Jurnal ILMU DASAR, Vol. 3 No. 1, 2002:50-55 50 Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah (The Important of Society Empowering in the Effor of Biodiversity Conservation in the Era of Local Autonomy Implementation) Sudarmadji Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember Jl. Kalimantan 37 Jember 68121 ABSTRACT Degradation of biodiversity is occurring in almost all of the ecosystems. This is due to the lower and less of participation of the society in effort to conserve the biodiversity and ecosystem. The society participation can be improved by empowering of the society with making of the collaboration between the university, non- government organization, and the national reserve. One of the efforts is to give practice training for surrounding society of the national reserve, for example training about how is to breed wildlife, which has economy uses. By the training, the society will have capability how to breed wildlife animals, and wild plant in their home. If the activity is successfully, later the society will have an additional income from it. Thence, the result of society empowering effort can improve the society income (PAD). The sequence of the process will have site effects in accelerating of the implementation of local autonomy. Keywords: biodiversity, local autonomy. wildlife animal, and wildlife plant. PENDAHULUAN Konservasi sumber daya alam hayati dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan melakukan konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut, 1990). Strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan tiga P (3P), yaitu: a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya; c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Proses perlindungan, pengawetan dapat dilakukan di kawasan konservasi, taman hutan raya, dan taman wisata alam; mengingat kawasan konservasi itu adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dephut, 1990). Dari ketiga strategi tersebut satu dengan lainnya sangat berkait, sehingga untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus dilakukan bersama-sama. Artinya kalau yang dilakukan hanya satu aspek, misalnya perlindungan saja tanpa dibarengi dengan pengawetan dan pemanfaatan, maka akan menimbulkan resiko biaya pengelolaan yang sangat tinggi, dengan tanpa memperoleh hasil. Sebaliknya, jika kegiatan tersebut hanya memfokuskan pada aspek pemanfaatan dengan tanpa memperhatikan pada perlindungan dan pengawetan, maka yang akan terjadi tentu saja pemusnahan sumber daya alam hayati tersebut (Nurhadi, 2001). Artikel ini menyajikan gagasan tentang kemungkinan penggunaan suatu strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah (Lembaga Konservasi) untuk mengatasi kepunahan jenis sesuatu organisme di suatu kawasan konservasi di era pelaksanaan otonomi daerah saat ini. KEGIATAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI Kegiatan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya ini meliputi tiga kegiatan sebagaimana yang telah diutarakan di atas, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis, dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari (Dephut, 1990). 51 Pentingnya Pemberdayaan ..................... ( Sudarmadji ) Perlindungan Sistem Penyangga Perlindungan sistem penyangga ini dimaksudkan untuk memelihara proses ekologi yang dapat menunjang kelangsungan dan mutu kehidupan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan sistem penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi perlindungan di wilayah tersebut. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan, Satwa beserta Ekosistemnya Kegiatan pengawetan ini dapat dilakukan melalui dua macam kegiatan, yaitu: a. Konservasi In-Situ Konservasi in-situ merupakan upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar di dalam kawasan suaka alam yang dilakukan dengan jalan membiarkan agar populasinya tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Sampai saat ini telah ditetapkan ada enam jenis kawasan yang dipergunakan sebagai kawasan konservasi in-stu, yaitu kawasan konservasi, taman wisata alam, taman hutan raya, cagar alam, suaka margasatwa, dan taman buru (Nurhadi, 2001). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk identifikasi, inventarisasi, pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan pengembangan (Dephutbun, 1999a). Upaya konservasi in-situ ini dikatakan paling efektif, karena perlindungan dilakukan di dalam habitat aslinya, sehingga tidak diperlukan lagi proses adaptasi bagi kehidupan dari jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut ke tempat yang baru (Nurhadi, 2001; Sudarmadji, 2002). Namun demikian, suatu kelemahan akan terjadi jika suatu jenis yang dikonservasi secara in-situ tersebut memiliki penyebaran yang sempit; kemudian tanpa diketahui terjadi perubahan habitat, maka akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup jenis tersebut; begitu pula jika di daerah tersebut terjadi bencana atau kebakaran, niscaya seluruh jenis yang terdapat di dalamnya akan terancam musnah dan tidak ada yang dapat dicadangkan lagi. Oleh karena itu, selain upaya konservasi in-situ perlu dilengkapi dengan upaya konservasi ex-situ (Nurhadi, 2001). b. Konservasi Ex-Situ Upaya konservasi ex-situ merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa liar. Tempat yang cocok untuk melakukan kegiatan tersebut misalnya di kebun binatang, kebun raya, arboretum, dan taman safari. Kegiatan konservasi ex-situ ini dilakukan adalah untuk menghindarkan adanya kepunahan suatu jenis. Hal ini perlu dilakukan mengingat terjadinya berbagai tekanan terhadap populasi maupun habitatnya (Nurhadi, 2001). Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Untuk melakukan kegiatan konservasi ex-situ berbagai persyarataan yang perlu dipenuhi, yaitu: tersedianya tempat yang cukup luas, aman dan nyaman, memenuhi standart kesehatan tumbuhan dan satwa, serta mempunyai tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Begitu pula kalau ingin melakukan perkembangbiakan jenis di luar habitatnya, maka persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu: dapat menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik, dapat melakukan penandaan dan sertifikasi, serta dapat membuat buku daftar silsilah (Dephutbun, 1999b). Ada berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi ex-situ. Kelebihannya antara lain dapat mencegah kepunahan lokal pada berbagai jenis tumbuhan akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia, dapat dipakai untuk arena perkenalan berbagai jenis tumbuhan dan wisata alam bagi masyarakat luas, berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang berkaitan dalam kegiatan budidaya jenis hewan dan tumbuhan; sedangkan kelemahannya antara lain, konservasi ex-situ memerlukan kegiatan eksplorasi dan penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan adalah untuk melihat adanya kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut dilakukan; di samping itu pada kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang cukup besar, serta tersedianya tenaga ahli dan orang yang berpengalaman (Nurhadi, 2001). Jurnal ILMU DASAR, Vol. 3 No. 1, 2002:50-55 52 Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Secara Lestari Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam hendaknya senantiasa tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, sedangkan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus selalu memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa liar tersebut. Pemanfaatannya dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman dan obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (Dephutbun, 1999b). Khusus untuk perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar dalam skala kecil dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan konservasi. Tentu saja jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut adalah yang tidak dilindungi, sedangkan perdagangan dalam skala besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah memperoleh rekomendasi Menteri, di samping harus memiliki berbagai persyaratan tertentu lainnya (Dephut, 1990). KEADAAN SUMBER DAYA ALAM HAYATI DI ERA OTONOMI DAERAH Adanya perubahan politik dari era sentralistik- otoriter ke desentralistik-demokratis yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah telah membawa dampak semakin tajamnya degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Perubahan tersebut akan mendorong adanya kegiatan yang mengarah pada perlombaan membangun daerah. Kegiatan tersebut senantiasa bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah sebagai sarana menuju kesejahteraan masyarakat setempat. Keadaan ini secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan ekosistemnya, sehingga pada gilirannya akan memacu keadaan lingkungan menjadi berada pada taraf membahayakan kehidupan masyarakat. Terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam ini merupakan suatu indikasi adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan sumber daya alam (Hasan, 2002). Adanya peraturan pemerintah yang kurang memberikan penekanan pada upaya pelestarian sumber daya alam, dan lebih memprioritaskan perolehan pendapatan belaka, maka dapat membawa dampak yang sulit dihindari dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagaimana data yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa laju pengurangan luas hutan di pulau Sumatera mencapai 2 % per tahun, di pulau Jawa mencapai 0,42 % per tahun, di pulau Kalimantan mencapai 0,94 % per tahun, di pulau Sulawesi mencapai 1 % per tahun, dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per tahun. Adanya pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan pengundulan hutan (deforestasi). Terjadinya degradasi dan deforestasi hutan tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia (Wardojo, 2001). Ada berbagai masalah yang akan terjadi pada sumber daya alam dan ekosistemnya, jika dalam penjabaran dan pelaksanaan otonomi daerah tersebut tidak ditangani secara hati-hati. Masalah yang akan muncul tersebut