SP29DSS.docx

April 28, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

Demam Berdarah Dengue Pada Stadium Syok Bintang Lingkan Manurung 10.2009.009 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana JL. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 email : [email protected] PENDAHULUAN Renjatan hipovolemik adalah suatu kegawatdaruratan yang sering dijumpai baik diruang perawatan intensif maupun di bangsal perawatan besar. Pada anak kejadian ini hampir selalu disebabkan perdarahan, kehilangan cairan plasma atau trauma multiple yang menyebabkan gangguan sirkulasi dan respirasi. Sempurnanya peredaran darah dan perfusi jaringan tubuh tergantung dari tiga hal yaitu jumlah darah beredar, tahanan pembuluh darah dan kemampuan jantung memompadarah. Bila terjadi gangguan dan kelainan salah satu dari ketiga hal tersebut akan menimbulkan gambaran klinis berupa renjatan. Batasan renjatan secara tepat dan memuaskan sampai saat ini tiodaklah mudahkarena terjadi bersama-sama dengan berbagai perubahan klinis dan metabolisma. Manifestasi renjatan berubaha-ubah tergantung dari penyebab dan lamanya proses berlangsung. Sebagai batasan secara umum dapat dikaitkan bahwa renjatan ialah keadaan tidak sempurna perfusi jaringan. Renjatan hipovolemik ilaha keadaan terganggunya perfusi jaringan yang disebabkan perdarahan, kehilangan plas8ma pada luka bakar, kehilangan air dan elektrolit pada diare yang disertai dehidrasi akibat ekstravasasi karena inflamasi, trauma, anafilaktik dan phacochromocytoma dan menatalkasana keadaan ini. Dalam hal ini pengobatan ditujukan terhadap penyebab dan akibat renjatan trersebut.1 ISI 1. Anamnesis Anamnesis adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya. Terdapat dua metode anamnesisi, yaitu autoanamnesis dan alloanamnesis. Anamnesis yang diakukan langsung terhadap pasien disebut autoanamnesis dan apabila dilakukan pada orang lain yang paling mengetahui keadaan pasien disebut alloanamnesis.2 · Identitas pasien Pada anamnesis penting untuk ditanyakan identitas pasien. Identitas yang perlu diketahui seperti nama pasien, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, agama, dan suku bangsa. Selain identitas, pada anamnesis ditanyakan juga riwayat penyakit. 2 · Riwayat penyakit Pada riwayat penyakit yang ditanyakan adalah keluhan utama, yaitu keluhan yang menyebabkan pasien dibawa oleh orang tua berobat. Selain itu perlu juga untuk menanyakan riwayat perjalanan penyakit seperti keadaan sebelum keluhan timbul sampai berobat. Riwayat pengobatan sebelumnya juga perlu ditanyakan seperti obat apa yang telah dikonsumsi dan hasil pengobatan. Pada dugaan penyakit menular, perlu dutanyakan apakah di sekitar tempat tinggal terdapat orang lain yang menderita penyakit yang sama.2 Pada umumnya, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui mengenai keluhan atau gejala seperti lama berlangsungnya, sifat gejala (perlahan-lahan, terus-menerus, hilang timbul, atau pada waktu tertentu), untuk keluhan local perlu dirinci lokalisasi dan sifatnya (menetap, menjalar, berpindah-pindah), dan hal yang mendahului keluhan.2 · Demam: Merupakan keluhan utama yang sering dikemukakan. Karakteristik demam yang perlu ditanyakan seperti lamanya, mendadak atau tidak, pola demam (remiten, intermiten, atau kontinu), terjadi pada saat kapan (malam hari atau sepanjang hari), dan apakah disertai menggigil, kejang, kesadaran menurun, meracau, mengigau. 2 · Batuk: Merupakan salah satu keluhan yang sering membawa pasien berobat. Anamnesis batuk sebaiknya meliputi lama, batuk kambuh atau berulang, batuk lebih menonjol pada malam hari aatu dini hari, sifat batuk (spasmodic, kering atau produktif), sifat dahak (kekentalan, warna, bau, adanya darah), keluhan lain yang menyertai (sesak napas, mengi, sianosis, muntah), apakah dipengaruhi oleh perubahan posisi, dan orang lain disekitar pasien yang mengalami batuk. 2 · Riwayat kehamilan ibu Keadaan kesehatan ibu selama hamil perlu ditanyakan seperti ada tidaknya penyakit serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Riwayat minum obat termasuk jamu tradisional dan minuman keras ebaiknya ditanyakan. Riwayat ibu dan orang disekitarnya yang merokok juga perlu ditanyakan. 