Exhaustion of Local Remedies Sehubungan dengan lahirnya tanggung jawab negara ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum diajukannya kliam/tuntutan ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa (local remedies rule) yang tersedia atau yang diberikan oleh negara tersebut harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Tindakan ini dilakukan baik untuk memberi kesempatan kepada negara itu untuk memperbaiki kesalahnnya menurut sistem hukumnya dan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan internasional. Ketentuan Local remedies ini tidak belaku manakala: 1) Suatu negara telah melakukan pelanggaran langsung hukum internasional yang menyebabkan kerugian terhadap negara lainnya. 2) Ketentuan local remedies ini dapat ditarik berdasarkan suatu perjanjian internasional, misalnya saja pasal XI ayat (1) Space Treaty 1972. 3) Suatu upaya penyelesaian setempat (local remedies) tidak perlu dipergunakan manakala pengadilan setempat tampaknya tidak menunjukkan akan memberi ganti- kerugian. 4) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu digunakan apabila hasil atau putusan dari pengadilan setempat sudah dipastikan akan memberi putusan yang sama dengan putusan-putusan sebelumnya. 5) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu dilakukan manakala upaya tersebut memang tidak tersedia. 6) Apabila suatu pelanggaran dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) yang tidak tunduk kepada yurisdiksi pengadilan setempat. 7) Negara-negara dapat menyepakati untuk menanggalkan upaya penyelesaian setempat (local remedies). 2.5. Doktrin Imputabilitas Doktrin ini merupakan salah satu fiksi dalam hukum internasional. Latar belakang doktrin ini adalah bahwa negara sebagai suatu kesatuan hukum yang abstrak tidak dapat melakukan “tindakan-tindakan yang nyata”. Dalam sengketa the German Settlers in Poland case (1923), Mahkamah Internasional Permanen mengeaskan bahwa “ State can only act by and throuh their agents and representatives. Jadi tampak disini adanya ikatan atau mata rantai yang erat antara negara dengan subjek hukum (pejabat atau perwakilannya) yang bertindak untuk negara. Sebagaii contoh doktrin ini adalah Pasal 4 Rancangan pasal-pasal Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab negara. Rumusan dalam ILC dari suatu tindakan organ atau pejabat negara tidak bergantung pada : (1). Kelembagaan suatu negara, apakah ia dari legislatif, eksekutif, atau yudikatif ; (2) Besar kecilnya jabatan (pangkat) suatu organ atau pejabat, apakah ia pegawai sipil berpangkat rendah atau jenderal dalam militer; (3) Kedudukan pegawai yang bersangkutan, apakah ia pegawai pusat atau daerah (lokal, federal, dan lain-lain) (ayat 1); (4) dan status lainnya yang menurut hukum nasional suatu negara dianggap sebagai pegawai atau pejabat negara atau pemerintah (ayat 2). Suatu negara dapat pula bertanggung jawab kepada agen-agen rahasianya. Misalnya dalam the rainbow Warrior case (1987). 2.6. Ekspropriasi (Nasionalitas) Ekspropriasi mengacu pada pengertian pengambilalihan suatu kepemilikan harta kekayaan orang asing berupa suatu aset tertentu, misalnya perkebunan karet atau pembangunan suatu gedung. Pengambilalihan suatu perusahaan asing adalah suatu pelanggaran hukum. Namun demikian dalam hal-hal tertentu tindakan ini dapat pula dianggap dibenarkan apabila dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut : a. Untuk Kepentingan Umum ( Public Purpose) Hal ini dilakukan untuk kepentingan umum. Sutau tindakan nasionalisasi tidak sah dalam hukum internasional, kecuali tindakan itu memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) Ekspropriasi dilakukan untuk kepentingan umum sehubungan dengan kebutuhan dalam negeri tersebut; (2) Ekspropriasi harus diikuti oleh pembayaran ganti rugi yang “ prompt. Adequate, and effective” . b. Ganti Rugi yang