Rangkuman b.indo

April 28, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

BAHASA Konsep tentang “bahasa” telah dijelaskan oleh para pakar bahasa, antara lain Felicia (2001), Wiratno (2011), dan Richards dkk. (1985). Felicia mendefinisikan bahasa dengan alat yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Definisi bahasa yang lebih mendetail disampaikan oleh Wiratno bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang terorganisasi dalam bentuk satuan-satuan, seperti kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat yang diungkapkan, baik secara lisan maupun tulis. Sementara itu, Richards dkk. mendefinisikan bahasa sebagai “The system of human communication by means of a structured arrangement of sounds (or written representation) to form lager units, e,g. morphemes, words, sentences”; maksudnya adalah sistem komunikasi manusia yang didukung dengan susunan bunyi atau representasi tertulis, antara lain morfem, kata, dan kalimat. Dengan memperhatikan tiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang didukung dengan satuan kebahasaan. Bahasa Indonesia yang Baik Konsep bahasa Indonesia yang baik telah dijelaskan oleh para pakar, antara lain Muntijo (2013), Syarifuddin (2013), Depdikbud (1988) dan Irwan Shaja (2014). Menurut Muntijo (2013), berbahasa Indonesia yang baik adalah menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai konteks (pembicaraan atau penulisan). Depdikbud juga menyampaikan bahwa bahasa Indonesia yang baik mengacu ke ragam bahasa yang memenuhi persyaratan kebaikan. Sementara itu, Syarifuddin menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Sedangkan bahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan tempat terjadinya kontak berbahasa, sesuai degan siapa lawan bicara, dan sesuai dengan topik pembicaraan disebutkan oleh Irwan Sahaja. Bahasa Indonesia yang Benar Konsep bahasa Indonesia yang benar telah dijelaskan oleh para pakar, antara lain Muntijo (2013), Irwan Shaja (2014) dan Syarifuddin (2013) serta Depdikbud (1988). Menurut Muntijo, berbahasa Indonesia yang benar adalah menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah (tata bahasa) bahasa Indonesia. Sependapat dengan Muntijo, Irwan Sahaja juga menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang benar adalah berbahasa Indonesia yang seusai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, Syarifuddin menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan tata bahsa baku yang telah diterapkan. Sedangkan Depdikbud menyampaikan bahwa bahasa Indonesia yang benar mengacu ke ragam bahasa yang memenuhi persyaratan kebenaran. PIDGIN Konsep bahasa pidgin telah dibahas oleh para pakar, antara lain Wardhaugh (1988) dan Holmes (2001), B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring (2005), dan Philip Baker (1993:6). Wardhaugh (1988) dan Holmes (2001) menyatakan bahwa bahasa pidgin adalah bahasa yang tidak mempunyai penutur asli. Wardhaugh (1988:15) menambahkan bahwa pidgin kadang-kadang dianggap sebagai sebuah variasi yang mengurangi bahasa normal, dengan penyederhanaan tata bahasa dan kosa kata, variasi fonologi, dan pencampuran kosa kata bahasa lokal. Menurut B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring (2005), pidgin merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki penutur asli. Munculnya bahasa pidgin bermula dari bertemunya dua pihak yang ingin berkomunikasi satu sama lain, tetapi sangat berbeda bahasanya. Mereka tidak menggunakan bahasa ketiga sebagai bahasa perantara, tetapi mereka menggabungkan bahasa mereka menjadi bahasa sendiri yang disebut pidgin. Sementara itu, Philip Baker (Baker 1993:6) menyatakan bahwa bahasa pidgin adalah “A form of language created by members of two or more linguistic groups in contact as a means of intercommunication, the most basic grammatical rules of which are common to all its habitual users regardless of their own primary language, while at least one and perhaps all of the participating groups recognize that this means of intercommunication is not the primary language of any other.” Dengan