Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Agusdianto Bello Chrisdarmanta A.Putra 102012222 Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no 6 Jakarta Barat 11510 Email :
[email protected] Pendahuluan Tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik. Sebagian orang mengeluhkan tidak bisa tidur di malam hari. Kasus ini paling sering terjadi pada usia lanjut. Pertambahan umur menyebabkan perubahan pola tidur sehingga terjadi beberapa gangguan tidur pada usia lanjut. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya gangguan tidur pada usia lanjut antara lain masalah sosial dan psikososial, gangguan psikiatri, penyakit neurologi, alkohol, dan obat- obatan.1 Beberapa gangguan tidur dapat mengancam jiwa baik secara langsung (misalnya insomnia yang bersifat keturunan dan fatal dan apnea tidur obstruktif) atau secara tidak langsung misalnya kecelakaan akibat gangguan tidur. Di Amerika Serikat, biaya kecelakaan yang berhubungan dengan gangguan tidur per tahun sekitar seratus juta dolar. Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter.2 Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes, artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya buruk dan durasi tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang sehat. Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya penyakit secara keseluruhan. Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari. Insomnia adalah gangguan tidur paling sering pada usia lanjut, yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengawali tidur, mempertahankan tidur, bangun terlalu dini atau tidur yang tidak menyegarkan. Demi mendapat kualitas tidur yang maksimal bisanya pasien menggunakan obat sedatif secara berlebihan sehingga timbul beberapa efek samping seperti peningkatan resiko kecelakaan, penurunan produktivitas, meningkatnya resiko depresi dan patah tulang pada usia lanjut.1,3 Anamnesis Anamnesis adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh dokter apabila berhadapan dengan pasien. Anamnesis bertujuan untuk mengambil data berkenaan dengan pasien melalui wawancara bersama pasien maupun keluarga pasien. Anamnesis perlu dilakukan dengan cara-cara khas yang berkaitan dengan penyakit yang bermula dari permasalahan pasien. Anamnesis yang baik akan membantu dokter memperoleh maklumat seperti berikut :4 Penyakit atau kondisi yang mungkin menjadi puncak keluhan pasien (kemungkinan diagnosis) Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan pasien (diagnosis banding) Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko) Kemungkinan penyebab penyakit (etiologi) Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan) Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan diagnosisnya. Bagi pasien yang pertama kali datang ke dokter, pertanyaan yang perlu diajukan adalah data pribadi pasien seperti: 1. Menanyakan identitas pasien : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur, suku, agama, alamat lengkap, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan: Tn. A, 64 tahun. 2. Menanyakan keluhan utama : tidak bisa tidur sejak 2 bulan yang lalu. 3. Menanyakan riwayat penyakit sekarang : selain sulit tidur ada keluhan lain? Misalnya banyak pikiran. Informasi bisa didapat dari keluarga pasien juga. 4. Riwayat penyakit dahulu : sebelumnya ada penyakit apa? Penyakit keturunan hipertensi dan lainnya. 5. Menanyakan riwayat sosial : - lingkungan tempat tinggal contohnya tinggal dekat pembuangan sampah atau di daerah yang tidak bersih. - sosial ekonomi : bekerja sebagai apa. Cukup tidaknya gaji dalam sebulan memenuhi kebutuhan sebulan. Lalu keadaan lingkungan bertetangga bagaimana. Pasien ikut kegiatan lansia atau tidak. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi untuk mengetahui perubahan fungsi tubuh TTV, TB, BB, pengkajian sistem tubuh : Integumen, respirasi, muskuloskletal, kardiovaskuler, perkemihan, persyarafan & sensorik. Pada pasien dengan keluhan sleep apnea, pemeriksaan kepala dan leher yang teliti sangat penting. Untuk pasien dengan keluhan restless legs syndrome atau sindrom neurologic, pemeriksaan neurolgi yang teliti harus dilakukan. Pada pasien insomnia dengan penyebab medis, pemeriksaan pada organ yang mendasari penyakit tersebut dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan Penunjang Polisomnografi adalah alat perekam saat seseorang tidur lengkap yang meliputi perekaman: Gelombang otak tidur (EEG), Gerakan bola mata (EOG), Aktivitas otot (EMG) pada dagu, dan kaki, Getaran dengkur, Aliran udara nafas, Gerakan nafas dada dan perut, Kadar oksigen (SpO2), Posisi tidur, Irama jantung (ECG). PSG memiliki kekhasan sendiri. Dari pemeriksaan tidur kita mendapatkan gambaran fungsi-fungsi tubuh lengkap selama tidur. Bandingkan dengan pemeriksaan foto rontgen atau pemeriksaan lain yang dilakukan saat terjaga yang hanya mendapatkan gambaran sesaat dari kondisi tubuh. Banyak gangguan fungsi tubuh yang hanya terjadi pada saat tidur jadi tak terbaca dari pemeriksaan pada saat terjaga. Diagnosis Insomnia Insomnia didefinisikan sebagai suatu persepsi seseotang merasa tidak cukup tidur atau kualitas tidurnya buruk walaupun orang tersebut sebenarnya memiliki kesempatan tidur yang cukup sehingga mengakibatkan perasaan yang tidak bugar sewaktu atau setelah terbangun dari tidur.5 Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV), insomnia didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk mengawali tidur, mempertahankan tidur, bangun terlalu dini atau tidur yang tidak menyegarkan. Kejadian ini berlangsung lebih dari 1 bulan.6 Melalui pemeriksaan polysomnography pada pasien insomnia didapatkan sleep latency ≥ 30 menit, wake time after sleep onset ≥ 30 menit, sleep efficiency < 85%, atau total sleep time (TST) < 6-6,5 jam.1 Hal ini menyebabkan gangguan pada aktivitas sehari-hari. Etiologi Berdasarkan dugaan etiologinya, gangguan tidur dibagi menjadi empat kelompok yaitu, gangguan tidur primer, gangguan tidur akibat gangguan mental lain, gangguan tidur akibat kondisi medik umum, dan gangguan tidur yang diinduksi oleh zat. I. Gangguan tidur primer Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan disebabkan oleh gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau zat. Gangguan tidur ini dibagi dua yaitu disomnia dan parasomnia. Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan waktu tidur. Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa fisiologis yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur tertentu atau perpindahan tidur-bangun. Disomnia terdiri dari insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritmik sirkadian tidur, dan disomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, berjalan saat tidur, dan parasomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. II. Gangguan tidur terkait gangguan mental lain Gangguan tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh gangguan mental lain (sering karena gangguan mood) tetapi tidak memenuhi syarat untuk ditegakkan sebagai gangguan tidur tersendiri. Ada dugaan bahwa mekanisme patofisiologik yang mendasari gangguan mental juga mempengaruhi terjadinya gangguan tidur-bangun. Gangguan tidur ini terdiri dari: Insomnia terkait aksis I atau II dan Hipersomnia terkait aksis I atau II. III. Gangguan tidur akibat kondisi medik umum Gangguan akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum terhadap siklus tidur-bangun. IV. Gangguan tidur akibat zat Yaitu adanya keluhan tidur yang menonjol akibat sedang menggunakan atau menghentikan penggunaan zat (termasuk medikasi). Penilaian sistematik terhadap seseorang yang mengalami keluhan tidur seperti evaluasi bentuk gangguan tidur yang spesifik, gangguan mental saat ini, kondisi medik umum, dan zat atau medikasi yang digunakan, perlu dilakukan. Insomnia Berdasarkan Etiologi Insomnia primer : insomnia yang penyebabnya tidak diketahui dengan jelas/ idiopatik. Pada pasien tidak ditemukan gangguan medis, gangguan psikiatri atau karena faktor lingkungan. Insomnia sekunder : insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu dan juga oleh obat-obatan. Ada beberapa faktor yang menyebababkan insomnia sekunder misalnya penyakit jantung dan paru, nyeri, gangguan cemas dan depresi serta obat-obatan seperti beta-bloker, bronkodilator dan nikotin.7 Epidemiologi Insomnia lebih sering diderita oleh wanita daripada pria.5 Perubahan Fisiologi Tidur Siklus tidur diatur oleh hubungan timbal balik antara tiga system saraf yang berbeda di batang otak: 1. Arousal system, bagian dari reticular activating system. 