2 · Riwayat kelahiran Riwayat kelahiran harus ditanyakan secara teliti seperti tanggal, tempat, siapa yang menolong, cara kelahiran, dan keadaan setelah lahir. Masa kehamilan juga perlu ditanyakan seperti kurang bulan, cukup bulan, atau lewat bulan. · Riwayat makanan Anamnesis mengenai riwayat makanan diharapkan dapat diperoleh keterangan tentang makanan yang dikonsumsi anak. Kemudian dapat dinilai apakah kualitas dan kuantitasnya adekuat, yaitu memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Pada bayi perlu diketahui jenis susu yang diberikan (ASI atau PASI atau keduanya). Apabila ASI perlu ditanyakan apakah ASI diberikan secara eksklusif. · Riwayat imunisasi Status imunisasi harus ditanyakan secara rutin khususnya BCG, DPT, polio, campak, dan hepatitis B. data imunisasi sebaiknya dilihat pada KMS. 2 · Riwayat pertumbuhan dan perkembangan Status pertumbuhan anak diketahui dengan menanyakan apakah anak tampak kurus, berat badan tidak naik bahkan turun atau anak tampak makin kurus. Demikian pula dengan penambahan berat badan yang cepat sekali. Status pertumbuhan penting dikaitkan dengan nafsu makan dan asupan makanan. Keadaan ini sebaiknya diperkuat dengan melihat KMS. Status perkembangan juga sebaiknya diketahui secara teliti untuk mengetahui apakah terdapat penyimpangan dari semua tahapan perkembangan. Banyak keadaan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak seperti penyakit kronis, hiperbilirubinemia, sindrom down, dan sebagainya. 2 · Riwayat keluarga dan lingkungan Data keluarga ditanyakan untuk mendapatkan gambaran keadaan pendidikan, social-ekonomi-budaya dan kesehatan keluarga pasien. Lingkungan rumah juga perlu ditanyakan dan apakah ada riwayat penyakit infeksi seperti tuberculosis dan penyakit keturunan. 2 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya kelainan-kelainan dari suatu sistem atau organ tubuh, dengan cara melakukan pemeriksaan vital seperti suhu, tekanan darah dan sebagainya. Dokter juga harus melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.2 a. Kesadaran : somnolen b. Tanda-tanda vital · Nadi : tidak teraba dan sangat lemah · Suhu : 35,5oc · Frekuensi pernapasan : 40x/menit · Tekanan darah : - c. Pemeriksaan extremitas : ditemukan banyak petekhie, akral dingin dan CRT > 2 detik. d. Abdomen : Hati teraba 3 cm dibawah arcus costae, tepi tajam dan nyeri tekan. 3. Pemeriksaan Penunjang Pada kasus diatas dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis Dengue Shock Syndrome dan menyingkirkan diagnosis banding yang ada. Pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan yaitu sebagai berikut:3 Pemeriksaan Laboratorium: · Hemoglobin dan Hematokrit · Eritrosit, leukosit dan trombosit · Waktu perdarahan dan waktu protrombin · Elektrolit (natrium dan albumin) · Analisis gas darah Temuan Laboratorium pada DSS: Hemokonsentrasi., yaitu terjadi peninggian nilai hematokrit > 20%. Meningginya hematokrit sangat berhubungan dengan beratnya renjatan. Hematokrit selalu mendahului perubahan tekanan darah dan nad, oleh karena itu pemeriksaan hematokrit secara berkala dapat menentukan saat yang tepat untuk mengurangi/menghentikan pemberian cairan parenteral atau saat pemberian darah. Trombositopenia, batasan yang diambil ialah bila terjadi penurunan trombosit di bawah 100.000/mm3. Penurunan trombosit berkolerasi dengan beratnya penyakit, tetapi trombosit yang sangat rendah tidak selalu berkorelasi dengan beratnya perdarahan.3 Sediaan hapus darah tepi, terdapat fragmentosit yang menandakan terjadinya hemolisis. Kelainan elektrolit: a. Hiponatremia: kadar natrium dalam darah 13,5 mEq/L. penderita DSS 75% terdapat hiponatremia. Terjadinya hiponatremia oleh karena beberapa factor yaitukebocoran plasma, anoreksia, keluarnya keringat, muntah dan intake yang kurang. Selain itu deplesi garam akibat metabolism yang meningkat selama demam dan ekskresi urin yang berkurang. b. Hiperkalemia c. Hipokloremia ringan d. Asidosis metabolic ringan dengan alkalosis kompensatoar e. Osmolalitas plasmas sangat menurun.3 Faktor pembekuan. Pada kebanyakan kasus, asai koagulasi atau factor fibrinolitik menunjukan penurunan fibrinogen, protrombin, factor VIII, factor XII, dan antitrombin III. Reduksi antiplasmin-α (inhibitor α-plasmin) telah ditemukan pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar nyata, reduksi terlihat pada kadar factor protrombin yang adalah vitamin K dependen seperti pada factor V, VII, IX, dan X. masa tromboplastin parsial dan masa protrombin memanjang pada kira-kira setengah dan sepertiga pasien DHF, secara berurutan. Masa thrombin memanjang pada kasus berat. Pemeriksaan Rontgen Dada. Menunjukkan efusi pleural, kebanyakan pada sisi kanan, sebagai temuan tetap, dan efusi pleural luas dihubungkan dengan beratnya penyakit. Pada syok, efusi pleural bilateral adalah temuan umum.4 4. Diagnosis Demam berdarah dengue, suatu penyakit demam berat yang sering mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh permeabilitas kapiler, kelainan homeostatis dan pada kasus berat, sindrom syok kehilangan prtein. Sekarang diduga mempunyai dasar