memperhatikan tiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa pidgin merupakan variasi bahasa yang tidak memiliki penutur asli dan bercirikan penyederhanaan, dan lazimnya aspek yang mengalami penyederhanaan adalah tata bahasa dan kosa kata. KREOL Konsep bahasa kreol telah dibahas oleh para pakar, antara lain B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring (2005), Wardhaugh (1988) dan Holmes (2001), dan Robert Hall (1966). B. Suhardi dan B. Cornelius (2005), mengartikan kreol sebagai bahasa pidgin yang memiliki penutur asli. Pidgin untuk generasi dan kreol untuk generasi baru. Kreol juga mengalami perkembangan dari berbagai aspek kebahasaan. Bahasa kreol adalah bahasa pidgin yang mempunyai penutur asli (Hudson: 1996, Holmes: 2001, Wardhaugh: 1988). Wardhaugh (1988) mengibaratkan kreol seperti bahasa normal yang memiliki penutur asli. Sementara itu, menurut Robert Hall (1966) menyatakan “A creol language arises when a pidgin becomes the native language of a speech community.” Dengan memperhatikan tiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa kreol merupakan bahasa yang terbentuk dari suatu sistem komunikasi yang pada awalnya merupakan bahasa pidgin dan kemudian menjadi bahasa ibu suatu masyarakat. Alih Kode Konsep alih kode telah banyak dibahas oleh para ahli antara lain Nababan (1991: 6), Appel (1998 : 81) dan Hymes (1976 : 79). Pendapat Nababan (1991) menyatakan bahwa alih kode adalah terjadi kalau keadaan bahasa itu menuntut penutur mengganti bahasa atau ragam bahasa yang sedang dipakai. Appel (1976) mengatakan bahwa alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Sedangkan alih kode menurut Hymes (1976) merupakan “code switcing has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of language or even speach styles”. Campur Kode Konsep campur kode telah banyak dibahas oleh para ahli antara lain Paul (1997 : 69), Suwito (1996 : 96) dan Susiyati pada Language Journal volume 7, No. 2. Paul (1997) menyatakan bahwa campur kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang belum jelas. Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Susiyati menyatakan “code mixing occurs when a speaker inserts a word (words) or a phrase in another language while he or she is speaking in a particular language”. Sosiolek Konsep sosiolek telah dibahas oleh para pakar bahasa, antara lain Chaer dan Agustina (2004), Prof. Dr. P. W. J. Nababan (1987), dan Peter Trudgill (2003). Chaer dan Agustina (2004) menyatakan bahwa sosiolek yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Menurut Prof. Dr. P. W. J. Nababan (1987), sosiolek adalah ragam bahasa yang berkaitan dengan status sosial dan jabatan seseorang dalam golongan masyarakat. Sementara itu, Peter Trudgill (2003) menyatakan bahwa sosiolek adalah “a variety or lect which is thought of as being related to its speakers social background rather than geographical background.” Dengan memperhatikan tiga pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosiolek adalah variasi bahasa yang dapat mencerminkan status sosial seseorang yang menggunakannya. Register Konsep register telah dibahas oleh para pakar bahasa, antara lain Maryono (2002), Chaer (2004), serta Hartmann dan Stork (1972). Maryono (2002) menyebutkan register merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya sifat-sifat khas keperluan pemakaiannya, misalnya dalam bahasa tulis terdapat bahasa iklan, bahasa tunjuk, bahasa artikel, dan sebagainya, dalam bahasa lisan terdapat bahasa lawak, bahasa politik, bahasa doa, bahasa pialang, dan sebagainya. Menurut Chaer (2004), register yaitu pemakaian bahasa yang digunakan untuk keperluan atau bidang tertentu. Sedangkan, Hartmann dan Stork (1972) menyatakan bahwa register adalah “a variety in language used for a specific purpose, as opposed to a social or regional dialect (which varies by speakers).” Dengan memperhatikan tiga pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa register adalah variasi bahasa yang digunakan berdasarkan situasi tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Bahasa Formal Garvin, 