BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Islam awal, yang memadukan prinsip-prinsip ini dan melaksanakannya sesuai dengan daya dinamis dan fleksibilitas Islam, berkembang selama dua abad menjadi suatu peradaban yang kompleks. Kemajuan sosial, dan politik, pencerahan agama dan pencapaian ilmu hadir sebagai ciri khas integral dari revolusi Islam. Keunggulan Islam yang berlipat ganda telah menjadi mercusuar bagi abad dua puluh yang berperadaban, memberikan inspirasi kepada para sarjana dari berbagai bangsa dan agama.1 Tetapi perkembangan selama berabad-abad tersebut seakan meredup dimulai pada abad ke-16 M sampai pada permulaan abad ke-20 M. Masamasa itu merupakan masa suram dari kekhalifahan Turki Usmani menuju kehancuran imperiumnya yang membentang dari jazirah Arab sampai dengan sebagian daratan Eropa Timur. Masa kemunduran Islam merupakan masa kemajuan dari bangsa Eropa yang telah mampu mengungguli peradaban Islam baik dalam teknologi, politik, maupun sosialnya. Bagi Ibn Khaldun, negara Islam, sebagaimana semua negara yang stabil dan baik, merupakan perpaduan antara kerajaan (mulk) dan negara yang berdasarkan syariah. Pemerintahan semacam ini terwujud pada semua kesultanan masa ituPemerintahan semacam ini terwujud pada semua kesultanan masa itu, dan juga pada Imperium Utsmani, yang dalam satu hal adalah ahli waris dari perkembangan politik Islam secara keseluruhan. Pertama-tama, imperium ini merupakan kerajaan dinasti, dengan loyalitas yang terpusat pada seorang individu-atau tepatnya sekelompok individu, sebuah keluarga. Menurunkan seorang sultan yang dipandang tidak mampu memerintah dan dinyatakan tidak mampu oleh para penjaga hukum adalah suatu yang dianggap sah, tetapi di sini terdapat perkecualian bahwa orang1 Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2000) hlm. 1-2 1 orang yang memberontak tidak pernah mempersoalkan hak keluarga ‘Utsman untuk memerintah.2 Di dalam sebuah imperium yang sangat besar dan majemuk, memelihara kesatuuan pelbagai komunitas yang berbeda-beda membutuhkan penggunaan kekuasaan sultan secara konstan dan piawai untuk mengatur pelbagai kepentingan. Akan tetapi, bahkan pada puncak kekuasaan Imperium ‘Utsmani, di masa pemerintahan Sulaiman Agung, tidak muncul suara-suara tidak puas yang mengingatkan sultan dan para menterinya tentang betapa rapuhnya struktur pemerintahan, dan kenyataannya mulai awal abad ke-17 M melemahnya kekuatan imperium ini tampak jelas.3 Sepertinya pembaharuan-pembaharuan para ahli politik Islam sudah sangat terlambat melakukan perombakan struktur serta sistem yang ada pada saat itu. Sudah sangat sulit melakukan reformasi sistem itu karena sudah begitu kompleknya persoalan yang dialami Imperium ‘Utsmani yang dikarenakan rapuhnya struktur pemerintahannya. Pada makalah ini akan dijelaskan pembaharuan yang pernah dilontarkan oleh para ahli politik Islam pada masanya, khususnya adalah Rasyid Ridha. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah riwayat hidup dari Rasyid Ridha? 2. Bagaimana pemikiran dari Rasyid Ridha pada masa kemunduran Islam? 3. Bagaimanakah analisis terhadap pemikiran Rasyid Ridha? 2 3 Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004) hlm. 42 Ibid., hlm. 58 2 BAB II RIWAYAT HIDUP Sayyid Muhammad Rasyid Ridha lahir pada hari Rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantai Laut Temgah, sekitar 3 mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon. Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki Usmani. Sayyid Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin alQalamuni adalah murid terdekat Muhammad Abduh. Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW dari keturunan alHusayn, putra Ali ibn Abi al-Thalib dengan Fathimah, putri Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, Ridha menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.4 Semasa kecil dan mencapai usia tujuh tahun ia dimasukkan ke madrasah tradisional yang disebut Kuttab di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Quran. Beberapa tahun setelah menamatkan pelajarannya di Kuttab, Ridha meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtida’iyyah al-Rusydiyyah di Tripoli di mana ia diajarkan ilmu nahwu, sharaf, tauhid, fiqh, ilmu bumi, dan matematika. Karena tujuan madrasah milik pemerintah Turki ini untuk mempersiapkan sumber daya manusia bagi pemerintah, maka Ridha keluar dari madrasah tersebut karena ia enggan menjadi pegawai pemerintah. Di tahun 1882 M/ 1300 H, ia meneruskan pelajaran di Al-Madrasah AlWataniyah Al-islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh Al-syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam Libanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern yang digulirkan oleh al-Sayyid Jamal al-Din al Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.5 Namun, madrasah tersebut