pembahasan antikolinergik.docx

April 4, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

I. Pembahasan Percobaan ini bertujuan untuk memahami pengaruh obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neuroefektor parasimpatik. Hewan percobaan yang digunakan pada percobaaan ini adalah mencit jantan untuk menghindari faktor biologis atau hormonal yang dapat mempengaruhi percobaan.Mencit jantan yang digunakan harus sehat, naif (belum terpapar obat), dan dipuasakan sebelum percobaan (6 jam). Dari empat kelompok praktikan, masing – masimg memperoleh tiga ekor mencit.Mencit ditimbang, lalu diberi tanda pengenal agar mudah membedakannya karena ketiga ekor mencit diberi perlakuan yang berbeda. Hasil penimbangan berat badan mencit diperlukan untuk konversi jumlah obat (ml) yang harus diberikan. Rute Pemberian Per Oral dan Intraperitoneal : Berat mencit (gram) / 20 gram x 0,5 ml Batas maksimal (ml) untuk rute pemberian obat secara per oral dan intraperitoneal pada mencit adalah 1 ml. Umumnya mencit memilki berat badan 20 gram namun itu bukanlah suatu hal yang absolut sehingga sebelum melakukan percobaan mencit perlu ditimbang. Karena berat mencit mungkin lebih besar dari 20 gram, batas maksimal (Ml) untuk rute pemberian per oral dan menjadi 0.5 ml agar tidak melebihi batas yang ditetapkan (1 ml) Rute Pemberian Sub Kutan : Berat mencit (gram) / 20 gram x 0.25 ml Batas maksimal (ml) untuk rute pemberian obat secara sub kutan pada mencit adalah 0.5 ml. Karena berat mencit mungkin lebih besar atau kurang dari 20 gram, batas maksimal (Ml) untuk rute pemberian sub kutan menjadi 0.25 ml agar tidak melebihi batas yang ditetapkan (0.5 ml). Pada waktu t=0, mencit I ( kontrol negatif) diberikan uretan (1.8 g/kg BB) lalu segera setelah pemberian uretan, mencit diberikan larutan gom arab 3%. Uretan berfungsi sebagai anestetik lokal bersifat tidak sistemik dan tidak menghilangkan kesadaran.Pemberian uretan membuat mencit pingsan.Kelompok Kontrol negatif ini hanya diberikan pelarut obat saja yaitu gom arab, sebagai pembanding pengaruh pemberian obat kolinergik pada sistem saraf parasimpatik tanpa diinhibisi oleh obat antikolinergik. intraperitoneal Mencit II diberikan obat atropin 0.04 % (1 mg/kg BB) secara per oral segera setelah pemberian uretan. Atropin merupakan obat antikolinergik yang justru bekerja melawan efek – efek kolinergika. Atropin merupakan obat antikolinergik golongan alkaloid Belladona yang memiliki efek:  Memperlebar pupil mata (midriatik)  Mengurangi sekresi kelenjar (liur,keringat,dahak)  Mengurangi tonus dan motlitas saluran lambung-usus  Dilatasi bronkus  Meningkatkan frekuensi jantung  Merangsang SSP Efek atropin yang diamati pada percobaan ini adalah penghambatan atau pengurangan sekresi kelenjar liur atau saliva. Resorpsi atropin di usus cepat dan lengkap dan distribusi ke seluruh tubuh baik. Pada waktu t=15 menit, mencit III disuntikkan atropin 0.015 mg/kg BB secara sub kutan segera setelah disuntikkan uretan. Hal ini dilakukan untuk membandingkan kekuatan efek menginhibisi saraf kolinergik antara pemberian per oral dan sub kutan. Pada waktu t=45 menit, semua mencit diberikan pilokarpin secara sub kutan. Pilokarpin merupakan obat kolinergika atau parasimpatomimetika yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi saraf parasimpatis karena melepaskan neurohormon asetilkolin (Ach) di ujung – ujung neuronnya. Pilokarpin bekerja secara langsung terhadap organ ujung dengan kerja utama mirip efek muskarin dari Ach. Efek kolinergis faal yang terpenting adalah sebagai berikut :  Stimulasi pencernaan dan sekresi kelenjar saliva  Memperlambat sirkulasi : mengurangi kerja jantung, vasodilatasi, hipotensi  Konstriksi bronkus  Penyempitan pupil mata (midriasis)  Kontraksi kandung kemih dan ureter  Dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka  Menekan SSP Efek pilokarpin yang diamati pada percobaan ini adalah stimulasi sekresi saliva (hipersalivasi). Setelah pemberian pilokarpin, masing – masing mencit diletakkan di atas kertas saring pada alat (1 mencit per kotak). Alat yang dimaksud terbuat dari papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakkan di atas papan lain dengan ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 100 dengan papan kedua, sehingga membentuk segitiga. Papan bagian atas diberi alas 4 cm. Setelah itu kertas saring diberi bubuk biru metilen sebagai lapisan tipis.Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas, agar saliva yang keluar menimbulkan noda yang jelas dan bulat pada kertas saring sehingga pengukuran diameternya lebih mudah. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutny diulangi hal yang sama selama 25 menit samapi kotak paling atas. Terkadang untuk merangasang sekresi saliva dari mencit perlu dilakukan penekanan atau pemijitan pada daerah tengkuk mencit. Besarnya noda yang terbentuk di atas kertas di setiap kertas diamati dan ditandai batas noda dengan spidol. Diameter noda diukur. Jika noda berbentuk bulat maka lebih mudah untuk mengukur diameternya. Namun, bila noda berbentuk lonjong (tidak bulat) pengukurannya dilakukan dengan merata-ratakan diameter pada posisi vertikal dan horizontal. Kemudian, dilakukan perhitungan persentase inhibisi dengan rumus : Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu. Sebelum mencit diberi perlakuan dengan pemberian obat-obat sistem saraf otonom, terlebih dahulu dihitung konversi jumlah pemberian obat (dalam volume) berdasarkan berat badan mencit yang dibandingkan dengan standar berat badan mencit yaitu sebesar 20 gram. Adapun jumlah mencit yang digunakan sebagai hewan percobaaan pada praktikum kali ini adalah sebanyak tiga ekor. Dimana berat badan masing-masing mencit adalah sebagai berikut: 21,6 gram(mencit 1), 16,8 gram(mencit 2), 17,5 gram(mencit 3). Adapun volume konversi standar yang digunakan untuk berat badan mencit 20 gram adalah 0,5 ml untuk rute pemberian per oral dan intraperitoneal, sedangkan untuk rute pemberian melalui subkutan adalah 0,25 ml. Hasil konversi untuk per oral dan intraperitoneal adalah sebagai berikut: 0,54 ml(untuk mencit 1), 0,42 ml(untuk mencit 2), 0,4375 ml(untuk mencit 3). Sedangkan hasil konversi untuk rute pemberian obat melalui subkutan adalah sebagai berikut: 0,27 ml(untuk mencit 1), 0,21 ml(untuk mencit 2), 0,21675 ml(untuk mencit 3). Setelah dilakukan penghitungan konversi, barulah mencit dapat diberi perlakuan dengan pemberian obat dengan volume obat yang diberikan setelah konversi. Adapun hasil yang diperoleh dari pemberian obat kepada hewan percobaan mencit berdasarkan diameter saliva yang terbentuk di atas kertas yang di bawahnya sudah ada zat warna metilen blue adalah sebagai berikut: 1. Rata-rata jumlah diameter saliva dari menit ke-5 sampai menit ke-25 pada kelompok kontrol secara berturut-turut yaitu: 0,225 ; 0,25 ; 0,35 ; 0,325 ; dan 0,875 (dalam cm). 2. Rata-rata jumlah diameter saliva dari menit ke-5 sampai menit ke-25 pada kelompok pemberian atropin(secara per oral) secara berturut-turut yaitu: 0,0625 ; 0 ; 0,05 ; 0 ; 0. 3. Rata-rata jumlah diameter saliva dari menit ke-5 sampai menit ke-25 pada kelompok atropin(secara subkutan) secara berturut-turut yaitu: 0(sama hasilnya untuk menit ke-5 sampai menit ke 25). Berdasarkan data yang diperoleh di atas tersebut, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada kelompok kontrol, dimana kelompok ini, mencit tidak diberi obat atropin(obat simpatomimetik) sebagai penghambat pengeluaran saliva akibat pemberian pilokarpin(obat parasimpatomimetik) yang merangsang/ menstimulus pengeluaran saliva. Akibatnya rata-rata jumlah diameter saliva yang terbentuk pada kelompok kontrol ini adalah yang paling besar angkanya/ nilainya dibanding kelompok perlakuan yang lain yang diberi obat atropin(obat penghambat pengeluaran saliva). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa obat pilokarpin yang diberikan pada hewan percobaan mencit sudah bekerja. Terbukti dari pengeluaran saliva mencit yang jatuh ke kertas yang di bawahnya sudah diberi zat warna metilen blue, yang ditandai dengan terbentuknya lingkaran berwarna biru. Tetesan-tetesan saliva yang jatuh dan mengenai kertas menyebabkan proses penyerapan warna biru yang ada di bawah kertas hingga akhirnya terbentuk lingkaran berwarna biru. 2. Pada kelompok pemberian atropin dengan rute pemberian obat melalui per oral, hasil data dalam bentuk diameter lingkaran warna biru menunjukkan bahwa obat atropin bekerja dengan baik dalam proses penghambatan pengeluaran saliva. Hal ini dibuktikan dengan kecilnya rata-rata jumlah diameter saliva yang terbentuk dibandingkan dengan yang tidak diberi atropin(kelompok kontrol). Atropin menghambat proses pengeluaran saliva akibat pemberian obat pilokarpin, sehingga diameter lingkaran berwarna biru yang terbentuk akibat tetesan-tetesan saliva yang mengenai kertas yang di bawahnya terdapat zat warna metilen blue adalah sangat kecil. 3. Pada kelompok pemberian obat atropin dengan rute pemberian obat melalui subkutan, hasil data yang diperoleh rata-rata jumlah diameter yang terbentuk lebih kecil dibanding dengan hasil data yang diperoleh pada kelompok pemberian atropin dengan rute pemberian obat melalui per oral. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat atropin dengan rute pemberian obat melalui subkutan, obat atropin bekerja lebih cepat dibanding dengan pemberian obat melalui per oral. Hal ini terjadi karena pemberian obat melalui subkutan menyebabkan obat lebih cepat bekerja dibanding melalui per oral, karena melalui subkutan, obat langsung diabsorpsi dan masuk ke peredaran darah tanpa melalui lambung. Pemberian obat melalui per oral menyebabkan proses absorpsi obat berjalan lebih lama dibandingkan pemberian obat melalui subkutan. Oleh karena itu, pada kelompok pemberian obat melalui subkutan, hasil datanya adalah nol semua untuk menit ke5 sampai menit ke-25. Hasil data yang diperoleh mungkin saja mengalami kesalahan. Artinya besar diameter yang diukur tersebut salah. Kesalahan yang terjadi mungkin karena salah dalam mengukur diameter lingkaran berwarna biru yang terbentuk, dan mungkin saja juga terjadi karena kesalahan praktikan dalam melakukan tahapan prosedur pemberian obat. Kecilnya diameter lingkaran berwarna biru yang terbentuk memungkinkan adanya terjadi kesalahan. Namun itu hanyalah sebuah kemungkinan kesalahan pada besarnya diameter yang terbentuk. Akan tetapi, secara keseluruhan, berdasarkan fungsi obat sistem saraf otonom yaitu obat atropin sebagai obat antikolinergik(penghambat pengeluaran saliva) dan pilokarpin sebagai obat kolinergik(penstimulus pengeluaran saliva), hasil data yang diperoleh sesuai dengan fungsi obat atropin dan obat pilokarpin. Jadi, tidak masalah jika hasil data yang diperoleh kecil. Karena tidak mempengaruhi hasil evaluasi terhadap aktivitas kedua obat tersebut. Pada grafik diameter saliva rata-rata terhadap waktu, kelompok mencit control negative memiliki kecenderungan grafik yang menanjak keatas dimana nilai diameter saliva rata-rata semakin membesar untuk setiap 5 menitnya. Dari grafik tersebut dapat dikatakan bahwa saliva yang dihasilkan oleh mencit semakin bertambah. Hal ini sesui dengan teori karena kelompok mencit control negative hanya diberikan pilokarpin, obat kolinergik, yang cara kerjanya seperti saraf parasimpatis yang menyebabkan terbentuknya asetilkolin pada ujung-ujung saraf. Obat ini mempengaruhi sistem parasimpaatis yang mengatur berbagai macam pengeluaran kelenjar. Pada percobaan ini, kelenjar yang diamati perubahannya adalah kelenjar saliva. Dimana obat kolinergik akan menyebabkan salvias atau hipersalivasi (bertambah banyaknya pengeluaran saliva). Selain itu, dengan semakin bertambahnya