akan berupa degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagai contoh adanya degradasi sumber daya kelautan, sumber daya sungai dan alirannya, sumber daya hutan, serta adanya berbagai dampak pencemaran akibat aktivitas pembangunan ekonomi antar daerah, dan lain-lain. Oleh sebab itu, sumber daya alam yang semula menjadi sumber utama bagi peningkatan pendapatan daerah, jika pemanfaatannya dalam jangka panjang tidak disertai dengan dukungan kebijakan yang mengarah kepada upaya perbaikan dan memperhatikan pelestarian sumber daya alam, maka hal tersebut sudah dapat diduga akan menjadi sumber konflik antar pemerintah daerah di masa yang akan datang (Hasan, 2002). Di awal era reformasi, terlihat gejala makin cepatnya degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di berbagai daerah telah terjadi perusakan hutan, baik hutan lindung, hutan peyangga, hutan tanaman industri, dan kawasan konservasi. Rusaknya hutan, berarti telah terjadi kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun satwa langka. Juga berbagai macam perusakan baik di laut, daerah aliran sungai, pertambangan, tanah, udara, dan air. Peristiwa tersebut telah terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia dengan akibat yang akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Menyikapi fenomena degradasi sumber daya 53 Pentingnya Pemberdayaan ..................... ( Sudarmadji ) alam hayati bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini, maka diperlukan kesadaran kolektif dan serentak pada semua lapisan masyarakat, baik para penyelenggara pemerintahan, pelaku ekonomi, dan masyarakat pada umumnya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah (Hasan, 2002). Saat ini kita telah merasakan semangat pembaruan yang semakin tampil dengan wajah kebebasan yang tidak jelas batas-batas dan arahnya. Hampir semua aspek kehidupan sekarang telah dilanda gejala tersebut, termasuk kebebasan pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung mengarah pada perusakan dan degradasi sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah, memang dituntut untuk dapat menggali potensi agar dapat menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, tetapi bukan berarti bahwa kebebasan menggali potensi ini adalah merusak sumber daya alam yang ada. Pelaksanaan otonomi daerah tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan ekosistemnya, jika nantinya yang akan menanggung segala kerugiannya adalah masyarakat (Barber, dkk., 1997). STRATEGI KONSERVASI DI ERA PELAKSANAAN OTODA Strategi konservasi sumber daya alam hayati di era pelaksanaan otonomi daerah saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan bagi pengusaha kecil dan menengah; serta dengan meningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam tersebut. Upaya ini dapat ditempuh melalui proses penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan (Sudarmadji, 2002). Pemberdayaan masyarakat setempat tidak saja dapat memecahkan sebagian masalah dana dan tenaga dalam lingkup lokal, namun sekaligus dapat pula menanggulangi konflik yang sering terjadi antara masyarakat dan pengelola kawasan. Secara tidak langsung, hal ini dapat membuat fungsi kawasan pengelolaan menjadi lebih optimal, dan pada gilirannya dapat mempercepat tujuan pengelolaan tersebut. Selama ini kegiatan pengelolaan sumber daya alam banyak bertumpu pada peran pemerintah, sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan (peraturan) dan pihak swasta; sedangkan masyarakat adalah kurang mendapatkan perhatian, sehingga masyarakat menjadi kurang peduli terhadap keberadaan sumber daya alam dan ekosistemnya yang ada di sekitarnya; bahkan seringkali masyarakat menjadi tersisihkan (Hasan, 2002). Jika upaya pemberdayaan masyarakat tersebut telah berhasil, maka masyarakat akan memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungannya. Dari hasil ini diharapkan masyarakat akan dapat secara mandiri menjaga dan mengamankan lingkungannya. Selain itu masyarakat juga akan mampu untuk bersikap kritis terhadap segala kebijakan atau tindakan pemerintah, maupun pihak-pihak lain yang dapat mengancam kelangsungan sumber daya alam dan ekosistemnya. Dengan demikian, maka sebenarnya upaya pemberdayaan masyarakat itu merupakan inti dari pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya (Hasan, 2002; Sudarmadji, 2002). Misalnya kegiatan kerjasama antara perguruan tinggi, taman nasional, dan LSM untuk memberikan pelatihan pembudidayaan kijang atau jenis satwa liar (yang mempunyai nilai ekonomis) kepada masyarakat. Dari kegiatan bersama ini, diharapkan masyarakat dapat melakukan konservasi ex-situ, khususnya pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa. Biasanya masyarakat âmengambilâ tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi Undang-undang ini dari dalam kawasan konservasi. Dengan adanya kegiatan ini masyarakat akan memiliki berbagai jenis tumbuhan atau satwa liar yang dilarang atau melanggar Undang-Undang, namun karena adanya bimbingan dan ijin dari pihak kawasan konservasi