imunopatologisnya. Sekurang-kurangnya ada empat tipe virus dengue yang berbeda (tipe 1-4) yang telah diisolasi dari penderita demam berdarah.5 5. Epidemiologi Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai telah terjadi di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologist baru diperoleh pada tahun 1970. Pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit dipedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Mobiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai Negara bervariasi disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatas vector, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotype virus dengue dengan kondisi metereologis.5 Pada awal terjadinya wabah di suatu Negara, distribus umur penderita memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun. Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 telah berhasil diisolasi dari darah penderita. Di Jakarta daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita DBD derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus DEN-3. Survey virologis penderita DBD telah dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1995. Keempat serotype dengue berhasil diisolasi baik dari penderita derajat ringan maupun berat. Selama 17 tahun, serotype yang berdominasi adalah virus dengue serotype DEN-2 atau DEN-3. Kasus kematian lebih banyak pada anak perempuan, usia antara 1-4 tahun dan 5-10 tahun.5 6. Etiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Virus Dengue termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang dibedakan menjadi 4 serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Keempat serotipe virus ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotipe virus DEN 3 sering menimbulkan wabah, sedang di Thailand penyebab wabah yang dominan adalah virus DEN 2. Penyakit ini ditunjukkan dengan adanya demam secara tiba-tiba 2-7 hari, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot myalgia dan arthralgia dan ruam merah terang, petechie dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare. Manifestasi klinik terwujud sebagai akibat adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah perifer ke jaringan sekitar. Infeksi virus Dengue dapat bersifat asimtomatik atau simtomatik yang meliputi panas tidak jelas penyebabnya (Dengue Fever, DF), Demam Berdarah Dengue (DBD), dan demam berdarah dengan renjatan (DSS) dengan manifestasi klinik demam bifasik disertai gejala nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, dan timbulnya ruam pada kulit.5 7. Patogenesis Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna; penelitian epidemiologi memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe 2, 3, dan 4 sekunder . ada bukti bahwa antibody non-netralisasi menaikkan infeksi seluler dan memperbesar keparahan penyakit. Virus dengue memperagakan pertumbuhan yang diperbesar pada biakan fagosit mononuclear manusia yang disiapkan dari donor imun dengue atau dalam biakan yang ditambahkan dengan antibody dengue non-netralisasi. Kera yang terinfeksi berikutnya atau mendapat sejumlah kecil antibody penguat menderita viremi yang diperkuat. Penelitian retrospektif serum dari ibu manusia yang bayinya mendapat demam berdarah dengue atau penelitian prospektif pada anak yang sedang mendapat infeksi dengue berikutnya telah menunjukkan bahwa sirkulasi antibodi yang memperkuat infeksi pada saat infeksi merupakan factor resiko terkuat untuk perkembangan penyakit berat. Bahkan kadar rendah antibody netralisasi, apaah dari infeksi homotip sebelumnya pada ibu atau infeksi heterotip pada anak melindungi bayi atau anak dari demam berdarah dengue, pada awal stadium akut infeksi dengue sekunder, ada aktivasi cepat sistem komplemen. Selama syok, C1q, C3, C4, C5-C8 darah, dan proaktivator C3 mengalami depresi dan kecepatan katabolic C3 naik. Koagulasi darah dan sistem fibrinolitik diaktifkan, dan kadar factor XII (factor Hageman) depresi. Tidak ada mediator spesifik permeabilitas vaskuler pada demam berdarah dengue yang telah diidentifikasi. Koagulasi intravascular tersebar ringan, cedera hati, dan trombositopenia dapat menimbulkan perdarhan secara sinergis. Cedera kapiler memungkinkan cairan, elektrolit, protein, dan pada beberapa keadaan, sel darah merah bocor ke dalam ruang ekstravaskuler. Penyebaran internal kembali cairan ini, bersama dengan deficit yang disebabkan oleh puasa, kehausan, dan muntah, menimbulkan hemokonsentrasi, hipovolemia, kerja jantung bertambah, hipoksia jaringan, asidosis metabolic, dan hiponatremia.5 Bilamana volume intravaskular menurun dengan cepat (10-20%) akan terjadi mekanisme kompensasi sbb:1 · Tekanan darah vena dan atrium