Referat Gerdd New

April 4, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

LEMBAR PENGESAHAN Nama Mahasiswa : Santri Dwizamzami FN NIM Bagian : 030.08.216 : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Trisakti Judul Referat Pembimbing : Penyakit Refluks Gastroesofageal : dr. Adi Wijaya, Sp.PD Bogor, Desember 2012 Pembimbing dr. Adi Wijaya, Sp.PD 1 KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah saya dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RS Marzoeki Mahdi Bogor mengenai ”Penyakit Refluks Gastroesofageal”. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi. Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala-kendala yang saya hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. Adi Wijaya, Sp.PD sebagai dokter pembimbing dalam mengerjakan referat ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing saya selama di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam RS Marzoeki Mahdi. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada saya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi saya dan para pembaca. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca. Bogor, Desember 2012 Santri Dwizamzami F N 2 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ KATA PENGANTAR ............................................................................................. .......... DAFTAR ISI ...................................................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI .............................. ................................................ II.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOFAGUS………………………………… II.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI GASTER……………………………………. BAB III PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL …............................................ III.1 DEFINISI ...................................................................................................... III.2 EPIDEMIOLOGI .......................................................................................... III.3 ETIOLOGI ………………………… ........................................................... III.4 PATOFISIOLOGI ......................................................................................... III.5 MANIFESTASI KLINIS ............................................................................... III.6 DIAGNOSIS................................................................................................. III.7 DIAGNOSIS BANDING …......................................................................... III.8 PENATALAKSANAAN............................................................................... III.9 PROGNOSIS…............................................................................................. BAB IV KESIMPULAN.................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 1 2 3 4 5 5 7 12 12 12 12 14 15 16 18 19 23 24 25 3 BAB I PENDAHULUAN Penyakit Refluks Gastroesofagus/ Gastroesophageal reflux disease (GERD) didefinisikan sebagai gejala atau kerusakan mukosa esofagus akibat masuknya isi lambung ke esofagus. Hal ini biasanya disebabkan oleh perubahan sementara atau permanen pada barrier antara esofagus dan lambung. Perubahan pada barrier ini dapat disebabkan karena tidak berfungsinya lower esophageal sphincter (LES), efek iritan dari refluxate, klirens esofagus yang abnormal, hiatal hernia dan penundaan pengosongan lambung. Tubuh manusia hakikatnya mencari keseimbangan dalam segala bentuk. GERD adalah hasil sederhana ketidakseimbangan pH dalam jangka panjang. Ketika terlalu banyak makanan asam dikonsumsi, lambung tidak dapat mencerna secara lengkap. Makanan lebih yang tidak dicerna kemudian diubah menjadi sampah asam yang menyebabkan kejang perut atau kejang yang mengarah pada peningkatan produksi gas. Gas ini meningkatkan tekanan untuk membuka katup antara esofagus dan lambung sehingga asam lambung kembali ke esofagus. Perhatian terhadap Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dewasa ini terus meningkat sebagai salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang sering ditemukan. Di negara barat sekitar 7% dari populasi mengalami heart burn setiap hari dan sekitar 50% mengalami masalah ini sekali dalam sebulan. Insidensi terjadinya GERD, terutama di Indonesia meningkat dengan berubahnya gaya hidup dan juga persepsi dokter dalam memahami manifestasi klinis GERD dan juga adanya perkembangan dalam fasilitas untuk mendiagnosa seperti endoskopi. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki insidensi yang sangat tinggi dalam terjadinya GERD Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai definisi gastroesofageal refluks disease, epidemiologi, etiologi, gejala dan tanda klinis yang terkait, pemeriksaan yang dilakukan, dasar penegakkan diagnosis, tata laksana, serta prognosis pasien. 