BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Herakleitos, seorang filsuf yang berasal dari Yunani, ruang dan waktu adalah bingkai, di dalamnya seluruh realitas kehidupan kita hadapi. Kita tidak bisa mengerti benda-benda nyata apapun tanpa meletakkannya pada bingkai ruang waktu (Cassirer, 1987: 63). Lingkungan kita terbatas dan ruang itu ternyata penuh dengan hal-hal abstrak dan konkret yang ditemui dan dialami oleh manusia. Disamping hal tersebut, ada juga unsur dan wujud yang diwarisi serta dipelajari dari nenek moyang. Peradaban selalu dinamis dan mudah bereaksi terhadap kegiatan yang ada di lingkungan pada waktu tertentu. Kelompok manusia atau masyarakat dan individu pribadi menginterpretasikan suatu peristiwa berbeda dengan kelompok atau individu yang berlatar belakang lain atau yang berpola pikir berbeda. Maksudnya, kita hidup dalam suatu lingkungan yang membentuk sikap individu, kebudayaan masyarakat, dan lingkungan alam. Pada saat seseorang lahir di dunia, dia memiliki kesempatan memilih ribuan jalan kehidupan. Namun pada akhirnya dia hanya bisa memilih satu jalan hidup saja. Pengalaman hidup manusia adalah sumber utama dalam filsafat manusia. Menurut Comte, filsuf modern: “Kondisi-kondisi social ternyata memodifikasi bekerjanya hukum-hukum fisiologis, maka fisika sosial harus menyelenggarakan observasi-observasinya sendiri” (Cassirer, 1987: 100). Kira-kira duaratus sepuluh juta penduduk Indonesia tersebar di lebih dari empat belas ribu pulau dan kira-kira 1,5 persen jumlah penduduknya hidup dengan cara tradisional. Aktivitas memenuhi kebutuhan hidup atau hiburan jauh berbeda dengan kelompok manusia lain. Masyarakat Indonesia menganut bermacam-macam agama dan sejumlah besar kepercayaan tradisional yang dapat ditemui di daerah yang terpencil. Kepercayaan-kepercayaan tradisional sering diakulturasikan dengan ajaran agama Islam, Hindu atau Kristen. Juga ada jumlah penganut agama yang memasukkan unsurunsur kepercayaan nenek moyang. Misalnya di Jawa unsur-unsur Hindu dan animisme masuk agama Kristen dan Islam. Kelihatannya dengan akulturasi tersebut, agama dengan unsur-unsur kepercayaan tradisional, memyebabkan kemunculan kosmos baru. Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku-suku besar yang mempunyai ciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Aceh, Batak, Minangkabau dan Melayu. Juga adalah sejumlah suku-suku minoritas di Sumatera sebelah timur di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai besar, maupun rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai. Kebanyakan suku minoritas di propinsi Jambi dan sekitarnya dikenal dengan nama umum orang Kubu yang benar-benar memiliki tradisi sendiri. Di kawasan pantai terdapat orang Akit, orang Utan dan orang Kuala atau Duano. Di pulau-pulau lepas pantai terdapat orang Laut dan orang Darat dari kepulauan Riau dan Linga. Ada orang Sekak di pesisir kepulauan Bangka dan Belitung dan orang Lom disebelah utara pulau Bangka. Di pedalaman terdapat orang Sakai, yang berlokasi diantara sungai Rokan dan Siak. Orang Petalangan ada diantara sungai Siak dan Kampur dan diantara sungai Kampar dan Indragiri. Ada orang Talang Mamak diantara sungai Indragiri dan Batang Hari. Orang Batin Sembilan di daerah antara sungai Batang Hari dan Musi, tetapi khususnya di sisi perbatasan propinsi Jambi. Orang Bonai, yang mendiami di kawasan berawa di pertengahan Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Rokan yang bersebelahan kawasan orang Sakai. 1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah yang penulis maksud ialah Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. 1.3 Tujuan Penulisan Alasan menulis makalah mengenai manuasia dan kebudayaan adalah untuk keberagaman peradaban agama, etnisitas dan politik. Begitupun pilihan politik, hubungan kekerabatan, dan paham keagamaan sangat signifikan pengaruhnya. Di Indonesia keanekaragaman penduduk, kadang-kadang menjadi alasan kesalahpahaman yang menyebabkan friksi antar-kelompok yang cepat meletus seperti gunung berapi. Gangguan itu, dan perubahan lain yang asal dari dalam negeri maupun luar, mengancam stabilitas struktur dan bisa menghancurkan keseimbangan ekonomi serta keadaan sosial masyarakat lokal. Friksi antara kelompok seperti yang tersebut dikenal di Indonesia dengan istilah SARA, atau dengan kata lain, friksi yang berkait dengan hal: suku, agama, ras atau etnik atau status ekonomi. Masalah itu, salah satu alasan untuk melakukan riset mengenai masalah sosiologi maupun antropologi, supaya masalah tersebut bisa diatasi sebelum muncul dan meledak. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Agama, Etnisitas, dan Politik Manusia Indonesia dalam hal kebudayaan saat ini mengalami berbagai rintangan dan halangan untuk menerima serbuan kebudayaan asing yang masuk lewat Globalisasi (perluasan cara-cara sosial melalui antar benua). Dalam hal ini teknlogi informasi dan komunikasi yang masuk ke Indonedia turut merobah cara kebudayaan Indonesia tersebut baik itu kebudayaan nasional maupun kebudayaan murni yang ada di setiap daerah di Indonesia. Dalam hal ini sering terlihat ketidakmampuan manusia di Indonesia untuk beradaptasi dengan baik terhadap kebudayaan asing sehingga melahirkan perilaku yang cenderung ke Barat-baratan (westernisasi). Hal tersebut terlihat dengan seringnya remaja/i Indonesia keluar-masuk pub, diskotik dan tempat hiburan malam lainnya berikut dengan berbagai perilaku menyimpang yang menyertainya dan sering melahirkan komunitas tersendiri terutama di kota-kota besar dan metropolitan. Dalam hal ini terjadinya berbagai kasus penyimpangan seperti penyalah gunaan zat adiktif, berbagai bentuk kategori pelacuran dan lainnya tak lepas dari ketidak mampuan manusia Indonesia dalam beradaptasi sehingga masih bersikap latah terhadap kebudayaan asing yang melenyapkan inovasi dalam beradaptasi dengan budaya asing sehingga melahirkan bentuk akulturasi. Bila dikaji dengan teliti hal tersebut mungkin dikarenakan ciri-ciri manusia Indonesia lama yang masih melekat seperti percaya mitos dan mistik, sikap suka berpura-pura, percaya takhyul yang dimodifikasi, konsumerisme, suka meniru, rendahnya etos kerja dan lain sebagainya bisa jadi mengakibatkan terhambatnya akulturasi (percampuran dua/lebih kebudayaan yang dalam percampurannya masing-masing unsurnya lebih tampak). Sikap etnosentrime (kecenderungan setiap kelompok untuk percaya begitu saja akan keunggulan/superioritas kebudayaannya sendiri dan sikap senosentrisme (sikap yang lebih menyenangi pandangan/produk asing) merupakan hal selanjutnya yang dapat menghambat terwujudnya kebudayaan nasional untuk kemajuan bangsa dan negara. Sepertinya, sudah saatnya manusia Indonesia berikut dengan berbagai kebudayaan daerahnya yang ada melakukan suatu bentuk adaptasi yang sifatnya inovasi/pembaruan dengan budaya Barat/asing seperti dalam hal kesenian dimana instrumen musik tradisional dipadukan dengan instrumen modern (alat-alat band dengan teknologi komputernya) maupun perawatan berbagai benda kebudayaan dengan teknologi asing yang ada sehingga akulturasi dapat diwujudkan. IDENTITAS agama, etnik, dan politik hampi-hampir sulit dipisahkan. Secara antropologis ini juga berarti bahwa keberagaman seseorang lebih banyak dipengaruhi keturunan dan lingkungan, bukannya pilihan bebas. Tempat lahir, warna kulit, bahasa, dan agama merupakan realitas primordial yang diterima seseorang, bukan karena hasil usahanya sendiri. Meskipun begitu, bias saja sesorang setelah dewasa berganti agama. Namun persentasenya sangat sedikit. Begitupun pilihan politik, hubungan kekerabatan, dan paham keagamaan sangat signifikan pengaruhnya. Orang Thailand merasa identik dengan Buddha, sedangkan penduduk pantai yang berada diselatan selalu berusaha mempertahankan keislamannya. Kata Patani sendiri diduga berasal dari Fathoni, seorang penyebar Islam kewilayah itu. 2.2 Keberagaman Sentiment yang demikian melekat antara identitas etnis dan agama sampai sekarang masih cukup kuat dibeberapa wilayah Indonesia. Orang Aceh dan Minang pasti mengaku dan mempertahankan identitas keislamannya. Orang Manado adalah katholik, sedangkan orang bali adalah hindu. Orang Sunda kalau tidak memeluk Islam dianggap aneh. Tentu saja ini bukan kemestian teologis, melaikan lebih merupakan