kanan akan menurun karena berkurangnya volume darah. Keadaan ini kemudian akan diperberat bilamana terjadi vasokonstriksi yang menyeluruh · Sebagai mekanisme kompensasi menurunnya isi sekuncup akan dijumpai takikardi · Tekanan nadi dan tekanan darah sistolik menurun karena isis sekuncup. Tekanan diastolik mungkin menggi karena vasokonstriksi · Menurunnya jumlah aliran darah ke organ-organ tubuh akan menimbulkan iskemia menyeluruh. · Berkurangnya aliran darah akan menimbulkan iskemia jaringan, meningkatkan metabolisme anaerobuik dengan hasil akhir tertimbunnya asam laktat dan asam amino dan asam fosfat di jaringan. Hal ini menimbulkan asidosis metabolisme yang dapat menyebabkan matinya sel. Hipoksia dan asidosis metabolik menimbulkan gangguan fungsi kontraktilitas otot jantung sehingga darah jantung menurun, tekanan darah semakin menurun. Tekanan darah makin menurun mengakibatkan semakin buruknya perfusi jaringan. Hipoksia dan asidosis metabolik menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena pulmonalis, hal ini menimbulkan peninggian tahanan pulmonal yang menganggu perfusi dan pengemabangan paru. Akibatnya terjadi kolaps jaringan paru, kongesti pembuluh darah paru, edema intersitial dan alveolar. Maka pada penderita dengan renjatan hipovolemik terlihat gangguan pernapasan. Iskemia pada otak akan menimbulkan edema otak dengan segala akibatnya. Pada ginjal, iskemia ini akan menimbulkan gagal ginjal. · Sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipovolemia, cairan intersitial akan masuk ke dalam pembuluh darah sehingga hematokrit menurun · Karena cairan intersitial jumlahnya mengurang akibat masuknya cairan tersebut ke dalam ruang interselular, maka penambahan cairan sangat mutlak diperlukan untuk memperbaiki gangguan metabolik dan hemodinamik · Pada renjatan juga terjadi peninggian sekresi kortisol 5-10 kali lipat. Kortisol mempunyai efek inotropik positif pada jantung dan memperbaiki metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein · Sekresi renin dari sel-sel juksta glomerulus ginjal meningkat sehingga pelepasan angiotensin I dan II juga meningkat. Angiotensin II ialah vasokontriksi yang kuat dan merangsang pelepasan kalium oleh ginjal. · Meningginya sekresi norepinefrin akan menimbulkan vasokonstriksi , selain itu juga mempunyai efek inotropik positif pada miokardium. Epinefrin disekresikan hampiir tiga kali daripada norepinefrin, terutama menyebabkan peninggian isi sekuncup dan denyut jantung. Kerja kedua katekolamin ini dipotensikan oleh aldosteron · Peninggian sekresi hormon antidiuretik dan hipofisis posterior mengakibatkan resorpsi air di tubulus distal meningkat.1 8. Manifestasi Klinis Syok hipovolemik ditandai oleh hipotensi; nadi yang cepat dan lemah; kulit pucat, dingin, dan lembab; rasa haus intens; pernapasan cepat; dan gelisah. Volume urin sangat berkurang. Namun, temuan-temuan di atas tidak selalu ada. Syok hipovolemik sering dibagi lagi menjadi kategori-kategori berdasarkan kausanya. Pemakaian istilah syok hemoragik, syok traumatic, syok bedah, dan syok luka bakar memiliki manfaat karena, meskipun terdapat kemiripan di antara berbagai bentuk syok tersebut, masing-masing memiliki kekhasan tersendiri.6 Pada syok hipovolemik dan bentuk-bentuk lain syok, perfusi jaringan yang kurang memadai menyebabkan peningkatan glikolisis anaerob, disertai pembentukan sejumlah besar asam laktat. Pada kasus berat, kadar laktat darah meningkat dari nilai normal sekitar 1mmol/ L menjadi 9 mmol/ L atau lebih. Asidosis laktat yang terjadi menekan miokardium, menurunkan responsivitas pembuluh arah perifer terhadap katekolamin. Dan dapat cukup berat hingga menyebabkan koma.6 Manifestasi syok pada anak terdiri atas: · Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks. · Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lamban laun kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral · Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembun sampai tidak teraba oleh karena kolaps sirkulasi · Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang · Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis.7 9. Komplikasi Komplikasi akibat penanganan yang tidak adekuat dapat menyebabkan asidosis metabolic akibat anaerob yang terjadi karena kekurangan oksigen. Hipoksia/iskemia yang lama pada hipoise dan ginjal dapat menyebabkan nekrosis hipofise (sindrom Sheehan) dan gagal ginjal akut. Koagulasi intravascular yang luas (DIC) disebabkan oleh lepasnya tromboplastin dari jaringan yang rusak. Kegagalan jantung akibat berkurangnya aliran darah koroner. Dalam fase ini kematian mengancam. Transfuse darah saja tidak adekuat lagi dan jika penyembuhan fase akut terjadi, sisa-sisa penyembuhan akibat nekrosis ginjal dan /atau hipofise akan timbul.8 10. Penatalaksanaan Penatalaksanaan syok hipovolemik 1. Pemantauan. Parameter dibawah ini harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan: denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, tekanan vena central (CVP), dan pengeluaran urin. Pengeluaran urin yang kurang dari 30 ml/jam (atau 0,5 ml/kog/jam) menunjukan perfusi ginjal yang tidak adekuat. 