PEMANFAATAN LIMBAH KULIT CANGKANG KEPITING SEBAGAI EDIBLE FILM BUAH STROBERI

May 4, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

TUGAS TERSTRUKTUR TEKNOLOGI PEMANFAATAN LIMBAH HASIL PERTANIAN PEMANFAATAN LIMBAH KULIT CANGKANG KEPITING SEBAGAI EDIBLE FILM BUAH STROBERI Disusun Oleh : Faradina P Kurnia Rizki Septiana Ratih Oktavianti Uly Arta Nurul Huda Taufik Hidayat A1M009068 A1M009069 A1M009070 A1M009071 A1M009072 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2012 PENDAHULUAN Buah stroberi merupakan salah satu produk hortikukltura dengan prospek yang cukup baik. Pada umumnya, stroberi dipasarkan pada suhu ruang. Cara pemasaran ini akan berpengaruh pada kecepatan penurunan kualitas buah dan masa simpannya, serta berpengaruh pada ketersediaan dan pemasaran buah. Setelah dipanen, buah stroberi masih mengalami proses pengangkutan dan penyimpanan. Pada proses ini terjadi metabolisme dengan menggunakan cadangan makanan yang terdapat di dalam buah. Berkurangnya cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan mempercepat proses senesen. Salah satu metode yang digunakan untuk menghambat proses metabolisme pada buah adalah dengan cara Edible Coating. Edible coating adalah suatu metode pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah. Sebagai negara maritim, Indonesia mempunyai potensi hasil perikanan laut yang sangat berlimpah, namun potensi ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Menurut data Dirjen perikanan, total potensi ini diperkirakan sebesar 7,2 juta ton/tahun, dan yang bisa dimanfaatkan baru sekitar 40% atau 2,7 juta ton/tahun. Kepiting mengandung persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta, cacing maupun fungi. Kitin yang terkandung inilah yang nantinya dideasetilasi sehingga menjadi kitosan. Banyaknya pemanfaatan pada kepiting yang hanya memanfaatkan bagian dagingnya saja yang membuat semakin berlimpahnya limbah dari kepiting. Hasil limbah dari kepting berupa kulit, kepala, ekor dan kaki. Di Indonesia limbah ini belum banyak digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD 5 , COD dan TSS perairan disekitar pabrik cukup tinggi). Salah satu pemanfaatan limbah dari cangkang kulit kepting dapat dijadikan sebagai kitosan . Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimiliki yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi minimal antara produk dan lingkungannya. Salah satu pemanfaatan kitosan dari kulit kepiting yaitu digunakan sebagai edible coating pada buah strowberry. Pemanfaatan edible coating pada buah strowberry berfungsi untuk mempertahankan kualitas sehingga buah strowberry memiliki kualitas yang masih baik sampai ke tangan konsumen. STUDY PUSTAKA Sebagai negara maritim, Indonesia mempunyai potensi hasil perikanan laut yang sangat berlimpah, namun potensi ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Menurut data Dirjen perikanan, total potensi ini diperkirakan sebesar 7,2 juta ton/tahun, dan yang bisa dimanfaatkan baru sekitar 40% atau 2,7 juta ton/tahun. Salah satu potensi ini adalah kepiting yang saat ini merupakan komoditas eksport unggulan hasil perikanan, khususnya eksport ke Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Menurut data BPS, nilai eksport kepiting ini pada tahun 1993 mencapai 1,042 milyar dolar US, dan nilai ini selalu meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar, kepiting ini dieksport dalam bentuk kepiting beku tanpa kepala dan kulit. Dengan demikian jumlah hasil samping produksi yang berupa kepala, kulit, ekor maupun kaki kepiting yang umumnya 25-50 % dari berat, sangat berlimpah. Di Indonesia, hasil samping ini belum banyak digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD 5 , COD dan TSS perairan disekitar pabrik cukup tinggi). Kepiting mengandung persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta, cacing maupun fungi. Kitin yang terkandung inilah yang nantinya dideasetilasi sehingga menjadi kitosan. Ornum (1992) menjelaskan bahwa kitin merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer n-asetil D-glukosamin dalam