ikatan tradisi keluarga dan masyarakat yang sudah berakar kuat sehingga siapapun yang terlahir dalam lingkungan tersebut sulit untuk keluar dari agama etniknya. Keberagamaan masyarakat Minang tidak berbeda dengan keberagamaan seperti masyarakat Aceh, Melayu, Sunda, Madura, dan Bugis. Etnis itu dikenal dengan penganut Islam yang taat walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh teknologi modern berdampak terhadap keberagamaan masyarakat. Sebagai masyarakat yang menganut agama Islam, budaya Minang terlihat berpadu dengan budaya Islami. Dasar kemasyarakatan di Minang tertuang dalam prinsip adat, yakni ”adat bersandikan syarak (aturan agama Islam), syarak bersandikan Kitabullah (Alquran)”. Dengan demikian, masyarakat Minang memiliki tradisi keberagamaan yang kuat. Biasanya, tradisi itu tetap dibawa ke mana pun mereka merantau ke negeri orang. Di mana pun mereka tinggal, kebiasaan keberagamaan yang kuat itu masih terlihat. Ada yang agak unik bagi masyarakat Minang, yakni di mana pun mereka tinggal atau hidup di lingkungan masyarakat lain, mereka mampu berintegrasi dengan masyarakat setempat. Itu pula yang menyebabkan bahwa di mana pun di Indonesia kita tidak akan menemukan nama kampung atau kawasan dengan Kampung Minang. Agak berbeda dengan masyarakat etnis lain, seperti Jawa, Madura, Bugis, atau Cina akan kita temukan kawasan Kampung Jawa, Kampung Madurua, Kampung Bugis, atau Kampung Cina. Bali pun yang sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara memiliki agama mayoritas Hindu. Bahkan, pengaruh Hindu mewarnai kehidupan sosialnya. Begitu menyatunya Hindu dalam kehidupan mereka, kehidupan sosial dan pemerintahan pun dipengaruhi Hindu. Barangkali tingkat keberagamaan di Bali lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat keberagamaan masyarakat dari etnis lain. Hal itu ditandai dengan setiap aktivitas mereka tidak lepas dari pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Shang Widhi) yang terlihat dalam upacara keagamaan (Bagus, 2002). Ada hal yang menarik lagi di Bali, yakni sistem pertanian yang diatur dalam subak. Dalam sistem itu setiap sawah mendapatkan jumlah air yang sama sehinga tidak ada sawah yang tidak mendapatkan jatah air. Hal itu berlaku pada semua perkampungan yang diatur dalam atruran masyarakatnya. Sistem pengairan seperti itu tidak ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Agama pun berbeda-beda. Tidak dapat diingkari bahwa masih ada sistem religi masyarakat Indonesia yang menganut kepercayaan kepada benda-benda alam (animisme). Akan tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia menganut enam agama resmi, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan yang terakhir diakui Konghucu. Semuanya hidup berdampingan yang diatur dalam kerukunan hidup beragama. Memang konsep kerukunan lahir pada masa Orde Baru yang sudah tumbang, tetapi keberadaannya masih dipertahankan, yakni kerukunan intraumat dan antarumat beragama. Prinsip-prinsip agama sebagai pembawa rahmat dan kedamaian untuk seluruh isi alam sangat mereka perhatikan Hal itu sudah menjadi dasar kemasyarakatan yang tidak dapat diingkari. Malah, ada masyarakat yang begitu tinggi toleransinya sehingga gesekan apa pun yang menerpanya tidak akan menggoyahkan sendi-sendi kemasyarakat yang toleran. Memang tidak dapat disangkal bahwa situasi politik kadangkala memengaruhi kehidupanan masyarakat yang rukun dan aman. Ada upaya-upaya untuk memecah belah persatuan bangsa melalui goncangan terhadap kerukunan umat beragama dengan mencuatkan sentimen keagamaan. Hal itu sengaja diciptakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan kondisi politik yang stabil. Akibatnya, umat beragama terpengaruh ke dalam konflik tertentu. Kondisi itu kadangkadang disesalkan oleh masyarakat itu sendiri mengapa mereka terjerumus ke dalam konflik yang tidak mereka inginkan. Walaupun begitu, kehidupan rukun yang telah mereka warisi secara turun-temurun mengekalkan mereka dalam kebersamaan dan kerukunan yang sejati. Jika kenyataan ini dibawa kedalam ruang diskusi teologi, beraneka pertanyaan bisa bermunculan. Misalnya, agama seseorang itu produk