2. Penatalaksanaan pernafasan. Pasien harus diberikan aliran oksigen yang tinggi melalui masker atau kanula. Jalan napas yang bersih harus dipertahankan dengan posisi kepala dan mandibula yang tepat dan aliran pengisapan darah dan secret yang sempurna. Penentuan gas darah arterial harus dilakukan untuk mengamati ventilasi dan oksigenisasi. Jika ditemukan kelainan secara klinis atau laboratorium analisis gas darah, pasien harus diintubasi dan diventilasi dengan ventilator yang volumenya terukur.volume tidal harus diatur sebesar 12 sampai 15 ml/kg, frekuensi pernapasan sebesar 12-16 permenit. Oksigen harus diberikan untuk mempertahankan PO2 sekitar 100 mmHg. Jika pasien “melawan” terhadap ventilator, maka obat sedative atau pelumpuh otot harus diberikan. Jika cara pemberian ini gagal untuk menghasilkan oksigenase yang adekuat atau jika fungsi paru-paru menurun harus ditambahkan 3-10 cm tekanan ekspirasi akhir positif. 3. Pemberian Cairan a. Penggantian cairan harus dimulai dengan memasukkan larutan ringer laktat atau larutan garam fisiologis secara cepat. Kecepatan pemberian dan jumlah aliran intravena yang diperlukan bervariasi tergantung beratnya syok. Umumnya paling sedikit 1 sampai 2 liter larutan ringer laktat harus diberikan dalam 45-60 menit pertama atau bisa lebih cepat lagi apabila dibutuhkan. Jika hipotensi dapat diperbaiki dan tekanan darah tetap stabil, ini merupakan indikasi bahwa kehilangan darah sudah minimal. Jika hipotensi tetap berlangsung. Harus dikatakan transfuse darah pada pasien-pasien ini secepat mungkin, dan kecepatan serta jumlah yang diberikan disesuaikan dengan respons dari paramerter yang dipantau. · Darah yang belum dilakukan reaksi silang atau yang bergolongan O-negatif diberikan terlebih dahulu, apabla syok menetap dan tidak ada cukup waktu (kurang lebih 45 menit) untuk menunggu hasil reaksi silang selesai dikerjakan. · Segera setelah hasil reaksi silang diperoleh, jenis golongan darah yang sesuai harus diberikan. · Koagulopati delusional dapat timbul pada pasien yang mendapat transfuse darah yang massif. Darah yang disimpan tidak mengandung trombosit hidup dan factor pembekuan V dan VI. Satu unit plasma segar beku harus diberikan untuk setiap 5 unit whole blood yang diberikan. Hitung jumlah trombosit dan status koagulasi harus dipantau terus menerus pada pasien yang mendapat terapi transfuse massif. · Hipotermia juga merupakan konsekuensi dari transfuse massif. Darah yang akan diberikan harus dihangatkan dengan koil penghangat dan suhu tubuh pasien dipantau. b. Celana militer anti syok (MAST= Military Antishock Trousers). Tekanan berlawanan eksternal dengan pakaian MAST bermanfaat sebagai terapi tambahan pada terapi penggantian cairan. Pakaian ini meredistribusikan darah dari ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral dan mengurangi aliran darah arterial ke tungkai dengan memperkecil diameter pembuluh darah. Kontraindikasi: edema paru yang bersamaan, kehamilan (padakompartemen abdomen) c. Vasopresor. Pemakaian vasopresor pada penanganan syok hipovolemik akhir-akhir ini kurang disukai. Alasannya adalah bahwa hal ini akan lebih mengurangi perfusi jaringan. Pada kebanyakan kasus, vasopresor tidak boleh digunakan: tetapi vasopresor mungkin bermanfaat pada beberapa keadaan. Vasopresor dapat diberikan sebagai tindakan sementara untuk meningkatkan tekanan darah sampai didapatkannya cairan pengganti yang adekuat. Hal ini terutama bermanfaan bagi pasien yang lebih tua dengan penyakit koroner atau penyakit pembuluh darah otak yang berat. Zat yang digunakan adalah norepinefrin 4 sampai 8 mg yang dilarutkan dalam 500 ml 5% dekstrosa dalam air (D5W), atau metaraminol, 5 sampai 10 mg yang dilarutkan dalam 500 ml D5W, yang bersifat vasokonstriktor predominan dengan efek yang minimal pada jantung. Dosis harus disesuaikan dengan tekanan darah.9 Syok hipovolemik terjadi akibat hilangnya cairan dari kompartemen vascular atau ekstravaskular. Pada syok ini kekurangan volume darah menyebabkan mekanisme kompensasi menimbulkan vasokonstriksi perifer yang hebat. Pemberian obat adrenergic yang bekerja pada reseptor α akan meningkatkan tekanan darah, tetapi memperhebat