Patofis Anemia

April 5, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

METABOLISME ZAT BESI PADA TUBUH MANUSIA Luh Seri Ani Bagian IKK-IKP Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali 80232 e-mail: [email protected] ABSTRAK Besi merupakan trace element yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Besi berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya. Tubuh telah mengatur zat besi yang beredar mulai dari fase penyerapan, transportasi, penyimpanan dan utilisasi besi tubuh melalui proses metabolism besi yang berimbang. Meskipun demikian, kemungkinan gangguan metabolism besi tubuh seperti kekurangan maupun kelebihan zat besi tetap ada. Dalam makalah ini, diuraikan proses penyerapan, transportasi, penyimpanan dan penggunaan zat besi dalam tubuh manusia. Dengan memahami proses metabolism zat besi tubuh diharapkan timbulnya kesadaran tentang pentingnya zat besi dalam metabolism tubuh lainnya. Kata kunci: anemia defiensi besi, metabolisme, cadangan besi ABSTRACT Iron is a trace element in human being and is very important for metabolism. The iron is responsible for carrying oxygen and electron, and its also functions as catalyst for oxygenation, hydroxylation and other metabolic reactions. Therefore iron deficiency or excess iron in human being is considered as dangerous physiologically. Although human body managed their iron metabolism using balancing process, i.e. commenced from absorption, transportation, storage and utilization, however iron deficiency or excess iron is still possible to occur. This is mainly because iron deficiency is related to diminishing and emptying of iron storage for erythropoetics. This paper describes the process of absorption, transportation storage and utilization of iron in human body. It is hoped that by understanding iron metabolism, the awareness of the important of iron will be increased. Keywords: iron deficiency anemia, metabolism, iron storage PENDAHULUAN Besi adalah sebuah nutrien esensial yang diperlukan oleh setiap sel manusia. Sebagai logam transisi dengan nomor atom 26 dan berat atom 55,85, besi dapat berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya, melalui kemampuannya berubah bentuk antara fero (Fe2+) dan fase oksidasi Fe3+. Besi ditransportasi dan disimpan bukan sebagai kation bebas tapi dalam bentuk Fe yang terikat. Besi ionik dapat berpartisipasi dalam berbagai reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak sel. Adanya penurunan atau peningkatan besi dalam tubuh mungkin menghasilkan efek yang signifikan secara klinis. Jika terlalu sedikit besi yang ada (defisiensi besi) akan terjadi pembatasan sintesis komponen yang mengandung besi aktif sehingga secara normal mungkin berbahaya. Demikian pula jika terlalu banyak besi terakumulasi (kelebihan besi) dan melebihi kapasitas tubuh untuk mentransport dan menyimpannya akan menimbulkan toksisitas besi yang selanjutnya memicu terjadinya kerusakan dan kematian 1 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 organ yang luas. Besi di alam berasal dari sumber hewani dan nabati. Kualitas atau bioavailibilitas besi yang dihasilkan dari kedua sumber zat besi tersebut juga berbeda oleh karena kemampuan tubuh manusia untuk menyerap besi ikut dipengaruhi. Bagaimana besi di alam dapat diserap oleh tubuh manusia, dialirkan, disimpan serta digunakan, kemudian di ekskresikan, akan dibahas dalam makalah ini. PEMBAHASAN Metabolisme Besi Besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi cadangan dan besi transport. Besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, mioglobin dan berbagai jenis ensim. Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan dengan protein tertentu untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainya. Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi ini dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin yang berperan sebagai penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi. Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Hoffman, 2000). Reseptor transferin adalah suatu glycoprotein yang terletak pada membran sel, berperan mengikat transferin-besi komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler. Kompleks transferin-reseptor transferin selanjutnya kembali ke dinding sel, dan apotransferin dibebaskan ke dalam plasma. Feritin sebagai protein penyimpan besi yang bersifat nontoksik akan dimobilisasi saat dibutuhkan. Iron regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal sebagai iron responsive element-binding proteins [IRE-BPs], iron regulatory factors [IRFs], ferritin-repressor proteins [FRPs] dan p90) merupakan messenger ribonucleic acid (mRNA) yang mengkoordinasikan ekspresi intraseluler dari reseptor transferin, feritin dan protein penting lainnya yang berperan dalam metabolisme besi, seperti terlihat pada gambar 1. Gambar 1. Struktur protein transport (Beutler at al, 2000) 2 Metabolisme Zat Besi pada Tubuh Manusia Seri Ani Bagian A adalah struktur apotransferin. Secara skematik struktur apotransferin terdiri atas cincin polipeptid yang terbagi dalam dua lobus, masing-masing berbentuk elip dan mengandung single iron-binding site yang ditampilkan dengan sebuah tanda titik. Setiap lobus disusun dengan dua domain yang berbeda, diberi label I dan II. Selain itu dikenal juga adanya dua lobus yaitu lobus N-terminal dan C-terminal. Bagian B adalah reseptor transferin. Skema di atas menampilkan reseptor transferin di atas permukaan sel. Transferin reseptor merupakan dimer glikoprotein transmembran terdiri atas dua subunit yang identik dihubungkan dengan ikatan disulfide. Transferin reseptor bersifat ampipatik dengan ekor sitoplasmik hidrofilik yang kecil dan domain ekstraseluler hidropilik yang luas. Reseptor dapat mengikat dua molekul transferin (Beutler at al, 2000). Mekanisme Molekuler dari Ambilan Besi Seluler Ambilan besi sel melalui transferrintransferrin reseptor terjadi melalui proses endositosis. Jalur utama peran transferin, reseptor transferin dan feritin dalam penyimpanan dan penyediaan besi seluler ditunjukkan secara sistematik pada gambar 2. Gambar 2 menunjukkan distribusi besi ke sel secara skematik yang dimulai dengan terikatnya satu atau dua molekul transferin mono atau diferik pada reseptor transferin dan proses ini tergantung energi dan suhu serta selesai dalam waktu 2-3 menit. Pada pH plasma netral, kompleks transferin-besi jauh lebih stabil dengan mengikatkan transferin pada reseptor transferin baik untuk transferin monoferik maupun diferik. Efisiensi dari distribusi besi ke sel tergantung pada Gambar 2. Suplai besi seluler dan penyimpanan (Beutler at al, 2000) 3 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 jumlah transferin plasma mono dan diferik yang ada. Pada keadaan erytropoesis normal dan saturasi transferin normal yaitu sekitar 33%, afinitas tertinggi dari reseptor untuk transferin diferik menghasilkan aliran besi yang banyak ke sel, dengan dilengkapi empat atom besi pada tiap siklusnya. Saat saturasi tranferin sekitar 19%, besi dalam jumlah sama dihantarkan melalui transferin mono atau diferik, sementara pada saturasi yang rendah, kebanyakan besi dihantarkan dari bentuk monoferik (Beutler at al, 2000). Peranan Reseptor Tranferin dalam Melepaskan Besi dari Transferin di dalam Endosome Reseptor transferin memainkan peran penting dalam pelepasan besi dari kedua transferrin pada saat endosom berada dalam pH asam (Beutler at al, 2000). Pada saat pH 5,6, besi akan terlepas dari sisi N-terminal transferin. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada sel eritroid, dimana besi telepas dari kedua sisi transferin dalam waktu 23 menit. Tampaknya interaksi antara reseptor transferin dengan transferin mempengaruhi pelepasan besi. Pada pH 5,6, besi dilepaskan dari transferrin monoferik dan bentuk N-terminal (FeNTf) 3 kali lebih cepat daripada C-terminal (FeCTf). Ikatan dengan reseptor transferin sedikit mempengaruhi pelepasan FeN Tf namun terjadi peningkatan pada sisi C-terminal. Ikatan reseptor transferin pada pH 5,6 mengubah kedua sisi transferin yang mengikat besi dimana besi pada lobus N-terminal bersifat stabil, tidak pada sisi C-terminal. Reseptor transferin yang terikat transferin dalam endosomal mempengaruhi jumlah besi yang dilepaskan dari transferin dalam sel eritroid, selain itu juga meminimalkan perbedaan antara sisi C-terminal dan N-terminal (Beutler at al, 2000). Transport Besi Melewati Membran Endosom melalui Nramp2 Setelah dilepaskan besi harus ditransportasikan melewati membran endosomal. Pergerakan besi keluar endosom dan absorsinya di usus, diperantarai oleh Nramp2 (Natural resistance-assosiated macrophage protein 2) yaitu protein pengangkut besi transmembran (Beutler at al, 2000; Hoffman, 2000). Mekanisme Kembalinya Komplek Reseptor transferin-Transferin ke Permukaan Sel. Keasaman dalam endosom meningkatkan afinitas apotransferrin terhadap reseptor transferin sehingga menghasilkan kompleks apotransferinreseptor transferin dan selanjutnya di hantarkan ke permukaan sel endosom. Paparan dengan pH plasma menyebabkan apotransferin kehilangan afinitasnya terhadap reseptor transferin sehingga terlepas dari membran endosom. Hal ini memungkinkan apotransferin dan reseptor transferin bisa digunakan kembali (Beutler at al, 2000; Hoffman, 2000). Pengaturan, Penyimpanan dan Ambilan Besi Seluler Di dalam sel, IRP-1 dan IRP-2 tersedia untuk mengatur penyimpanan dan ambilan besi melalui pengontrolan translasi untuk sintesis reseptor transferin dan feritin. Sintesis reseptor transferin disesuaikan dengan jumlah citoplasmic transferin reseptor mRNA. Regio 3 ’ yang tidak ditranslasikan (3’ UTR) dari reseptor transferin mRNA mengandung 5 IRE. Ikatan IRP dengan IRE pada 3’ UTR memperlambat degradasi dan meningkatkan konsentrasi cytoplasmic transferrin receptor mRNA serta jumlah sintesis reseptor transferin. Dengan meningkatnya jumlah reseptor sel, ambilan besi meningkat. Sintesis ferritin dikontrol (tanpa mengubah jumlah ferritin yang ada) dengan menekan translasi ferritin mRNA. Regio 5’ yang tidak ditranslasikan (5’ UTR) dari ferritin mRNA mengandung IRE tunggal. Ikatan antara IRP-IRE menghentikan translasi ferritin mRNA sehingga sedikit ferritin yang diproduksi dan sekuester besi dikurangi. Pengaturan besi intrasel dilakukan oleh IRP sehingga menghasilkan efek yang berlawanan terhadap sintesis reseptor 4 Metabolisme Zat Besi pada Tubuh Manusia Seri Ani transferin dan ferritin. Penurunan besi intraseluler menyebabkan peningkatan proporsi tingginya afinitas IRP. Peningkatan IRP-IRE meningkatkan produksi reseptor transferin tapi menurunkan feritin. Meningkatnya besi intrasel menyebabkan terangkainya 4Fe-4S dengan kehilangan aktivitas binding IRP-1 dan untuk IRP-2 akan menyebabkan proteolisis yang spesifik. Sedikit IRP yang terikat IRE akan menurunkan produksi reseptor transferin dan meningkatkan produksi ferritin. Keseimbangan dan efek berlawanan ini mengubah ambilan besi dan penyimpanannya oleh IRP dalam rangka mempertahankan homeostasis besi intraseluler tetap konstan dan dapat berrespon pada oksidatif stres serta inflamasi. IRP juga terikat pada Functional IRE pada 5’ UTR dari mRNA yang ada pada sintesis erytroidspecifik-d-amino levolinic acid (eALAS) dan mitokondrial aconitase serta menghambat sintesisnya dibawah kondisi kekurangan besi, berkaitan dengan penggunaan besi dan energi sel untuk mengatur homeostasis besi (Beutler at al, 2000; Hoffman, 2000). Siklus Besi dalam Tubuh Konsentrasi besi tubuh normal adalah 4050 mg Fe/Kg BB dimana laki-laki lebih besar dari perempuan. Kebanyakan besi yang ada berupa senyawa dengan berikatan pada protein tertentu, bukan dalam bentuk logam bebas. Besi ditransport dalam bentuk ikatan dengan transferin plasma dan transferin cairan ekstrasel. Jumlah besi sekitar 5-6 mg Fe/Kg pada wanita, 10-12 mg Fe/Kg pada laki-laki disimpan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin, dalam hepatosit, makrofag dihati, sumsum tulang, limpa dan otot sebagai persiapan saat kehilangan darah (Bakta, 2000). Besi diet yang diserap usus kemudian diikat oleh transferin plasma. Pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg, jumlah besi-transferin dalam plasma sekitar 3 mg, meskipun besi harian yang ditransport melalui cara ini lebih dari 30 mg. Sebagian besar besi ± 24 mg/hari berada di prekursor erythroid sumsum tulang, dan sebagian besar dari jumlah ini yaitu sekitar 17 mg/hari menjadi hemoglobin di dalam erithrosit disirkulasi yang nantinya akan dikatabollisme oleh makrofag dalam sumsum tulang, limpa dan hati. Besi kemudian dilepaskan dari hemoglobin dan kembali ke transferin plasma. Beberapa dari besi dalam erythroid sumsum tulang sekitar 7 mg Fe/ hari dikatabolisme langsung oleh makrofag karena fagositosis pada prekursor erythroid yang terganggu atau perpindahan dari feritin erytrosit menyebabkan makrofag mengembalikan besi ke transferin plasma ± 22 mg Fe/hari. Besi dalam erytron yang mengalami pergantian berasal dari beberapa besi yang baru diabsorpsi dari GI tract dan dari fraksi minor sekitar 2 mg Fe/hari besi Hb yang masuk ke plasma melalui enukleasi normoblas atau hemolisis intravaskuler. Selanjutnya akan terikat dengan haptoglobin/ hemopexin dan dihantarkan ke hepatosit (Andrew, 1999). Keseimbangan Besi dalam Tubuh Keseimbangan besi ditentukan oleh perbedaan antara asupan besi dan keluaran besi dari tubuh. Jika persediaan besi tubuh menurun maka absorpsinya meningkat, sebaliknya absorbsi akan meningkat jika persediaan besi tubuh menurun. Besi yang diserap usus atau dikeluarkan setiap hari berkisar antara 1-2 mg. Besi heme dan nonheme diabsorpsi melalui brush border pada usus kecil bagian atas. Absorpsi besi yang terkandung dalam diet, ditentukan oleh jumlah dan bentuk besi, komposisi diet dan faktor gastro intestinal (GI tract). Besi heme biasanya terkandung sedikit dalam diet namun absorpsinya sekitar 20-30%. Kebanyakan besi yang terkandung dalam diet berupa besi non heme yaitu sekitar 90% dan absorpsinya dipengaruhi oleh keseimbangan antara inhibitor seperti phytate, tanat, fosfat dan ditingkatkan oleh asam amino dan asam askorbat. Biasanya kurang dari 5% besi non heme yang terabsorpsi. Ketersediaan besi juga dipengaruhi oleh faktor gastrointestinal seperti sekresi gaster, gerakan usus dan akibat dari operasi atau penyakit usus. 5 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Gambar 3. Keseimbangan besi tubuh (Andrew, 1999) Absorpsi besi diatur oleh sel mukosa usus kecil bagian proksimal. Regulasi mokusal dari absorpsi besi mungkin terjadi melalui satu atau lebih langkah berikut ini yaitu: (1) mukosa mengambil besi yang melewati vili dan membran, (2) retensi besi dalam mukosa, (3) pemindahan besi dari sel mukosa ke plasma. Secara umum mekanisme absorpsi besi melalui sel mukosa ini mampu memenuhi kebutuhan cadangan besi dan tingkat eritropoesis dimana absorpsi meningkat jika cadangan besi menurun dan aktivitas eritropoesis meningkat. Sekitar 3,5mg Fe/hari diabsorpsi dari diet dengan bioavalaibilitas yang cukup dan pada fase defisiensi besi Gambar 3. Keseimbangan besi tubuh (Andrew, 1999) terdapat faktor yang meningkatkan absorpsi besi (Andrew, 1999). Absorbsi Besi Besi diet yang berasal dari makanan diserap dalam usus. Proses absorbsi besi dalam usus terdiri atas 3 fase yaitu fase luminal, fase mukosal dan fase sistemik atau korporeal (Bakta, 2000). Pada fase luminal ikatan besi dari bahan makanan dilepaskan atau dirubah menjadi bentuk terlarut dan terionisasi. Kemudian besi dalam bentuk feri (Fe3+) direduksi menjadi bentuk fero (Fe2+) sehingga siap diserap usus. Dalam proses ini getah lambung dan asam lambung memegang peranan penting. Absorbsi paling baik terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal. Hal ini dihubungkan dengan jumlah reseptor pada 6 permukaan usus dan pH usus. Di dalam usus, besi akan dibedakan menjadi besi non haem dan besi haem. Kedua jenis besi ini mempunyai sifat sangat berbeda. Besi haem diserap secara langsung, tidak dipengaruhi oleh bahan penghambat atau pemacu dan presentase absorbsinya besar yaitu 4 kali dari besi non haem. Sedangkan absorbsi besi non haem sangat dipengaruhi oleh zat pengikat (ligand) yang dapat menghambat ataupun memacu absorbsi. Senyawa besi haem terdapat dalam daging, ikan dan hati. Besi haem ini diserap secara utuh dan setelah berada dalam epitel usus (enterosit) akan dilepaskan dari rantai porfirin oleh ensim haemoxygenase, kemudian ditransfer ke dalam plasma atau disimpan dalam ferritin. Persentase besi yang diserap sangat tinggi yaitu 10-25%. Penyerapan besi non haem sangat dipengaruhi oleh adanya zat-zat yang mempertahankan besi tetap dalam keadaan terlarut. Bahan ini disebut zat pemacu atau promoter atau enhancer. Sedangkan zat penghambat atau inhibitor adalah zat yang membentuk kompleks yang mengalami presipitasi sehingga besi sulit diserap. Bahanbahan yang bekerja sebagai pemacu utama ialah. daging, ikan dan hati, asam askorbat atau vitamin C. Beberapa bahan yang terdapat dalam daging yang dikenal sebagai meat factor seperti asam amino, cysteine dan glutathion dapat Metabolisme Zat Besi pada Tubuh Manusia Seri Ani meningkatkan absorbsi besi melalui pembentukan soluble chelate yang mencegah polimerisasi dan presipitasi besi. Asam askorbat merupakan bahan pemacu absorbsi yang sangat kuat yang berfungsi sebagai reduktor yang dapat mengubah feri menjadi fero, mempertahankan pH usus tetap rendah sehingga mencegah presipitasi feri dan bersifat sebagai monomeric chelator yang membentuk iron-ascorbate chelate yang lebih mudah diserap. Zat penghambat absorbsi besi sebagian besar terdapat dalam makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Penghambat paling kuat ialah senyawa polifenol seperti tanin dalam teh. Teh dapat menurunkan absorbsi sampai 80 % sebagai akibat terbentukknya kompleks besi-tanat. Kopi juga mengandung polipenol tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan teh. Bahan penghambat lain ialah phytate, bekatul, kalsium, posfat, oksalat dan serat (fibre) yang dapat membentuk kompleks polemer besar. Fase absorbsi yang ke dua adalah fase mukosal. Pada fase mukosal besi diserap secara aktif melalui reseptor. Jika dosis terlalu besar besi akan masuk secara difusi pasif. Dalam sel enterosit besi akan diikat oleh suatu karier protein spesifik dan ditransfer melalui sel ke kapiler atau disimpan dalam bentuk feritin dalam enterosit kemudian dibuang bersamaan dengan deskuamasi epitel usus. Susunan karier protein ini belum diketahui dengan pasti. Ada yang menduga sebagai suatu transferin like protein. Pada fase sistemik (korporeal) besi yang masuk ke plasma diikat oleh apotransferin menjadi transferin dan diedarkan ke seluruh tubuh, terutama ke sel eritroblast dalam sumsum tulang. Semua sel mempunyai reseptor transferin pada permukaannya. Transferin ditangkap oleh reseptor ini dan kemudian melalui proses pinositosis (endositosis) masuk dalam vesikel (endosome) dalam sel. Akibat penurunan pH, besi, transferin dan reseptor akan terlepas dari ikatannya. Besi akan dipakai oleh sel sedangkan reseptor dan transferin dikeluarkan dan dipakai ulang. Besar kecilnya penyerapan besi oleh usus ditentukan oleh faktor intraluminal dan faktor regulasi eksternal. Faktor intraluminal ditentukan oleh jumlah besi dalam makanan, kualitas besi (besi haem atau non haem), perbandingan jumlah pemacu dan penghambat dalam makanan. Faktor regulasi luar ditentukan oleh cadangan besi tubuh dan kecepatan eritropoesis. Gangguan Metabolisme Besi Anemia diakibatkan oleh karena berkurangnya penyediaan besi atau gangguan utilisasi besi dalam susmsum tulang. Anemia hipokromik mikrositer dengan gangguan metabolisme besi merupakan penyebab anemia paling sering dijumpai baik dalam praktek klinik maupun di lapangan (Bakta, 2000). Salah satu anemia yang termasuk dalam anemia ini adalah anemia defisiensi besi. Patogenesis anemia defisiensi besi diawali dengan adanya perdarahan menahun. Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi atau sering disebut iron deficient erythropoiesis. Selanjutnya muncul anemia hipokromik mikrositer yang disebut iron deficiency anemia (Bakta, 2000). KESIMPULAN Metabolisme zat besi pada tubuh manusia sudah sangat berimbang antara yang diserap dan yang dikeluarkan. Namun beberapa faktor dapat menyebabkan adanya gangguan metabolisme besi diantaranya adalah kurangnya sediaan zat besi tubuh, ganguan utilisasi besi dalam sumsum tulang yang dapat mengakibatkan keadaan kekurangan besi tubuh dan atau anemia. 7 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 SARAN Setiap orang memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan metabolisme besi sehingga deteksi dini perlu diupayakan secara teratur terhadap timbulnya tanda atau gejala kekurangan atau kelebihan besi tubuh, terlebih lagi untuk kelompok-kelompok tertentu yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diantaranya adalah kelompok usia anak-anak, remaja putri, wanita dewasa dan wanita hamil. DAFTAR PUSTAKA Allen LH, 1997. Pregnancy and Iron Deficiency: Unresolved Issues. Nutr Revs 55 (4): 91101. Andrews NC, 1999. Disorders of iron metabolism. N Engl J Med 341:1986-90. Baker WF, 2000. Iron deficiency in pregnancy. Hemat Onc Clin North Am 14 (5): 106177. Bakta IM, 2000. Hematologi klinik ringkas. Percetakan Universitas Udayana Denpasar. Bakta IM, Widjana DP, dan Sutisna P, 1998. The prevalence of anemia of the rural population in Bali. J Ind Med Ass 1 (3): 1-3. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2002. Bali Dalam Angka. Badan Statistik Daerah, Denpasar. Beard J and Tobin B, 2000. Iron status and exercise Am J Clin Nutr 72 (2): 594S597s. Bothwell TH, 1995. Overfiew and Mechanism of Iron Regulation. Nutr Rev 53: 237-45. Brian S. Alper, Roger Kimber, Reddy AK, 2000. Using Ferritin Level to Determine IronDeficiency Anemia In Pregnancy. J Fam Pract 14 (4): 27-29. Brose MS, 2003. Ferritin. Midline Plus. Medical Encyclopedia: 1-3. Brunner,1996. Benefits of iron? Even in the absence of anaemia, iron supplementation improves some aspects of cognitive 8 functioning in iron-deficient adolescent girls. Lancet 348 (9033): 240-45. Carriaga NT, Skikne DS, Finley D, Cutler D, Cook J, 1991. Serum Transferring Receptor for the Detection of Iron Defiency in Pregnancy. Am J Clin Nutr 54: 1077-81. Conrad ME, 2003. Iron deficiency anemia. E Med com, Inc. (17): 267-69. Cuningham FG, Gant NF, Leveno, KJ, et al, 2001. Williams Obstetrics 21st edition, Mcgraw-Hill Medical Publising Div, New York: 1310-23. Blight G, Sadler S, Helman T, 1993. Definition and Laboratory Assessement of Iron Status. In: Iron Status and Pregnacy. [email protected] : 1-5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000. Pedoman pemberian tablet besi folat dan sirop besi bagi petugas. Dekpes:1-16. Ernawati F, Rosmalina Y, Herman S, 2001. Kebutuhan ibu hamil akan tablet besi untuk pencegahan anemia. Pen Gizi dan Makanan (24): 69-70. Ezzati M, Hoorn SV, Rodgers A, et al., 2003. Estimates of global and regional potential health gains from reducing multiple major risk factors. Lancet 362: 271-80. Garcia OP, Diaz M, Rosado JL, Lindsay H, 2003. Ascorbic acid from lime juice does not improve the iron status of iron-deficient women in rural Mexico. Am J of Clin Nutr 78 (2): 267-73. Gary M, Hoffman B, 2000. Disorders of Iron Metabolism: Iron Deficiency and Overload in: Hematology Basic Principles and Practice, 3rd ed. Mosby, Inc : 24547. Ghattas H, Fulford T, Prentice A, 2003. Effect of moderate anaemia on later mortality in rural African children. Lancet 361 (9374): 49-51. Hallberg L, Huthen L, 2000. Prediction of dietary iron absorption: An algorithm for calculating absorption and bioavailability Metabolisme Zat Besi pada Tubuh Manusia Seri Ani of dietary iron. Am J of Clin Nutr 71 (5):1147-60. Hamadani JD, Fuchs GJ, Osendarp SJM, et al., 2002. Zinc supplementation during pregnancy and effects on mental development and behaviour of infants: a follow-up study. Lancet 360: 290-94. Higgins C,1995. Deficiency testing for iron, vitamin B12 and folate. Nurs Times 91(22):38-9. Hoffman, 2000. Iron metabolism, Basic Principle and Practice 3rd ed, Churchill Livingstone, Inc: 399-45. Hindmarsh MP, Geary P, Rodeck CH, Jackson MR, Kingdom JCP, 2000. Effect of early maternal iron stores on placental weight and structure. Lancet 356 (9231): 71923. Ioannou GN, Spector J, Scott K, Rockey DC, 2002. Propestive evaluation of a clinical guideline for the diagnosis and management of iron deficiency anemia. Am J Med 113 (4): 281-87. Jenkins DT, Wishart MM, Schenberg C., 1978. Serum ferritin in pregnancy. Aust N Z J Obstet Gynaecol 18(4):223-5. Jeffrey R, Backstrand JR, Allen LH, Black AK, de Mata M, Gretel H, 2002. Diet and iron status of nonpregnant women in rural Central Mexico. Am J Clin Nutr 76 (1):156-164. Ma A, Chen X, Zheng M, Wang Y, Xu R, Li J, 2002. Iron status and dietary intake of Chinese pregnant women with anaemia in the third trimester. Asia Pacific J Clinl Nutr 11; 171-4. Mendoza C, Fernando E, Viteri FE, Bo Lönnerdal , Raboy V, Young KA, Kenneth H, 2001. Absorpsion of iron. Am J Clin Nutr 73 (1): 80-85. Monsen EL, 1999. The ironis of iron. Am J Clin Nutr 69 (5): 831-32. Muhilal, Suamrno I, Komari, 2004. Review of surveys and supplementation studies of anemia in Indonesia. Newton E and Eckstein M, 2002. Chronic Medical Illness During Pregnancy. In: Marx Rosen’s Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice, 5th ed., Mosby, Inc.: 2434-5. Purwani RD dan Hadi H, 2002. Pengaruh pemberian pil besi folat dan pil vitamin C terhadap perubahan kadar hemoglobin anak Sekolah Dasar yang anemia di desa nelayan Kabupaten Rembang. J Kedokt Yarsi; 10 (3): 8-15. Ross J, Horton S, 1998. Economic consequen of iron deficiency, ISBN pp 544. Rush D, 2000. Nutrition and maternal mortality in developing world. Am J Clin Nutr 72 (1): 212S-240s. Rustan E, Saidin M, Rosmalina Y, dkk, 2001. Pengaruh penambahan asam folat, vitamin B12, dan B6 pada pil besi terhadap kadar homocystein plasma ibu hamil anemia. Pen Gizi dan Makanan (24): 44-50. Sastromidjojo S, 2003. Anemia pada wanita, khususnya wanita hamil. MOGI suppl 12: 2-5. Thomas H, Bothwell, 2000. Iron Requirement in Pregnancy and Strategies to Meet Them. Am J Clin Nutr 72(1): 257S-264s. WHO, 2002. Micronutrient deficiencies batltling iron deficiency anemia. http:// www.who.int/nut/ida. htm. 9 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 AKTIVITAS SITOKIN PROINFLAMASI AKIBAT OLAHRAGA BERLEBIH I Nyoman Arsana Program Studi Biologi FMIPA Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau Denpasar, e-mail : [email protected] ABSTRAK Olahraga dipandang sebagai suatu paradoks karena disatu sisi diyakini dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran fisik, tetapi disisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan. Selama olahraga akan terbentuk Reactive Oxygen Species (ROS). ROS akan menyebabkan kerusakan sel sehingga akan memicu respon inflamasi. Sel yang rusak dianggap sebagai antigen dan diikat oleh antigen-presenting cell (APC) melalui Toll-like receptor-4 (TLR4), kemudian mengaktivasi myeloid differentiation primaryresponse protein 88 (MyD88) sebagai domain sitoplasmiknya. MyD88 memicu serangkaian kaskade intraselluler yang terdiri dari IL-1 receptorassociated kinase (IRAK)-1 dan TNF-α receptor-associated factor (TRAF-6), selanjutnya mengaktivasi jalur mitogen-activated protein kinase (MAP kinase) atau NFκB pathway untuk menimbulkan ekspresi gen. Ekspresi gen terlihat dari adanya peningkatan sitokin proinflamasi (IL-1β, IL-6, TNFα) selama aktivitas olahraga, namun demikian Tumor necrosis factor (TNF-α) mengalami sedikit peningkatan dan terjadi hanya pada olahraga berlebihan dan dengan durasi lama seperti lari marathon. Kata kunci: olahraga, sitokin proinflamasi, Reactive Oxygen Species. ABSTRACT Sport is considered as paradox because in one side it is believed that sport could enhance health and physical fitness, but in the other side it gives a negative effect on the health. During sport activity, reactive oxygen species (ROS) is produced and will damage cell. So it could be a trigger for inflammation responses. The damage cell will act as antigen and it is bound by antigen-presenting cell (APC) via Toll-like receptor-4 (TLR-4), and activate myeloid differentiation primary response protein 88 (MyD88) as cytoplasmic domain. MyD88 triggers a series of intracellular cascade which is consisted of IL-1 receptor associated kinase (IRAK)-1 and TNF-α receptorassociated factor (TRAF-6), which then activate mitogen-activated protein kinase (MAP kinase) or NFκB pathway to produce gene expression. Gene expression is indicated by the increase of proinflamation cytokine (IL-1β, IL-6, and TNF- α) during sport activity. Even though, this tumor necrosis factor (TNF-α) is only slightly increase and could only occur in over training and with prolonged sport activity, such as marathon race. Key words: Sport, proinflamation cytokine, Reactive Oxygen Species PENDAHULUAN Olahraga dipandang sebagai suatu paradoks karena disatu sisi diyakini dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran fisik, tetapi disisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan. Penyakit 10 seperti kardiovaskuler, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, osteoporosis, serta proses penuaan dipercaya dapat dicegah melalui aktivitas olahraga. Namun demikian, olahraga dengan takaran berlebihan akan membahayakan Aktivitas Sitokin Proinflamasi Akibat Olahraga Berlebih Arsana karena melebihi kemampuan tubuh untuk mentolerirnya sehingga justru akan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan. Sementara olahraga dengan takaran rendah belum mampu meningkatkan kesehatan dan kebugaran. Pengaruh buruk dari olahraga tampak dari beberapa hasil penelitian. Pelatihan berlebih yang dilakukan oleh anggota tentara dapat menyebabkan penurunan berat badan, peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan tekanan darah (sistolik dan diastolik), penurunan kadar Hb, peningkatan kadar leukosit, kerusakan jaringan (Arifin, 2005), penurunan konsentrasi spermatozoa sampai 61,8 % dan motilitasnya sampai 72,3 % (Binekada , 2002), peningkatan limfosit darah, penurunan populasi limfosit dewasa, muda serta sel leukosit lain pada lien (Jawi, 2002). Pada pemain hanball yang dilatih dalam waktu pendek tampak menunjukan adanya stres oksidatif akibat peningkatan total oksidative status (TOS) dan penurunan total antioxidant capacity (TAC) secara nyata (Kurkcu, 2010). George & Osharechiren (2009) juga telah melaporkan terjadinya peningkatan stres oksidatif pada peserta pelatihan maksimal, yang ditandai dengan peningkatan lipid hidroperoksida. Selama olahraga terbentuk radikal bebas (ROS atau Reactive Oxygen Species) sebagai bagian integral dari proses oksidasi fosforilasi dalam rantai transport elektron pada mitokondria, untuk membentuk ATP. Hal itu berarti bahwa semakin berat aktivitas olahraga, semakin banyak radikal bebas yang terbentuk. Radikal bebas telah diyakini menimbulkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel (Setiawan & Suhartono, 2007; Golden, 2009; Khotari et al., 2010; Ngurah, 2007), kerusakan DNA dan apoptosis (Khotari et al., 2010), sehingga berdampak sangat luas pada tubuh seperti terjadinya kanker dan penyakit-penyakit kronis (Waris & Ahsan, 2006). Walaupun pembentukan radikal bebas akan dinetralisir oleh antioksidan endogen seperti glutathione peroksidase (GSH), catalase, NADPH, superoxide dismutase (SOD), tetapi jika produksi radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan untuk menetralisirnya maka akan terjadi stres oksidatif (Prangdimurti, 2007; Winarsi, 2007). Radikal bebas mempengaruhi ekspresi gen yang bertanggungjawab terhadap pembentukan enzim antioksidan, cytokin, kemokin dan faktor transkripsi (Ji, et al., 2008; Ji, 2008). Disamping itu, olahraga berlebih dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan otot, hal ini analog dengan respon fase akut pada inflamasi yang ditimbulkan oleh adanya infeksi. Kejadian serupa tersebut meliputi mobilisasi dan aktivasi leukocyte, induksi respon fase akut, peningkatan produksi sitokin proinflamasi, infiltrasi seluler serta kerusakan jaringan. Namun demikian vasodilatasi, disfungsi organ dan agregasi leukocyte tidak terjadi pada aktivitas fisik berat (Said et al., 2005). Aktivitas olahraga yang digambarkan dengan adanya peningkatan stres oksidatif, ketersediaan glukosa yang rendah, glikogen, katekolamin, peningkatan level kalsium intraseluler, hyperthermia, dan ischemia-reperfusi, mampu menginduksi heat shock protein (HSPs), pada gilirannya akan mengaktivasi sintesis sitokin proinflamasi (Pedersen & Febraio, 2008). Jalur utama aktivasi tersebut diantaranya melalui NFκB dan MAP kinase pathways (Ji, et al., 2008). Tulisan ini akan membahas pengaruh olahraga terhadap aktivitas sitokin proinflamasi. PEMBAHASAN Reactive Oxygen Species (ROS) ROS (Reactive Oxygen Species) terbentuk sebagai produk samping selama reaksi oksidasi fosforilasi dalam rantai transport elektron pada mitokondria. Oksidasi fosforilasi bertujuan untuk membentuk energi dalam bentuk ATP. Pembentukan ATP tersebut membutuhkan O2, tetapi tidak semua O2 berikatan dengan hidrogen untuk membentuk air, sekitar 4-5 % berubah menjadi radikal bebas (Ngurah, 2007; Marciniak et al., 2009). 11 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Satu molekul oksigen akan direduksi menjadi 2 molekul air. Reduksi tersebut dilakukan dengan mentransfer 4 elektron. Tetapi transper elektron tersebut berlangsung 4 tahapan. Hal ini terjadi karena 2 elektron yang tidak berpasangan pada molekul oksigen terletak pada orbit yang berbeda dan menunjukan angka putaran quantum yang sama, padahal untuk membentuk ikatan kovalen 2 elektron harus terletak pada orbit yang sama dan menunjukan putaran yang berlawanan. Dengan demikian maka oksigen hanya mampu menerima elektron tahap demi tahap dan hanya 1 elektron tiap tahapnya. Pemindahan elektron yang tidak sempurna tersebut mengakibatkan terbentuknya LH + oksidan L• + O2 LOO• + LH L• + L• L• + LOO• ROS (Winarsi, 2007). Elektron pertama akan mereduksi oksigen untuk membentuk anion superoxide ( O2-•), kemudian reduksi berikutnya akan membentuk hydrogen peroxide (H2O2) dan hydroxyl radical (OH•), elektron terakhir mereduksi hydroxyl radical menjadi air (Marciniak et al., 2009 ). Radikal bebas telah diyakini menimbulkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel (Setiawan & Suhartono, 2007; Golden, 2009; Khotari et al., 2010; Ngurah, 2007), kerusakan DNA dan apoptosis (Khotari et al., 2010). Peroksidasi lipid terjadi melalui beberapa tahapan reaksi yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi : (inisiasi) (propagasi) (propagasi) (terminasi) (terminasi) L• + oksidan-H LOO• L• + LOOH produk non radikal produk non radikal Lipid (LH) penyusun membran sel biasanya berupa asam lemak tak jenuh ganda. Peroksidasi dimulai (inisiasi) dari abstraksi atom hidrogen pada gugus metilen oleh ROS membentuk radikal karbon (L•). Apabila radikal karbon bereaksi dengan oksigen maka akan terbentuk radikal peroksil (LOO•). Reaksi berikutnya adalah abstraksi atom hidrogen lipid lain oleh radikal peroksil membentuk lipid hidroperoksida yang bersifat sitotoksik (LOOH), sehingga terjadi reaksi berantai. Reaksi akan berakhir (terminasi) jika radikal karbon yang terbentuk pada tahap inisiasi ataupun radikal lain yang terbentuk pada reaksi propagasi bereaksi dengan radikal lain menjadi produk non radikal (Setiawan & Suhartono, 2007). Peroksidasi lipid tampak meningkat setelah melakukan aktivitas fisik, tetapi pelatihan olahraga secara rutin dengan intensitas sampai 70 % dari denyut jantung maksimal dapat menurunkan peroksidasi lipid secara nyata (Castro, 2009). Pada olahragawan yang berlatih secara rutin 12 menunjukan stres oksidatif lebih rendah dari pada non olahragawan (Valado et al., 2007). Pelatihan aerobik 5 kali perminggu dengan intensitas 5060 % dari kemampuan maksimum selama 13 minggu dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan catalese, glutathion peroxidase dan MnSOD otot soleus pada tikus muda, sedangkan pada tikus tua tidak, yang mengindikasikan bahwa pelatihan olahraga dapat menurunkan stres oksidatif (Lambertucci et al., 2007). Pembentukan sitokin selama olahraga Peroksidasi lipid oleh ROS, yang terbentuk selama olahraga, mengakibatkan sel menjadi rusak. Sel yang rusak akan dikenal sebagai antigen oleh APC (antigen-presenting cell). Antigen tersebut akan diikat oleh reseptor permukaan sel APC (toll-like receptor). APC juga dapat mengenal antigen melalui endocytic pattern recognition receptors (EPRRs) kemudian disajikan kepada sel T melalui molekul major histocompatibility complex (MHC) klas Aktivitas Sitokin Proinflamasi Akibat Olahraga Berlebih Arsana II. Mekanisme tersebut diilustrasikan pada Gambar 1. Antigen yang telah berikatan dengan Tolllike receptor-4 (TLR-4) mengaktivasi myeloid differentiation primaryresponse protein 88 (MyD88) pada domain sitoplasmiknya. MyD88 memicu serangankaian cascade intraseluler yang terdiri dari IL-1 receptorassociated kinase (IRAK)-1 dan TNF-α receptor-associated factor (TRAF)-6. Selanjutnya mengaktivasi jalur NF κ B atau MAP kinase (Pedersen & Febraio,2008). Aktivasi tersebut akan memicu ekspresi gen untuk memproduksi sitokin proinflamasi. Mekanisme pengenalan antigen melalui TLR-4 diilustrasikan pada Gambar 2. 