2. Pusat tidur gelombang lambat, dan 3. Pusat tidur paradoksikal. Aktivas otak selama tidur dapat direkam mengguanakan EEG. Terdapat 2 jenis tidur, yaitu tidur gelombang lambat (Tidur NREM) dan tidur paradoksikal (tidur REM).5 Tidur NREM dibagi menjadi 4 stadium, yaitu:5 - Stadium 1: seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata dan kedua mata bergerak pelan, pola EEG menunjukan penurunan voltase dengan gelombang alfa yang frekuensinya semakin menurun. - Stadium 2 : kedua bola mata berhenti bergerak tetapi tonus otot tetap terpelihara. Pola EEG menunjukan adanya sleep spindle - Stadium 3 : pola EEG menunjukan gelombang dasar yang lambat dengan amplitude yang meningkat - Stadium 4 : tampak gelombang lambat saja tanpa sleep spindle. Pada tidur 3 dan 4, tonus otot menjadi sangat rendah. Tidur REM ditandai oleh gerakan mata cepat (rapid eye movement), kecepatan denyut Jantung dan frekuensi pernapasan menjadi tidak teratur/irrguler dan tekanan darah berfluktuasi. Tidur REM merupakan tahap tidur yang paling dalam. Kebanyakan orang dewasa tidur sekitar 7-8 jam dalam semalam. Pada bayi dan orang tua terapat frekuensi tidur-bangun yang lebih sering.5 Insomnia dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan etiologinya. Dilihat dari durasinya insomnia dibagi menjadi tiga yaitu: transient insomnia, short-term insomnia, dan insomnia kronis sedangkan berdasarkan etiologinya insomnia dibagi menjadi insomnia primer dan insomnia sekunder. Insomnia Berdasarkan Durasi Transient insomnia: insomnia yang dapat sembuh secara spontan, berlangsung 7 hari. Insomnia akut juga sering disebut dengan transient insomnia, berlangsung 4 minggu. Penyebab insomnia akut adalah ketidaknyaman secara fisik maupun emosional. Insomnia akut dapat berkembang menjadi insomnia kronis apabila tidak ditangani dengan tepat. Short-term insomnia: insomnia yang berlangsung dalam 1- 3 minggu. Insomnia kronis: insomnia yang berlangsung > 3 minggu. Sesuai dengan definisinya insomnia kronik berlangsung minimal selama 1 bulan, akan tetapi menurut beberapa dokter insomnia kronis berlangsung ≥ 3 bulan.4 Penyebab Insomnia Pada Usia Lanjut Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya insomnia akan tetapi pertambahan umur tidak menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia pada usia lanjut. Perubahan pola tidur yang terkait dengan usia terjadi pada Sleep Architecture dan Ritme sirkadian. Sleep Architecture Tidur normal terdiri dari 5 tahap yaitu tahap 1 sampai 4 adalah non-rapid eye movement (NREM) dan tahap yang terakhir adalah Rapid eye movement (REM). Tahap 1 dan 2 disebut tidur ringan sedangkan tahap 3 dan 4 disebut tidur dalam/slow wave sleep/delta sleep. Dari tahap 1-4 akan terjadi peningkatan kedalaman tidur. REM memiliki perbedaan dengan NREM karena pada REM terdapat peningkatan aktivitas simpatetik, pergerakan mata yang cepat, bermimpi dan peningkatan kedalaman serta frekuensi nafas.1,4 Tidur normal diawali dengan tidur NREM dilanjutkan dengan tidur REM.1 Siklus NREM dan REM berulang secara periodik setiap 90-120 menit.1,5 Pola tidur-bangun berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Pada masa neonatus sekitar 50% waktu tidur total adalah tidur REM. Lama tidur sekitar 18 jam. Pada usia satu tahun lama tidur sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur REM. Waktu tidur menurun dengan tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. Kebutuhan ini menetap sampai batas lansia. Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan dalam tahapan tidur. Pada kenyataanya, meskipun mereka mempunyai waktu yang cukup untuk tidur tetapi terjadi penurunan kualitas tidur. Pada usia lanjut terjadi penurunan tidur tahap 3, tahap 4, tahap REM dan REM laten tetapi mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan 2. Perubahan ini menimbulkan beberapa efek yaitu: kesulitan untuk mengawali tidur, menurunnya total sleep time, sleep efficiency, transient arousal dan bangun terlalu dini. Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total lansia hampir sama dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari. Dengan perkataan lain, bertambahnya umur juga dikaitkan dengan kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase atau jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan perpindahan jam kerja. Ritme sirkadian fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme sirkadian selama 24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas saraf otonum, aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Insomnia pada usia lanjut bersifat multifaktorial, selain faktor biologik diatas ada beberapa faktor komorbid yang dapat menyebabkan terjadinya insomnia pada usia lanjut. Insomnia sekunder pada usia lanjut dapat disebabkan oleh faktor komorbid yang terdiri dari : nyeri kronis, sesak nafas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan psikiatri (gangguan cemas dan depresi), penyakit neurologi (Parkinson’s disease, Alzheimer disease), dan obat-obatan (beta-bloker, bronkodilator, kortikosteroid dan diuretik).1 Penanganan Insomnia Pada Usia Setelah diagnosis ditegakkan, dilanjutkan dengan rencana penanganan. Penanganan insomnia pada usia lanjut terdiri dari terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Tujuan terapi adalah menghilangkan gejala, meningkatkan produktivitas dan fungsi kognitif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien usia lanjut.5 Terapi Nonfarmakologi Terapi nonfarmakologi khususnya behavioral therapies efektif sebagai farmakoterapi dan diharapkan menjadi pilihan pertama untuk insomnia kronis pada pasien usia lanjut.1 Behavioral therapies terdiri dari beberapa metode yang dapat diterapakan baik secara tunggal maupun kombinasi yaitu: Stimulus Control Melalui metode ini pasien diedukasi untuk mengunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan menghindari aktivitas lain seperti membaca dan menonton tv di tempat tidur.7 Ketika mengantuk pasien datang ke tempat tidur, akan tetapi jika selama 15- 20 menit berada disana pasien tidak bisa tidur maka pasien harus bangun dan melakukan aktivitas lain sampai merasa mengantuk baru kembali ke tempat tidur. Metode ini juga harus didukung oleh suasana kamar yang tenang sehingga mempercepat pasien untuk tertidur.8 Dengan metode terapi ini, pasien mengalami peningkatan durasi tidur sekitar 30-40 menit. Terapi ini tidak hanya bermanfaat untuk insomnia primer tapi juga untuk insomnia sekunder jika dikombinasi dengan sleep hygiene dan terapi relaksasi.7 Sleep Restriction Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur dan meningkatkan sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada di tempat tidur. Terlalu lama di tempat tidur akan menyebabkan pola tidur jadi terpecah- pecah. Pada usia lanjut yang sudah tidak beraktivitas lebih senang menghabiskan waktunya di tempat tidur namun, berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak teratur. Melalui Sleep Restriction ini diharapkan dapat menentukan waktu dan lamanya tidur yang disesuaikan dengan kebutuhan.8 Sleep Higiene Sleep Higiene bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan Sleep Higiene yaitu: olahraga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas yang merupakan hobi dari usia lanjut, mengurangi konsumsi kafein, mengatur waktu bangun pagi, menghindari merokok dan minum alkohol 2 jam sebelum