vasokonstriksi dan sangat mengurangi aliran darah ke ginjal, hati, dan organ vital lainnya. Tindakan pertama pada pengobatan jenis syok adalah perbaikan volume darah (dengan darah,plasma, atau air dengan elektrolit); hal ini akan mengurangi tonus simpatis dan memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Di samping itu dilakukan koreksi factor-faktor penyebabnya. Jadi obat adrenergic tidak selalu diperlukan pada syok hipovolemik; bahkan dapat memperburuk perfusi ke jaringan.10 11. Prognosis Demam dengue tanpa komplikasi merupakan penyakit ringan. Fatalitas kasus DHF dan DSS adalah 2%. Kematian telah terjadi pada 40-50% penderita dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif yang cukup kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan hidup secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif.5,11 12. Diagnosis Banding 1) Syok Distributif Status syok yang terjadi akibat dari vasodilatasi (perubahan tahanan perifer) massif dan hebat sebagai kebalikan dari hipovolemia atau disfungsi jantung, mengacu pada tahanan rendah (perubahan tahanan perifer) atau syok distributive. Istilah “syok distributive” digunakan karena volume darah sentral didistribusikan kembali ke vascular perifer, khususnya vena-vena. Gejala mencakup hipotensi, takikardia, kulit dingin lembab-berkeringat, demam, oliguria, bising usus hipoaktif, peningkatan kadar hematokrit, ansietas, dan takipnea. Kategori kondisi yang mengakibatkan vasodilatasi hebat atau peningkatan kapasitas vascular adalah depresi pusat vasomotor, sepsis dan anafilaksis.12 Pada syok distributif, perfusi jaringan yang tidak memadai disebabkan oleh resistensi vascular sistemik menurun (SVR) dan cardiac output yang tinggi. Perubahan awal terutama ditandai dengan evolusi perubahan kontraktilitas dan pelebaran pembuluh darah perifer. Syok septik dini (hangat atau hiperdinamik) menyebabkan darah diastolik berkurang, tekanan nadi melebar, memerah, ekstremitas hangat, dan pengisian kapiler cepat dari vasodilatasi perifer, dengan peningkatan kompensasi curah jantung. Pada syok septik akhir (dingin atau hypodynamic), kontraktilitas miokard menggabungkan dengan kelumpuhan pembuluh darah perifer untuk menginduksi penurunan tekanan bergantung pada perfusi organ. Hasilnya adalah hipoperfusi organ penting seperti hati, otak, dan hati. 12 Selama syok distributif, pasien beresiko untuk sistem disfungsi organ beragam yang dapat berlanjut menjadi gagal organ multiple (MOF). Kematian dari sepsis berat meningkat tajam dengan durasi sepsis dan jumlah organ gagal. Syok neurogenik (depresi pusat vasomotor). Syok neurogenik juga diketahui sebagai syok spinal adalah akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Tous vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya, kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik. Salah satu contohnya adalah kondisi cedera kepala yang secara langsung atau tidak langsung berefek negative pada area medulla batang otak.12 Syok septic. Syok septic didefinisikan sebagai kondisi kolaps vascular hebat dan berat akibat infeksi sistemik yang umumnya disebabkan oleh organism gram-negatif. Berkembangnya statis syok yang berkaitan dengan infeksi diyakini berhubungan dengan penglepasan endotoksin dari dinding sel bakteri. Untuk alas an ini, secara umum syok septic mengacu pada syok endotoksin atau sederhananya syok toksik. Syok toksik biasanya disebabkan oleh organism gram-negatif tetapi juga dapat disebabkan oleh virus, fungi, atau basilus gram-positif. Bakteri gram-positif menghasilkan toksin pada permukaan dinding selnya, yang disebut eksotoksin. Syok akibat organism ini disebut syok eksotoksik.12 Ada tiga pola respon atau keadaan yang dapat diidentifikasi yang dihubungkan dengan syok septic. Keadaan pertama, mengacu pada keadaan hiperdinamik, menunjukan gambaran infeksi akut yang umum yaitu menggigil, demam, kulit hangat, kering, dan kemerahan (karenanya disebut istilah “syok pink”). Gambaran fisiologis keadaan hiperdinamik yang menonjol adalah curah jantung tinggi, yang diakibatkan oleh respons simpatis kompensator yang utuh dan berfungsi terhadap penurunan tahanan perifer. Keadaan kedua atau intermediet pada syok septic disebut normodinamik dan menunjukkan periode transisi di antara keadaan pertama dan ketiga. Ini adalah pola atau keadaan dimana efek-efek penyebaran endotoksin mulai dimanifestasikan oleh tanda dan gejala seperti hipotensi, oliguria, kulit dingin dan rasa haus. Keadaan yang terakhir disebut hipodinamik dan dapat disamakan dengan tahap syok hemoragi yang ireversibel. Manifestasi klinisnya adalah kulit yang dingin, lembab, dan berkeringat; anuria; hipotensi