1967 dalam Purba, 1996 : 52 berpendapat bahwa bahasa formal “A Standard language can tentatively be definiteas a codified form of language accepted by and serving as a model for alarge speech community. Di dalam Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, Yus Rusyana (1984 : 8 ) berpendapat bahwa bahasa formal atau bahasa standar adalah suatu bahasa yang dikodifikasikan, diterima, dan dijadikan model oleh masyarakat bahasa yang lebih luas . Di dalam Tatabahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat Pendidikan Menengah, Gorys Keraf (1991 : 8) berpendapat bahwa bahasa formal adalah bahasa yang dianggap dan diterima sebagai patokan umum untuk seluruh penutur bahasa itu. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, jelas bahwa bahasa formal itu adalah bentuk bahasa yang telah dikodifikasi atau ditetapkan, diterima dan difungsikan sebagai model oleh masyarakat secara luas. Bahasa Santai Richards, Jhon, dan Heidi berpengertian bahwa bahasa nonformal adalah bahasa yang digunakan dalam berbicara dan menulis yang berbeda pelafalan, tatabahasa, dan kosakata dari bahasa formal dari suatu bahasa (nonstandard, used of speech or writing which differs in pronunciation,grammar, or vocabulary from the standard variety of the language) (1985 :193). Suharianto berpengertian bahwa bahasa nonstandar atau bahasa pergaulan adalah salah satu variasi bahasa yang tetap hidup dan berkembangsesuai dengan fungsinya, yaitu dalam pemakaian bahasa tidak resmi(1981 : 23). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa bahasa non standar adalah ragam yang berkode bahasa yang berbeda dengan kode bahasa yang baik dan benar, dan dipergunakan di lingkungan tidak resmi. Diglosia Pengertian tentang “Diglosia” sudah dibahas oleh para ahli bahasa, Para ahli bahasa tersebut antara lain Kridalaksana (2008), Ferguson (1995), dan Hescyber.Menurut Kridalaksana, diglosia adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas varian-varian bahasa yang ada (2008). Sementara itu Ferguson mendefinisikan diglosia sebagai “relatively stable language situation in which, in addition to the primary dialects of the language, there is a very divergent,it is depend on the situation, in speech community—that is learned largely by means if formal education and used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation.” Yang dimaksud adalah bahwa diaglosa adalah situasi dimana keadaan masyarakat mempunyai dua variasi bahasa yang hidup berdampingan dan mempunyai peranan masing – masing (1995). Sedangkan Henscyber berpendapat bahwa diaglosa adalah diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diaglosa adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Masyarakat Tutur Dalam dunia bahasa “masyarakat tutur” sudah dibahas oleh berbagai penutur bahasa diantaranya Wijaya dan Muhammad (2006), Kridalaksana (2008), Cher dan Agustina (2004). Menurut Wijaya dan Muhammad masyarak tutur ialah sekelompok orang dalam lingkup luas ataupun dalam lingkup yang sempit, berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakam dengan kelompok masyarakat tutur lain atas perbedaan yang signifikan (2006) . Sedangkan pendapat lain tentang masyarakat tutur dikemukakan oleh cher dan Agustina (2006), mereka menyebutkan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggot-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa dan norma – norma yang sesuai dengan penggunanya. Pendapat lain pun dikemukakan oleh Kridalaksana “ Cultur people is a group of people who have same language or cling on same standart language and rule” yang dimaksud adalah bahwa masyarakat kultural adalah sekelompok orang yang menggunakan satu variasi bahasa yang sama dan juga memegang teguh atas norma yang sama pula. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat kultural adalah sekelompok masyarakat disuatu wilayah yang setiap anggotanya saling berinteraksi dengan menggunakan satu variasi bahasa yang sama dan juga berpegang teguh dengan norma yang sama yang disbut bahasa dan norma standar.


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.