tidur dan tidak makan daging terlalu banyak sekitar 2 jam sebelum tidur.7 Gangguan tidur dapat berbentuk buruknya higiene tidur dan gangguan tidur spesifik. Evaluasi keluhan tidur lansia hendaklah selalu dilakukan. Keluhan tidur hendaknya jangan diabaikan meskipun mereka sudah tua. Buruknya higiene tidur dapat disebabkan oleh harapan yang berlebihan terhadap tidur atau jadual tidur. Akibatnya, lansia sering menghabiskan waktunya di tempat tidur atau sebentar-sebantar tertidur disiang hari. Terapi relaksasi Tujuan terapi ini adalah mengatasi kebiasaan usia lanjut yang mudah terjaga di malam hari saat tidur. Pada beberapa usia lanjut mengalami kesulitan untuk tertidur kembali setelah terjaga. Metode terapi relaksasi meliputi: melakukan relaksasi otot, guided imagery, latihan pernapasan dengan diafragma, yoga atau meditasi. Pada pasien usia lanjut sangat sulit melakukan metode ini karena tingkat kepatuhannya sangat rendah.1 Seperti pada terapi nonfarmakologi, tujuan terapi farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut.1 Ada lima prinsip dalam terapi farmakologi yaitu: menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermiten (3-4 kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4 mimggu), penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Selain kelima prinsip diatas, dalam memberikan obat harus memperhatikan perubahan farmakokinetik dan farmokodinamik pada usia lanjut. Dengan pertambahan umur akan terjadi perubahan dalam distribusi, metabolisme dan eliminasi obat yang berkaitan erat dengan timbulnya efek samping obat.2 Terapi farmakologi yang paling efektif untuk insomnia adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau non-Benzodiazepine. Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin, antipsikotik.1 Menurut The NIH state-of-the-Science Conference obat hipnotik baru seperti eszopiclone, ramelteon, zaleplon, zolpidem dan zolpidem MR lebih efektif dan aman untuk usia lanjut. Kesimpulan Gangguan tidur dapat disebabkan berbagai faktor, pertamabahn usia, depresi, penggunaan obat dan zat lainnya, ritme sirkadian. Insomnia terjadi usia lebih banyak pada lanjut, namun tidak mendapatkan pengobatan. Insomnia ini merupakan gangguan sederhana namun tidak dapat sembuh spontan, dapat menggunakan terapi untuk menanganinya, pada usia lanjut terdiri dari terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Terapi farmakologi yang aman untuk usia lanjut adalah golongan Benzodiazepine (BZDs), Non-Benzodiazepine dan sedating antidepressant. Golongan BZDs yang paling sering dipakai pada usia lanjut adalah temazepam. Daftar Pustaka Galimi R. Insomnia in the elderly: an update and future challenges. G Gerontol. 2010;58:231-247. Frost R. Sleep Disorder. Dalam: Introductory Textbook of Psychiatry, Andreasen NC, Black DW. eds, 3rd ed. Am Psychiatric Publ. Inc, Washington DC, London. 2001.hal. 643-66 Kamel NS, Gammack JK. Insomnia in the elderly: cause, approach, and treatment. The American Journal of Medicine. 2006;119:463-469. Gleadle J. At a Glance: anamnesis dan pemeriksaan. edisi bahasa indonesia, ahli bahasa: anisa rahmalia. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2005.h.13-7. Kristal AD, Walsh JK, Laska E, Caron J, Amanto DA, Wessel TC, Roth T. Sustained efficacy of eszopiclone over 6 month of nightly tratment: results of a randomized, double blind, placebo-controlled study in adults with chronic insomnia. Sleep.2003;26(7):793-799. Hirshkowitz M, Seplowitz-Hapkin RG, Sharafkhaneh A. Sleep Disorder. In: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & sadock’s comprehensive textbook of psychiatry. 9thed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;2009.p.2150-77. Endeshaw Y, Bliwise DL. Sleep disorder in the elderly. In Agronin ME, Maletta GJ. Principle and practice of geriatric psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.p.505-22. Woodward MC. Managing insomnia in older people. Journal of pharmacy practice and research. 2007;37:236-241.