berat; takikardia dan takipnea; asidosis metabolic. Bila syok septic telah berlanjut pada tahap ini, kelangsungan hidup diragukan dan tindakan terapeutik biasanya sia-sia.12 Syok anafilaktik. Bentuk syok yang terjadi drastic, akut, dan cepat. Bentuk syok ini diakibatkan oleh reaksi antigen-antibodi yang bila antigen-dimana individu telah tersensitisasi sebelumnya-memasuki tubuh tersebut.12 Toxic shock syndrome. Syok ini merupakan penyakit multisistemik akut yang dimediasi oleh toksin, dan dipicu oleh infeksi baik staphylococcus aureus maupun streptococcus pyogenes. Penatalaksanaan dalam syok distributif pada dasarnya sama dengan syok lainnya. Karena termasuk kondisi gawat darurat, maka yang pertama kali dilakukan adalah tatalaksana suportif untuk mencegah syok berkembang ke tahap yang lebih buruk. Selanjutnya, tatalaksana akan lebih diberatkan ke arah eliminasi etiologi, dimana tentunya akan cenderung disesuaikan dengan faktor pencetus syok distributif itu sendiri 1. Penatalaksanaan supportif Hal utama yang perlu diperhatikan di sini adalah konsekuensi dari SIRS, sepsis, maupun bentuk syok distributif lainnya, yakni kegagalan organ. Seiring berjalannya waktu, pasien SIRS/sepsis akan menerima konsekuensi yang fatal apabila tidak mendapat terapi penunjang yang tepat. 12 · Oksigenasi Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda pasien mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan. 9 · Terapi cairan Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat) maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal karena mudah didapatkan, tetapi perlu diberikan dalam jumlah banyak. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin rendah pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar HB yang dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar HB semata, melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, serta keuntungan dan kerugian pemberian transfusi. 12 · Vasopresor dan Inotropik Vasopresor diberikan apabila keadaan hipovolemik teratasi masih ditemukan kondisi hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram (mcg)/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang dapat digunakan dobutamin dengan dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase. 12 · Bikarbonat Pada SIRS terjadi hipoperfusi dengan konsekuensi terjadinya gangguan transpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi penurunan pH sel ke tingkat yang sangat rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH < 7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik. 12 · Disfungsi renal Gangguan fungsi renal pada syok distributif terjadi sebagai akibat buruknya perfusi ke organ tersebut. Dopamin dosis renal (1-3 mcg/kg/menit) terbukti tidak menurunkan mortalitas, untuk itu sebagai terapi pengganti dilakukan hemodialisis dan hemofiltrasi kontinu. 12 · Nutrisi Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah juga perlu dilakukan oleh karena berbagai penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses inflamasi dan penurunan mortalitas. 12 · Kortikosteroid Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan perbaikan syok dan disfungsi organ 2. Kontrol Kausa Hal terpenting dalam tatalaksana Syok distributif adalah menghilangkan faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi (khususnya sepsis). 11 · Antibiotik Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan serologi dan aspirasi perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat pada awal perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS. 12 · Pembedahan Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi berasal dari intra-abdomen. 12 · Kontrol kausa lainnya Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu dilakukan untuk mengontrol penyebab SIRS. 3. Terapi inovatif 12 · Modulasi imun Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal serta obat-obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem imun menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas pasien-pasien Sepsis. · Inhibitor NO Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor yang selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam tatalaksana MODS · Filtrasi darah Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan mengeluarkannya dari jaringan. · Manipulasi kaskade pembekuan darah Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada pasien sebesar 6%. 