Tepat ( Appropriate Compensation) Suatu pengambilan perusahaan asing dapat dibenarkan mana kala tindakan itu diikuti oleh ganti rugi yang prompt, adequate, and effective. Adequate berarti bahwa jumlah ganti rugi adalah mempunyai nilai yang sama dengan usahanya pada waktu dinasionalisasi, ditambah dengan bunganya sampai keputusan pengadilan dikeluarkan. Prompt berarti pembayaran yang dibayarkan secepat mungkin. Effective berarti pihak yang menerima pembataran tersebut harus dapat memanfaatkannya. Pendapat ini ditentang oleh negara berkembang. Ganti rugi cukuplah dilakukan menurut prinsip ganti rugi yang sewajarnya dan menurut hukum nasionalnya. Menurut Schwarzenberger, kompensasi (ganti rugi) dapat berupa monetary compensation (ganti rugi dalam bentuk sejumlah uang), atau berupa satisfaction. Monetary compensation dapat terdiri dari : a. Penggantian biaya pada waktu putusan pengadilan dikeluarkan. b. Kerugian tak langsung (indirect damages), sepanjang kerugian ini mempunyai kaitan yang langsung dengan tindakan tak sah tersebut. c. Hilangnya keuntungan yang diharapkan, sepanjang keuntungan tersebut mungkin dalam situasi atau perkembangan yang normal. d. Pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena adanya tindakan melanggar hukum. Satisfaction menurut Prof. Brownlie ini adalah setiap upaya yang dilakukan oleh si pelanggar suatu kewajiban untuk mengganti kerugian menurut hukum kebiasaan atau suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan yang bukan berupa restitution (restitusi/pemulihan) atau compensation. c. Non Diskriminasi (Non-Discrimination) Merupakan suatu prasyarat agar ekspropriasi sah. 2.7. Tanggung Jawab Negara terhadap Orang Asing Di dalamnya terdapa dua pandangan yang saling berbeda, yaitu pandangan negara sedang berkembang dan negara maju. Negara-negara berkembang cenderung untuk tidak mengakui perlakuan yang khusus kepada warga negara asing di dalam negerinya. Mereka menekankan perlunya persamaan perlakuan sebagaimana halnya (seorang) warganya. Sementara negara-negara maju umumnya menginginkan perlindungan yang lebih besar terhadap warga negaranya di luar negeri. Latar belakang atau alasan dimungkinkannya suatu negara melindungi warga negaranya dari perlakuan yang kurang baik dari negara asing serta menuntut ganti rugi adalah karena adanya doktrin tentang tanggung jawab negara yang terkait dengan kebangsaan ( Nationality of Claims). Hal ini terjadi karena doktrin tanggung jawab negara ini bersandar pada 2 pilar kembar, yaitu: 1. Hubungan suatu negara dengan tindakan-tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian yang dilakukan pejabat-pejabatnya. 2. Kemampuan negara untuk mengklaim atas nama warga negaranya. I. STANDAR MINIMUM INTERNASIONAL DAN STANDAR PERLAKUAN NASIONAL 1. International Minimum Standart Arti standar standar disini bukan saja berarti standar hukumnya (yaitu hhukum internasional), tetapi juga standar dalam arti penegakan hukumnya( enforcement), yakni perlindungan yang efektif menurut ketentuan hukum internasional. 2. National Tretment Standart Standar ini lahir sebagi reaksi atas stadar minimum internasional. Standar ini tampak dalam : 1) Pasal 9 the Montevideo Convention on Rights and Duties of States tahun 1933. 2) Draff articles yang diusulkan oleh pemerintah Panama yang diserahkan kepada ILC (Komisi Hukum Internasional) dalam pembahsan mengenai Draff Declaration on Roghts and Duties of States tahun 1949. Upaya untuk menyatukan kembali pemikiran mengenai standar ini, Amador merumuskan dua prinsip perlakuan terhadap orang/waraga negara asing : 1. Bahwa orang asing harus menikmati hka-hak serta jaminan yang sama dengan warga negara yang bersangkutan. 