tidak berumur panjang karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Usmani .6 4 5 6 A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar (Jakarta:Erlangga) hlm. 26 Ibid., hlm. 27 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hlm. 69 3 Rasyid Ridha memiliki perhatian pada gerakan tarekat, dan bergaul dengan berbagai penganut tarekat, terutama tarekat naqsyabandiyah. Tetapi tidak lama kemudian ia menjadi sangat kecewa dengan golongan-golongan tarekat tersebut. Alasan utama karena ritual dan cara mereka berzikir dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar.alasan yang lain mungkin karena ia telah berkenalan dengan aliran pemurnian Islam dari Afgani. Karena itulah ia berubah memusuhi penganut-penganut tarekat.7 Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi hubungan dengan Al-syaikh Husain Al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah Al-Urwah Al-Wustqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istanbul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid terdekat Al-Afghani ini.8 Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.9 Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Ridha bertemu pertama kali dengan Abduh pada akhir tahun 1882 sewaktu Abduh diusir dari Mesir dan datang ke Beirut.10 7 8 Drs. Muhammad Azhar, MA, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hlm. 107 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm. 70 9 http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam 10 H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia) hlm. 122 4 Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di negeri gurunya. Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, Al-Manar. Majalah ini banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh.11 Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya. Setelah menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah AlManar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar. Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir AlManar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran.12 Sepeninggal Abduh, Ridha melanjutkan apa yang telah dirintis bersamasama gurunya, yakni pembaharuan keagamaan, dengan meneruskan penerbitan majalah Al-Manar, dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, Al-Manar. 11 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm. 70 12 http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam 5 Selain itu Ridha juga lebih aktif melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik dunia Islam.13 Di tahun 1909 ia pergi ke Istanbul meminta sokongan dan bantuan tetapi tidak berhasil. Usahanya di Kairo akhirnya berhasil, dan di tahun 1912 dapat didirikan sekolah yang dimaksud dengan nama Madrasah Al-Da’wah wa AlIrsyad. Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu pecahnya Perang Dunia 1. Sewaktu masih di tanah airnya, Rasyid Ridha pernah memasuki lapangan politik dan setelah pindah ke Mesir atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah ia mulai bermain politik. Ia meninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal Suez.14 13 H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hlm. 123 14 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm. 71-72 6 BAB III PEMIKIRAN Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha, tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Ia berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaranajaran Islam yang sebenarnya. Dalam islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat. Diantara bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedangkan kebahagiaan di akhirat dan dunia diperoleh, melalui hukum alam yang diciptakan tuhan.15 Rasyid Ridha mengakui terdapatnya paham fatalisme di kalangan umat Islam. Ia sepaham dengan koleganya, Abd Al-Rahman Al-Kawakibi, bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam ialah paham fatalisme itu. Dan selanjutnya salah satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah paham dinamika yang terdapat di kalangan mereka. Salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksudkan olehnya bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama.16 Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha ialah Negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala Negara ialah khalifah. Karena khalifah mempunyai kekuasaan legislatif, maka harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantupembantunya yang utama dalam soal memerintah umat.17 Khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem 15 Dr. I.A. Al-‘adawi, Rasyid Ridha, Al-Imam Al-Mujahid (Kairo; Maktabah Misr) hlm. 154 16 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm. 73-74 17 Ibid., hlm. 74-75 7 pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum Perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.18 Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme bertentangan dengan paham persatuan umat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi terciptanya persaudaraan yang tunduk di bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh seorang khalifah.19 Adapun pemikiran politik Rasyid Ridha terlihat di dalam karyanya Alkhilafah au al-imamah al-uzhma berpendapat bahwa jabatan khilafah perlu dihidupkan kembali dengan membentuk ahl al-hall wa al-aqd. Kelompok ini bertugas mendirikan pemerintahan yang mengatur kemaslahatan umat Islam dan semua umat manusia. Lebih jauh, ia menghendaki agar khalifah adalah orang yang ahli fiqh (faqih).20 Kualifikasi calon khalifah, Ridha mengutip Al-Mawardi yang mengatakan, bahwa seorang khalifah haruslah memiliki sifat adil, berilmu dan dapat berijtihad, sehat panca inderanya, sehat anggota badannya, berpandangan luas dan berasal dari suku Quraisy berdasarkan hadits Nabi: al-Aimmat min al-Quraisy.21 Di antara syarat-syarat tersebut Ridha memberi tekanan pada syarat terakhir. Alasan yang dikemukakan karena banyak riwayat yang mendukung persyaratan ini dan tidak pernah diperselisihkan oleh Ahl al-Sunat baik Arab maupun ‘ajam.22 Namun demikian, seandainya tidak mungkin dari orang Quraisy, maka, seorang yang akan dipilih jadi khalifah hendaknya memiliki sifat-sifat dan watak seperti orang Quraisy.23 Khalifah dipilih oleh para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd yang oleh Ridha 18 19 20 73 21 22 23 Ibid., hlm. 18-19 Ibid., hlm. 7 Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 292 Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 86 Ibid., hlm. 87 Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma (Kairo: al-Manar, 1341 H) hlm. 8 disebutnya ahl al-ikhtiyar (orang-orang yang berhak memilih).24 Tetapi Ridha membenarkan sistem pengangkatan putra mahkota oleh khalifah. Ridha mengajukan syarat-syarat bagi ahl al-halli wa al-‘aqd yang dikutipnya dari AlMawardi. Pertama, adil dengan segala syaratnya. Kedua, berilmu sehingga ia dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, mempunyai wawasan dan kebijakan dalam menentukan siapa yang lebih pantas menjadi khalifah dan lebih mampu menegakkan kemaslahatan.25 Kewajiban pembentukan khalifah ini, menurut Ridha, bahwa khilafah, imamat al-uzdma dan imamat al-mu’minin adalah kepala pemerintahan untuk menegakkan urusan agama dan urusan dunia. Batasan ini sejalan dengan pengertian imamah yang dikemukakan al-Taftazani dan al-Mawardi. Menurut alTaftazani, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yang diwarisi dari Nabi. Dalam pada itu al-Mawardi berpendapat bahwa imamah adalah pengganti Nabi dalam memelihara urusan keagamaan dan keduniaan. di samping itu terdapat ijma’ sahabat dalam hal pengukuhan Abu Bakar sebagai khalifah nabi sampai mereka mendahulukannya dari penguburan Nabi. Lagi pula, adanya kewajiban taat pada Islam berdasarkan al-Quran dan Sunnah memang menghendaki pengangkatan seorang Imam.26 Sungguhpun Ridha tetap mempertahankan sistem khilafah, tetapi ia menginginkan adanya perbaikan dalam pemerintahan tersebut. Perbaikan itu berwujud pelaksanaan syura dalam pemilihan khalifah yang selama ini berjalan secara turun-temurun dan dalam perumusan dan penetapan peraturan kebijaksanaan politik pemerintah, perang, serta pembinaan kesejahteraan umum yang senantiasa berubah dari zaman ke zaman.27 Syura juga penting dilaksanakan untuk memilih khalifah dan menetapkan peraturan termasuk soal agama yang tidak punya nash dalam al-Quran dan al-Sunnah.28 Menurut dia, keanggotaan ahl al-hall wa al-aqd ini tidak hanya terdiri dari 24 25 26 27 28 Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma, hlm. 15 Ibid., hlm. 16 Ibid., hlm. 10 Ibid., hlm. 30 Ibid., hlm. 15 9 ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tetapi juga dilengkapi dengan pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang. Sedangkan peranan dan tanggungjawab lembaga tersebut tidak berakhir dengan selesainya pengangkatan khalifah. Mereka bertugas sebagai pengawas atas jalannya pemerintahan khalifah dan mencegah perbuatan penyelewengan meskipun dengan kekerasan. Kemudian dalam rangka mempersiapkan calon-calon khalifah yang memenuhi kualifikasi, maka perlu didirikan suatu lembaga pendidikan tinggi keagamaan. Lulusan dari lembaga ini dipilih untuk dicari yang memiliki keunggulan dalam penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad. Pemilihan itu dilakukan oleh rekan-rekan sesama alumnus dengan asas bebas, yang kemudian dikukuhkan oleh atau melalui bai’at ahl al-hall wa al-aqd dari seluruh dunia Islam. Khalifah yang telah dibai’at ini wajib ditaati oleh tiap muslim dan dilarang menentangnya.29 Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Bahkan ia melihat wajib bagi umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Umat Islam di zaman klasik mencapai kemajuan karena mereka maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Barat maju karena mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam itu. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.30 29 30 Ibid., hlm. 136 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm. 75 10 BAB IV KRITIK DAN APRESIASI Dalam pemikirannya, ia mengemukakan bahwa salah satu kemajuan dari Barat adalah karena adanya paham dinamisme yang berarti menghendaki adanya perubahan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di luar masalah ibadat. Tetapi pada kenyataannya ia mengatakan bahwa Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha ialah Negara dalam bentuk kekhalifahan yang sistem ini telah berabad-abad dipakai oleh umat Islam sejak khalifah pertama Abu Bakar. Sangat bertolak belakang dengan pernyataannya yang semula yang menginginkan adanya pembaharuan untuk kemajuan dan kejayaan Islam yang kala itu mengalami kemunduran. Menurut Ridha, meski tetap memakai sistem kekhalifahan, tetapi khalifah tersebut tidak boleh bersifat absolut. Padahal telah diketahui, bahwa keboborokan dan kehancuran kesultanan Turki Usmani adalah karena tindak kesewenangwenangan dari khalifah pada saat itu meski sudah adanya lembaga ahl al-hall wa al-aqd yang mengawasi setiap kebijakan yang diambil oleh kerajaan.31 Kualifikasi calon khalifah, Ridha mengutip Al-Mawardi yang mengatakan, bahwa seorang khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy berdasarkan hadits Nabi: al-Aimmat min al-Quraisy. Padahal dalam prinsip Islam tentang ajaran persamaan yang disebutkan pada Surat al-Hujurat ayat 13 yang mengatakan bahwa: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”. Khalifah dipilih oleh para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd yang oleh Ridha disebutnya ahl al-ikhtiyar (orang-orang yang berhak memilih). Tetapi anehnya, Ridha membenarkan sistem pengangkatan putra mahkota oleh khalifah. Pernyataannya selalu saling bertentangan yang mengakibatkan sistem yang beliau anjurkan sering kali menjadi kabur. Karena hak dan wewenang para anggota ahl 31 Drs. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 81-82 11 al-halli wa al-‘aqd menjadi tidak jelas.32 Dari teori kekhalifahan yang dianjurkan Ridha ini, banyak sekali hal-hal yang kurang jelas ia paparkan. Contohnya tentang letak kekuasaan tertinggi dari sistem khalifah. Ia tidak menjelaskan pendapatnya tentang dimana letak kekuasaan tertinggi bagi pemerintah. Tetapi yang jelas bukan dari rakyat karena khalifah dipilih oleh lembaga ahl al-halli wa al-‘aqd. Jadi dengan begitu, rakyat tidak memiliki hak untuk memilih dan hanya menaaati hasil pilihan dari para ahl al-ikhtiyar. Ridha juga tidak menjelaskan siapa yang berhak memilih para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd.33 Dijelaskan bahwa Ridha memiliki gagasan untuk mendirikan akademi untuk mendidik dan melahirkan calon-calon khalifah baru. Lulusan dari lembaga ini dipilih untuk dicari yang memiliki keunggulan dalam penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad. Pemilihan itu dilakukan oleh rekan-rekan sesama alumnus dengan asas bebas, yang kemudian dikukuhkan oleh atau melalui bai’at ahl alhall wa al-aqd dari seluruh dunia Islam. Khalifah yang telah dibai’at ini wajib ditaati oleh tiap muslim dan dilarang menentangnya. Pandangan ridha itu semakin jelas bahwa yang berhak memilih khalifah adalah golongan tertentu yaitu golongan aristokrat. Pendapat-pendapat ridha yang telah disebutkan di atas menggambarkan bahwa ia merupakan sosok pemikir yang terikat pada tradisi dan pemikiran zaman klasik.34 Dan sebagian besar teorinya merupakan gagasan dari para pemikir islam yang ketika pada periode Islam klasik pernah diungkapkan dan diaplikasikan pada zamannya seperti Al-Mawardi. Meski pada kenyataannya beliau adalah murid terdekat dari Muhammad Abduh yang begitu menghargai konsep akal yang lebih liberal dan radikal dalam kebebasan berpikirnya. 32 33 291 34 Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, hlm. 291 Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. Ibid., hlm. 293 12 DAFTAR PUSTAKA Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004) A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar (Jakarta:Erlangga) Drs. Muhammad Azhar, MA, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada) Dr. I.A. Al-‘adawi, Rasyid Ridha, Al-Imam Al-Mujahid (Kairo: Maktabah Misr) Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) Drs. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia) Prof. Dr. Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2000) Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) 13 Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma (Kairo: al-Manar, 1341 H) http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam 14