ikatan ß(1-4) atau 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranol dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Kitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Kurita, 1998). Proses produksi kitosan (dari sebelum terbentuknya kitin) meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku. Kitosan dapat ditemukan secara alami pada dinding-dinding sel filamen dan yeast karena deasetilasi enzymatis. Kitosan tidak larut di dalam air, alkali pekat, alkohol dan aseton, tetapi larut dalam asam lemah seperti asetat dan formiat. Asam organik seperti asam hidrokloride dan asam netral dapat melarutkan kitosan pada pH tertentu dalam keadaan hangat dan pengadukan lama, tetapi hanya sampai derajat terbatas. Struktur kimia kitosan dapat kita lihat pada gambar : Gambar . struktur kitosan Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD) sampai 10% dan kandungan nitrogennya kurang dari 7%. Dan dikatakan chitosan bila nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih besar dari 7% berat dan DD lebih dari 70% (Muzzarelli,1985). Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan, dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner, kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin (PC), sehingga meningkatkan permeabilitas inner membran (IM). Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. coli misalnya, setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase akan terlepas. Hal ini menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya, atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambat pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel (Simpson, 1997). Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer (Hirano dkk., 1999). Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya. Aplikasi kitosan dalam bidang pangan dapat dilihat pada tabel. Tabel. Aplikasi kitosan dan turunannya dalam industri pangan Aplikasi Bakterisidal, Antimikroba kontaminasi pertanian. Mengatur makanan Edible film Contoh fungisidal, jamur pada uap pengukur komoditi antara sekitar, perpindahan dan lingkungan menahan pelepasan zat-zat antimikroba, antioksidan, nutrisi, flavor, dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan proses browning enzimatis pada buah. Mempertahankan flavor alami, bahan Bahan aditif Pengontrol tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental, stabilizer, dan penstabil warna. Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan ikan, Nutrisi mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti grastitis (radang lambung), dan sebagai bahan makanan bayi. (Sumber : Shahidi dkk., 1999) Stroberi merupakan tanaman buah berupa herba yang ditemukan pertama kali diChili, Amerika. Salah satu spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria chiloensis Lmenyebar ke berbagai negara Amerika, Eropa dan Asia. Selanjutnya spesies lain,yaitu F. vesca L. lebih menyebar luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis stroberi ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia. Stroberi dalam bahasa Belanda aardbei adalah sebuah varietas stroberi yang paling banyak dikenal di dunia. Seperti spesies lain dalam genus Fragaria (stroberi), buah ini berada dalam keluarga Rosaceae. Stroberi merupakan tanaman herbal asal Chili, Amerika ini memang kaya manfaat. Vitamin C yang tinggi berperan dalam meningkatkan produksi hormon seks dan memperlancar aliran darah menuju organ intim. Kandungan lain seperti antianaemic dan reconstituent juga baik untuk menjaga stamina tubuh. Stroberi kaya akan kandungan fenol, seperti antosianin dan elagitanin. Warna merah menyala pada buah ini berasal dari kandungan antosianin yang juga berperan sebagai antioksidan untuk melindungi struktur sel dalam tubuh serta mencegah kerusakan oksigen pada organ tubuh manusia. Selain kaya akan kandungan vitamin C, stroberi juga merupakan sumber vitamin B5, B6, K, mangan, asam folat, kalium, riboflavin, tembaga, magnesium dan omega-3 asam lemak. Stroberi (fragaria vesca) sangat kaya akan nutrisi, setiap 100 gram mengandung seperti protein 