2. Tanggung jawab internasional suatu negara akan timbul apabila hak-hak asasi / fundamental menusia tersebut dilanggar. II. DOKTRIN CALVO Doktrin ini menegaskan prinsip non intervensi yang disertai penegasan bahwa orang asing hanya berhak diberlakukan seperti halnya warga negaranya. Latar belakang Carlo Calvo mengeluarkan pendapat hukumnya tersebut karena ada dua alasan yakni sebagai berikut : i. Bahwa setiap orang asing yang berada di suatu negara mempunyai hak perlindungan yang sama dengan warga negara tersebut dan orang asing tidak dapat menuntut perlindungan yang lebih besar dari pada yang diterima oelh warga negara tersebut; ii. Setiap orang asing yang mengklaim hak perlindungan yang lebih besar daripada yang diberikan oleh negara dimana ia tinggal adalah bertentangan dengan hak persamaan antara negara ( the right of equality of nation). Tujuan dari klausul Calvo ini adalah untuk menghindari campur tangan diplomatik negara asing kepada warga negaranya. III. PENGUSIRAN ORANG ASING Salah satu hak yang dimiliki oleh negara adalaah hak untuk menolak seorang asing yang memasuki wilayahnya dan mengenakan syarat-syarat bagi masuknya orang asing ke dalam wilayahnya, serta mengusir atau memulangkan orang asing tersebut. Menurut Goodwin-Gill, praktek negara mengakui pengusiran ini apabila: i. ii. iii. iv. Masuk ke dalam suatu negara dengan cara melanggar hukum; Melanggar syarat-syarat izin masuk; Terlibat dalam tindak kriminal; Berdasarkan pertimbanagn politik dan keamanan orang asing tersebut harus diusir. Sebagai perbandingan, pasal 3 Konvensi Eropa, 1956 menetapkan bahwa suatu negara dapat mengusir warga negara asing yang ebrdiam di wilayahnya jika ia telah melakukan tindakan yang mengganggu keamanan nasionalnya atau ketertiban atau moralitas di dalam negerinya. 2.8. Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan Ketentuan internasional yang mengatur hal ini tampak dalam pasal 30 Piagam Hakhak dan Kewajiban Ekonomi Negara Tahun 1974. Bunyi pasal ini mengandung lima prinsip penting sehubungan dengan tanggung jawab negara terhadap lingkungan yakni: i. Bahwa perlindungan, pemeliharaan, dan peningktan lingkungan untuk generasi sekarang dan akan datang adalah tanggung jawab semua negara; ii. Bahwa semua negara harus berupaya membuat kebijakan-kebijkan lingkungan dan pembangungan sesuai dengan prinsip pertama di atas; iii. Bahwa kebijakan lengkungan semua negara tidak boleh merugikan pembangunan negara sedang berkembang sekarang atau yang akan datang; iv. Bahwa semua negara berkewajijban untuk menjaga kegiatan-kegiatan di dalam wilahnya agar tidak merugikan lingkungan negara lain; v. Bahwa semua negara perlu bekerja sama untuk mengembangkan normanorma atau aturan-aturan di bidang lingkungan hidup. Perkembangan Peraturan Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan Tanggung jawab negara terhadap lingkungan dipertegas lagi dalam Konverensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED atau United Nations Conference on Environtment and Development) tahun 1992. Adapun hasil dari KTT Bumi 1992 ini adalah: a. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangungan (Rio Declaration on Environment and Development); b. Konvensi tentang perubahan iklim (Framework Conventin on Climate Change); c. Konvensi tentang keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity); d. Agenda 21 termasuk ketentuan implementasi tanggung jawab negara dalam berbagai aspek pengelolaan lingkungan; e. Prinsip-prinsip manajemen, konservasi, dan pembangungan berkelanjutan hukum ( Statement of principles on the Management, Conservation and Sustainable of All Types of Forest). BAB III PEMBAHASAN Rainbow Warrior Case Rainbow Warrior Case adalah kasus perselisihan antara Selandia Baru dan Perancis yang muncul akibat tenggelamnya kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace. Pada tahun 1986, kasus ini dibawa ke proses arbitrase yang diselesaikan oleh Sekertaris Jenderal PBB, Javier Pérez de Cuéllar , dan menjadi subjek pembicaraan