sebagai upaya konservasi ex-situ, maka sebagai keuntungannnya adalah berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar ini telah terdapat sekitar masyarakat. Oleh karena itu, dari hasil kegiatan ini diharapkan masyarakat dapat memenuhi keinginan para âpebisnis hasil hutanâ sebagaimana yang biasa mereka cari, yaitu hasil hutan yang kadangkala dilindungi oleh pemerintah, tetapi mereka menginginkan lewat masyarakat untuk mengambilnya. Dengan demikian, melalui kegiatan seperti ini masyarakat diharapkan sudah tidak lagi mengambil hasil hutan tadi langsung dari kawasan konservasi, karena jenis-jenis tersebut telah terdapat di masyarakat sebagai hasil pelatihan budidaya yang telah diberikan bersama oleh Perguruan Tinggi, Kawasan Konservasi, dan LSM. Jurnal ILMU DASAR, Vol. 3 No. 1, 2002:50-55 54 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 pada pasal 7 dan pasal 10 disebutkan, bahwa pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mendayagunakan dan mengkonservasi sumber daya alam hayati, serta diberikan tanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (HPPRI, 1999). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pemerintah kabupaten yang dalam hal ini diwakili oleh pihak Kawasan Konservasi adalah berkewajiban untuk melakukan suatu kegiatan atau upaya konservasi, yang dapat ditempuh dengan jalan mengurangi kerusakan suatu kawasan konservasi dari gangguan masyarakat atau pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Upaya ini dapat ditempuh dengan mengadakan suatu kegiatan kerjasama antara pihak Kawasan Konservasi dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat sekitar kawasan tersebut. Di sinilah letak peranan Perguruan Tinggi dan LSM dalam ikut serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konservasi. Perguruan Tinggi melalui Tri Dharma Perguruan Tingginya, yaitu melalui Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat dan Lembaga Penelitian dapat menggalang kerjasama dengan LSM dan kawasan konservasi, atau sebaliknya kawasan konservasi dapat melakukan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan LSM untuk melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati langsung bersama masyarakat (Sudarmadji, 2002). Sebagai tindak lanjut dari Tri Dharma Perguruan Tinggi ini, sebenarnya banyak kegiatan yang dapat dilakukan bersama masyarakat dalam melakukan upaya konservasi sumber daya alam hayati melalui pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini dapat dirancang melalui pemberian penyuluhan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pelatihan. Jika upaya seperti ini dapat berlangsung dan telah membuahkan hasil bagi masyarakat, maka dalam kurun waktu lama niscaya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan; sehingga lambat laun diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai, yang pada gilirannya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan modal dasar dalam pelaksanaan otoda akan dapat meningkat pula. Diharapkan dengan pemberdayaan masyarakat ini dapat menunjang pelaksanaan otonomi daerah yang kita laksanakan dewasa ini (Sudarmadji, 2002). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan sia- sia, bila hal tersebut tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini dapat meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam hayati tersebut. Strategi yang efektif dalam upaya pemberdayakan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak Kawasan Konservasi, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat berperan aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat pula. DAFTAR PUSTAKA Barber, C. V., S. Afiff, A. Purnomo. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta. __________. 1999b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta. Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Hasan, A. M. 2002. Pelestarian Sumber Daya Alam Menyosong Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam Prosiding Seminar Nasional Biologi I Di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember tanggal 28 April 2001. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. 1999. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: CV. Eko Jaya. 55 Pentingnya Pemberdayaan ..................... ( Sudarmadji ) Nurhadi, U. 2001. Konservasi In-situ dan Ek- situ dalam Upaya Pelestarian dan Pendayagunaan Keanekaragaman Tumbuhan Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional Konservasi dan Pendayagunaan Keanekargaman Tumbuhan Iklim Kering Indonesia Di Kebun Raya Purwodadi tanggal 30 Januari 2001. Sudarmadji. 2002. Peranan Perguruan Tinggi dalam Upaya Meningkatkan PAD melalui Kegiatan Konservasi Taman Nasional. Dalam Prosiding Seminar Nasional Biologi I Di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember tanggal 28 April 2001. Wardojo, W. 2001. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Rangka Meningkatkan Pembangunan Daerah. Dalam Sudarmadji (Ed.) Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Era Otonomi Daerah. Jember: Penerbit Universitas Jember.