0.8 g, lemak 0.5 g, karbohidrat 8 g dan energi 37 kkal. Sedangkan mineral potensial terkandung kalsium 28 mg, fosfor 27 mg, zat besi 0,8, magnesium 10 mg, potassium 27 mg, selenium 0,7 mg, vitamin A 60 SI, vitamin C 0,03 mg dan asam folat 17,7 mcg asam folat. Beberapa fitokimia mampu menangkal kanker, menurunkan tekanan darah, serta menurunkan risiko diabetes. ANALISIS DAMPAK Limbah industri pangan dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak, garam – garam mineral dan sisa - sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan. Limbah hasil perikanan seperti limbah kulit cangkang kepiting dapat menimbulkan polusi apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat. Limbah kepiting pada umumnya tidak membahayakan kesehatan manusia karena tidak terlibat secara langsung dalam perpindahan penyakit. Namun kandungan organik yang tinggi pada limbah kepiting dapat bertindak sebagai sumber makanan bagi pertumbuhan mikroorganisme yang pada akhirnya dapat mengkontaminasi manusia melalui berbagai media seperti air, udara, tanah, makanan bahkan manusia itu sendiri karena dapat bertindak sebagai carrier (pembawa). Selain dapat berdampak negatif terhadap kesehatan manusia, penanganan limbah kepiting yang tidak tepat dapat merusak lingkungan. Jika limbah ini dibuang pada lingkungan perairan (kandungan BOD, COD dan TSS perairan cukup tinggi), kandungan organik dimanfaatkan oleh mikroorganisme menyebabkan produktivitasnya meningkat dan akan mereduksi oksigen terlarut yang terkandung dalam air. Dengan ini juga dapat dimungkinkan dapat membahayakan biota lainnya. Indonesia memiliki hasil perikanan yang melimpah. Hasil pe rikanan ini banyak diolah sebagai bahan campuran pembutan kerupuk, terasi, dan makanan ternak. Semakin banyaknya olahan ini berarti makin banyak pula limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut yang dibuang secara sembarangan juga dapat menyebabkan polusi udara berupa bau yang tidak sedap terlebih bila didiamkan terlalu lama. Dilihat dari aspek sosial, limbah kepiting yang melimpah dan tidak dilakukan penanganan secara tepat dapat menimbulkan masalah yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri. Pencemaran yang dihasilkan oleh limbah tersebut baik udara, air, tanah dan lingkungan lainnya dapat menyebabkan kondisi yang tidak nyaman dan sehat bagi kehidupan masyarakat. Estetika lingkungan juga akan kurang menyenangkan bila limbah – limbah tersebut tidak mendapatkan penanganan yang baik dan sesuai. Lingkungan yang menjadi tempat hidup masyarakat menjadi kotor, tidak sedap dipandang, dan tentu saja dapat menganggu kesehatan manusia karena udara yang dihirup telah tercemar, air untuk berbagai keperluan hidup menjadi tidak layak konsumsi dan menunjang penyebaran berbagai penyakit. Dengan kondisi masyarakat yang tidak sehat, kualitas hidup menjadi rendah, tingkat kematian meningkat dan interaksi sosial antar masyarakat pun terganggu. Masyarakat yang tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang tidak sehat secara emosi cenderung lebih labil sehingga sangat mudah terjadi konflik. Dilihat dari aspek ekonomi, penanganan limbah kepiting yang tidak optimal merupakan suatu kerugian. Limbah kepiting merupakan limbah hasil pengolahan perikanan dengan jumlah yang cukup tinggi dan masih memiliki kandungan organik yang dapat dimanfaatkan untuk membuat produk-produk yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu chitosan. Limbah – limbah ini dapat dijadikan pendapatan tambahan masyarakat sekitar apabila ada upaya untuk menggali dan mempelajari pemanfaatan limbah kepiting ini sehingga tidak mubazir dan terbuang begitu saja. Kurangnya pengetahuan tentang penanganan limbah ini menyulitkan masyarakat sekitar untuk memanfaatkannya. PEMBAHASAN MASALAH Pelapisan buah (coating) stroberi menggunakan kitosan yang sudah dilakukan masih mempunyai kelemahan antara lain belum adanya kepastian dosis optimum kitosan yang bisa digunakan untuk pelapis, mempercepat proses pematangan stroberi, biaya produksi yang masih mahal, dan tidak aman untuk dikonsumsi