yang signifikan dalam Hukum Internasional Publik mengenai implikasinya terhadap Tanggung Jawab Negara. Rainbow Warrior adalah salah satu nama untuk seri kapal-kapal laut yang dioperasikan oleh Greenpeace, sebuah organisasi yang aktif menentang pembangunan pembangkit tenaga nuklir. Kapal pertama ditenggelamkan oleh Direktorat umum Keamanan Luar Negeri Perancis (DGSE) di pelabuhan Auckland, Selandia Baru, pada 10 Juli 1985. Saat itu, para aktivitas Greenpeace mendapat teror besar-besaran karena menentang percobaan nuklir Perancis yang dilakukan di Pulau Muroroa, sekitar Polynesia. Dalam perjalanan ke atol (pulau karang) Mururoa, kapal Greenpeace berlabuh di Auckland dan ditenggelamkan oleh Perancis disana. Dalam peristiwa tersebut seorang aktivis Greenpeace tewas. Perdana Menteri Selandia Baru pada saat itu, David Lange marah besar karena agen-agen rahasia Perancis telah dengan leluasa malang melintang di negerinya. Kemudian Selandia Baru menangkap dan menghukum beberapa anggota dari Dinas Rahasia perancis tersebut. Setelah melawati konfrontasi yang panjang antara Perancis dan Selandia Baru yang menyinggung isu utama mengenai kompensasi dan perawatan terhadap agen Perancis yang ditawan oleh Selandia Baru, dua Negara ini memutuskan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat diantara mereka ke Sekertaris Jenderal PBB, Javier Pérez de Cuéllar. Keputusan mengikat yang dihasilkan tanggal 6 Juli 1986. diumumkan pada Proses Arbitrase Walaupun aksi percobaan nuklir Perancis dianggap tidak mengancam keamanan dan perdamaian dunia sebagaimana yang menjadi sasaran PBB, tetapi PBB telah secara luas menindak kasus pelanggaran terhadap kejahatan Internasional terhadap kedaulatan dan spionase (meskipun spionase secara damai tidak diatur oleh Hukum Internasional). Memorandum Perancis kepada Sek-Jen PBB berisi pendapat bahwa Greenpeace telah terlibat dalam “aksi bermusuhan” dan “penembusan secara illegal” kedalam wilayah Perancis selama waktu percobaan nuklir dan Selandia Baru menjadi tempat yang dilewati Rainbow Warrior. Argumen ini ditolak karena hal tersebut tidak terbukti dan tidak terpenuhinya syarat apapun dari Hukum Internasional sehubungan dengan aksi kekerasan yang dilakukan Perancis terhadap Rainbow Warrior. Hasil Arbitrase Dalam beberapa kasus dimana Negara mengirimkan agennya ke luar negeri untuk melakukan aksi illegal seperti yang dilakukan Perancis ke Selandia Baru, menurut Hukum Internasional dan hukum kota, menjadi kebiasaan bagi Negara yang dituju tersebut untuk menjalankan tanggung jawabnya terhadap aksi dan isu ganti kerugian. Bagaimanapun juga, agen tersebut biasanya diberi kekebalan oleh pengadilan setempat. Namun dalam kasus ini, Selandia Baru berusaha untuk menangani Perancis di bawah aturan Hukum Internasional dan berusaha menangani agennya di bawah hukum kotanya. Akhirnya, Perancis, telah mengakui kesalahannya dan mau bertanggung jawab dengan memfokuskan usahanya dalam usaha pemulangan kembali para sgennya yang ditawan. Hal ini disetujui oleh Selandia Baru dengan syarat mereka akan menjalankan sisa hukuman mereka. Kompromi akhirnya tercapai melalui jalan mediasi dari sek-jen PBB yaitu 3 tahun hukuman di Pulau Karang Perancis. Dalam masa gantirugi, Perancis pada awalnya menawarkan sebuah permintaan maaf yang resmi dan pengakuan telah melanggar hukum internasional. Ditambah lagi, UN Sekjen menghadiahkan 7 miliar dollar kepada Selandia Baru. Ini adalah kompensasi tambahan yang Perancis bayarkan kepada keluarga korban dalam misi Grrenpeace. Analisis Kasus Perjanjian Westphalia 24 Oktober 1684, merupakan salah satu upaya “efektif” untuk meredam tindakan anarki suatu Negara untuk mencampuri urusan Negara lain. Perjanjian ini menelurkan gagasan tentang kedaulatan dan Negara modern yang berdaulat. Disusunlah system/tatanan yang mengatur code of conduct dunia