13 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 MAP Kinase pathway. Mitogen-activated protein (MAP) kinase mempunyai hirarki yang komplek yang mencakup extracellular signal-regulated kinase (ERK), c-Jun amino-terminal kinase (JNK) dan p38MAP-Kinase (Ji, et al., 2008). MAP-kinase diaktifkan oleh protein Ras. Ras merupakan anggota famili 21-kD guanine nucleotide-binding proteins yang terlibat dalam aktivasi berbagai tipe sel. Ras terikat secara kovalen dengan lipid membran sel. Dalam keadaan bentuk tidak aktif, guanine nucleotidebinding site Ras digantikan oleh guanosine diphosphate (GDP). Ketika ikatan GDP diganti oleh guanosine triphosphate (GTP), Ras mengalami perubahan konformasi dan dapat mengaktifkan berbagai enzim seluler, diantaranya MAP-kinase (Abbas & Lichtman, 2005). MAP-kinase cascade meliputi tiga enzim utama diantaranya extracellular signalregulated kinase (ERK) yang akan mengaktifkan enzim yang disebut protein ELK dalam cascade berikutnya, dan ELK akan mengaktifkan fos yaitu suatu komponen dari activation protein1 (AP-1) transcription factor. Pada bagian cascade yang lain, anggota famili enzim MAPkinase yang disebut c-Jun N-terminal kinase (JNK) juga diaktifkan oleh protein Rac. Rac juga merupakan anggota dari famili 21-kD guanine nucleotide-binding protein yang mengalami mekanisme sama dengan protein Ras. JNK juga dikenal sebagai stress-activated protein (SAP) kinase karena pada banyak sel distimulasi oleh berbagai faktor seperti sinar ultraviolet, stres osmotik, sitokin proinflammasi (TNF dan IL-1). JNK kemudian mengaktivasi c-Jun, komponen kedua dari AP-1 transcription factor. Anggota MAP-kinase yang lain adalah P38 juga diaktivasi oleh Rac.GTP dan pada gilirannya akan mengaktifkan transcription factor (Abbas & Lichtman, 2005). Aktivasi melalui MAP kinase pathway digambarkan pada Gambar 3 dan 4. NF-kB pathway Nuclear factor-kappa B (NF κ B) merupakan transcription factor yang mengatur ekspresi banyak gen yang terlibat dalam respon imun dan inflamasi. NFκB terdiri dari dua sub unit yaitu p65 (RelA) dan p50 (NFκB1). Dalam kondisi tidak aktif, di sitoplasma, NF-κB 14 Aktivitas Sitokin Proinflamasi Akibat Olahraga Berlebih Arsana berikatan dengan inhibitornya (inhibitory-κB / IκB) (Durham et al., 2004). NFκB dapat diaktifkan oleh berbagai stimulan eksternal seperti ROS (H2O2), sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNFα) lipopolisakarida (LPS) dan phorbol ester. Stimulan tersebut mengaktifkan enzim yang bertanggungjawab terhadap proses fosforilasi IκB, yaitu IκB kinase (IKK) sehingga IκB terdegradasi. Degradasi dari IκB mengakibatkan NFκB menjadi aktif, kemudian mengalami translokasi menuju inti sel untuk mengatur ekspresi gen (Ji, et al., 2008; Abbas & Lichtman, 2005). NF κ B akan mengatur ekspresi gen yang bertanggungjawab terhadap pembentukan MnSOD, GCS, inducible NOS (iNOS), cyclooxygenase-2 (COX-2), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan beberapa sitokin. Jadi gen tersebut terlibat dalam berbagai fungsi tubuh seperti pembentukan antioksidan, imunitas, inflamasi, anti-apoptosis (Ji, et al., 2008). Aktivasi melalui NFκB pathway dilukiskan pada Gambar 4. Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF merupakan mediator utama dari respon inflamasi akut terhadap bakteri gram negatif dan lainya serta bertanggungjawab terhadap banyak peristiwa sistemik. TNF juga disebut TNF- α untuk membedakannya dari TNF- α atau lymphotoxin. TNF terutama diproduksi oleh mononuclear phagocyte. Disamping itu juga dihasilkan oleh sel T, sel NK, serta sel mast. Dalam aksinya TNF berfungsi untuk merangsang recruitment neutropfil dan monosit ke tempat infeksi dan mengaktifkan sel tersebut untuk eradikasi mikroba. Untuk tujuan tersebut TNF bertindak sebagai mediator beberapa peritiwa yaitu; merangsang sel endothelial vaskuler untuk mengekspresikan molekul adhesi (E-selectin dan ligand yaitu VCAM-1 dan ICAM-1) sehingga permukaan endothelial adesif terhadap leukocyte; merangsang sel endothelial dan macrophage untuk mensekresikan chemokine yang akan meningkatkan afinitas integrin leukocyte terhadap ligannya serta menginduksi recruitment dan kemotaksis leukocyte serta mempengaruhi macrophage untuk mensekrsi IL-1; merangsang aktivitas neutrofil dan macrophage untuk melakukan eradikasi antigen. Mekanisme mobilisasi leukocyte ke tempat terjadinya infeksi digambarkan pada Gambar 5 (Abbas & Lichtman, 2005). Jika rangsangan untuk memproduksi TNF cukup kuat maka jumlah sitokin tersebut juga 15 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 besar dan memasuki pembuluh darah serta bertindak sebagai hormon endokrin (Abbas & Lichtman, 2005). Kadar TNF α dalam plasma tampak meningkat selama melakukan aktivitas olahraga maksimal sebagai respon terhadap adanya kerusakan jaringan (Said et al ., 2005; Denguezli-Bouzgarrou et al ., 2006; Farhangimaleki et al., 2009). Namun demikian, peningkatn TNF-α dalam jumlah kecil dan hanya terjadi pada olahraga berlebihan dan dengan durasi lama seperti lari marathon, jika dibandingkan dengan kadar IL-6 yang peningkatannya 100 kali lipat (Gambar 6) (Pedersen, 2000; Pedersen & Febraio, 2008). Sebelumnya Puglisi & Fernandez (2004) telah melaporkan bahwa peningkatan kadar TNFα hanya terjadi pada olahraga berat (lari marathon). Selama lari marathon terjadi penurunan aliran darah pada splanchic yang dapat menyebabkan keadaan ischemia sehingga bakteri usus mengalami translokasi dan pada gilirannya menimbulkan respon inflamasi. Gleeson (2007) juga melaporkan hal yang sama bahwa olahraga ekstrim (lari marathon) dapat meningkatkan insiden infeksi sehingga tampak ada peningkatan kadar TNF α. 16 Aktivitas Sitokin Proinflamasi Akibat Olahraga Berlebih Arsana INTERLEUKIN-1 (IL-1) Secara prinsip fungsi IL-1 mirip dengan TNF yaitu sebagai mediator respon inflamasi terhadap infeksi dan antigen lainnya. IL-1 terutama diproduksi oleh mononuclear phagocyte yang diinduksi oleh produk bakteria seperti LPS dan sitokin lainnya seperti TNF. Juga diproduksi oleh neutrophils, sel epithelial (keratinocyte) dan sel endothelial. Ada dua bentuk IL-1 yaitu IL-1α dan IL-1β, dengan homologi kurang dari 30% satu sama lainnya, tetapi berikatan pada reseptor permukaan sel yang sama dan menjadi mediator aktivitas biologi yang sama. Sebagian besar IL1 yang ditemukan dalam sirkulasi adalah IL-1β (Abbas & Lichtman, 2005). Dua reseptor membran yang berbeda untuk IL-1 telah diidentifikasi dan keduanya merupakan anggota superfamili Ig. Reseptor tipe I diekspresikan oleh hampir semua tipe sel dan merupakan reseptor utama untuk IL-1. Reseptor tipe II diekspresikan pada sel B yang secara kompetitif menghambat ikatan IL-1 pada reseptor tipe I. Bagian sitoplasmik reseptor tipe I homolog dengan domain dari Toll-like receptors, yang terlibat dalam pertahanan melawan infeksi. Ikatan IL-1 pada reseptor tipe I menimbulkan aktivasi suatu kinase yang disebut IL-1 receptorassociated kinase (IRAK) dan akhirnya mengaktivasi NF-κB dan AP-1 transcription factors (Abbas & Lichtman, 2005). IL-1 mempunyai efek yang mirip dengan TNF dan tergantung pada kadar yang diproduksi. Pada konsentrasi rendah IL-1 berfungsi sebagai mediator inflamasi lokal dengan mempengaruhi sel endothelial untuk meningkatkan ekspresi molekul adhesi. Tetapi pada konsentrasi tinggi IL-1 akan masuk ke aliran darah dan bertindak sebagai endokrin, bersama TNF akan menimbulkan demam, menginduksi sintesis protein fase akut oleh hati, dan menimbulkan cachexia (Abbas & Lichtman, 2005). Aktivitas IL-1β setelah olahraga tampak meningkat dalam plasma sebagai respon terhadap adanya kerusakan jaringan (Said et al., 2005; Denguezli-Bouzgarrou et al., 2006; Farhangimaleki et al., 2009). Respon sitokin proinflamasi (IL-1β) pada olahraga mirip dengan mekanisme demam karena infeksi, dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh pada subyek yang melakukan olahraga jika dibandingkan dengan yang tidak, dan dapat diidentifikasi dengan adanya peningkatan sitokin proinflamsi (IL-1β) dan penurunan sitokin antiinflamasi (IL-10) (Rowsey et al., 2009). INTERLEUKIN-6 (IL-6) IL-6 disintesis oleh mononuclear phagocyte, sel endothelial pembuluh darah, fibroblast, serta sel lainnya dalam merespon terhadap mikroba dan sitokin lain (IL-1 and TNF). Reseptor IL-6 terdiri dari sebuah cytokine-binding protein dan subunit signaltransducing, keduanya termasuk ke dalam famili reseptor sitokin tipe I. Subunit signaltransducing disebut gp130 yang mengaktivasi jalur sinyal JAK/STAT (Abbas & Lichtman, 2005). IL-6 mempunyai beberapa macam fungsi diantaranya; merangsang sel hepatocyte mensintesis acute-phase protein (APP) yang berperan dalam respon fase akut dalam inflamasi, merangsang pembentukan neutrofil dari progenitornya dalam sumsum tulang. Juga merangsang perkembangan limfosit B, myeloma, serta meningkatkan perkembangan sel hybridoma dalam memproduksi antibodi monoklonal (Abbas & Lichtman, 2005). Selama olahraga tampak ada peningkatan kadar IL-6 dalam plasma (Said et al., 2005; Denguezli-Bouzgarrou et al ., 2006; Farhangimaleki et al., 2009). Sel otot skelet mampu memproduksi IL-6 sebagai respon terhadap berbagai macam rangsangan seperi lipopolisakarida (LPS), reactive oxygen species (ROS), sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-1β). Peningkatan konsentrasi IL-6 dalam plasma selama latihan otot, diikuti oleh munculnya IL-1 receptor antagonist (IL-1r a) dan sitokin antiinflamasi IL-10, kemokin, IL-8, macrophage inflammatory protein a (MIP-1a), dan MIP17 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 1β. Sementara Tumor necrosis factor (TNFα) mengalami sedikit peningakatn hanya pada olahraga berlebihan dan dengan durasi lama seperti lari marathon (Gambar 6 dan 7 ) (Pedersen, 2000 ; Pedersen & Febraio, 2008). Besar peningkatan konsentrasi IL-6 tergantung pada jenis, intensitas dan durasi olahraga (Pedersen, 2000; Pedersen & Febraio, 2008). Sumber utama pembentuk IL-6 adalah otot, karena itu semakin banyak masa otot yang terlibat, semakin berat jenis olahraga dan semakin lama olahraga itu berlangsung maka semakin tinggi kadar IL-6 yang dapat dideteksi dalam plasma, dan lebih dari 50 % konsentrasi IL-6 ditentukan oleh durasi olahraga. Namun demikian pelatihan olahraga yang teratur akan menurukan konsentrasi IL-6 jika dibandingkan dengan tanpa pelatihan (Pedersen & Febraio, 2008; Farhangimaleki et al., 2009). Pada situasi tersebut pelatihan otot akan mengurangi ketergantungan terhadap glikogen otot sebagai sumber energi karena pelatihan akan meningkatkan sensitivitas jaringan lemak terhadap epineprin sehingga meningkatkan lipolisis, meningkatkan aktivitas enzim yang terlibat dalam b-oxidasi serta meningkatkan oksidasi triglyseride intramuskuler, dengan demikian maka kapasitas oksidasi lemak ditingkatkan (Pedersen & Febraio, 2008), seperti diilustrasikan pada Gambar 8. KESIMPULAN Selama olahraga akan terbentuk Reactive Oxygen Species (ROS). ROS akan 18 Aktivitas Sitokin Proinflamasi Akibat Olahraga Berlebih Arsana menyebabkan kerusakan sel sehingga akan memicu respon inflamasi. Sel yang rusak dianggap sebagai antigen dan diikat oleh antigenpresenting cell (APC) melalui Toll-like receptor-4 (TLR-4), kemudian mengaktivasi myeloid differentiation primaryresponse protein 88 (MyD88) sebagai domain sitoplasmiknya. MyD88 memicu serangkaian kaskade intraselluler yang terdiri dari IL-1 receptorassociated kinase (IRAK)-1 dan TNFα receptor-associated factor (TRAF-6), selanjutnya mengaktivasi jalur mitogenactivated protein kinase (MAP kinase) atau NFkB pathway untuk menimbulkan ekspresi gen. Ekspresi gen terlihat dari adanya peningkatan sitokin proinflamasi (IL-1β, IL-6, TNFα) selama aktivitas olahraga, tetapi Tumor necrosis factor (TNF-α) mengalami sedikit peningkatan dan terjadi hanya pada olahraga berlebihan dan dengan durasi lama seperti lari marathon. DAFTAR PUSTAKA Abbas, A.K. dan A.H. Licthman. 2005. Cellular and Molecular Immunology. 5th.ed. Elsevier Inc. Pennsylvania.pp:243-273 Arifin, S. 2005. Pelatihan Pendidikan Komando Paskhas TNI AU selama Delapan Minggu Meningkatkan Kadar SGOT dan Tidak Meningkatkan Kadar SGPT pada Siswa Pendidikan Komando Paskhas TNI AU Angakatn XXIV TA. 2004. Tesis. Universitas Udayana. Denpasar. Binekada, I.M.C. 2002. Pelatihan Berlebih menurunkan Konsentrasi dan Motilitas Spermatozoa Mencit. Tesis. Universitas Udayana. Denpasar. Castro, M.A.C.de., F.F.C. Neto., L.M.C.Lima., F.M. da Silva., R.J.de Oleiveira dan Zanesco. 2009. Production of Free radical and Catalase Activity During Acute Exercise Training in Young Men. Biology of Sport 26 (2) : 113 – 118 Dowling, D.K. dan L.W. Simmons. 2009 Reactive oxygen species as universal constraints in life-history evolution. Proceeding of the Royal Sociecty B 276, 1737–1745 Denguezli-Bouzgarrou, M., M. B. Jabrallah ., S. Gaid., F. Slama., H.B. Saad dan Z. Tabka. 2006. Effect of Brief Maximal Exercise On Interleuikin-6 and Tumor Necrosis factoralpha. Biology of Sport 23 (1) : 3-15 Durham, W.J., Yi-Ping Li., E. Gerken., M. Farid., S.Arbogast., R.R. Wolfe dan M. B. Reid. 2004. Fatiguing Exercise Reduces DNABinding Activity of NF-êB in Skeletal Muscle Nuclei. Articles in PresS. J Appl Physiol (June 18, 2004). 10.1152/ japplphysiol.00088.2004 Farhangimaleki, N., F.Zehsaz dan P.M. Tiidus. 2009. The effect of tapering period on plasma pro-inflammatory cytokine levels and performance in elite male cyclists. Journal of Sports Science and Medicine 8: 600606 George, B. O., dan O. I. Osharechiren. 2009. Oxidative stress and antioxidant status in sportsmen two hours after strenuous exercise and in sedentary control subjects. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (3): 480483 Gleeson, M. 2007. Immune function in sport and exercise. J Appl Physiol 103: 693– 699. Golden,N. 2009. Peroksidasi Lipid Membran Sel Pascainjeksi FeCl3 Intrakortikal Meningkatkan Kejadian Kejang pada Tikuw Wistar Muda. Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar. Jawi, I.M. 2002. Waktu pemulihan tiga hari setelah pemberian beban aktivitas fisik masimal dapat mengembalikan keadaan normal dari gambaran histologis lien dan limfosit darah pada tikus putih. Tesis S-2. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar. Ji, L.L., Z.Radak dan S. Goto. 2008. Hormesis and Exercise: How the Cell Copes with Oxidative Stress. American Journal of 19 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Pharmacology and Toxicology 3 (1): 4458. Ji, L.L. 2008. Modulation of skeletal muscle antioxidant defense by exercise: Role of redox signaling. Free Radical Biology & Medicine 44 : 142–152 Kothari, S., A. Thompson., A. Agarwal dan S.S. du Plessis. 2010. Free radical: Their Beneficial and detrimental effects on Sperm Function. Indian Journal of Experimental Biology 48: 425 – 435 Kurkcu, R. 2010. The effects of short-term exercise on the parameters of oxidant and antioxidant system in handball players. African Journal of Pharmacy and Pharmacology 4 (7) : 448-452. Lambertucci, R.H., A.C.Levada-Pires., L.V. Rossoni., R. Curi., T.C. Pithon-Curi. 2007. Effects of aerobic exercise training on antioxidant enzyme activities and mRNA levels in soleus muscle from young and aged rats. Mechanisms of Ageing and Development 128 : 267–275. Marciniak, A., J. Brzeszczyñska., K. GwoŸdziñski dan A. Jegier. 2009. Antioxidant capacity and Physical Exercise. Biology of Sport 26(3) :197-213 Ngurah, I.B. 2007. Peranan Antioksidan pada olah raga. Medicina 38 (1) : 3-6 Pedersen, B. K. dan L.Hoffman-Goezt. 2000. Exercise and the Immune System: Regulation, Integration, and Adaptation. Physiological Reviews 80 (3) : 1055 – 1081. Pedersen B.K. dan M.A. Febbraio. 2008. Muscle as an Endocrine Organ: Focus on Muscle-Derived Interleukin-6. Physiol Rev 88 : 1379–1406. Pedersen B.K. 2000. Exercise and cytokines. Immunology and Cell Biology 78, 532– 535. Puglisi, M.J dan M.L.Fernandez. 2008. Modulation of C-Reactive Protein, Tumor Necrosis Factor-a, and Adiponectin by Diet, Exercise, and Weight Loss. Journal of Nutrition 138: 2293–2296. Prangdimurti,E.2007. Metode Evaluasi Antioksidan Secara In Vitro dan In Vivo. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fak. Teknologi Pertanian. IPB. Available at. http://xa.yimg.com/kq/groups/20875559/ 1368419127/name /Topik9.pdf. akses: 20/12/2010 Rowsey, P. J., B.L. Metzger., J.Carlson dan C.J. Gordon. 