keturunan dan lingkungan atau hasil pencarian seseorang? Manakah yang lebih dominan antara hasil pengkajian terhadap kitab suci dan penalaran kritis dengan dominasi dan adaptasi kekuatan tradisi? Disini keduannya melahirkan hubungan dialektis yang saling mengisi yang pada urutannya seseorang merasa sudah nyaman dengan tradisi dan paham keagamaan yang mengasuhnya. Bagi sebagian orang, agama lalu dianalogikan dengan pakaian, makanan, dan kebiasaan yang sudah dirasa nyaman sehingga kalau berganti malah mendatangkan kegelisahan meski nalar kritis memiliki pendapat berbeda. Ketika sebuah pemahaman dan kebiasaan telah mengkristal menjadi keyakinan, hal itu sulit untuk diubah sekalipun dengan berbagai argumen dan bukti ilmiah. 2.3 Kebudayaan di Era Globalisasi Mereka yang sejak dulu punya mitos dan tradisi menyembah bulan sampai sekarang tak akan percaya bahwa astronot Neils Amstrong pernah menginjakkan kakinya di sana. Itu hanya pemberitahuan dan rekayasa gambar tak ubahnya dalam gedung bioskop yang mampu mempermainkan logika dan emosi penonton, tetapi semuanya itu tak lebih hanya rekayasa gambar dan suara. Memasuki kehidupan global yang semakin terbuka dan terjadi interdependensi hampir dalam semua aspek kehidupan, semangat etnik dan agama tampaknya semakin kuat meskipun banyak juga agama dan kelompok etnik kecil yang kian redup dan lama-lama hilang tergilas sejarah. Di Indonesia misalnya, dengan menguatnya iklim kebebasan dan otonimisasi daerah, politik identitas etnis dan agama juga ikut menguat. Bahkan sekarang muncul paguyuban kesultanan nusantara yang ingin menghidupkan kembali tradisi kraton yang pernah tumbuh di Indonesia jauh-jauh sebelum merdeka. Sebagian orang menyambut baik untuk memelihara kekayaan budaya itu dan sebagian lagi memandang tidak lagi cocok di dalam demokrasi yang serba egaliter ini. Jika kita kaji sejarah perkembangan peradaban, pendekatan normatif verbalistik keagamaan terbukti tidak berhasil membangun peradaban tanpa didukung oleh kekuatan ilmu pengetahuan ekonomi. Indonesia adalah contoh sejarah yang nyata. Pemberantasan korupsi dan larangan merokok, misalnya dibeberapa negara cukup berhasil karena pemberian penjelasan ilmiah dan melalui edukasi sejak dini, bukan oleh fatwa verbal keagamaan bahwa korupsi dan merokok itu haram hukumnya. Agama yang pada awalnya selalu didukung lahirnya peradaban unggul dan mengangkat derajat sebuak etnik ataupun bangsa, dalam perjalanan sering tersudutkan sebagai pesakitan akibat politisasi dan manupulasi agama. Maka muncul citra sebagai sumber terorisme dan kekerasan. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Sepertinya, sudah saatnya manusia Indonesia berikut dengan berbagai kebudayaan daerahnya yang ada melakukan suatu bentuk adaptasi yang sifatnya inovasi/pembaruan dengan budaya Barat/asing seperti dalam hal kesenian dimana instrumen musik tradisional dipadukan dengan instrumen modern (alat-alat band dengan teknologi komputernya) maupun perawatan berbagai benda kebudayaan dengan teknologi asing yang ada sehingga akulturasi dapat diwujudkan. 3.2 Saran Di Indonesia keanekaragaman penduduk, kadang-kadang menjadi alasan kesalahpahaman yang menyebabkan friksi antar-kelompok yang cepat meletus seperti gunung berapi. Gangguan itu, dan perubahan lain yang asal dari dalam negeri maupun luar, mengancam stabilitas struktur dan bisa menghancurkan keseimbangan ekonomi serta keadaan sosial masyarakat lokal. Friksi antara kelompok seperti yang tersebut dikenal di Indonesia dengan istilah SARA, atau dengan kata lain, friksi yang berkait dengan hal: suku, agama, ras atau etnik atau status ekonomi. Masalah itu, salah satu alasan untuk melakukan riset mengenai masalah sosiologi maupun antropologi, supaya masalah tersebut bisa diatasi sebelum muncul dan meledak. DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat (Ed.).1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Nugroho, Widyo dan Achmad Muchji, Ilmu Budaya Dasar, Penerbit Gunadarma, Jakarta Elly M. Setiadi dkk, Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Fajar Interpratama Offse Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.