internasional. Prinsip kedaulatan modern menurut Sejarahwan Hendrik Spruyt, dengan mengacu pda perjanjian Westphalia, ada dua : Pertama, ekslusi, yaitu pengekslusian semua entitas non-teritorial, penada limit kedaulatan secara gradual dan pasti (Hanseatic League) kedua, mutual recognition, yaitu pengakuan kedaulatan dari Negara berdaulat lain. Hal ini akan membawa Negara-negara berdaulat pada prinsip non-intervensi dalam masalah territorial Negara lain. Dari perjanjian ini pula, konsep Negara modern lahir. Negara modern memiliki tiga karakteristik yang jelas. Pertama, ia memiliki suatu wilayah tertentu lengkap dengan garis perbatasannya. Kedua, ia memiliki kendali ekslusif, atas wilayah tersebut: „kedaulatan‟ berarti bahwa tidak ada entitas lain yang dapat mengajukan klaim untuk memerintah ruang itu. ketiga, hirarki, yakni Negara adalah badan politik tertinggi yang menetapkan peranan dan kekuasaan semua bagian pemerintah. Kasus Rainbow Warrior mendukung ide doktrin non-intervensi dalam hukum Internasional dan suatu Negara akan dihukum jika menentangnya. Perancis tidak dapat seenaknya masuk ke wilayah Selandia Baru dan melakukan suatu tindakan yang bukan dalam teritorinya, seperti menenggelamkan kapal Rainbow Warrior di dalam teritori Selandia Baru hingga menyebabkan adanya korban tewas. Pada akhirnya, sikap Perancis yang mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut membuktikan sebuah bentuk tanggung jawab Negara sebagaimana yang dikemukakan Professor Higgins mengenai Hukum tentang tanggung jawab Negara. menurutnya Hukum tentang tanggung jawab Negara tidak lain adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran hukum internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang dilakukannya. Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama, negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, terdapat suatu tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internsional (internationally wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut (liability) harus dilaksanakan. Hal inilah yang terbukti dari tindakan Perancis yang mengakui adanya pelanggaran hukum internasional yang dilakukannya dan menunjukan tanggung jawabnya. Selain itu, Selandia Baru sebagai Negara yang berdaulat juga menunjukan kedaulatannya dengan bertanggung jawab menangani kasus yang terjadi dibawah jurisdiksinya dan membawa penyelesaikan kasus ini ke pihak yang berwenang. Selandia Baru merasa bertanggungjawab sehingga menindak kasus penenggelaman kapal Rainbow Warrior yang terjadi di wilayahnya guna melindungi keamanan di negaranya. Hal ini juga menjadi kajian yang menarik mengenai tanggung jawab Negara, dan tanggung jawab individu, serta penggunaan kekerasan dan ganti rugi. CORFU CHANNEL CASE The Corfu Channel Insiden mengacu pada tiga kejadian terpisah yang melibatkan Royal Navy kapal di Corfu Channel yang berlangsung pada tahun 1946, dan dianggap sebuah episode awal Perang Dingin . Dalam insiden pertama pada 15 Mei 1946, Royal Navy, kapal Inggris, mendapat serangan dari benteng Albania. Albania menembaki dengan meriam-meriam ke pantai Albania, Albania pada saat itu sedang perang dengan Yunani. Peristiwa kedua melibatkan kapal Angkatan Laut Inggris yang menabrak ranjau yang berada di selat tersebut kemudian menimbulkan korban jiwa pada 22 Oktober 1949. Atas kejadian ini, Inggris kemudian melakukan pembersihan ranjau-ranjau yang berada di selat tersebut tanpa adanya izin dari pemerintahan Albania. Serangkaian insiden ini mengakibatkan Corfu Channel Case , di mana Inggris membawa kasus terhadap Republik Rakyat Albania ke Mahkamah Internasional . Karena insiden tersebut , pada 1946, Inggris memutuskan pembicaraan dengan Albania bertujuan untuk memutus hubungan diplomatik antara kedua negara. Keputusan Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Albania bertanggung