tubuh. Limbah kulit cangkang kepiting merupakan sumber potensial pembuatan khitin dan khitosan, yaitu biopolimer yang secara komersil berpotensi dalam berbagai bidang industri. Manfaat khitin dan khitosan di berbagai bidang industri moderen cukup banyak, diantaranya dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil, pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan. Disamping itu, khitin dan khitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Marganov, 2003). Mengingat khitin dan khitosan hasil pengolahan kulit cangkang kepiting memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka sangatlah penting untuk mengolah kulit cangkang kepiting menjadi khitin dan khitosan. Pengolahan dan pemanfaatan kulit cangkang kepiting telah banyak dilakukan tetapi ada beberapa faktor yang dapat menentukan derajat deasetilasi khitosan yaitu konsentrasi NaOH, suhu dan lama proses deasetilasinya sehingga harus dilakukan secara tepat. Peneliti Srijanto dan Imam (2005) mempelajari pengaruh suhu reaksi terhadap derajat deasetilasi khitosan, dimana dengan naiknya suhu reaksi, maka derajat deasetilasi khitosan yang diperoleh juga meningkat. Alamsyah juga meneliti tentang pengaruh urutan proses isolasi khitin, hasilnya tahap demineralisasi-deproteinasi menghasilkan rendemen khitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik dibandingkan dengan proses deproteinasi-demineralisasi (Alamsyah et al., 2007). Derajat deasetilasi dari khitosan dan rendemen khitin yang diperoleh dari cangkang kepiting perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan derajat deasetilasi khitosan, maka harus dilakukan optimasi reaksi deasetilasi khitin dengan cara memvariasikan konsentrasi NaOH sedangkan suhu dan waktu reaksi dibuat konstan. Chitosan merupakan bahan pengawet alami yang tidak bersifat toksik pada tubuh, terbuat dari produk samping yaitu limbah kulit kepiting dan kulit udang, chitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat lipid dan lemak. selain itu chitosan juga memiliki sifat sebagai antimikroba, dan sebagai pengawet makanan (Anonim, 2006). Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Proses utama dalam pembuatan chitosan, yaitu dengan penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi dengan menggunakan larutan basa yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan asam dan basa. Selanjutnya chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Chitosan dibuat dengan merebus kulit cangkang kepiting yang telah dibersihkan untuk menghilangkan sisa protein. Limbah tersebut direbus kurang lebih satu jam ini dengan pH di usahakan diatas 10, dengan menambahkan soda api (NaOH). Hasilnya kemudian direbus lagi selama 2 jam dengan ditambahi larutan asam klorida (HCl) agar pH turun dibawah 5. Campuran itu sekali lagi direbus selama 2 jam dengan larutan basa untuk menghilangkan unsur asetil. Pada tahap ini, kulit rajungan dan kulit sudah berubah menjadi bubur berwarna putih. Sisanya berupa cairan kental yang dipakai sebagai pengawet (Indra, 2007). Chitosan dapat digunakan sebagai edible film karena sifat-sifat yang dimiliki yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi minimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang 4 mengenai mekanisme kerja chitosan sebagai edible film adalah chitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berkaitan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein. Ekstraksi kitin umumnya melalui tahapan penggilingan, deproteinasi, demineralisasi, pengeringan dan pembubukan, sedangkan Chitosan diperoleh dengan penambahan alkali kuat terhadap kitin pada suhu tinggi. Tahap penghilangan protein atau deproteinasi. Pada prinsipnya sama seperti tahap yang pertama hanya berbeda pada larutan yang digunakan. Larutan yang digunakan yaitu larutan basa 1 % -3 %. Pada umumnya larutan basa yang digunakan natrium hidroksida atau soda api. Begitu selesai dimasak, limbah udang dicuci dengan air tawar hingga bersih. Kemudian dikeringkan. Tahap demineralisasi dilakukan dengan cara mencelupkannya ke dalam larutan