4 BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI II.1 Anatomi dan Fisiologi Esofagus Esofagus merupakan salah satu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan berdiameter 2 cm, terbentang dari hipofaring sampai cardia lambung, kira-kira 2-3 cm di bawah diafragma. Esofagus terletak posterior terhadap jantung dan trakea, anterior terhadap vertebra dan berjalan melalui lubang diafragma tepat anterior terhadap aorta.1 Pada kedua ujung esofagus, terdapat otot-otot spingter, diantaranya1 : • Krikofaringeal : Membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabutserabut otot rangka. Dalam keadaan normal berada dalam keadaan tonik, atau kontraksi kecuali waktu menelan. • Sfingter Esofagus bagian bawah / lower esophageal sphincter (LES) : Bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal, sfingter ini menutup kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau muntah. Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, yaitu1 : 1. Mukosa : Terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring bagian atas, dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam 2. Sub Mukosa : Mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. 3. Muskularis : Otot bagian esofagus, merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada separuh bagian bawah merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari campuran antara otot rangka dan otot polos. 4. Lapisan bagian luar (Serosa) : Terdiri dari jaringan ikat yang jarang, menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan, tidak adanya serosa mengakibatkan 5 penyebaran sel-sel tumor lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan kemungkinan bocor setelah operasi lebih besar. Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut-serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus yang dianggap merupakan saraf motorik. Selain persarafan ekstrinsik tersebut, terdapat juga jala-jala longitudinal (Pleksus Auerbach) dan berperan untuk mengatur peristaltik esofagus normal.1 Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental, bagian atas disuplai oleh cabang-cabang arteria tiroide inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan artetia bronkiales, sedangkan bagian sub diafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan frenika inferior.1 Peranan esofagus adalah menghantarkan makanan dan minuman dari faring ke lambung. Pada keadaan istirahat antara 2 proses menelan, esofagus tertutup kedua ujungnya oleh sfingter esofagus atas dan bawah. Sfingter esofagus atas berguna mencegah aliran balik cairan lambung ke esofagus (Refluks).2 Menelan Menelan merupakan suatu aksi fisologi kompleks, dimana makanan atau cairan berjalan dari mulut ke lambung. Juga merupakan rangkaian gerakan otot yang sangat terkoordinasi, dimulai dari pergerakan volunter lidah & diselesaikan refleks dalam faring dan esofagus. Pada saat menelan, sfingter esofagus atas membuka sesaat untuk memberi jalan kepada bolus makanan yang ditelan. Menelan menimbulkan gelombang kontraksi yang bergerak ke bawah sampai ke lambung. Hal ini dimungkinkan dengan adanya kerja sama antara kedua lapisan otot esofagus yang berjalan sirkuler dan longitudinal (gelombang peristaltik primer) dan adanya daya tarik gravitasi. Cairan yang diminum dalam posisi tegak akan mencapai cardia lebih cepat dari gelombang peristaltik primer. Tapi pada posisi berbaring (kepala di bawah), maka cairan akan berjalan sesuai dengan kecepatan gelombang peristaltik primer.2 Fase Menelan : 1. Fase Oral : Makanan yang dikunyah oleh mulut (bolus) didorong ke belakang mengenai dinding posterior faring oleh gerakan volunter lidah. 6 2. Fase Faringeal : Palatum mole & uvula menutup rongga hidung, laring terangkat dan menutup glotis, mencegah makanan masuk trakea. Kemudian bolus melewati epiglotis menuju faring bagian bawah dan memasuki esofagus. 3. Fase Esofageal : Terjadi gelombang peristaltik pada esofagus, mendorong bolus menuju sfingter esofagus bagian distal, kemudian menuju lambung. II.2 Anatomi dan Fisiologi Gaster Lambung merupakan suatu kantong yang terletak di bawah diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari kerongkongan . Fundus adalah bagian tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang berhubungan dengan duodenum.1 Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan. Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung tercampur. Lapisan terluar yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara perut dengan anggota tubuh lainnya.1 7 Gambar 1. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir, 5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus, 10.Duodenum Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu sel goblet (goblet cell), sel parietal (parietal cell), dan sel chief (chief cell). Sel goblet berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk memproduksi asam lambung ( Hydrochloric acid) yang berguna dalam pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm -3 asam lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.1 Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia, berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan 8 oleh Ca2+ dari susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renin susu yang berwujud cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.2 Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi lembut seperti bubur, disebut chime (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya, otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa dibelakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut dapat tercerna efektif setelah 2 samapi 5 jam, lambung kosong kembali.2 Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormone. Impuls parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormone saluran cerna terutama sekretin dan kholeistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral.2 Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5, yang mengandung pula enzim pencernaan, lender dan faktor intrinsic yang dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen yang tak aktif menjadi pepsin.2 Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan. Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan motilitas lambung serta pengosongannya, disini pun terjadi pengaturan oleh saraf maupun hormone. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).2 9 Fase sekresi sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf eferen, yang disitem saraf pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimalus langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G antrum. Melalui aliran darh, gastrin akan samapai pada sel parietal dan akan menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam klorida ini, histamine juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus. Secara tak langsung dengan pembebasan histamine ini gastrin dapat bekerja.2 Fase lambung, Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang masuk kedalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein, kofein atau lakohol, akan menimbulkan refleks kolinergik local dan pembebasan gastrin. Jika pH turun dibawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.2 Pada fase usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus duabelas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah lambung lainnya dilakukan oleh kholesitokinin pankreozimin, terutama jika kim yang banyak mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.2 Disamping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormone saluran cerna lainnya yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory polypeptide) menghambat sekresi HCl dari lambung dan kemungkinan juga merangsang sekresi insulin dari kelenjar pankreas.2 Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipotalamus tetapi juga di sejumlah organ lainnya antara sel D mukosa lambung dan usus halus serta kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung dan sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan turun (sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan). Disamping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah didaerah n. Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30%.2 10 Rangsang bau dan rangsang kecap Rangsang n. Vagus Degranulasi mastosit Rangsang lokal Rangsang Ganglion Pembebasan histamin Stimulasi sel G Pembebasan asetilkolin Pembebasan gastrin Stimulasi sel Pembebasan HCl Bagan 1. Pengaruh Sekresi Sel Parietal 11 BAB III PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL III.1 Definisi Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas3 Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktuwaktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama.3 GERD terdiri dari dua tipe, yakni : NERD ( Non-erosive Reflux disease ) dan ERD ( Erosive Reflux Disease )4 III.2 Epidemiologi Insidensi terjadinya GERD tinggi pada negara-negara barat dan saat ini makin banyak yang menaruh perhatian tentang GERD. Dilaporkan sebanyak 13,4% -16,3 % pasien menderita GERD di Taiwan, Malaysia, dan Jepang. Di FKUI, RSUPN Cipto Mangunkusumo Syam AF et al melaporkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi GERD dari 5,7 % pada tahun 1997 menjadi 25,18 % pada tahun 2002. III.3 Etiologi Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dari tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis refluksat dari lambung dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan - bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.3 12 Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 3,5: 1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier) Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES dengan akibat memperberat keadaan. Faktor hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.4,5 2. Mekanisme pembersihan esofagus Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut.4 3. Daya perusak bahan refluks Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.4 