jawab atas kerusakan kapal Inggris dan Inggris telah melanggar kedaulatan Albania karena tindakannya yang menyapu ranjau. Namun, hubungan diplomatic kedua Negara yang sedang perang dingin tersebut akhirnya kembali pada tahun 1991. Insiden pertama berawal dari 15 Mei 1046 dimana kapal Royal Navy yakni HMS Orion dan HMS Superb melewati Corfu Channel dan ternyata ditembaki oleh Albania dengan meriam. Meskipun begitu tidak ada kerugian dan tidak memakan Korban atas peristiwa ini. Albania tidak meminta maaf terhadap apa yang telah diperbuat dengan alasan, Kapal Inggris telah memasuki wilayah territorial Negara-nya. Insiden kedua ternyata lebih serius. Ini terjadi pada 22 Oktober 1049 dimana Royal Navy dengan menurunkan dua kapal penjelajah, HMS Mauritius dan HMS Leander dan kapal penyerang HMS Sumarez dan HMS Volage, kapal-kapal tersebut diperintahkan untuk melintasi Corfu Channel dengan pernyataan perintah untuk mengecek reaksi Albania atas peristiwa yang lalu. Kru telah diinstruksi untuk merespon apabila Albania melakukan penyerangan. Kapal-kapal tersebut terlalu dekat dengan pantai Albania yang ternyata telah tertanam ranjau sehingga kappa tersebut terkena ranjau dan 44 orang tewas dan 42 terluka, sebagian besar korban adalah kru dari kapal Saumarez. Insiden ketiga dan terakhir pada 12 – 13 November 1046 dimana Royal Navy melakukan pembersihan ranjau-ranjau di Cofu Channel dengan nama oprasi “Operation Retail”. Berdasarkan Allied Commander-in-Chief Mediterranean, operasi ini dijalankan tanpa adanya persetujuan Albania. Ketakutan Albania akan adanya pelanggaran wilayah territorial ternyata terbukti dengan adanya kesaksian bahwa ada beberapa kapal perang dibelakang insiden ketiga ini. Pada 9 Desember 1946, Inggris mengirimkan pernyataan kepada pemerintahan Albania untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan Albania pada peristiwa yang terjadi pada insiden bulan Mei dan Oktober. Dengan kurun waktu 40 hari, apabila Albania tidak menanggapi, maka Inggris akan mengadukan hal tersebut kepada PBB. Melihat tak ada tanggapan dari Albania, Inggris melanjutkan laporan kepada International Court of Justice atau Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan hal ini. Untuk kasus pertama, Albania dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Inggris sebesar US $2,009,437. Namun, untuk kasus dimana Inggris melakukan operasi pembersihan ranjau, ICJ memihak kepada Albania karena operasi tersebut adalah illegal dan telah mengganggu wilayah territorial suatu Negara dan dianggap mencampuri urusan Negara lain. Pemerintahan Albania menolak untuk mengganti rugi sesuai dengan keputusan ICJ, dan balasannya British menahan 1574 kg emas milik Albania. Setelah perang dingin tersebut usai, pada tahun 1991, hubungan diplomatic keduanya kembali. Dan pada 8 Mei 1992, Kedua Negara tersebut memutuskan untuk membuat perjanjian terkait hal peristiwa Corfu Channel, keduanya mengakui penyesalan mengenai insiden Corfu Channel pada 22 Oktober 1946 yang lalu. Tahun 1996, membutuhkan waktu negoisasi yang lama untuk mengembalikan emas Albania setelah Albania bersedia membayar US $2,000,000 untuk perbaikan. ANALISIS Prinsip non intervensi merupakan kewajiban setiap Negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri Negara lain dalam relasi antar Negara. Prinsip ini dilanggar dalam Corfu Channel Case. Kelompok kami menilai Inggris lah yang perlu disalahkan dalam kasus ini. Sebagaimana disebutkan dalam wacana kasus sebelumnya,Inggris serta merta telah melewati batas territorial suatu Negara dan mencampuri urusan Negara lain yakni Albania dengan modus melakukan operasi pemusnahan ranjau yang pada kenyataannya tak ada izin dari pemerintahan Albania. Prinsip non-intervensi sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional. berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Kelahiran