2009. Long-Term Exercise Training Selectively Alters Serum Cytokines Involved in Fever. Biological Research for Nursing 10 (4) : 374-380. Said, M., Y. Feki., M. Hamza., S. Machghoul dan M. Amri. 2005. Effect of Two Konds of Exhaustive Maximal Exercise on Proinflammantory Cytokines Concentrations in Trained and Untrained Humans. Biology of Sport 22 (4) : 329-339 Setiawan, B. dan E. Suhartono. 2007. Peroksidasi Lipid dan Penyakit terkait Stres Oksidatif pada Bayi Prematur. Majalah kedokteran Indonesia 57 (1) : 10-14 Valado, A., L. Pereira., P.C. Tavares dan C. F. Ribeiro. 2007. Effect of the intense anaerobic exercise on nitric oxide and malondialdehyde in studies of oxidative stress. International Journal of Biology and Biomedical Engineering 1 (1) : 32-26 Waris, G. dan H. Ahsan. 2006. Reactive Oxygen Species: Role in The Development of cancer and Various Chronic Condition. Journal of Carcinogenesis 5 (14) : 1-8 Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta. 20 AKTIVITAS SITOTOKSIK BEBERAPA EKSTRAK RUMPUT LAUT TERHADAP SEL MYELOMA NS-1 I Wayan Sudira Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar Bali 80232, e-mail [email protected] Jl.PB. Sudirman Denpasar Bali 80232 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari toksisitas ekstrak rumput laut terhadap kultur sel myeloma NS-1. Enam jenis ekstrak rumput dengan konsentrasi berbeda digunakan dalam penelitian ini. Penelitian menunjukkan efek sitotoksik terhadap viabilitas sel myeloma NS-1 berbanding lurus, semakin besar konsentrasi ekstrak yang diuji semakin kecil viabilitas sel myeloma NS-1. Viabilitas sel myeloma NS-1 pada berbagai ekstrak rumput laut adalah sebagai berikut; Ulva spp sebesar 33,98%, E cattoni 10 %, E spinosum 47,72 %, Gracilaria arcuata Zanardini 47,83 %, Sargassum spp 30,05% dan Padina spp 21,52%. Mortalitas sel myeloma NS-1 paling tinggi pada jam ke-24. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstraksi terhadap enam jenis rumput laut menunjukkan toksisitas yang beragam terhadap kultur sel myeloma NS-1. Kata Kunci : Rumput laut, sitotoksik, viabelitas , sel myeloma NS-1 ABSTRACT The aim of this study was to assess the toxicities of sea weeds extract toward myeloma cell culture NS-1. Six species of sea weeds extract was tested and found that sitotoxic effect of the extract was lineary correlated to the concentration of extract; higher concentration of extract resulted in the lower viability of the myeloma cell. Viability of the cell in diferent extract was varied i.e; 33,98%, 10 %, 47,72 %, 47,83 %, 30,05% and 21,52% for Ulva spp, E cattoni, E spinosum, Gracilaria arcuata Zanardini, Sargassum spp, and Padina spp, respectedly. The highest mortaliry of myeloma cell was found after 24 hour. Conclusion of this research was six species of sea weeds extract shown various toxicities to myeloma cell culture NS-1 Key words: sea weeds, sitotoxicity, viability, myeloma cell NS-1, PENDAHULUAN Berbagai sumber daya hayati merupakan potensi pembangunan yang sangat penting sebagai sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Pemanfatan rumput laut oleh manusia dilakukan melalui kegiatan seperti ekstraksi bahan – bahan bioaktif yang digunakan untuk bahan industri farmasi dan kosmetika. Rumput laut dimanfaatkan sebagai bahan baku dan bahan tambahan untuk pembuatan makanan, obat- obatan dan kosmetik (Brotowidjoyo et al., 1995, Apriliani et l., tth). Sekitar 500 produk alami yang berasal dari makro alga laut telah diidentifikasi, dan persentase terbesar adalah berupa senyawa bioaktif yang merupakan metabolit sekunder (Anggadiredja, 1994). Kemampuan rumput laut untuk menghasilkan metabolit sekunder berupa metabolit terhalogenisasi, dimungkinkan terjadi karena kondisi lingkungan yang mencekam (Putra, 2006), seperti terpenoid terhalogen pada rumput laut dan aktogenin bromine sebagai 21 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 antibiotika (Suptijah, 2002). Sidartha (2003) melaporkan ekstrak dari rumput laut mempunyai aktivitas anti bakteri B. subtilis dan E. coli. Senyawa kimia yang dihasilkan dapat berupa polyfenol (Karou et al., 2005). Polyfenol merupakan senyawa fenol terhidroksilasi seperti hidroksi koumarin hidroksianat serta turunannya, flavanol, flavanon, antosianin, proastosianin (tannin) hidroksistilben, auron, dan sebagainya. Senyawa bioaktif tersebut bersifat sitotoksik terhadap sel myeloma. Meskipun penemuan dan pemakaian kemoterapi menunjang hasil yang baik tetapi efek sampingnya sangat besar. Aktivitas antikanker sangat luas dalam tumbuh-tumbuhan. Berbagai zat yang terkandung dari beberapa tanaman yang berkhasiat sebagai anti kanker telah berhasil diisolasi. Praskrining aktivitas senyawa bioaktif tersebut terhadap ekstrak tanaman menunjukan hasil positif (Mc.Laughlin, 1991). Salah satu kultur sel mamalia yang sering digunakan dalam pengujian aktifitas anti kanker secara in vitro adalah sel myeloma. Sel meyloma merupakan salah satu jenis sel tumor hasil transformasi sel-sel pembentuk antibodi yang akhirnya menjadi maligna dan dikenal sebagai plasmositoma atau myeloma (Rodiguez dan Haun, 1999 ; Indrawati,1999). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas ekstrak rumput laut terhadap sel myeloma. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri dari tahapan ekstraksi senyawa bioaktif enam jenis rumput laut yang diambil dari pantai Pulau Serangan Kota Madya Denpasar Bali, dilanjutkan dengan mengamati aktivitas sitotoksiknya pada sel myeloma NS-1. Ekstraksi senyawa bioaktif Ekstraksi senyawa bioaktif dilakukan untuk mengisolasi komponen bioaktif dari seluruh bagian sampel melalui perlakuan ekstraksi, sehingga mendapatkan ekstrak kasar. Pembuatan Larutan Induk Ekstrak rumput laut sebanyak 160 g dimasukkan kedalam labu ukuran 5 ml, ditambahkan 0,5 ml DMSO steril sampai larut. Kemudian ditambahkan aquades steril sampai garis tanda dan divortex sampai homogen. Larutan yang diperoleh disaring dengan membran filter 0,45 µl, dimasukkan ke dalam tabung tertutup steril, konsentrasi larutan induk yang diperoleh 32.000 ppm. Larutan uji Ke dalam 5 buah tabung bertutup steril ditambahkan 900 µl larutan DMEM 10 % steril pada tabung 1. Pada tabung 2, 3, 4 dan 5 ditambahkan 500 µl larutan DMEM 10 % steril. Sebanyak 100 µl larutan induk dimasukkan ke dalam tabung 1 dan di goyang perlahan sampai homogen. Diambil 500 µl pada tabung 1 masukkan kedalam tabung 2 dan digoyang perlahan sampai homogen. Hal yang sama dilakukan pada tabung 2, 3, 4 dan 5 digoyang perlahan sampai homogen. Konsentrasi larutan uji yang diperoleh berturut-turut dari tabung 1 sampai dengan 5 berturut-turut adalah 3200 ppm, 1600 ppm, 800 ppm, 400 ppm dan 200 ppm. Sebagai larutan kontrol digunakan larutan DMEM 10 %. Kultur sel myeloma NS-1 Sel myeloma NS-1 , FBS serum, RPMI, diperoleh dari I Nyoman Mantik Astawa. Proses kultur dikerjakan dengan tehnik aseptic di bawah laminair air flow cabinet. Uji sitotoksik Uji sitotoksik dilakukan dengan menggunakan mikro plate 24 well. Jumlah sel myeloma yang digunakan adalalah 50.000/ml. Sel myeloma diberi perlakuan dengan ekstrak rumput laut dengan konsentrasi10%, 5%, 1,25%, 0,5%, 0,1% dan sebagai larutan kontrol digunakan DMEM 10 % steril (0%). Mikroplate diinkubasikan selama 24, 48, dan 72 jam dalam inkubator dengan suhu 37oC dan CO2 5 %. Sesudah masa inkubasi tersebut aktifitas sitotoksik diperiksa dengan menggunakan trypan blue. Tripan blue diberikan sebanyak 50 ml ke dalam well. Setelah tercampur, diambil 10 ml diletakkan kedalam hemositometer, lalu diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dan dihitung jumlah sel yang hidup dan sel yang mati. 22 Perhitungan Jumlah Sel Perhitungan Jumlah Sel dilakukan dengan menghitung jumlah sel viable (sel hidup) dan jumlah sel yang mati (terwarnai) dalam daerah 1 – 4. Volume tiap daerah dihitung = 10-4 ml. Jumlah viable sel tiap ml cairan dihitung seperti persamaan 1 dan 2 (Mishell dan Shiggii 1980) : Vsm = Rvs X 10 /ml X 4 Ketarangan : %Vs = % Viabel sel Nsh = Jumlah sel hidup Nsm = Jumlah sel mati HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Enam jenis rumput laut dari kawasan pantai Pulau Serangan Kota Madya Denpasar diekstraksi yakni Ulva spp, E. cattoni, E. spinosum, Gracilaria arcuata Zanardini, Sargassum spp, dan Padina spp. Efek sitotoksik berbagai konsentrasi dan jenis ekstrak rumput laut terhadap sel myeloma NS-1 ditunjukkan dengan data pada Tabel 1. 1 .................(1) P Keterangan : Vsm = Viabel sel/ml Rvs = Rata-rata viable sel dalam daerah hitung P = Pengenceran Nsh X 100% ...............(2) Nsh + Nsm % Vs = Tabel 1. Persentase Viabel Sel Myeloma NS-1 pada Perlakuan Berbagai Konsentrasi rumput laut pada jam ke-24 ; 48, dan 72. konsentrasi PEU 0 0.5 1 2.5 5 10 0 0.5 1 2.5 5 10 0 0.5 1 2.5 5 10 99.56 98.07 76.71 72.42 48.31 33.98 99.26 98.26 58.82 38.23 16.91 18.21 100.00 99.09 93.64 33.56 14.55 21.23 PEC 96.00 93.56 78.38 76.31 54.41 10.00 98.21 75.23 68.45 55.61 35.92 32.61 92.65 71.87 69.56 66.34 45.23 25.93 Pengamatan jam ke-24 PES PED PESar 92.30 78.21 68.33 55.52 49.03 30.05 92.60 91.25 88.32 78.65 88.56 80.43 93.24 96.34 97.56 88.68 73.34 77.68 PEP 88.32 77.34 89.23 33.21 30.45 21.52 91.20 88.32 64.54 56.73 63.61 59.83 91.29 88.30 87.23 87.11 79.26 80.25 23 89.06 88.64 83.38 81.82 78.52 75.00 57.85 56.76 52.50 50.61 47.72 47.83 Pengamatan jam ke-48 97.23 93.32 81.43 73.24 75.92 68.56 66.34 65.67 50.21 53.99 49.19 41.23 Pengamatan jam ke-72 92.32 93.63 84.50 88.23 74.66 73.67 69.56 72.12 66.32 60.66 61.35 59.24 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Keterangan : PEU : Perlakuan Ekstrak Ulva spp PEC : Perlakuan Ekstrak E. cattoni PES : Perlakuan Ekstrak E. spinosum PED : Perlakuan Ekstrak Gracilaria arcuata Zanardini PESar : Perlakuan Ekstrak Sargassum spp PEP : Perlakuan Ekstrak Padina spp PEMBAHASAN Persentase viabel sel myeloma NS-1 semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak rumput laut yang digunakan sebagai perlakuan (Tabel 1). Pada jam ke-24, perlakuan ekstrak Ulva spp pada konsentrasi 0 % viabel sel myeloma sebesar 99,56 kemudian menurun terus dan pada konsentrasi 10% viabilitasnya 33,98. Persentase viabel sel myeloma NS-1 pada perlakuan ekstrak Ulva spp pada jam ke-48 sebesar 99,26 dan pada konsentrasi 10 % viabilitasnya hanya 18,21. Pengamatan jam ke 48 dengan perlakuan ekstrak Sargassum spp terjadi penurunan viabelitas sel myeloma NS 1, tetapi tingkat viabelitasnya masih tinggi, pada konsentrasi 0% viabelitasnya 92.60 dan yang paling rendah 80.43 pada konsentrasi 10 %. Pada perlakuan ekstrak rumput laut yang lain viabilitas sel myeloma mengalami penurunan mengikuti kenaikan konsentrasi yang di berikan. Pada jam ke-72 terlihat persentase viabelitas sel myeloma NS-1 pada perlakuan ekstrak Ulva spp sebesar 100.00 pada konsentrasi 0% dan mengalami penurunan seiring meningkatnya konsentrasi, tetapi persentase viabel sel terendah sebanyak 14.55 pada konsentrasi 5 %. Untuk perlakuan ekstrak Padina, Sargassum spp, Gracilaria arcuata Zanardini , dan E spinossum mengalami penurunan yang tidak begitu cepat, sedangkan ekstrak E cattoni penurunan cukup cepat Tingkat toksisitas ekstrak rumput laut terhadap kultur sel myeloma NS-1, ditentukan dengan mengukur viabilitas sel myeloma NS-1, yakni kemampuan hidup sel myeloma NS-1 24 terhadap lingkungan hidup kulturnya yang diberikan ekstrak rumput laut. Viabilitas sel dihitung terhadap jumlah sel myeloma total. Selsel yang hidup (viabel) dapat diamati dibawah mikroskop dengan pawarnaan tripan blue, dimana sel - sel yang hidup tidak terwarnai oleh tripan blue karena integritas membran selnya yang baik. Sel-sel yang mati akan menyerap zat warna tripan blue oleh karena susunan atau integritas membran selnya telah rusak, sehingga tripan blue akan masuk melalui pori-pori membran sel kedalam sel (protoplasma). Selain itu sel-sel yang mati ukurannya cendrung lebih kecil karena isi sel (sitoplasma) keluar sehingga volume sel menyusut. Efek sitotoksik berbagai konsentrasi ekstrak rumput laut terhadap sel myeloma NS-1 berbanding lurus dengan konsentrasi ekstrak yang diuji. Semakin besar konsentrasi ekstrak yang diuji, semakin kecil persentase viabel sel myeloma NS-1 . Hal ini menunjukkan bahwa efek sitotoksik dari ekstrak rumput laut bersifat dose dependent (Indrawati, 1999). Efek sitotoksik dari ekstrak rumput laut ini terhadap viabelitas sel myeloma NS-1 mulai jam ke-24. Ini memperlihatkan aktivitas sitotoksik yang cukup poten terhadap sel myeloma NS-1. Hal ini memberikan harapan besar terhadap pengembangan pengobatan kanker sehingga perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Pada sel myeloma NS-1, menunjukan fenomena yang sama. Ulva spp (33.98%.) E.cattoni (10%) E.spinosum (47.72%) Gracilaria arcuata Zanardini (47.83%.), Sargassum.spp (.30.05%.), Padina spp (21.52%) menyebabkan kematian sel myeloma NS-1 paling tinggi pada jam ke-24, ditunjukan dengan warna hitam pada photo. Hal ini menunjukan sel telah kehilangan cairan sitoplasma dan integritas membrannya. Pada pelarut DMEM 10% tidak menunjukkan tanda-tanda kematian sel. Terlihat bahwa pada masa inkubasi 24 jam, dengan peningkatan konsentrasi ekstrak rumput laut E. cattoni, persentase viabel sel myeloma NS- 1 semakin menurun bahkan pada konsentrasi Aktivitas Sitotoksik Beberapa Ekstrak Rumput Laut terhadap Sel Myeloma NS-1 Sudira tertinggi kematian hampir mencapai 90 % (10% viabel). Penurunan ini terjadi secara perlahan pada dosis-dosis kecil, dan meningkat cepat diantara konsentrasi 5–10 %, dan sesudah itu mendatar. Sebaliknya pada ekstrak rumput laut Padina, menimbulkan kematian sel yang cepat dimana viabelitas sel myeloma NS-1 menurun, dan pada konsentrasi 10 % diperoleh viabelitas sel 21.52%. Aktivitas sititoksik ekstrak rumput laut terhadap sel myeloma NS-1 cukup tinggi yaitu E.cattoni (90.00%), Padina spp (78.53%), Sargassum spp (69.05%), Ulva spp (66.02%), E.spinossum (52.28%), Gracilaria arcuata Zanardini (52.17%). masa inkubasi jam ke48, dengan peningkatan konsentrasi ekstrak rumput laut E cattoni viabelitas sel myeloma NS1 semakin menurun dimana pada konsentrasi tertinggi mencapai 67.39% (32.61% viabel sel). Penurunan ini terjadi secara cepat sesuai dengan peningkatan konsentrasi. Pada jam ke-48 aktivitas sitotoksik ekstrak rumput laut terhadap sel myeloma NS-1 cukup tinggi yaitu Ulva spp (81.79%), E.cattoni (67.39 %), Gracilaria arcuata Zanardini (58.77%), E. Spinosum (50.81 %), Padina spp (40.17%), Sargassum spp (19.57%). Gambaran ini menunjukkan bahwa pada jam ke-48 kematian sel paling tinggi pada jenis ekstrak rumput laut Ulva spp dan paling rendah jenis ekstrak rumput laut Padina spp. pada masa inkubasi jam ke-72, viabilitas sel myeloma NS-1 mencapai 78.77% (21.23 % viabel sel). Aktivitas sitotoksik ekstrak rumput laut terhadap sel myeloma NS-1 pada jam ke72 adalah Ulva spp (78.77%), E. Cattoni (74.07%), Gracilaria arcuata Zanardini (40,76%), Spinosum spp (38.65%), Sargassum spp (22.32%), Padina spp (19.75%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rumput laut mempunyai kemampuan untuk menghasilkan metabolit sekunder, berupa metabolit terhalogenisasi yang bersifat sebagai senyawa yang mampu menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap sel myeloma NS-1 hal ini ditunjang oleh pendapatnya Suptijah (20020. Sedangkan menurut Karou et al (2005), Senyawa yang terkandung dalam ruput laut berupa senyawa fenol terhidroksilasi seperti hidroksi koumarin hidroksianat serta turunannya, flavanol, flavanon, antocianin proastosianin (tannin) hidroksistilben. Senyawa-senyawa bioaktif ini bersifat sitotoksik terhadap sel myeloma. meskipun penemuan ini memberikan hasil yang bagus, tapi efek sampingnya perlu diteliti lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Siswandono(1993), bahwa khemoterapi mempunyai kemampuan yang bagus dalam pengobatan tetapi efek sampingnya sangat besar. Disini ditunjukkan juga berbagai zat aktif yang terkandung dalam rumput laut berpotensi sebagai antikanker, dimana hal ini telah pula dilaporkan oleh Mc Laughin (1991), untuk pencarian senyawa bioaktif tersebut setelah praskrening aktivitas terhadap ekstrak rumput laut menunjukkan hasil positif atau aktif. Aktivitas ekstrak rumput laut tersebut diatas hanyalah menunjukkan kemampuan untuk menghambat atau membunuh sel, tetapi tidak mampu menjelaskan mekanisme kematian yang terjadi. KESIMPULAN Ekstraksi enam jenis rumput laut menunjukkan toksisitas yang beragam terhadap kultur sel myeloma NS-1, perlakuan ekstrak E cottoni paling tinggi sebesar 90,00 % pada jam ke-24. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan tarimakasih kepada BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah membantu membiayai penelitian ini dan tulisan ini sebagian dari tesis penulis. Terima kasih juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir I Gede Putu Wirawan, MS dan Prof.drh I Nyoman Mantik Astawa PhD. DAFTAR PUSTAKA Anggadirejdja, J.T. 2004 Deversity of Antibacterial Subtance from seected 25 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Indonesia seeweds (Disertasi). Jakarta : University of Indonesia , Faculty Of mathematics and Natural Sciences Graduate Study Program Biology Apriliani.S, Sulistijo, Wanda, S.A.,Hasan, M tth.Rumput Laut (Algae) : Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya, Jakarta :LON-LIPI Brotowidjoyo, MD.,Djoko Tribowo, Eko Mulyantoro, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air, Cetakan Pertama Liberty, Yogyakarta Indrawati.R, 1999. Pengkajian Kemampuan Hambatan Pertumbuhan Sel Kanker Myeloma, Secara Invitro, Antara Maserasi Benalu Duku dan Maserasi Benalu Teh Dibandingkan Metoteksrat, Laporan Kegiatan Penetian Muda,Fakultas Kedokteran Airlangga hal 9 – 10 Karou. D, Dicko,M.H.,Simpore.J, and Traore, A.S, 2005. Antioxidant and Antibacterial Activities of Polyphenol from Ethnomedical Plants of Burkina Faso, Available from :http://www.academic journals .org/AJB Mc.Laughlin, J.L.,1991.Crown Gall Tumours On Potato Disc.and Brine Shrip Lethality Tow Simple Bioassay for Higher Plant Screening and Fractination in Hosttman,K .Method In Plants Biochemistrry Academic Press,6, P.1 – 32 Putra, S.E, 2006 Biota Laut Sebagai Biotarget industri [citied.2006 Agt 10] Available from :www.energi.lipi.go.id/utama cgi artikel 1211586897 Rodriguez,J.A., Haun.M.,1999 Cytotoxicity of trans-Dehydrocrotonin From Croton Cajucara On V 79 Cells and Rat Hepatocytes, Planta Medica, Vol 65,P.522 – 526 Sidharta,B.R,2003 Screening of Antibiosis Activity From Green Algae (Chlorophyta) From Darini Beach, Yogyakarta a preliminary Study. Biota Vol VII (2) 53 58 Suptijah,P. 2002, Rumput laut: Prospek dan Tantangannya, Http://www.toumotou.net/ 702 – 04212/ Pipih – Suptijah. Htm – 48 k 26 STUDI HISTOLOGI ABOMASUM SAPI BALI Ni Luh Eka Setiasih Laboratorium Histologi,Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran Bali. E-mail: [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang gambaran histologi abomasum sapi bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur histologi abomasum sapi bali. Sampel penelitian ini diambil dari 20 ekor sapi bali dewasa yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Denpasar. Terhadap sampel dilakukan fiksasi, dehidrasi, embedding dalam parafin dan dipotong dengan mikrotom ketebalan 4-5 µ. Pewarnaan histologi dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Harris-Haematoxilin-Eosin. Struktur histologi diamati dengan mikroskop cahaya binokuler (100x dan 125x). Berdasarkan pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa struktur histologi abomasum sapi bali tersusun atas empat lapisan meliputi: tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Tunika mukosa tersusun oleh epitel kolumner simplek, lamina muskularis mukosa, dan lamina propria. Tebal tunika mukosa adalah 72,2±14,6 mm. Tunika submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan tebal lapisan ini 69,6±27,9 mm. Tunika muskularis terdiri dari dua lapisan otot polos yang tersusun melingkar pada bagian dalam dan longitudinal pada bagian luar. Tebal dari tunika muskularis ini adalah 159,6±49,6 mm. Tunika serosa terdiri dari jaringan ikar longgar dan merupakan lapisan paling luar dengan tebal 36,4±17,9 mm. Kata Kunci : studi histologi, abomasum, sapi bali ABSTRACT The objective of this study was to find out the histology of abomasums in Bali cattle. The abomasum were collected from 20 Bali cattle in Pesanggaran abattoir, Denpasar and then evaluated microscopically. The samples were fixed, dehydrated, embedded in paraffin, and cut with microtome in 4-5 µm sections. Histological findings were assessed by Harris-Haematoxilin-Eosin stain preparations, and analyzed using a binocular microscope (100x and 125x). Microscopically, the abomasum of Bali cattle consists of four layers : mucosae, submucosa, muscularis and serosa. The tunica mucosa was lined by mucosa ephitelium of simple columnar cells, muscularis mucosa, and the propria. The thickness of mucosa is 72,2±14,6 mm. The submucosa contain connective tissue and the thickness of these layer is 69,6±27,9 mm. The muscularis consists of two layers; smooth muscle inner circular and outer longitudinal. The thickness of the mucularis externa is 159,6±49,6 mm. The serosa contain connective tissue and forms the outermost layer and its thickness is 36,4±17,9 mm. Key words: histological study, abomasum, Bali cattle PENDAHULUAN Sapi bali merupakan ruminansia yang menjadi salah satu bangsa sapi unggulan di Indonesia. Penampilannya yang menarik dan relatif kompak telah menarik perhatian banyak pihak, baik dalam maupun luar negeri (Bandini, 2004). Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang berdarah murni karena 27 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 merupakan hasil domestikasi (penjinakan) langsung dari banteng liar. Sampai sekarang sapi bali telah tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan berkembang cukup pesat di banyak daerah karena memiliki banyak keunggulan (Guntoro, 2002). Sapi bali mempunyai beberapa keunggulan yang disenangi petani-peternak, antara lain: kemampuan kerja yang baik, daya reproduksi yang tinggi, mampu tumbuh dan berkembang dalam kondisi lingkungan yang jelek, tahan terhadap caplak, serta mempunyai persentase karkas tinggi dengan daging yang berkadar lemak rendah, sehingga merupakan modal masyarakat yang bernilai ekonomis tinggi (Yasin & Dilaga, 1993). Pertumbuhan dan perkembangan sapi yang baik sangat didukung oleh status kesehatan antara lain proses dan sistem pencernaan yang sempurna. Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan dan kelenjarnya, merupakan salah satu tempat masuknya penyakit tertentu. Selain itu saluran pencernaan berfungsi sebagai tempat penyerapan bahan makanan yang diperlukan oleh tubuh antara lain protein, karbohidrat, lemak, mineral, air dan vitamin (Budiarta & Sudarmadi, 2003). Dalam usaha mencegah terjadinya penyakit akibat infeksi patogen, tubuh telah dilengkapi oleh suatu sistem pertahanan, misalnya pada selaput mukosa saluran pencernaan. Saluran pencernaan itu sendiri mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha tubuh untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan penyakit, karena banyak penyakit diketahui penyebaran dan penularannya melalui saluran pencernaan. Secara umum, sistem pencernaan ruminansia serupa dengan mamalia lain, hanya bagian lambung yang membedakan, ruminansia memiliki lambung ganda, sedangkan mamalia non ruminansia berlambung tunggal. Struktur histologi abomasum secara umum terdiri dari tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Tunika mukosa tersusun 28 atas lamina epitel silindris sebaris, lamina propria (mengandung serabut kolagen, elastik dan retikuler) dan lamina muskularis mukosa. Kelenjar abomasum terdapat dalam lamina propria, sehingga jaringat ikat maupun sel-selnya hanya sedikit tampak didalamnya. Kelenjar abomasum tersusun cukup rapat sehingga lamina propria sulit ditentukan (Junqueira & Carneiro, 1982) Lamina muskularis mukosa relatif tebal, lazimnya terdiri dari tiga lapis yaitu lapis dalam, lapis tengah, dan lapis luar. Lapis dalam dan lapis luar bersifat melingkar, sedangkan lapis tengah bersifat longitudinal. Sel-sel otot polos dapat menjulur kedalam mukosa, mengisi jaringan ikat interstisial diantara kelenjar. Tunika submukosa mengandung serabut kolagen, sel lemak, dan pleksus saraf submukosa. Setelah tunika submukosa disusun oleh tunika muskularis dengan tiga lapis otot polos yaitu lapis dalam yang tersusun mengulir, lapis tengah yang tersusun melingkar, dan lapis luar yang tersusun longitudinal. Pleksus mientrikus terdapat diantara lapis tengah dan lapis luar (Dellmann & Brown, 1989). Tunika serosa terdiri dari mesotel yang membalut lapis jaringan ikat longgar. Berdasarkan jenis kelenjarnya abomasum dibedakan menjadi tiga daerah yaitu: daerah kardia, fundus, dan pylorus (Dellmann & Brown, 1989; Frandson, 1993). Sampai saat ini belum ada laporan ilmiah mengenai gambaran histologi abomasum sapi bali. Karena itu, studi histologi abomasum sapi bali sangat perlu dilakukan. Hasilnya akan dapat digunakan untuk melengkapi informasi di bidang anatomi mikroskopik. BAHAN DAN METODE Pengambilan Sampel Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yaitu untuk mengetahui struktur histologi abomasum sapi bali. Sampel dikumpulkan dari 20 ekor sapi bali yang dipotong di rumah potong hewan Pesanggaran Denpasar. Studi Histologi Abomasum Sapi Bali Eka Setiasih Organ yang diambil adalah yang secara patologi anatomi tidak mengalami perubahan. Pembuatan Sediaan Histologis Pembuatan sedian histologis berdasarkan metode Luna (1968) dan Culling & Dunn (1974) yaitu sampel abomasum yang telah dikumpulkan dan difiksasi dengan formalin 10%, didehidrasi dan berturut-turut dibersihkan dengan satu sesi larutan (formalin 10% I, formalin 10% II, formalin 10% III, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, alkohol absolut III, xylol I, xylol II, xylol III, toluene paraffin cair I, dan toluene paraffin cair II) selama 23 jam. Proses selanjutnya dibloking dengan paraffin cair, setelah didinginkan selama 30 menit dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 4-5µ. Sebelum dilakukan mounting terlebih dahulu dilakukan pewarnaan dengan metode HarrisHaematoxillin-Eosin (HE), dengan cara: direndam dalam xylol I, II, III masing-masing selama 5 menit, selanjutnya direndam dalam alkohol absolut I dan II selama 5 menit. Sebelum direndam dalam HE (15 menit), dilakukan perendaman dalam aquadest (1 menit), kemudian 5-7 menit dalam acid alkohol 10%, dua kali dalam aquadest selama 1 menit dan 15 menit. Setelah itu diwarnai dengan eosin selama 2 menit. Preparat yang telah diwarnai kemudian direndam dalam alkohol 96% I dan II masingmasing selama 3 menit, selanjutnya direndam kembali dalam alkohol absolut III dan IV masingmasing selama 3 menit. Tahap akhir dibersihkan dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 5 menit. Cara Pengambilan Data Pengamatan struktur histologi dilakukan di bawah mikroskop cahaya binokuler dengan pembesaran 100x, sedangkan untuk mengukur tebal tunika mukosa, submukosa, muskularis dan serosa dari abomasum sapi bali menggunakan pembesaran 125x. Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah struktur histologi abomasums sapi bali dan ketebalan masingmasing tunikanya. Analisis data untuk ketebalan masing-masing tunika dengan deskriptif kuantitatif, sedangkan struktur histologinya dengan deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Strukur histologi abomasum terdiri dari tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Tunika mukosa abomasum tersusun atas lamina epitel silindris simplek, lamina muskularis, dan lamina propria. Pada lamina propria tersusun dari jaringan ikat longgar dengan serabut kolagen, elastik dan retikuler, dan lamina muskularis mukosa, terdapat kelenjar abomasum yang merupakan ciri khas dari abomasum, sehingga abomasum disebut dengan lambung kelenjar (Gambar 1). Kelenjar abomasum terdapat dalam tiga daerah yaitu kardia, fundus, dan pilorus. masing-masing daerah mempunyai kelenjar dengan ciri-ciri yang spesifik. Setiap kelenjar tersusun atas berbagai sel antara lain sel leher mukous, sel utama, sel parietal, sel argentafin. Dalam studi ini menunjukkan bahwa ketebalan tunika mukosa abomasum 72,2±14,6 mm. Ketebalan masing-masing tunika setiap organ tubuler sangat erat kaitannya dengan aktivitas atau fungsi masing-masing organ tersebut. Fungsi abomasum adalah untuk mencerna makanan secara mekanik dan enzimatik, karena makanan yang masuk pada abomasum sudah menjadi lebih halus. Ketebalan masing-masing tunika juga berbeda pada setiap spesies hewan (Dellmann & Brown, 1989). 29 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Gambar 1: Tunika Mukosa abomasum (H.E : 100 x) : (a) Epitel silinder sebaris. (b) Lamina propria. (c) Kelenjar abomasums. (d) Lumen abomasums. (e) Filli. Tunika submukosa abomasum tersusun atas jaringan ikat longgar yang berisi serabut kolagen dan elastis dengan pembuluh darah dan pembuluh limfe dengan ketebalan 69,6±27,9 mm Pada pengamatan dengan mikroskop binokuler, terlihat pembuluh darah (vena dan arteri), serabut kolagen dan elastis (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh (Dellmann, 1971). Tunika muskularis mempunyai tiga lapis otot yaitu lapis dalam yang mengulir, lapis tengah yang melingkar dan lapis luar yang longitudinal dengan ketebalan 159,6±49,6 mm (Gambar 3). Dellmann & Brown (1989) menyatakan bahwa Gambar 2. Tunika Submukosa Abomasum. (H.E. 100x) (a) jaringan ikat longgar. (b) arteri. (c) vena. (d) muskularis mukosa. selain memiliki tiga lapisan otot tersebut juga ditemukan pleksus mesentrikus yang terdapat di antara lapis tengah dan lapis luar. Tunika serosa terdiri dari mesotel yang membalut lapis jaringan ikat longgar yang disebut subserosa dengan tebal rata-rata 36,4±17,9 mm (Gambar 4). Hasil pengamatan struktur histologi pada tunika omasum sapi bali ini secara umum sama dengan ruminansia lainnya yaitu terdiri dari jaringan ikat longgar (Dellmann & Brown 1989), hanya saja ketebalan pada masing-masing spesies dan umur mungkin berbeda. a a b Gambar 3. Gambaran Mikroskopis Tunika Muskularis Abomasum terdiri dari otot polos (a) yang tersusun melingkar (H.E.; 100x). 30 Gambar 4. Gambaran Mikroskopis Tunika Serosa Abomasum (H.E. 100x): (a) tunika serosa. (b) otot polos yang tersusun sirkuler Studi Histologi Abomasum Sapi Bali Eka Setiasih KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan, struktur histologi abomasum sapi bali terdiri tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Tunika mukosa tersusun oleh epitel kolumner simplek, lamina muskularis mukosa, dan lamina propria. Tunika submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar, tunika muskularis terdiri dari dua lapisan otot polos yang tersusun melingkar pada bagian dalam dan longitudinal pada bagian luar, sedangkan tunika serosa terdiri dari jaringan ikar longgar. Tebal masing-masing tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa masingmasing adalah 72,2±14,6 mm; 69,6±27,9 mm; 159,6±49,6 mm dan 36,4±17,9 mm. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap struktur histologi abomasum sapi bali pada variasi umur untuk melengkapi informasi dibidang anatomi mikroskopis sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar kajian untuk identifikasi karakteristik sapi bali. DAFTAR PUSTAKA Bandini, Y. 2004. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta. Budiarta, S. dan Sudarmadi, G.M. 2003. Jurnal Histologi Intestinum Pada Hewan Besar. Fakultas Kedokteran Hewan, UGM. Yogyakarta. www.yahoo.com/lnk/ servicejournal/00435/bibs/811708/ 81170237.htm [21/03/2005] Culling, C.F.A. and W.L. Dunn. 1974. Handbook of Histopathological and histochemical Techniques. 3 rd . Butterworths and Co Publishers, England, New Zealand, Austria, Canada, South Africa, USA Dellmann. H. D. 1971. Veterinary Histology An Outline Text-Atlas. Philadelphia. Dellmann. D. dan E. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah Hartono. Ed 3. Penerbit Univ Indonesia. Hal 274275 Frandson, R.D, 1993 Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Yogyakarta. Junqueira, LC. dan J. Carneiro. 1982. Histologi Dasar. Alih Bahasa Adji Dharma. 1990. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal. 123-132. Luna, L.G. 1968. Manual Histologic Staining Methods of Pathology. 3rd Ed. The Blakiston Division Mc Graw-Hill Book Company, New York. Hal 125 Yasin, S. dan Dilaga, S.H. 1993. Peternakan Sapi Bali dan Permasalahannya. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. 31 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 UNSUR HARA, BUAH DAN METABOLIT SEKUNDER PADA TANAMAN I Gede Ketut Adiputra Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar. ABSTRAK Buah dihasilkan tanaman setelah pembungaan dan metabolisme hasil fotosintesis sukrosa pada buah menghasilkan berbagai senyawa bermanfaat baik sebagai gizi makanan maupun sebagai senyawa yang dapat menyembuhkan penyakit. Pada fase penghasilan buah, tanaman memerlukan banyak unsur hara yang diambil melalui akar. Apabila buah kemudian dipanen, maka unsur hara yang diambil tersebut akan dipindahkan dari lahan sehingga terjadilah pemiskinan unsur hara pada lahan. Penurunan ketersediaan unsur hara ini akan segera menurunkan produksi, baik jumlah maupun kualitas karena pertumbuhan dan reproduksi pada dasarnya adalah reaksi metabolisme. Proses metabolisme ini memerlukan berbagai kondisi lingkungan agar reaksi dapat berlangsung secara optimal. Upaya meningkatkan produksi perkebunan secara berkelanjutan akan sulit dilakukan apabila kondisi lingkungan seperti pemiskinan unsur hara tidak teratasi. Hal ini disebabkan karena unsur hara adalah substrat bagi synthesis senyawa organik yang dihasilkan melalui fotosintesis. Sedangkan hasil fotosintesis ini selanjutnya disintesa menjadi berbagai senyawa organik, baik yang berupa metabolit primer maupun metabolit sekender. Oleh karena itu, kekurangan unsur hara akan segera berakibat pada hambatan pertumbuhan maupun hambatan produksi metabolit. Hambatan produksi ini selanjutnya akan mengurangi jumlah substrat yang dapat digunakan untuk menghasilkan senyawa bermanfaat yang harus disintesis pada buah. Paper ini menguraikan tentang hubungan antara ketersediaan unsur hara dan kualitas buah, produksi metabolit sekender pada tanaman, serta manfaat metabolite sekender bagi tanaman dan manusia. Kata kunci : Unsur hara, metabolit sekunder, buah ABSTRACT Fruits are formed by plants after inflorescence and sucrose metabolism in fruit produce various kinds of compounds. These compounds are very important as component of human diet or could be used for pharmaceutical agent. During the formation of fruit, plants require a high amount of nutrient taken up from soil via the root systems. After the fruit is then harvested, nutrient previously taken up then transported out from the farm and resulted in continuous decreased of nutrient available. The decreasing amount of nutrient available subsequently affected plant production whether quantitative or qualitatively because this activity is basically a metabolic reaction. Therefore, for an optimal rate of metabolism, plants require various environmental conditions that enable the metabolic reaction to be proceed at optimal level. This implies that sustainable farming would hardly to be achieved if nutrient available in the farm can not be resumed whether by deliberate addition of fertilizer or by regulation of nutrient available in the farm. The sustained nutrient available is very important since nutrient is the substrate for organic compounds that is used for sucrose production. This sucrose is then metabolized to produce whether primary or secondary metabolites. Thus, nutrient available could directly affected development or production of metabolites in fruit. This paper describes the relationships between nutrient available and fruit quality, production of secondary metabolites in plants and the significant of secondary metabolites for human and plants. Key words : Inorganic nutrients, secundary metabolites, fruits. 