asam cuka kandungan 1% - 3%. Larutan cuka ini dimaksudkan untuk melarutkan dengan kandungan 30 %. Limbah kulit cangkang kepiting dengan larutan asam direbus selama 1 - 3 jam dengan suhu antara 90-100 oC. Setelah itu, dicuci sampai bersih. Tahap ini selesai maka dihasilkan kitin. Kitin memilki ciri – ciri yang sangat halus, ringan dan berwarna putih. Dari hasil pengeringan didapatkan rendemen ± 20% bahan baku limbah udang. Tahap ini tidak cukup untuk menghasilkan bahan sebagai pengawet. Kitin harus diolah lagi menjadi Chitosan. Chitosan ini yang dapat digunakan sebagai pengganti formalin. Untuk mengolah kitin menjadi Chitosan, kitin dilarutkan ke dalam larutan basa pekat 40 %,lalu dimasak dengan suhu 90-100o C selama 5 - 7 jam. Setelah itu, padatan kitin dicuci dan dikeringkan. Hasil akhir inilah yang disebut dengan Chitosan. Untuk membuat limbah kulit cangkang kepiting menjadi khitosan dapat dibuat seperti diagram dibawah ini : Cangkang kepiting kering Penggilingan Pengayakan Deproteinasi (Larutan NaOH selama 2 jam pada 65°C) Penyaringan dan pencucian Demineralisasi (larutan HCl selama 30 menit pada temperatur kamar) Penyaringan dan pencucian (pH produk netral) Pengeringan Bubuk kitin Deasetilasi (Larutan NaOH selama ½ jam pada 100oC) Penyaringan dan pencucian (pH produk netral) Pengeringan Kitosan Analisa dengan FTIR Gambar. Blok Diagram Proses Pembuatan Kitosan Karena sifat kitin dan kitosan yang dapat mengikat air dan lemak, maka keduanya dapat digunakan sebagai media pewarnaan makanan. Mikrokristalin kitin jika ditambahkan pada adonan akan dapat meningkatkan pengembangan volume roti tawar yang dihasilkan. Selain itu juga sebagai pengental dan pembentuk emulsi lebih baik dari pada mikrokristalin sellulosa. Pada pemanasan tinggi kitin akan menghasilkan pyrazine yang potensial sebagai zat penambah cita rasa. Kitosan memiliki sifat unik yang digunakan sebagai komposis yang ideal untuk perkembangan edible film yang memiliki sifat antimikroba. Kitosan memiliki karakteristik film yang lebih bagus dan sifat antibacterial yang hampir sama denga sifat antibakterial dari desinfektan, ratio dari pemusnahan bakteri/jamur yang lebih tinggi dan toksitas yang rendah bagi sel mamalia. Laporan menyatakan bahwa ikatan antara kitosan dengan endotoksin dari bakteri gram negatif menurunkan toksik akut mereka. Kitosan memiliki sifat unik yang digunakan sebagai komposis yang ideal untuk perkembangan edible film yang memiliki sifat antimikroba. Kitosan memiliki karakteristik film yang lebih bagus dan sifat antibacterial yang hampir sama denga sifat antibakterial dari desinfektan, ratio dari pemusnahan bakteri/jamur yang lebih tinggi dan toksitas yang rendah bagi sel mamalia. Laporan menyatakan bahwa ikatan antara kitosan dengan endotoksin dari bakteri gram negatif menurunkan toksik akut mereka. Willes (2000) menjelaskan bahwa dalam proses pematangan selama penyimpanan buah, zat pati seluruhnya dihidrolisa menjadi sukrosa yang kemudian berubah menjadi gula - gula reduksi sebagai substrat dalam respirasi. Pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kandungan gula reduksi selama proses penyimpanan. Penurunan kadar gula reduksi buah stroberi yang terjadi karena laju respirasi yang merupakan pemecahan gula reduksi menjadi asam piruvat dan selanjutnya menghasilkan CO2 dan H2O. Kitosan mampu membentuk lapisan pada permukaan Stroberi sedangkan kita ketahui bahwa penyebab utama kerusakan makanan karena adanya pertumbuhan mikroba pada permukaan oleh mikroba pembusuk maupun mikroba penyebab penyakit. Mikroba yang menjadi penyebab rusaknya buah stroberi terutama mikroba yang bersifat aerobik. Sehingga dengan fungsinya sebagai barrier terhadap migrasi mikroba yang berhasil mengkontaminasi produk pada bagian permukaan, coating kitosan mampu memperpanjang masa simpan buah stroberi. Semakin banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan maka semakin tinggi nilai derajat deasetilasinya. Khitosan dengan derajat deasetilasi 70 - 90% dinamakan khitosan pasaran. ualitas khitosan ditentukan berdasarkan derajat deasetilasinya, sehingga dapat dibagi menjadi empat kriteria yaitu lebih kecil dari 80%, antara 80-85%, antara 85-90% dan di atas 90% (Ernawati, 2008). Kerusakan bahan pangan dapat diidentifikasi dengan beberapa cara, yang pertama adalah dengan Uji organoleptik yaitu dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur atau kekenyalan, keketanlan, warna bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain. Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan, tekstur, dan lainlain. Uji kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan komponen pangan oleh mikroba atau hasil dari reaksi kimia. Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan, MPN, dan mikroskopis. Dari berbagai uji kerusakan pangan tersebut, beberapa uji yang dianggap cukup sederhana untuk diterapkan di daerah-daerah dengan fasilitas peralatan yang sederhana, yaitu: Uji mikrobiologis, dengan menghitung jumlah mikroba (Siagian, 2002). Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama, chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan polication bermuatan positif. Molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan cell bakteri kemudian teradsorbsi membentuk semacam layer(lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel.Adanya gugus amino menjadikan chitosan bermuatan positif sangat kuat. Muatan tersebut menyebabkan chitosan dapat menarik molekul-molekul bermuatan negatif seperti minyak, lemak dan protein (Kusumawati, 2006). Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua, chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk. Adanya gugus amino menjadikan chitosan bermuatan positif sangat kuat. Muatan tersebut menyebabkan chitosan dapat menarik molekul-molekul bermuatan negatif seperti minyak, lemak dan protein (Kusumawati, 2006). Dinding sel kapang umumnya tersusun atas lapisan peptidoglikan dan lipopolisakarida (Tarigan, 1988) berarti komposisi dinding sel kapang terdiri atas lemak dan protein. Menurut Pelczar (1986) cara kerja antimikroba dalam menghambat pertumbuhan sel mikroba dapat dibedakan atas beberapa kelompok salah satunya dengan cara merusak dinding sel mikroba, dengan demikian mekanisme kerja chitosan dalam menghambat pertumbuhan kapang adalah dengan merusak dinding sel dengan cara berikatan dengan dinding sel sehingga menghambat pertumbuhan kapang. Aktivitas chitosan sebagai antimikroba menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Dengan demikian, penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet makanan akan melindungi makanan dari senyawa racun yang dihasilkan oleh kapang Aspergiilus flavus yaitu aflatoksin karena chitosan merupakan bahan polimer alami yang tidak bersifat toksik pada tubuh manusia. Dengan berkurangnya mikroorganisme dalam pangan maka berkurang pula tingkat kerusakan pangan tersebut. Sistem penghambatan yang dilakukan Chitosan dapat menjadi pelapis. Chitosan dapat digunakan untuk mengawetkan edible film buah dan sayuran selama masa penyimpanan. Temuan ini merupakan peluang yang sangat baik untuk selurh kalangan, baik produsen dan konsumen. Produsen dapat menghasilkan produk yang aman dan memiki umur smpan yang panjang. Bagi konsumen sendiri, mereka dapat mengkonsumsi pangan dengan aman untuk kesehatan. Bila pelapis masih digunakan ini dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan. Chitosan merupakan senyawa alami non toksik dan dapat disintesa tubuh sehingga tidak berbahaya. Mutu produk yang disimpan akan tetap bagus dan dapat tahan lama. Permasalahan semakin berkembang saat disadari kurangnya edukasi kepada masyarakat. Perlunya peningkatan sumber daya manusia untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Adanya sosialisasi yang diberikan oleh industri maupun pemerintah dalam mengembangkan sumber daya sehingga meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan limbah – limbah ini menjadi chitosan mampu sedikit menanggulangi permasalahan lingkungan, terutama pencemaran lingungan. Semakin berkurangnya limbah kulit cangkang kepiting yang dibiarkan begitu saja maka semakin rendah