2) Syok Kardiogenik Status syok yang secara langsung dapat dihubungkan dengan kerusakan atau penurunan curah jantung dianggap sebagai syok kardiogenik. Dua kategori kondisi yang dapat mengakibatkan syok berasal dari jantung: gagal pompa, adalah ketidakmampuan jantung untuk berkontraksi secara efektif, dan penurunan aliran vena, yaitu ketidakmampuan darah memasuki jantung dalam jumlah yang cukup.13 Gagal pompa. Syok gagal pompa selalu dihubungkan secara langsung dengan gagal jantung, yang paling sering akibat infark miokard massif. Kondisi lain yang menyebabkan syok kardiogenik karena gagal pompa mencakup miokardiopati, toksisitas obat, dan disritmia. Mekanisme dimana infark jantung menyebabkan gagal pompa dihubungan dengan kerusakan miokard luas yang mengakibatkan penurunan besar pada curah jantung. Gagal pompa terjadi bila hampir setengah dari jaringan miokard tidak berfungsi.13 Penurunan aliran balik vena. Penurunan aliran balik vena adalah kategori syok kardiogenik yang tidak disebabkan oleh ketidakadekuatan volume sirkulasi tetapi oleh impedans actual aliran darah ke dalam jantung. Penurunan aliran balik akibat dari suatu kondisi seperti tamponade jantung, efusi pericardial akut, dan pergeseran mediastinal yang menekan jantung sehingga aliran ke dalam vena terganggu. Penurunan aliran balik vena selalu akibat dari penurunan curah jantung dan karenanya menurunkan tekanan darah dengan kerusakan jaringan dan perfusi organ.13 Syok kardiogenik terjadi jika kerusakan otot jantung > 40 %, sedangkan angka kematiannya > 80 %. Pada keadaan syok kardiogenik ini bisa juga terjadi infark yang baru pada infark miokard yang lama. Selain itu karena kerusakan iskemik dan nekrosis yang progresif menyebabkan terjadinya perburukan hemodinamik. Pada keadaan ini juga ditemukan kadar enzim-enzim jantung meningkat tinggi. Syok kardiogenik biasanya terjadi dalam situasi infark akut dinding anterior dan anteroseptal dengan infark baru atau lama di apeks. Disini terjadi obstruksi proksimal arteri koronaria desendens anterior kiri. Kebanyakan juga akibat penyakit pembuluh darah koroner. Langkah penatalaksaan syok kardiogenik : 1. Tindakan resusitasi segera Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk terapi definitive. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dobutamin atau noradrenalin tergantung pada derajat hipotensi harus diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dobutamin bias dikombinasikan dengan dopamine dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata. Intra aortic balloon counter pulsation (IABP) harus dikerjaka sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisa gas darah dan saturasi oksigen dalam memberikan CPAPS. EKG harus dimonitor secara terus menerus, dan peralatan defibrillator, obat anti aritmia, amiodaron dan lidokain harus tersedia. Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan STEMI jika diantisipasi keterlambatan angiografi > 2 jam. Pada syok kardiogenik karena infark miokard nonSTEMI yang menunggu kateterisasi inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan. 2. Menentukan secara dini anatomi koroner 3. Melakukan revaskularisasi dini PENUTUP Kesimpulan Demam berdarah dengue sering berlanjut menjadi dengue syok sindrom karena penanganan yang kurang memadai dan cepat. Dengue syok sindrom termasuk dalam syok hipovolemik yang membuat penderita menjadi hipotensi seluruh akral dingin dan denyut yang sangat meningkat. Pemberian cairan yang cukup dapat memperbaiki tanda-tanda kegawatan. Daftar Pustaka 1. Staf Pengajar Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Kuliah Ilmu Anak. Edisi 2. Jakarta: FKUI, 2000 2. Buku ajar respirologi anak; Nastiti N. Raharjoe, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2008. h. 51-69, 71-78, 98, 110-118, 125-131, 158-160, 162-176, 200-208, 214-226, 261-267. 3. Rampengan TH, Laurentz IR. Penyakit infeksi tropic pada anak. Jakarta: EGC, 1997. H. 136-55 4. World Health Organization. Demam berdarah dengue: diagnosis, pengobatan, pencegahan, dan pengendalian. Ed 2. Jakarta: EGC, 1999 5. Berhman RE, Kleigman RM, Arvin AM. Nelson: ilmu kesehatan anak vol 2. Ed 15. Jakarta: EGC, 2000. H. 1134-5, 1663-4 6. Mcphee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit. Ed 5. Jakarta: EGC, 2010. H. 348-9 7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2002 8. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009. H. 401-11 9. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC, 2000 10. FKUI. Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008. H. 79-80 11. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, White RTM. Lecture notes: penyakit infeksi. Ed 6. Jakarta: Erlangga, 2006. H. 160-4, 272-3 12. Eliastam M. Buku saku penuntun kedaruratan medis. Jakarta: EGC, 1998 13. Jong WD, Sjamsuhidajat. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC, 2005. H. 120 18


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.