saliva yang dikeluarkan oleh mencit juga menandakan bahwa pemberian pilokarpin semakin mencapai efek maksimalnya dari dosis yang diberikan. Pada grafik kelompok mencit yang diberikan atropine secara peroral cenderung mengalami penurunan pada nilai diameter rata-rata saliva untuk setiap 5 menitnya. Sehingga dapat disimpulkan dari grafik ini bahwa jumlah saliva yang dikeluarkan oleh mencit semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan teori bahwa mencit yang sebelumnya diberi atropine, obat antikolinergik yang memiliki sifat serupa dengan sistem saraf simpatis karena membuat noradrenalin kelaur dar ujungujung serabut saraf, menyebabkan terhambatnya kerja pilokarpin sebagai obat kolinergik karena memiliki sifat yang berlawanan sehingga saliva yang dihasilkan oleh mencit berkurang. Berkurangnya saliva yang dihasilkan oleh mencit juga dapat disebakan oleh atropine yang mulai memberikan efek maksimal nya seiring dengan berjalannya waktu sehingga kerja pilokarpin semakin terhambat dan grafik mengalami penurunan. Kerja atropine memberikan efek seiring dengan berjalannya waktu karena pemberian atropin melalui peroral dimana obat harus melewati proses farmakokinetik didalam tubuh mencit sehingga memerlukan waktu yang cukup lama. Pada grafik kelompok mencit yang diberi atropine melalui suntikan subkutan menunjukkan grafik datar pada diameter rata-rata saliva 0 (nol) sehingga dapat diartikan bahwa mencit sama sekali tidak mengeluarkan saliva. Hal ini dapat terjadi karena mencit diberikan atropine sebagai obat antikolinergik secara subkutan dapat menghambat kinerja pilokarpin lebih cepat sebagai obat kolinergik yang meyebabkan salvasi. Penghambatan pilokarpin oleh atropine yang disuntikan secara subkutan lebih cepat dibandingkan dengan atropine ynag diberikan melalui peroral karena obat langsung dari jaringan subkutan kulit terserap dan masuk melalui pembuluh darah dan terdistribusi serta termetabolisme lebih cepat dibandingkan pemberian secara peroral yang melalui sistem pencernaan terlebih dahulu sebelum didistribusikan ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan obat atropine sudah memberikan efek pada mencit sebelum diberikan pilokarpin sehingga tidak terjadi salivasi yang dipengaruhi oleh pilokarpin sampai waktu pengamatan berakhir. Kesimpulan yang dapat ditarik dari grafik jumlah total diameter rata-rata saliv terhadap hewan uji adalah dimana mencit yang mengalami salivasi terbanyak berasal dari kelompok hewan control negative , kemudian pada mencit yang diberikan atropine peroral dan terakhir adalah mencit yang diberi atropine subkutan. Hal ini membuktikan bahwa kerja pilokarpin sebagai obat kolinergik dapat mencapai efek terbaiknya tanpa adanya penghambat seperti obat antikolinergik yang bekerja berlawanan dengan obat kolinergik. sedangkan obat kolinergik yang dihambaat dengan pemberian obat antikolinergik yang berlawanan fungsinya mengalami penurunan efek. Cara pemberian obat antikolinergik yang berbeda, subkutan dengan peroral juga mempengaruhi efek yang timbul dari atropine sebagai obat antikolinergik untuk menghambat kerja obat antikolinergik, pemberian obat secara subkutan membutuhkan waktu untuk proses farmakokinetik obat lebih cepat dibandingkan pemberian obat secara peroral sehingga efek penghambatan pilokarpin dengan pemberian atropine secara subkutan lebih cepat dibandingkan efek penghambatan atropine secara peroral. II. Kesimpulan 1. Obat kolinergik seperti pilokarpin dapat mengaktivasi kelenjar saliva menimbulkan hipersalivasi pada mencit dan obat antikolinergik seperti atropin bekerja menghambat pengeluaran saliva. 2. Teknik untuk mengevaluasi aktivitas antikolinergik pada neorefektor parasimpatikus dapat dilakukan dengan pengujian pada mencit dengan pemberian dan pengamatan kerja atropin terhadap pilokarpin yang diberikan.


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.