32 Unsur Hara, Buah dan Metabolit Sekunder pada Tanaman Adiputra PENDAHULUAN Buah-buahan merupakan komoditi penting bagi perekonomian suatu negara karena dapat mendatangkan devisa cukup besar disamping keuntungan bagi masyarakat pekebun. Budidaya buah-buahan juga menguntungkan dari segi ekologis, terutama buah yang dihasilkan golongan pohon-pohonan karena tidak menimbulkan ancaman terhadap penggundulan lahan atau erosi. Bagi masyarakat Bali, buah dipandang tidak hanya memiliki nilai ekonomi, gizi dan ekologi, tetapi juga memiliki arti khusus karena merupakan salah satu komponen dalam pembuatan banten. Semakin disadari pentingnya nilai gizi pada buah-buahan mengakibatkan semakin tingginya permintaan pasar akan buahbuahan. Tanaman penghasil buah-buahan dapat mengalami perubahan kualitas produksi karena perubahan ekspresi genetis akibat ketidaksesuaian iklim maupun komposisi unsur hara pada lahan. Penurunan kualitas ini dapat berupa rendahnya nilai gizi atau senyawa yang bermanfaat dan pada akhirnya membuat buah tersebut tidak bernilai ekonomi, kalah bersaing dengan buah yang memiliki tampilan ataupun rasa yang lebih baik. Hal ini berarti bahwa budidaya tanaman ini tidak menguntungkan lagi bagi pekebun dan produktivitas lahan. Kemudian diupayakan dengan mengintroduksi tanaman baru yang memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan. Perubahan vegetasi tanaman buah ini dapat berakibat pada berkurangnya sumber gizi dan bahan obat. Untuk masyarakat Bali, perubahan ini dapat berakibat pada semakin langkanya bahan baku untuk pembuatan banten. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memelihara kualitas buah secara berkelanjutan adalah pemeliharaan kondisi pertumbuhan secara optimal. Akan tetapi metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kekurangan unsur hara melalui kajian metabolisme karbohidrat pada buah belum banyak diketahui, sehingga kondisi pertumbuhan tanaman sulit dimengerti hanya dengan mengobservasi senyawa yang terdapat pada buah. Studi tentang pengaruh lingkungan terhadap kualitas buah terutama penting karena metabolit dapat bervariasi tidak hanya oleh perbedaan jenis tanaman tetapi juga oleh lokasi, musim panen dan faktor lingkungan lainnya (Robert, 2007). Khusus tentang kualitas buah jeruk, Zekri (2009) secara lebih rinci mengemukakan bahwa kualitas buah dipengauhi oleh cultivar, rootstock, iklim, tanah, hama dan penyakit, pengairan, dan nutrisi. Dengan demikian, untuk memelihara nilai gizi dari buah-buahan yang dikonsumsi, kajian tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas buah perlu dilakukan untuk menjaga nilai ekonomi dari buah yang diproduksi dan sekaligus juga meningkatkan kesehatan masyarakat. Tulisan ini membahas tentang unsur hara, metabolisme karbohidrat pada buah dan produksi metabolites sekunder pada tanaman. PEMBAHASAN Unsur hara dan produksi karbohidrat pada tanaman. Produksi biomasa pada tanaman sangat bergantung pada ketersediaan unsur hara, disamping lingkungan fisik yang harus sesuai Unsur hara makro terutama digunakan tanaman untuk mensintesis senyawa organik, sedangkan unsur hara mikro sebagian besar berfungsi sebagai kofaktor, membantu kerja enzim dalam metabolisme. Masing-masing unsur memiliki peran yang khas dalam penyusunan makromolekul sehingga kekurangan suatu unsur akan mengakibatkan terjadinya simptom defisiensi yang khas. Menurut Gardner et al. (1991), unsur hara yang diserap tanaman dapat digolongkan berdasarkan fungsi utamanya yaitu: Sebagai struktur dasar (C, H dan O), penyimpanan energi dan transfer ikatan energi (N, S, P), keseimbangan muatan listrik (K, Ca, Mg), aktivasi enzim dan transport elektron (Fe, Mn, Zn, B, Cu, Mo, Cl). Peran yang khas dari masing-masing unsur ini dalam menyusun perangkat berbagai fungsi dalam tanaman selanjutnya mengakibatkan produksi biomasa tergantung pada konsentrasi unsur pada tanaman. 33 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Hubungan kuantitatif antara unsur hara tanaman dengan produksi biomasa telah dirumuskan antara lain dengan metode CNL. Pada metode ini, tanaman dikatakan mengalami kekurangan unsur apabila konsentrasi suatu unsur pada tanaman mengakibatkan penurunan produksi lebih dari 10% (Campbell & Plank, http://www.ncagr.com ; Lakitan 1993). Rumusan ini, secara kuantitatif menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara unsur hara dan aktivitas metabolik pada tanaman dalam menghasilkan senyawa organik. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara pemberian pupuk dan produksi senyawa organik tanaman, pada suatu lahan, dilakukan penelitian tentang kadar sukrosa pada tanaman setelah pemberian pupuk. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara unsur hara dan laju metabolisme pada daun dalam penghasilan sukrosa (Adiputra et al 2007 ; 2008). Akan tetapi karena fungsi masing-masing unsur dalam penghasilan metabolit ini berbeda, serta konsentrasi optimal suatu unsur pada tanaman juga berbeda, maka hubungan kuantitatif antara produksi sukrosa dan jumlah pupuk yang diberikan tersebut belum dapat diketahui. Hal ini terlalu sulit karena unsur hara yang tersedia pada lahan tidak diketahui, demikian juga unsur yang diperlukan tanaman baik jumlah maupun jenis. Namun demikian, penelitian ini telah dapat memberi petunjuk umum tentang jumlah pupuk yang dapat diberikan pada tanaman pada suatu lahan. Petunjuk umum tersebut adalah bahwa penurunan kadar sukrosa setelah pemberian pupuk menunjukan dosis pupuk melewati jumlah yang diperlukan, sedangkan kenaikan produksi sukrosa setelah pemupukan menunjukan pupuk yang diberikan sesuai dengan yang diperlukan tanaman. Pengaruh pemberian pupuk terutama NPK terhadap aktivitas fotosintesis sebenarnya telah banyak dilakukan, tetapi karena variasi lahan dalam mekanisme penyediaan unsur hara sangat kompleks, maka jumlah pupuk yang perlu diberikan pada tanaman pada suatu lahan tetap masih belum jelas. Misalnya, Terry & Ulrich 34 (1973), Sawada et al. (1982) menemukan bahwa penghentian pemberian fosfor pada tanaman mengakibatkan penurunan aktivitas fotosintesis. Sementara Gastal & Lemaire (2002), menemukan bahwa akumulasi biomasa berhubungan dengan ketersediaan nitrogen, sedangkan Hong Yan Liu et al. (2006) menemukan bahwa kekurangan unsur hara potasium dapat menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa produksi hasil fotosintesis dapat dipengaruhi oleh perubahan kadar salah satu atau beberapa unsur tanaman. Hal ini berarti bahwa hasil fotosintesis dapat dipandang sebagai produk dari rangkaian reaksi kimia yang komponen-komponen reaksinya tersusun dari unsur hara. Oleh karena hasil fotosintesis ini kemudian digunakan untuk menghasilkan buah, maka unsur hara dapat juga berpengaruh terhadap kualitas buah. Pada tanaman advokat ditemukan bahwa apabila tanaman mengalami stres sebelum panen maka buah yang dipanen akan mengalami browning lebih cepat (Bower & Cutting, 1987). Laporan yang lebih rinci tentang pengaruh unsur hara dan kualitas buah dikemukakan oleh Zekri et al (2009), apabila tanaman diberi tambahan unsur N, P dan K maka buah akan menghasilkan lebih banyak TSS (total soluble solid). Hal ini berarti bahwa kualitas buah akan menurun jika ketersediaan unsur hara pada lahan berkurang atau sebaliknya jika unsur hara yang tersedia cukup banyak maka kualitas buah akan lebih baik. Penelitian yang dilakukan pada tanaman nenas menemukan bahwa pemberian tambahan unsur hara nitrogen menyebabkan keasaman buah menjadi berkurang yang disebabkan oleh menurunnya asam bebas pada buah tersebut (Bhugaloo 1998). Untuk mengetahui kualitas buah-buahan, terutama yang dihasilkan di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian tentang ketersediaan unsur hara yang diperlukan untuk menghasilkan buah dengan kualitas yang baik. Sebagai indikator terhadap kualitas ini dapat digunakan salah satu dari Unsur Hara, Buah dan Metabolit Sekunder pada Tanaman Adiputra senyawa yang termasuk soluble solid seperti soluble sugar. Penyimpanan karbohidrat pada buah Buah merupakan tempat akumulasi hasil fotosintetik yang tidak disintesa menjadi molekul struktural tanaman. Oleh karena itu, hasil fotosintesis yang tersimpan pada buah ini dengan mudah dapat diuraikan kembali menjadi molekul sederhana seperti gula atau sukrosa. Hal ini berbeda dengan hasil fotosintesis yang ditranslokasikan ke bagian tanaman yang sedang tumbuh dimana hasil fotosintesis diubah menjadi molekul struktural seperti lignin, sellulosa dan polimer lainnya. Molekul struktural ini tidak mungkin dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi manusia. Sebelum sampai ke buah, hasil fotosintesis ditranslokasikan sebagian besar dalam bentuk sukrosa baik ke bagian tanaman yang sedang tumbuh maupun ke bagian penyimpanan makanan (Ziegler, 1973). Translokasi hasil fotosintesis kedalam buah dikenal dengan nama phloem unloading, melibatkan enzim sucrosa synthase untuk mengontrol pengiriman sukrosa kedalam buah. Senyawa ini selanjutnya diubah menjadi senyawa yang inert secara osmotik seperti zat tepung, sementara enzim yang berperan untuk mengontrol akumulasi tepung adalah ADPglukosa pirofosforilase (N’tchobo et al 1999). Namun demikian, dalam buah dijumpai berbagai senyawa yang bervariasi menurut jenis tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa pada buah terjadi metabolisme aktif tidak hanya untuk dapat terjadinya akumulasi hasil fotosintesis, tetapi juga untuk membuat berbagai senyawa lain. Pada tanaman dari famili Rosaceae, sukrosa dapat mengalami perubahan menjadi sorbitol, glukosa atau fruktosa. Pada pematangan buah, sukrosa disintesa kembali dari pool fruktosa dan glukosa dan disimpan didalam vakuola. Setelah buah ini masak, sukrosa dapat mengalir keluar menuju sitosol karena rusaknya membran pada proses pemasakan buah (Yamaki, 1995). Pada tanaman mangga, peningkatan kadar zat tepung didalam mesocarp terjadi pada saat pematangan buah secara fisiologis. Hal ini berarti bahwa sukrosa yang ditranslokasikan ke buah mangga disimpan dalam bentuk zat tepung. Pada buah apel, penyusunan zat tepung diatur oleh enzim phosphoglucomutase (Berüter, 2004). Disamping enzim pengatur, pada fase pematangan buah ditemukan adanya inhibitor yang menghambat aktivitas enzim amylase (Jacobi et al., 2002), sehingga zat tepung yang disimpan tidak mengalami penguraian. Pada fase selanjutnya yaitu pemasakan buah aktivitas amylase ditemukan meningkat sehingga zat tepung yang terakumulasi ini kemudian mengalami penguraian menjadi sukrosa (Jacobi et al., 2002). Proses ini menunjukkan bahwa zat tepung yang disintesa dari sukrosa pada proses pematangan buah kemudian diuraikan kembali menjadi sukrosa pada pemasakan buah. Pada tanaman tomat, penyimpanan hasil fotosintesis dalam bentuk zat tepung juga ditemukan terjadi pada buah yang belum matang. Zat tepung ini selanjutnya menjadi penyumbang soluble sugar ketika buah menjadi matang (Schaffer & Petreikov, 1997). Penelitian tentang translokasi sukrosa ke buah tomat juga menemukan bahwa terdapat variasi dalam mekanisme penyimpanan hasil fotosintesis pada varietas yang berbeda walaupun masih tergolong satu spesies tanaman (Yelle et al. , 1988). Pada tanaman L. esculentum, sukrosa mengalami metabolisme di sepanjang jalur translokasi sedangkan pada L. chmielewskii , sukrosa tidak mengalami metabolisme. Oleh karena unsur hara, terutama unsur hara makro merupakan substrat bagi senyawa organik, kadar suatu senyawa yang dihasilkan pada buah dapat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Misalnya, senyawa yang banyak mengandung N dapat terakumulasi pada buah apabila pada lahan tersedia banyak N, demikian juga senyawa lain dapat terakumulasi dalam jumlah relatif lebih banyak jika unsur penyusun senyawa tersebut terdapat dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah. Perbedaan komposisi senyawa, 35 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 terutama enzim yang berperan dalam metabolisme karbohidrat, selanjutnya mempengaruhi keseimbangan kimia sehingga hasil akhir dari metabolisme pada buah matang juga dapat berbeda. Hasil akhir yang berupa berbagai senyawa dalam buah selanjutnya dapat menentukan kualitas buah setelah dipanen. Penelitian Naradisorn, Matchima (2008, PhD Thesis), tentang pengaruh unsur hara terhadap kualitas buah setelah panen menunjukan bahwa buah yang dipanen dari tanaman yang diberi kalsium lebih tahan terhadap serangan jamur dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tambahan unsur hara kalsium dapat meningkatkan produksi senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan jamur. Jadi kualitas buah pasca panen ditentukan tidak hanya oleh perlakuan pasca panen tetapi juga oleh kondisi pertumbuhan tanaman sebelum menghasilkan buah. Kajian unsur hara terhadap kualitas buah pasca panen dapat sangat membantu penyediaan buah berkualitas. Laju biosintesis hasil fotosintesis pada buah tergantung pada laju pemuatan (unloading) hasil fotosintesis ke buah. Laju fotosintesis tergantung dari ketersediaan substrat dalam bentuk ion yang diambil melalui akar. Oleh karena itu, akumulasi zat tepung pada buah akhirnya juga tergantung pada ketersediaan 36 unsur hara. Secara skematis, penyimpanan hasil fotosintesis pada buah diilustrasikan pada Gambar 1 Penguraian karbohidrat pada buah Pertumbuhan dan pemasakan buah telah menarik minat para peneliti karena proses tersebut disamping cukup unik bagi ilmu biologi tanaman, juga karena buah merupakan komponen penting bagi menu makanan masyarakat (Giovannoni, 2001). Senyawa yang tersimpan pada fase pertumbuhan buah mengalami penguraian menjadi berbagai molekul pada saat buah mengalami pemasakan. Penguraian ini diatur secara genetis, dan hormon yang berperan dalam proses ini adalah ethylen. Biosintesis ethylen diatur oleh dua faktor yaitu faktor pertumbuhan dan sistem autokatalitik yang dihasilkan oleh gen yang sama (Jerie et al., 1991; Yokotani et al., 2009). Pemasakan buah terjadi karena peningkatan produksi ethylen oleh faktor pertumbuhan dan memicu produksi ethylen autokatalitik. Pada proses tersebut produksi ethylen pada buah masak menjadi jauh lebih tinggi dari pada buah yang belum matang. Kerja ethylen dan faktor lingkungan kemudian mengakibatkan terjadinya kenaikan kadar gula sampai 7 % karena akumulasi non reducing sugar seperti sukrosa (Cantwell et al. 1992). Unsur Hara, Buah dan Metabolit Sekunder pada Tanaman Adiputra Secara skematis peran ethylen dalam penguraian karbohidrat yang disimpan dalam buah diilustrasikan pada Gambar 2. Produksi dan fungsi metabolit sekunder bagi tanaman dan manusia Menurut Robert (2007), senyawa organik yang dihasilkan oleh tanaman dibedakan menjadi metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah senyawa yang memiliki fungsi yang esensial bagi kegiatan dan pemeliharaan sel. Misalnya, giberelin, memiliki fungsi penting untuk modulasi pertumbuhan sel dan pemanjangan tanaman, karotenoid berperan penting dalam pemanenan energi matahari dan perlindungan dari kerusakan yang diakibatkan oleh sinar, dan sterol sangat penting dalam menjaga permeabilitas membran. Metabolit sekunder adalah senyawa yang tidak terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Senyawa ini justru banyak bermanfaat bagi kesehatan manusia misalnya; vincristin dan vinblastin yang dihasilkan oleh tanaman Catharanthus roseus berkhasiat sebagai anti kanker, artemisinin yang dihasilkan oleh tanaman Artemisia annua berkhasiat sebagai anti malaria dan coumarins yang dihasilkan oleh tanaman Calophyllum lanigerum berkhasiat sebagai anti HIV. Senyawa intermediet untuk metabolit primer biasanya dihasilkan didalam sitosol dan dikirim ke plastida untuk diubah melalui jalur metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini kemudian dapat diambil dari plastid untuk disimpan atau disekresikan ke lingkungan ekstraselluler. Metabolit sekunder yang hidrofilik disimpan didalam vakuola sedangkan metabolit sekunder yang hidrofobik disimpan didalam dinding sel. Metabolit ini dapat diuraikan baik secara intra selluler maupun ekstra selluler dan selanjutnya dapat disalurkan keluar atau kedalam sel dan digunakan kembali untuk metabolisme primer atau sekunder (Robert, 2007). Pada tanaman, penghasilan metabolit sekunder merupakan proses panjang yang melibatkan gen, enzym, produk, transport dan penyimpanan (Verpoorte et al., 1994). Proses ini dimulai dengan ekspresi gen untuk menghasilkan enzim yang diperlukan dalam proses biosintesis metabolit yang kemudian diangkut ke tempat penyimpanan. Pengaturan penghasilan metabolit ini dilakukan oleh mekanisme transport dan penyimpanannya. Untuk menghasilkan metabolit yang lebih banyak maka dalam teknologi rekayasa dilakukan bloking terhadap jalur metabolisme yang menghasilkan senyawa yang tidak sesuai dengan metabolit yang diinginkan. Pada tingkat sel, aktivitas produksi metabolit sekunder sebagian besar terjadi pada sitoplasma, walaupun menurut Roberts (1981) dan Wink & Hartmann (1982) dalam Acamovic & Brooker (2005), beberapa 37 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 alkaloid, quinolizidine, caffein dan terpentin disintesa didalam kloroplast. Secara umum, metabolit sekunder ini biasanya dapat ditemukan pada semua bagian tanaman, tetapi sintesa awal terjadi pada bagian tertentu dari tanaman ini seperti akar, buah atau daun. Metabolit sekunder dapat memiliki fungsi sebagai senyawa pertahanan seperti melindungi diri dari herbivora, serangga, jamur, virus dan kerusakan yang diakibatkan oleh sinar ultra violet (Acamovic & Brooker 2005). Dalam hubungannya dengan senyawa pertahanan ini, Mosleh et al. (2005) mengemukakan bahwa keanekaragaman struktur kimia dan konsentrasi metabolit sekunder pada tanaman diakibatkan oleh mekanisme seleksi oleh hewan pemakan tumbuhan. Selain sebagai senyawa pertahanan, metabolit sekunder ini juga dapat berfungsi sebagai penarik serangga untuk membantu penyerbukan. Pada biji-bijian, metabolit sekunder, karbohidrat dan lemak dapat mengalami turn-over dan digunakan tanaman sebagai bahan pertumbuhan pada saat perkecambahan. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan memiliki pengaruh yang sangat bervariasi pada hewan dan manusia. Pengaruh ini tergantung pada susunan kimia, konsentrasi pada tanaman dan jumlah yang dikonsumsi serta status kesehatan. Pada mulanya, metabolit sekunder pada tanaman dipelajari untuk dapat menghindari bahaya yang disebabkan, tetapi pada perkembangan selanjutnya, metabolit sekunder dipelajari agar dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kesehatan (Acamovic & Brooker 2005). Pada tanaman, senyawa yang berfungsi sebagai alat pertahanan mungkin tidak tersedia dalam bentuk yang siap pakai. Senyawa ini dibuat justru setelah tanaman terinfeksi. Misalnya, senyawa anti bakteri dan anti jamur (phytoalexin) dibuat melalui mekanisme infeksi. Oleh karena itu, senyawa ini menjadi tidak terdapat pada tanaman apabila tanaman tersebut tidak terinfeksi. Untuk kepentingan pengobatan bagi manusia, metabolit sekunder yang saat ini banyak dipelajari adalah senyawa terpenoid, meliputi tidak kurang dari 40000 jenis senyawa yang memiliki struktur kimia berlainan. KESIMPULAN Perbaikan kualitas produksi buah-buahan perlu dilakukan secara berkelanjutan melalui pemeliharaan ketersediaan unsur hara yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan reproduksi. Perbaikan kualitas produksi ini memerlukan pengetahuan yang cukup, tidak hanya tentang teknologi pasca panen tetapi juga mekanisme penyimpanan dan metabolisme hasil fotosintesis pada buah serta faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Pemeliharaan produksi buah yang berkualitas penting karena buah menempati posisi kedua setelah karbohidrat dalam fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Acamovic, T and Brooker, J.D. 2005. Biochemistry of plant secondary metabolites and their effects in animals. Proceedings of the Nutrition Society 64; 403–412. Adiputra, I G.K., Suardana, AA. Km., Sumarya, I Md., Israil Sitepu, Sudiartawan, P. 2007. Perubahan biosintesis sukrosa sebelum pertumbuhan kuncup ketiak pada panili (Vanilla planifolia). Laporan penelitian Hibah bersaing I, Program studi Biologi, Fak. MIPA, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar. Adiputra, I G.K., Suardana, AA. Km., Sumarya, I Md., Israil Sitepu, Sudiartawan, P. 2008. Perubahan biosintesis sukrosa sebelum pertumbuhan kuncup ketiak pada panili (Vanilla planifolia). Laporan penelitian Hibah bersaing II, Program studi Biologi, Fak. 38 Unsur Hara, Buah dan Metabolit Sekunder pada Tanaman Adiputra MIPA, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar. Berüter J. 2004. Carbohydrate metabolism in two apple genotypes that differ in malate accumulation . Swiss Federal Research Station for Horticulture, Wädenswil CH8820, Switzerland. Bhugaloo RA. 1998. Effect of different level of nitrogen on yield and quality of pineapple variety Queen Victoria. AMAS 98. Food and Agricultural Research Council, Réduit, Mauritius Bower JP and Cutting JGM. 1987. Some factors affecting post-harvest quality in avocado fruit. South African Avocado Growers’ Association Yearbook 1987. 10:143-146. Proceedings of the First World Avocado Congress. Cantwell M, Flores-Minutti, J and TrejoGonzales A. 1992. Developmental changes and postharvest physiology of tomatillo fruit (Physalis ixocarpa Brot.). Scientia Hortic., 50:59-70. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Gastal F and Lemaire G. 2002. N uptake and distribution in crops: an agronomical and ecophysiological perspective. J. Exp. Bot. 53, No. 370: 789-799. Giovannoni J. 2001. Molecular biology of fruit maturation and ripening. Annual review of plant physiology and plant molecular biology. vol. 52: 725-749 Hong-Yan Liu HY, Wen-Ning-Sun, Wei-Ai Su, Zang-Cheng Tang 2006. Co-regulation of water channel and potassium channel in rice. Physiol. Plant. 128:58-69. Jacobi KK, Hetherington SE and MacRae EA 2002. Starch degradation in Kensington mango fruit following heat treatment. Australian Journal of Experimental Agriculture 42(1) 83 - 92 (2002). Jerie PH, Hall MA, Zeroni M 1991. Aspects of the role of ethylene in fruit ripening. Postharvest Biology and Technology Volume 1, Issue 1, Pages 67-80. Mosleh Arany A, De Jong TJ, Kim HK, Van DamNM, Choi YH, Verpoorte R & Van Der Meijden E. 2005. Glucosinolates and some other chemical compounds in leaves from natural populations of arabidopsis thaliana and their effects on generalist and specialist herbivores. Institute of Biology, University of Leiden, 2300 RA Leiden, The Netherlands. N’tchobo H, Dali N, Nguyen-Quoc B, Foyer CH, Yelle S. 1999. Starch synthesis in tomato remain constant throughout fruit development and is dependent on sucrose synthase activity. Journal of Experimental Botany, Vol 50, No. 338, pp. 1457-1463. Robert SC. 2007. Produksi dan rekayasa terpenoid dalam kultur sel tanaman. Nature chemical Biology 3, 387-395. Sawada S, Igarashi T and Miyachi S. 1982. Effect of nutritional level of phosphate on photosynthesis and growth studied with single, rooted leaf of dwarf bean. Plant and Cell Physiology 23: 27-33. Schaffer AA and Petreikov M. 1997. Sucroseto-Starch Metabolism in Tomato Fruit Undergoing Transient Starch Accumulation. Plant. Physiol. 113: 739746. Terry N and Ulrich A. 1973. Effect of phosphorus deficiency on the photosynthesis and respiration of leaves of sugar beet. Verpoorte R, van der Heijden R, Hoge JHC and ten Hoopen HJG. 1994. Plant cell biotechnology for the production of secondary metabolites. Pure & Appl. Chern., Vol. 66, Nos 10/11, pp. 23072310. Yamaki S. 1995. Physiology and metabolism of fruit development - biochemistry of sugar metabolism and compartmentation in fruits -. Acta Hort. (ISHS) 398:109-120 39 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Yelle S, Hewitt JD, Robinson NL, Damon S, And Bennett AB 1988. Sink Metabolism in Tomato Fruit. III. analysis of carbohydrate assimilation in a wild species. Plant Physiol. 87: 737-740. Yokotani N, Nakano R, Imanishi S, Nagata M, Inaba A, Kubo Y. 2009. Ripeningassociated ethylene biosynthesis in tomato fruit is autocatalytically and developmentally regulated. J Exp Bot. 2009;60(12):3433-42. Zekri M, Obreza TA, Koo R 2009. Irrigation, nutrition and citrus fruit quality. SL 207 Soil and Water Science Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. Ziegler H. 1975. Nature of transported substances. –In Transport in plants. I. Phloem transport. Encyclopedia of Plants Physiology, New series (M.H. Zimmerman and J.A. Milburn, eds), Vol. 1, pp. 59100. Springer-Verlag, New York, NY. 40 UJI KUALITAS SIFAT TANAH SAWAH AKIBAT PEMBERIAN PUPUK ORGANIK E. Dewi Yuliana Program Studi Biologi FMIPA Universitas Hindu Indonesia, Jl Sangalangit, Tembau, Denpasar ABSTRAK Peningkatan kualitas sifat tanah sawah baik secara fisik, kimia, dan biologi tanah diduga dipengaruhi oleh pemberian pupuk organik ke dalam tanah. Peningkatan kualitas tanah sawah berimplikasi langsung terhadap kesuburan tanah sebagai penyumbang hara yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penelitian ini bertujuan ingin mengkaji implikasi pemberian pupuk organik dengan dosis 2 ton per hektar, dalam pelaksanaan pertanian organik terhadap perbaikan kualitas tanah sawah. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan didukung oleh data kuantitatif (sekunder) sebagai data penunjang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk organik ke dalam tanah ternyata telah mampu membebaskan tanah dari tekanan ekologis berupa terjadinya degradasi kualitas lahan sawah. Pemberian pupuk organik ke dalam tanah ternyata mampu meningkatkan kualitas sifat tanah sawah seperti kemasaman (pH) tanah, P-tersedia tanah, C-organik tanah, kadar air kapasitas lapang, dan kadar air tersedia tanah. Penambahan pupuk organik menyebabkan terjadinya perbaikan kualitas tanah sawah baik ditinjau dari segi fisik, kimia, dan biologi tanah. Adanya keseimbangan antara ketiga faktor baik fisik, kimia, dan biologi tanah, menyebabkan terjadinya peningkatan kesuburan tanah yang akhirnya berimplikasi pada perbaikan ekosistem sawah secara menyeluruh. Kata Kunci : Uji Kualitas, Sifat Tanah, dan Pupuk Organik ABSTRACT Improvement of soil quality in rice-field, whether physical, chemical or biologically is speculated to be affected by application of organic fertilizer into the soil. This quality is directly implied on soil fertility which is contributed to the amount of nutrient for plant growth and development. This study is aimed to assess the implication of 2 ton/ ha organic nutrient application, in organic farming practice, on the soil quality of the rice field. This study was using a qualitative methodological design. So, qualitative data was collected but this qualitative data is then supported by second hand quantitative data. This study concluded that application of organic fertilizer could minimize ecological stress, i.e. the decrease of soil quality. This conclusion is supported by quantitative data, where addition of organic fertilizer could increase soil pH, phosphorous made available, soil organic carbon, water content, field capacity, and water available in soil. Therefore, addition of organic fertilizer resulted in the improvement of the soil quality in the rice filed, whether physical, chemical or biologically. The equilibrium of these three factors would increase soil fertility and eventually soil ecosystem as a whole. Key word: Test Quality, Soil quality, Organic fertilizer. 41 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 PENDAHULUAN Penggunaan input dalam bidang pertanian secara besar-besaran, bisa menimbulkan dampak langsung terhadap perubahan kondisi ekologi, terutama terhadap lingkungan hidup. Apa yang diperkenalkan oleh pertanian modern melalui revolusi hijau, salah satunya adalah tidak terduganya ketergantungan yang semakin meningkat terhadap pestisida dan pupuk buatan. Input ini telah mencemari sungai dan air tanah dalam tingkat yang membahayakan manusia. Menurut De Datta (1981), berbagai keterbatasan pupuk buatan telah dikemukakan oleh beberapa ilmuwan seperti : (1) efisiensi pupuk buatan ini terbukti lebih rendah dari yang diharapkan, (2) pupuk buatan ini bisa mengganggu kehidupan dan keseimbangan tanah, mengurangi dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan keefektifan yang lebih rendah dalam menghasilkan penenan, (3) penggunaan pupuk buatan Nitrogen, Phosfor dan Kalium (NPK) yang terus menerus menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro, (4) adanya keterbatasan suplai sumber daya khususnya fosfat. Menurut Gips (dalam Reijntjes dkk, 2006), pestisida selain pupuk merupakan salah satu dari input luar yang dipergunakan secara besarbesaran di bidang pertanian. Pada tahun 1985 dunia menggunakan 2 milyar 300 juta kg pestisida kimia. Penggunaan pestisida meningkat dengan pesat khususnya di negara-negara berkembang, di mana pestisida dianggap mampu mengendalikan hama dengan cepat dan sering secara aktif dipromosikan dan disubsidi. Namun demikian beberapa kerugian dan bahaya penggunaan pestisida lambat laun menjadi jelas seperti berikut : (1) setiap tahun ribuan penduduk terkontaminasi pestisida, dimana kira-kira setengahnya adalah penduduk dunia ketiga, (2) pestisida bukan hanya membunuh organisme yang menyebabkan kerusakan pada tanaman, namun juga membunuh organisme yang berguna, seperti musuh alami hama, (3) hanya sebagian kecil pestisida yang dipakai di lahan mengenai organisme yang seharusnya dikendalikan, sebagian besar organisme masuk ke udara, tanah atau air yang bisa membahayakan kehidupan organisme lain (4) pestisida tidak mudah terurai, akan terserap dalam rantai makanan. Bahkan lebih lanjut berdasarkan data World Healt Organization (WHO) (dalam Promo, 2007), 65 persen Air Susu Ibu (ASI) telah tercemar pestisida. Sejalan dengan makin banyaknya bahaya yang ditimbulkan oleh paket pertanian modern seperti penggunaan pestisida dan pupuk kimia, maka ini merupakan tantangan bagi pakar pertanian untuk mencari teknologi alternatif dalam pertanian, salah satunya adalah menerapkan sistem pertanian organik. Pertanian organik adalah pertanian dengan masukan teknologi rendah membatasi ketergantungan pada pupuk anorganik dan bahan kimia pertanian lainnya. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik. Gulma, penyakit dan hama tanaman dikelola melalui pergiliran tanaman, pertanaman campuran, bioherbisida, insektisida organik yang dikombinasikan dengan pengelolaan tanaman yang baik. Pengembangan pertanian untuk masa depan harus diarahkan pada upaya untuk menghasilkan pertanian yang menyehatkan, daur ulang unsur hara secara hayati, serta pelestarian terhadap lingkungan hidup. Pertanian organik bila dilaksanakan dengan baik maka akan dapat memulihkan tanah yang sakit akibat penggunaan bahan kimia pertanian. Hal ini terjadi apabila fauna tanah dan mikroorganisme yang bermanfaat dipulihkan kehidupannya, dan kualitas tanah ditingkatkan dengan pemberian bahan organik, karena hal ini menyebabkan perubahan terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Tahap pertama produksi dan konservasi biomassa adalah memobilisasi bahan organik (Sutanto, 2002). 42 Uji Kualitas Sifat Tanah Sawah Akibat Pemberian Pupuk Organik E. Dewi Yuliana Bertolak dari permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian mengenai uji kualitas sifat tanah sawah akibat pemberian pupuk organik. Penelitian ini bertujuan ingin mengkaji dampak pelaksanaan penerapan pertanian organik dengan menerapkan pupuk organik terhadap perbaikan kualitas tanah sawah. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Subak Wangaya Betan, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan di Provinsi Bali, dengan rancangan penelitian menggunakan metode kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan didukung oleh data kuantitatif (sekunder) sebagai data penunjang. Sumber data penelitian ini terdiri dari dua sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah objek yang diamati (di observasi) dan wawancara dengan informan. Sumber data sekunder adalah pelbagai macam publikan, foto, gambar, pamflet dan lain-lain yang akan diolah kembali. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif. Tahapan analisis data adalah identifikasi, klasifikasi (kategorisasi), dan sekaligus analisis terhadap berbagai informasi yang diperoleh dari lapangan dengan senantiasa mendasarkan pada kajian pustaka dan kajian teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Juga dilakukan interpretasi data dengan cermat dan mendalam dengan menggunakan pengetahuan, ide-ide dan konsep yang ada pada masyarakat di tempat penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL 1. Kualitas Tanah Sawah Sebelum Pemberian Pupuk Organik Hasil penelitian terhadap kualitas tanah sawah di Subak Wangaya Betan dengan tekstur tanah yang sebagian besar berliat hingga lempung berliat, sebelum dilaksanakan pengkajianpengkajian tentang pertanian organik (sebelum dilakukan pemupukan dengan pupuk organik), menunjukkan bahwa secara umum kurang subur, karena pH tanah relatif masam dengan pH tanah di bawah 7, unsur hara makro terutama karbon organik (C-organik) tergolong rendah, N-total tergolong rendah, P-tersedia tergolong sangat rendah, Daya Hantar Listrik (DHL) tergolong rendah, Kadar Air (KA) Kering Udara tergolong sangat rendah, Kadar Air Kapasitas Lapang kurang baik. Ada pun diskripsi kualitas tanah di Subak Wangaya Betan, secara lebih rinci disajikan pada Tabel 1 (Wiguna, dkk, 2006). 2. Kualitas Tanah Sawah Setelah Pemberian Pupuk Organik Ekosistem sawah yang sebelumnya rusak, kini telah mengarah menjadi lebih baik setelah dilakukan pemupukan organik dengan dosis 2 ton hektar. Hal ini dapat dilihat dari adanya perbaikan kualitas tanah (Tabel 2), dimana residu bahan kimia pada tanah sudah tidak mencemari lingkungan dan tidak berdampak buruk pada tanaman. Adapun hasil analisa unsur hara tanah sawah di Subak Wangaya Betan setelah dilaksanakan pertanian organik disajikan pada Tabel 2 (Wiguna dkk, 2007). 43 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Keterangan : AA : Agak Aasam R : Rendah T : SR : Tinggi Sangat Rendah S : KB: Sedang Kurang Baik. Keterangan : AA : Agak Asam M : Masam SR : Sangat Rendah ST: Sangat Tinggi N : S : Netral Sedang B : Baik PEMBAHASAN Penambahan pupuk organik dengan dosis 2 ton per hektar ke dalam tanah ternyata mampu memperbaiki kualitas tanah sawah di subak Wangaya Betan, baik ditinjau dari pH tanah, C Organik tanah, P tersedia tanah, kadar air kapasitas lapang, dan kadar air kering udara (Tabel 2). Tingkat kemasaman (pH) tanah memiliki arti yang sangat penting baik dalam proses biologi mau pun kimia tanah, karena sangat berpengaruh terhadap proses penguraian mineral tanah serta 44 terhadap penyerapan hara dan mineral-mineral tanah sebagai nutrisi bagi tanaman. Bahkan kondisi pH pada tanah juga berperan penting dalam penyerapan berbagai logam berat oleh tanaman, yang berpeluang kurang menguntungkan bagi kesehatan konsumen produk pertanian. pH tanah yang masam mengurangi tingkat penyerapan nutrisi oleh tanaman, namun akan meningkatkan penyerapan berbagai jenis logam berat, sehingga tanaman akan cenderung mengandung residu logam berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh di Uji Kualitas Sifat Tanah Sawah Akibat Pemberian Pupuk Organik E. Dewi Yuliana tanah dengan pH netral. Oleh karena itu untuk mendapatkan produktivitas lahan yang optimal dan produk pertanian yang tidak tercemar logam berat maka pH tanah di Subak Wangaya Betan yang rata-rata agak masam yaitu 6.21 (Tabel 1) harus ditingkatkan dan dengan penambahan pupuk organik ke dalam tanah menyebabkan pH tanah meningkat dan berada pada kisaran normal yaitu 7.02 (Tabel 2). Karbon Organik (C-Organik) merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan kesuburan tanah. Dilain pihak jumlah karbon yang terlalu tinggi atau rendah tanpa diimbangi oleh N-Organik, juga tidak baik karena keseimbangan antara C dan N dalam tanah sangat penting untuk menentukan tingkat kesuburan tanah. C-Organik pada tanah sawah di Subak Wangaya Betan tergolong rata-rata sedang yaitu 1.61 % (Tabel 1), namun setelah penambahan pupuk organik ke dalam tanah maka keberadaan C-Organik meningkat menjadi 2.75 % (Tabel 2). Pupuk organik tanah merupakan penyumbang utama bagi ketersediaan C-Organik dalam tanah, dengan demikian penambahan pupuk organik diperlukan. Pupuk organik tanah memegang peranan penting dalam memperbaiki kualitas tanah khususnya C-Organik. Di samping sebagai pensuplai C-Organik, pupuk organik juga sangat berperan dalam memberikan masukan hara dan menjaga keseimbangan ekosistem mikro dalam tanah. Tanah dengan pupuk organik yang cukup akan menyediakan nutrisi bagi semua kehidupan mahluk hidup dalam tanah, yang berperan dalam proses penggemburan tanah, seperti cacing dan mikro fauna lainnya pada tanah. Seperti halnya N, maka Phospor juga merupakan salah satu unsur utama yang sangat dibutuhkan tanaman padi, untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Oleh karena itu P mutlak harus tersedia dalam tanah yang akan digunakan untuk menanam padi. Kandungan unsur P pada lahan sawah di Subak Wangaya Betan rata-rata tergolong sangat rendah yaitu 8.06 ppm (Tabel 1) sebelum dilaksanakan pemupukan, namun setelah dilakukan pemupukan terjadi kenaikan P tersedia menjadi 15.50 ppm. Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kandungan P dalam tanah, antara lain dengan menambahkan pupuk organik dan dengan menambahkan bakteri pengurai seperti Bio-Fos. Penambahan Bio-Fos akan sangat efektif apabila dalam tanah masih terdapat unsur P yang non-available, karena Bio-Fos hanya bersifat menambang P yang ada dalam tanah, yang belum tersedia bagi tanaman. Kadar air kering udara (KA) tanah menunjukkan kemampuan tanah dalam menyimpan air pada saat tanah ada dalam kondisi kering udara. Hal ini sangat penting untuk diketahui, dalam rangka mengatur air irigasi. Tanah yang memiliki KA kering udara yang tinggi menunjukkan kemampuan tanah menyediakan air bagi tanaman pada saat air irigasi terbatas. Lahan sawah di Subak Wangaya Betan memiliki KA kering udara rata-rata sangat rendah yaitu 9.56 % (Tabel 1), artinya pada saat tanah ada dalam kondisi kering udara, ternyata tanah masih mampu menyediakan air sebanyak 9.56 % bagi tanaman. Jika air tersebut habis maka tanaman akan menggunakan air yang ada dalam dirinya untuk berbagai kepentingan fisiologis yang menyebabkan tanaman menjadi layu. Kadar air kering udara tanah perlu ditingkatkan, agar pada saat musim kemarau dan air irigasi terbatas, tanah masih mampu menyumbangkan air yang cukup bagi tanaman. Untuk meningkatkan kemampuan tanah menahan air maka penambahan bahan organik melalui pemupukan dengan pupuk organik mutlak dilakukan. Meningkatnya bahan organik dalam tanah akan mampu meningkatkan kemampuan tanah untuk mengikat air lebih banyak, hal ini terlihat dari Tabel 2, setelah penambahan pupuk organik terjadi peningkatan KA kering udara menjadi 12.79 % dengan kategori sedang (Tabel 2). Kadar Air (KA) kapasitas lapang juga merupakan indikator yang sangat penting dalam budidaya tanaman padi. Kemampuan tanah 45 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 menahan air pada kondisi lapang merupakan hal yang perlu diketahui petani agar mampu mengatur irigasinya dengan baik. Makin tinggi KA kapasitas lapang tanah, menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan air semakin baik, pada kondisi air terbatas, tanah dengan KA kapasitas lapang yang tinggi akan tetap mampu menyediakan air bagi tanaman. Lahan sawah di Subak Wangaya Betan memiliki kemampuan menahan air kurang baik, karena memiliki KA kapasitas lapang rata-rata 32.83 % (Tabel 1). Kondisi ini perlu diwaspadai karena jika terjadi kekurangan air irigasi maka peluang terjadinya kekeringan bagi tanaman juga sangat besar. Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan tanah untuk mengikat air adalah dengan menambahkan bahan organik tanah melalui pemupukan dengan pupuk organik. Meningkatnya bahan organik tanah akan menyebabkan meningkatnya kemampuan tanah dalam menahan air seperti terlihat pada tabel 2, KA kapasitas lapang sebesar 35.09 % sehingga dampak yang kurang menguntungkan pada kondisi kekeringan akan lebih kecil. Adanya perbaikan kualitas sifat tanah sawah setelah pemberian pupuk organik seperti tercermin dalam Tabel 2, tidak bisa dilepaskan oleh peran dari bahan organik bila ditambahkan ke dalam tanah. Menurut Sudarsono (1996), bahan organik bila diberikan ke dalam tanah, maka dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, hal ini disebabkan oleh fungsi dari bahan organik tersebut adalah sebagai berikut. Pengaruh langsung dari hasil mineralisasi bahan organik sebagai sumber hara N, P, dan serta mempunyai pengaruh tidak langsung berupa penyediaan N melalui fiksasi N udara, asamasam organik yang mempunyai kemampuan membebaskan fosfat yang difiksasi oleh liat, serta pengikatan unsur mikro. Pemberian bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik (struktur, aerase, water holding capasiyt, dan permeabilitas tanah), meningkatkan daya tahan tanah terhadap erosi dengan mengikat air lebih banyak, karena terciptanya granulasi pada tanah. 46 Penambahan bahan organik akan memberikan suplai energi bagi organisme tanah, dan memperbanyak organisme sapropit dengan menekan parasit senyawa-senyawa antibiotik dan asam-asam fenolik, serta mempertinggi ketahanan tanaman terhadap patogen. Pupuk organik tidak lain adalah bahan organik yang telah mengalami percepatan fermentasi (mineralisasi) akibat bantuan mikroba pengurai yang ditambahkan ke dalam bahan organik, dengan demikian pupuk organik mempunyai karakteristik yang identik dengan bahan organik. Sudarsono (1996) menyatakan lebih lanjut tentang sifat-sifat humus yang terkandung dalam pupuk organik yang dapat meningkatkan kualitas tanah sebagai berikut. Humus dengan warna lebih gelap dibandingkan dengan tanah mineral, berfungsi sebagai fasilitas pemanasan tanah. Mempunyai water holding capasity sampai 20 kali bobotnya, hal ini menyebabkan membantu mencegah pengeringan dan penyusutan tanah, secara nyata meningkatkan sifat menahan kelembaban pada tanah, dengan demikian menjadi buffer untuk kadar air tanah, dan kadar air kapasitas lapang. Lebih lanjut Sudarsono (1996) menyatakan, humus yang terkandung dalam pupuk organik berfungsi sebagai penyemen partikel-partikel tanah dalam pembentukan agregat, yang memungkinkan terjadinya aerasi tanah, stabilisasi struktur dan peningkatan permeabilitas tanah. Humus mengkhelat Cu+2, Mn+2, Zn+2 sehingga menyebabkan pH tanah meningkat, selain itu humus juga bersifat buffer pada kisaran pH agak masam, netral, dan alkali sehingga dapat mempertahankan reaksi uniform pada tanah. Humus mengkhelat kation-kation polivalen lain dengan membentuk kompleks stabil, yang dapat meningkatkan unsur hara bagi tanaman termasuk meningkatkan kadar P-tersedia tanaman. Selain itu humus juga memiliki total asiditas yang tinggi (300 – 400 me/100 g tanah) sehingga dapat meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah sekitar 20 – 70 %, dengan demikian dapat meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik Uji Kualitas Sifat Tanah Sawah Akibat Pemberian Pupuk Organik E. Dewi Yuliana juga mengandung banyak unsur hara yang telah mengalami mineralisasi seperti CO2, NH 4+, NO3, PO4-, dan SO42-, sehingga mampu meningkatkan unsur hara pada tanah termasuk carbon (C) dan phosfor (P) dalam penelitian ini. Humus mempunyai kelarutan yang rendah, yang disebabkan oleh adanya asosiasi dengan liat, garam-garam dari kation-kation divale dan trivalen. Pupuk organik yang terisolasi secara parsial larut dalam air kurang dari 1 per mil tanah (1/mil tanah), sehingga sedikit pupuk organik dapat hilang lewat pelindihan. Humus juga bereaksi dengan senyawa-senyawa organik seperti senyawa humik, fulfik, himatomelanik, karboksilat, fenolik dan lain-lain, sehingga mempengaruhi bioaktivitas, persistensi dan biodegrabilitas yang berakibat mempengaruhi efektifitasnya dalam tanah dengan tetap mempertahankan kesuburan tanah. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Pemberian pupuk organik ke dalam tanah ternyata telah mampu membebaskan tanah dari tekanan ekologis berupa terjadinya degradasi kualitas tahan sawah. 2. Pemberian pupuk organik ke dalam tanah ternyata mampu meningkatkan kualitas sifat tanah sawah seperti Kemasaman (pH) tanah, P- tersedia tanah, C-organik tanah, Kadara Air Kapasitas Lapang, dan Kadar Air Tersedia Tanah. Penambahan pupuk organik menyebabkan terjadinya perbaikan kualitas tanah sawah baik ditinjau dari segi fisik, kimia, dan biologi tanah. Adanya keseimbangan antara ketiga faktor baik fisik, kimia, dan biologi tanah, menyebabkan terjadinya peningkatan kesuburan tanah yang akhirnya berimplikasi pada perbaikan ekosistem sawah secara menyeluruh.. SARAN Saran yang dapat diajukan berkenaan dengan penelitian ini adalah kepada petani apabila memungkinkan agar secepatnya mengaplikasikan pemakaian pupuk organik dalam budidaya padi. Selain itu diharapkan kepada Menteri Pertanian Republik Indonesia yang berkompeten melahirkan berbagai kebijakan di bidang pertanian, agar secepatnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan program “Go Organik 2010”. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada anggota Subak Wangaya Betan, khususnya kepada petani kooperatif I Nengah Suarsana, SH dan kepada ketua subak Wangaya Betan, I Nyoman Suarya, yang telah sangat kooperatif dalam memberikan informasi kepada penulis selama melakukan penelitian di Subak Wangaya Betan. DAFTAR PUSTAKA De Datta, S.K. 1981. Principle and Practices of Rice Production. New York: Wiley and Sons. Promo. 2007. Waspada ASI (Air Susu Ibu) Tercemar Pestisida. BOA (Bali Organik Association) dan Veco Indonesia. 29 Juli - 4 Agustus 2008. Reijntjes, C., Bertus Haverkot dan Ann WatersBayer . 2006. Pertanian Masa depan, Pengantar untuk Pertanian berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Penerjemah Y. Sukoco, SS. Amsterdam: CDCS/IFAD. Penerbit Karnisius. Sudarsono. 1996. Bahan Organik Tanah. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutanto, R. 2000. Serbuan Industri Pertanian Modern, Dalam Indonesia Abad XXI, Ninok Leksono(Ed). Penerbit Kompas. 47 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Karnisius Yogyakarta. Wiguna, I Wayan A.A., Komang Dana Arsana, I Nyomana Ngurah Arya, I Nyoman Budiana. 2006. Transformasi Inovasi Teknologi Pertanian dengan Pendekatan Ecofarming pada Ekosistem Subak di Bali . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian BPTP Bali. Wiguna, I Wayan., Komang Dana Arsana, Edi Susiliwanto, Abdul Rachim, I Nyoman Ngurah Arya, I Nyoman Budiana. 2007. Transformasi Inovasi Teknologi Pertanian dengan Pendekatan Ecofarming pada Ekosistem Subak di Bali. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian BPTP Bali. 48 PENGARUH PEMBERIAN JENIS MAKANAN TAMBAHAN TERHADAP PRODUKSI TELUR JANGKRIK ( Gryllus sp. ) I Wayan Suarda Program Studi Biologi FMIPA Universitas Hindu Indonesia , Jl.Sangalangit, Tembau, Denpasar ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai jenis makanan tambahan terhadap jumlah telur yang dihasilkan oleh jangkrik. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), yang terdiri atas 4 macam perlakuan yaitu kelompok A (kelompok kontrol) diberi makanan berupa bayam, kelompok B diberi makanan berupa bayam ditambah pelet makanan ikan, kelompok C diberi makanan berupa bayam ditambah konsentrat BR-1, dan kelompok D diberi makanan berupa bayam ditambah tepung ikan. Semua perlakuan diulang 6 kali. Masing masing perlakuan terdiri dari 8 ekor nimfa jangkrik (jantan 2 ekor dan betina 6 ekor), sehingga total sampel yang digunakan adalah 192 ekor jangkrik. Variabel yang diamati adalah jumlah telur yang dihasilkan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varian satu arah pada taraf signifikasi 5%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada perbedaan yang signifikan antar perlakuan dimana produksi telur jangkrik yang paling tinggi terdapat pada kelompok yang diberikan makanan tambahan berupa konsentrat BR-1. Kata kunci: Makanan tambahan, Jangkrik, Produksi telur. ABSTRACT This research is aimed to see the effect of various food supplement mixtures on the egg production in cricket. This research was conducted in completely randomized design which consists of 4 treatments, i.e; control (group A), pellet and spinach (group B), concentrate BR-1 and spinach (group C), fish powder and spinach (group D). All of these treatments were repeated 6 times. Each group consists of 8 nymphs (2 male 6 female), so the total cricket was 192. Variable observed was the number of egg produced. After analyzed using one way analysis of variant, the results showed that there are significant differences between treatments, particularly treatment using concentrate BR-1 food supplement. Key words: food supplement, cricket, egg produce. PENDAHULUAN Jangkrik (Glyllus sp) sering dianggap sebagai hama tanaman oleh sebagian petani dan pengusaha perkebunan, karena jangkrik memakan berbagai jenis tanaman muda (Sukarno,1999). Namun demikian, saat ini jangkrik juga dimanfaatkan sebagai pakan burung peliharaan seperti poksay, kacer dan hwambi. Jangkrik juga dimanfaatkan sebagai pakan ikan arwana, udang dan ikan lele. Selain itu jangkrik juga digunakan oleh para pemancing sebagai umpan untuk mancing ikan bream dari jenis Abramis blicca. Jangkrik yang dijadikan sebagai pakan burung berkicau dan ikan arwana adalah jangkrik yang telah mencapai usia 40 sampai 50 hari. Pada 49 Widya Biologi Vol. 02 No. 01 Maret 2011 ISSN : 2086-5783 usia tersebut, anak-anak jangkrik telah tampak besar, panjang tubuhnya telah mencapai 2 cm dan pada punggungnya telah tampak sebagai calon sayap (Sridadi dan Rachmanto,1999). Sedangkan sebagai pakan udang dan ikan lele, jangkrik tidak disajikan dalam bentuk segar melainkan dalam bentuk tepung jangkrik. Dewasa ini kebutuhan jangkrik di kota sangat besar sekali, produksi 200.000 ekor jangkrik per hari hasil ternak di Solo, Jawa Tengah semuanya terserap pasar. Dengan terjadinya kekosongan stok jangkrik di pasaran, menyebabkan harga jangkrik melambung tinggi. Para peternak jangkrik sangat perlu memperhatikan makanan yang diberikan pada jangkrik yang dipeliharanya. Dengan pemeliharaan dalam kandang, jangkrik tidak dapat memilih makanan secara bebas (Sukarno,1999). Jangkrik dewasa mengkonsumsi makanan untuk reproduksi sedangkan jangkrik anakan mengkonsumsi makanan untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, pemberian makanan untuk jangkrik dewasa harus ditingkatkan, baik jumlah, mutu, maupun frekuensinya. Pemberian pakan yang cukup dan bergizi akan merangsang proses reproduksi berjalan lebih sempurna (Sridadi dan Rachmanto,1999). Salah satu makanan tambahan sumber protein yang dapat diberikan adalah pelet makanan ikan, konsentrat BR-1, dan tepung ikan (Paimin et al, 1999). Makanan tersebut memiliki kandungan gizi yang berbeda, sehingga diperkirakan dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan reproduksi jangkrik. Sementara ini belum ada penelitian yang berkaitan dengan pengaruh jenis-jenis makanan tambahan terhadap kemampuan jangkrik menghasilkan telur Untuk mengetahui perbedaan jumlah telur yang dihasilkan sebagai akibat pemberian berbagai jenis makanan berupa pelet makanan ikan, konsentrat BR-1 dan tepung ikan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA UNHI Denpasar. Jangkrik yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah nimfa jangkrik (Gryllus sp.) berumur 40 hari, yang diambil dari Denpasar dan mempunyai kondisi fisik yang homogen. Kriteria sampel adalah tungkai dan antenna yang lengkap dan tidak putus serta gerakannya agresif. Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari empat macam perlakuan kemudian diulang 6 kali. Kelompok A (kelompok kontrol) diberi makanan berupa bayam, kelompok B diberi makanan berupa bayam ditambah pelet makanan ikan, kelompok C diberi makanan berupa bayam ditambah konsentrat BR-1, dan kelompok D diberi makanan berupa bayam ditambah tepung ikan. Masing masing kelompok terdiri dari 8 ekor nimfa jangkrik (jantan 2 ekor dan betina 6 ekor), sehingga total sampel yang digunakan adalah 192 ekor jangkrik. Komposisi gizi pakan yang digunakan dalam penelitian seperti Tabel 1. Tabel 1. Komposisi gizi pakan yang digunakan dalam penelitian. Kandungan Pelet makanan ikan Konsentrat BR-1 21 2,5 38 4 6,5 145 Tepung ikan 50 15,3 5 1,8 16,6 10,72 Protein (%) 35 Lemak (%) 3 Karbohidrat (%) 34 Serat kasar (%) 4 Abu (mineral) (%) 1 Air (%) 12 Sumber: Murtidjo (1987) dan Mujiman (1989 50 Pengaruh Pemberian Jenis Makanan Tambahan terhadap Produksi .... Suarda Sampel ditempatkan dalam baskom sebagai kandang yang telah diberi label. Kedalam masing-masing baskom diisi 2 ekor jangkrik jantan dan 6 betina. Untuk tempat bersembunyi kandang diisi daun-daun kering. Untuk menjaga kelembaban kandang maka dilakukan penyemprotan air dengan menggunakan hand Sprayer. Makanan diberikan sehari sekali sebanyak 10 gram. Setelah 10 hari jangkrik mulai bertelur kemudian dilakukan perhihitungan. Sisa pakan yang tidak habis juga dihitung setiap hari. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis varians dengan a: 5 %, dan jika terdapat perbedaan nyata antar perlakuan maka dilakukan uji BNT pada a : 5 % dan 1 % (Sudjana, 1992). HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok C yang diberikan makanan tambahan berupa konsentrat BR-1 dapat memproduksi telur dalam jumlah paling banyak yaitu rata-rata sebanyak 38,5 butir telur dibandingkan dengan kelompok B, D dan A (Tabel 2). Hasil uji BTN menunjukan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan (P


Comments

Copyright © 2025 UPDOCS Inc.