4. Isi lambung dan pengosongannya Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi.4 13 Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila3: • Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus • Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama. III.4 Patofisiologi Esofagus dan Gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrogard yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah ( 5 mm tanpa C D saling berhubungan Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esofagus) Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles • Esofagografi dengan barium Pada pemeriksaan ini diberikan kontras barium, diamati secara fluoroskopi jalannya barium dalam esofagus, peristaltik terutama bagian distal, bila ditemukan refluks barium dari lambung kembali ke esofagus maka hal itu dinyatakan sebagai GERD. Sering tidak menunjukkan kelainan pada kasus esofagitis ringan. Namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada : 1. 2. Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia Hiatus hernia • Pemantauan pH 24 jam Pengukuran pH pada esofagus bagian distal, dengan cara menempatkan mikroelektroda pada bagian distal esofagus, dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. 3 • Tes Provokatif 17 o Tes Bernstein : Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Bila larutan ini menimbulkan nyeri dada seperti yang biasa dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif.3 o Tes farmakologik/edrofonium : Menggunakan obat edrophorium yang disuntikkan IV untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometri untuk memastikan nyeri dada berasal dari esofagus.3 • Manometri esofagus Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal..3 • Sintigrafi Gastroesofageal Tes ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang di label dengan radio isitop yang tidak diabsorbsi, biasanya technetium . Sensitivitas dan spesifitas tes ini masih diragukan.3 • Test PPI Test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1- 2 minggu sambil meihat respons yang terjadi. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50 – 75% gejala yang terjadi. Test ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk pasien – pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm ( BB turun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esofagus/lambung) dan umur >40 tahun. III.7 Diagnosis Banding  Dispepsia : Dyspepsia adalah kumpulan keluhan yang dikaitkan dengan makan atau keluhan yang oleh pasien ataupun dokternya dikaitkan dengan gangguan saluran cerna bagian atas. Gejala dispepsia yang utama adalah rasa tidak nyaman pada perut terutama bagian perut atas.3 18  Esofagitis Korosif Esofagitis korosif adalah peradangan di daerah esofagus yang disebabkan oleh luka bakar karena tertelannya zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa kuat, dan zat organik. Esofagitis korosif mempunyai keluhan gejala sakit ketika menelan, muntah, dan sakit di ulu hati. 3  Angina Pektoris Angina pektoris merupakan suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia miokard yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan dan kemampuan pembuluh dara hkoroner menyediakan oksigen atau secukupnya untuk kokntraksi mmiokard. Gejalanya adalah sakit dada sentral retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher atau punggung. Angina pektoris di jadikan diagnosis banding karena GERD dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri di dada yang kadang – kadang disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang hipersensitif.4  Akalasia Akalasia merupakan suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristaltis korpus esofagus bagian bawah dan LES yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan. Gejala klnis subyektif yang terutama ditemukan adalah disfagia. Regurgitasi terjadi pada 70% kasus.Nyeri dada ditemukan pada 30 % kasus yang biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien.3 III. 8 Penatalaksanaan Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. terjadinya komplikasi..3 Sasaran terapinya adalah asam lambung, lapisan mukosa lambung. Strategi terapinya dengan menurunkan sekresi asam di lambung, mengurangi keasaman pada lambung, melapisi mukosa Tujuan terapi terapi GERD adalah menghilangkan gejala, menyembuhkan esofagitis (jika terjadi) dan untuk mencegah 19 lambung, menaikkan pH dan mengurangi terjadinya reflux, mempercepat pengosongan lambung, memperkuat LES, faktor barier antirefluks terpenting. Terapi untuk GERD dapat dibedakan menjadi terapi tanpa nonfarmakologi atau modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis atau medikamentosa, terapi bedah, terapi endoskopik. 