kedaulatan negara berkaitan dengan lahirnya pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasardasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Negara nasional (nation-state) pasca Westhpalia memiliki kedaulatan penuh karena didasari oleh paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara. Artinya bahwa negara berdaulat; bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain. Untuk kasus ini, ICJ mengatakan “ Between independent states, respect for territorial sovereignty is an essential foundation of international relations .” Prinsip non-intervensi juga menentukan bahwa antarnegara tidak boleh melakukan intervensi. Hal ini didasari bahwa hubungan antarnegara didasari dari persamaan derajat dan bebas. Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 (4). Pasal tersebut berbunyi :“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.” Terdapat beberapa kata penting dalam bunyi pasal tersebut, yaitu ancaman atau penggunaan kekuatan (threat or use of force), kesatuan wilayah (teritorial intergrity), kebebasan politik (political independence), dan tidak selaras dengan tujuan PBB. Prinsip non intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada tahap peremptory norm (jus cogens) Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah mencapai derajat Jus Cogens, maka prinsip tersebut tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Jus Cogens dalam hukum internasional pun masih menjadi perdebatan. Sulit untuk menentukan faktor apakah yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam hukum internasional menjadi sebuah Jus Cogens. menurut Vedross terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi Jus Cogens hukum internasional yaitu: 1) Kepentingan bersama dalam masyarakat internasional. 2) Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan. 3) Sesuai atau selaras dengan piagam PBB Disamping sisi non intervensi tersebut, kita perlu melihat sisi tanggung jawab suatu Negara yakni Albania. Setiap Negara di dunia memiliki kewajiban internasional untuk melakukan due diligence. Prinsip ini berakar dalam primary rules hukum internasional dan meliputi, diantaranya, kewajiban Negara untuk melakukan pengusutan terhadap warganya yang disangka terlibat tindakan kriminal. Kelalaian Negara dalam melakukan fungsi due diligencenya akan menimbulkan pertanggungjawaban Negara. Primary rules merupakan seperangkat aturan internasional yang mendefinisikan hak dan kewajiban Negara, yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan internasional dan instrument lainnya. Secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan kapan, bagaimana dan apa akibat hukum apabila primary rules itu dilanggar oleh Negara. Secondary rules inilah yang disebut dengan The Law of State Responsibility, diadopsi oleh International Law Commission dalam sesinya yang ke 53, tahun 2001 lalu. Dalam kasus tersebut, Albania seharusnya memberikan peringatan terhadap kapal-kapal Inggris yang lewat akan adanya ranjau-ranjau laut di Selat Corfu sehingga tidak menimbulkan korban dan urusan yang menjadi lebih parah. Albania sebaiknya melakukan due delligence, untuk menyelidiki apa yang dilakukan Inggris sebenarnya, apakah perbuatan tersebut merupakan tindakan kejahatan ataupun sebaliknya. Namun memang benar adanya pada kasus ini yakni kasus pertama dan kedua mengenai Corfu Channel atau Selat Corfu, yang pantas disalahkan adalah Albania karena alasan: 1. Membom kapal-kapal Inggris dengan meriam tanpa menyelidiki dulu alasan kapal tersebut mendekati atau setidaknya member peringatan 2. Untuk kasus kedua, Albania tidak memberikan peringatan kepada kapal Inggris yang jaraknya dekat bahkan menyentuh ranjau sehingga menyebabkan tewasnya dan luka-luka pada kru kapal. BAB IV PENUTUP 4.1. Simpulan Menurut Professor Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara tidak lain adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran hukum internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang dilakukannya. Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama, negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, terdapat suatu tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internasional (internationally wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut (liability) harus dilaksanakan. Tanggung jawab Negara ini juga berhubungan dengan perlindungan yang Negara berikan kepada rakyat di wilayahnya sebagai bukti adanya kedaulatan Negara terhadap wilayah Negara dan rakyatnya. hal ini juga sebagaimana yang termaktub dalam Perjanjian Westphalia 24 Oktober 1684, yang merupakan salah satu upaya “efektif” untuk meredam tindakan anarki suatu Negara untuk mencampuri urusan Negara lain. Perjanjian ini menelurkan gagasan tentang kedaulatan dan Negara modern yang berdaulat. Disusunlah system/tatanan yang mengatur code of conduct dunia internasional. Dari perjanjian ini pula, konsep Negara modern lahir. Negara modern memiliki tiga karakteristik yang jelas. Pertama, ia memiliki suatu wilayah tertentu lengkap dengan garis perbatasannya. Kedua, ia memiliki kendali ekslusif, atas wilayah tersebut: „kedaulatan‟ berarti bahwa tidak ada entitas lain yang dapat mengajukan klaim untuk memerintah ruang itu. ketiga, hirarki, yakni Negara adalah badan politik tertinggi yang menetapkan peranan dan kekuasaan semua bagian pemerintah. Melalui konsep yang dihasilkan olh perjanjian ini, prinsip non-intervensi menjadi suatu pembicaraan yang hangat dalam menyelesaikan kasus Rainbow Case dan Corfu Channel Case dimana ketika ada suatu Negara yang mengintervensi Negara lain, maka Negara yang diintervensi sebagi Negara yang berdaulat dapat melakukan tindakan guna menjalankan tanggung jawab di negaranya demi melindungi kepentingan Negara dan rakyatnya serta mempertahankan kedaulatan di negaranya. 4.2. Saran Dilihat dari sisi suatu Negara terhadap Negara lain, maka antara suatu Negara dan Negara lain hendaknya tidak melakukan intervensi terhadap negara lain. Karena setiap Negara yang merdeka dan berdaulat di dunia ini memiliki kesetaraan derajat satu sama lain. Sehingga antar Negara hendaknya dapat memberikan kebebasan pada suatu Negara untuk menjalankan pemerintahan serta hukum di negaranya tanpa perlu ada intervensi dari Negara lain. Meskipun pada status quo kita mengetahui ada Negara dengan Powerfull Bargaining Power atau Negara adidaya dan adikuasa dan masih ada Negara-negara yang memiliki powerless bargaining power, tapi hendaknya hal ini tidak menjadi alasan untuk melakukan intervensi bagi Negara lain. Apabilapun suatu Negara menlakukan pelanggaran terhadap hukum internasional di Negara lain ataupun berdampak pada Negara lain maka Negara tersebut haruslah menunjukan kejantanannya melalui sikap tanggung jawab terhadap negaranya sendiri dan kepada Negara lain. Apabila dilihat dari sisi suatu Negara terhadap negaranya, maka hendaknya pemerintah dapat menjalankan tanggung jawab di negaranya dengan baik sebagai pemerintahan yang berdaulat dan dipercaya oleh rakyatnya. Sebab setiap Negara memiliki urusan Negara masing-masing, dan pemerintahan di wilayah tersebutlah yang memiliki wewenang untuk menjalan tanggung jawab negaranya. Dengan demikian apabila suatu pemerintahan dalam menjalankan tanggung jawab Negara di wilayahnya maka ia akan mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Hal inilah yang membuatnya dapat menjadi suatu Negara yang mandiri dan dapat terhindar dari intervensi dari Negara lain. Daftar Pustaka Huala Adolf. 2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Starke, J. G. 1997. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika. Wallace, Rebecca M.M. 1993. Hukum Internasional, Semarang: IKIP Semarang Press.