pula pencemaran yang terjadi. Limbah kulit cangkang kepiting yang berkurang karena adanya pengembangan limbah yang positif menyebabkan kembalinya kenyamanan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan lingkungan sekitar tanpa adanya bau dan pemandangan yang tidak menyenangkan. Pembuatan chitosan ini sangat membantu dalam menangani limbah dan juga penggunaan pengawet pangan yang berbahaya. Satu sisi lain yang sangat bermanfaat dengan adaanya pemanfaatan limbah menjadi chitosan yaitu dapat dimanfaatkannya chitosan sebagai edible film yang aman untuk dikonsumsi. Chitosan dapat menggantikan pelapis buah saat masa penyimpanan. Limbah – limbah kulit cangkang kepiting yang mengandung kitin yang jika diolah lebih lanjut dapat dimanfaatkan sebagai chitosan, pengganti edible film. Dari segi lingkungan, penggunaan khitosan sebagai edible film relatif aman karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab, selama ini bahan edible film yang sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan dan unbiodegradable. Pemanfaat limbah kulit cangkang kepiting yang dijadikan sebagai edible fim buah stroberi yaitu semakin terhindar dari pencemaran limbah dan dapat mengganggu keamanan lingkungan terutama apabila tidak adanya penanganan limbah yang baik akan terjadi pencemaran dengan semakin banyaknya limbah yang menumpuk. Pemafaatan limbah kulit cangkang kepiting dapat memberikan sisi positif bagi lingkungan diantaranya yaitu dapat memberikan efek yag positif bagi lingkungan sekitar dengan adanya pemanfaatan limbah yang dijadikan sebagai bahan pelapis alami, karena saat ini masih banyaknya bahan pelapis kimia yang berbahaya dan masih banyak digunakan. Pemanfaatan limbah dari kulit cangkang kepiting sebagai kitosan dapat meningkatkan nilai ekonomi dari yang semula dijual hanya dalam bentuk limbah yang belum menjadi bahan olahan yang nantinya akan memiliki manfaat yang banyak akhirnya dengan dijadikannya sebagai chitosan membuat limbah cangkang udah menjadi lebih tinggi nilai jualnya. Chitosan yang ada di Indonesia adalah hasil ekspor dari India, Korea dan Jepang. Indonesia sebagai negara penyedia kepiting seharusnya mampu mengolah limbah kulit cangkang kepiting yang dihasilkan menjadi chitosan karena murah dan pembuatannya relatif mudah. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Khitosan dari limbah cangkang kulit kepiting dapat dijadikan edible film buah contohnya buah stroberi karena memiliki derajat deasetilasi yang sesuai. Dengan adanya chitosan perncearan ligkungan dapat dikendaikan serta chitosan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. B. Saran Masih perlunya penanganan limbah kulit cangkang kepiting dan sosialisasi mengenai pemahaman tentang chitosan agar masyarakat lebih mengenal dan tahu mengenai manfaat yang dapat diambil dari chitosan dan penggunaan chitosan sebagai bahan pelapis atau edible film pada buahbuahan. DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, Rizal, et al., 2007, Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Anonim. 2006. Bahan Alami Pengganti Formalin. http://www.antara. co.id.htm Ernawati, Pt. 2008. Transformasi Khitin menjadi Khitosan dari Limbah Kulit Udang dan Cangkang Kepiting serta Aplikasinya sebagai Biomaterial Antibakteri dan Potensinya sebagai Antikanker.Skripsi.Universitas Udayana, Jimbaran Indra. 2007. Ancaman Formalin di Makanan Kita. http://www.google.com Marganov, 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_7103 4/marganof.htm. Sinaga, M.S., (1993), Analisa Zat Tambahan Makanan (Food Aditive) dan Cemaran MIkroba pada Makanan Jajanan Anak – Anak SD di Kotamadya Medan, Laporan Penelitian Universitas Sumatera Utara, USU Lembaga Penelitian, Medan. Srijanto, B., dan Paryanto, I., Feb. 11, 2005, Pengaruh Suhu pada Pembuatan Khitosan Secara Kimiawi, http://www.faperta.ugm.ac.id/semnaskan/abstrak/prosiding2005/abstrak/bid ang.t p.php. Willes, J. V. (2000). Water Vapor Transmission Rates of Chitosan Film. Journal of Food Science. vol 60, no 7.


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.