1. Terapi Non Medikameontosa, yaitu modifikasi gaya hidup yang dilakukan dengan cara : • Mengurangi berat badan pada pasien yang kegemukan • Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen. • Meninggikan posisi kepala saat tidur • Menghindari makan sebelum tidur, dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus. • Berhenti merokok dan konsumsi alkohol, karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel. • Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan, karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung. • Menghindari makanan seperti coklat, pepermint, teh, kopi, dan minuman bersoda, karena dapat menstimulasi sekresi asam. • Menghindari konsumsi obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonis beta adrenergik, progesteron.1 2. Terapi medikamentosa 3: Dengan 2 pendekatan yaitu step up dan step down, • Metode step up menggunakan obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2 ) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan golongan obat penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan terapi lebih lama (penghambat pompa proton/ PPI ). • Metode step down pengobatan dimulai dengan PPI dan apabila berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. 20 Gambar 3. Strategi pengobatan GER Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa :  Antasid Golongan obat ini cukup efektif dan aman, sebagai buffer terhadap HCl, dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah tapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.  Antagonis reseptor H2 Sebagai penekan sekresi asam, golongan ini efektif dalam pengobatan GERD jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus, golongan ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. (1) Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg (2) Ranitidin : 4 x 150 mg (3) Famotidin : 2 x 20 mg (4) Nizatidin : 2 x 150 mg  Obat-obat prokinetik Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. (1) Metoklopramid : 3 x 10 mg (2) Domperidon : 3 x 10-20 mg (3) Cisapride : 3 x 10 mg  Sukralfat ( aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat ) Obat ini tidak punya efek langsung terhadap asam lambung, obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di 21 esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu, cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal. Dosis 4x1 gram.  Penghambat pompa proton / PPI Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, obat ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. - Omeprazole : 2 x 20 mg. - Lansoprazole : 2 x 30 mg. - Pantoprazole : 2 x 40 mg. - Rabeprazole : 2 x 10 mg. - Esomeprazole : 2 x 40 mg. Golongan obat Antasid Prokinetik Antagonis reseptor H2 Antagois reseptor H2 + prokinetik Antagonis reseptor H2 dosis tinggi Penghambat pompa proton Pembedahan 3. Terapi bedah Mengurangi gejala +1 +2 +2 +3 +3 +4 +4 Penyembuhan lesi esofafitis 0 +1 +2 +3 +3 +4 +4 Mencegah komplikasi 0 0 +1 +1 +2 +3 +3 Mencegah kekambuhan 0 +1 +1 +1 +2 +4 +4 Table 2 : Efektifitas terapi obat-obatan Pembedahan antirefluks, yaitu fundus lambung dibungkus mengelilingi esofagus ( fundoplikasi ), meningkatkan tekanan sfingter bagian bawah dan sebaiknya dipertimbangkan pada kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak secara penuh responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang tidak menguntungkan dan gagal. Juga diindikasikan apabila terjadi striktur yang berulang. 22 4. Terapi endoskopi : Indikasi terapi endoskopi pada GERD adalah untuk penderita GERD yang tidak memerlukan terapi pembedahan yang mengalami keadaan4 :  Peristaltik yang buruk dengan refluks yang banyak  Pasien muda yang gagal dengan terapi medikamentosa III.9 Prognosis Prognosis GERD sangat baik, sekitar 80-90% yang terkena dapat sembuh dengan bantuan antasid. Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan pada akhirnya Ca Esofagus. BAB IV KESIMPULAN 23 Penyakit refluks gastroesofageal adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus. Penyakit ini merupakan gejala-gejala atau kerusakan jaringan yang terjadi sekunder akibat refluks isi lambung. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik tidak banyak ditemukan yang khas. Namun terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis. Pilihan terapi GERD termasuk perubahan gaya hidup (misalnya, modifikasi diet, posisi tubuh yang benar selama dan setelah makan), terapi farmakologi, terapi bedah, dan terapi endoskopi. Prognosis GERD sangat baik, dimana 80 – 90% pasien dapat sembuh dengan pengobatan yang benar. DAFTAR PUSTAKA 24 1. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. hal. 324-7 2. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta : EGC. 2001. hal. 456 – 98. 3. Makmun,D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, 2007. hal. 315 – 9. 4. Peter J Kahrilas MD. Gastroesofageal Reflux Disease.Available at: www.NEJM.com. Accessed on December 22, 2012. 5. Lelosutan HSAR. Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: JC Institute. 2009. hal.1-7. 6. P Gorecki, M.D. Definition, Epidemiologi, and pathogenesis GERD. Available at: www.ncbi.nlm.nih.gov. Accessed on December 22, 2012. 25


Comments

Copyright © 2025 UPDOCS Inc.