Konsili Nicea 325: Apakah Memaksakan Yang Belum Ada atau Meneguhkan Yang Sudah Ada? Bism al-Abi wa al-Ibni wa ar-Ruh al-Quddusi, al-llahu ahad, Amin. Dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Allah yang esa. Amin. "Ya Tuhan Allah Yang Maha Esa, Allah Tritunggal, apa saja dalam buku ini yang telah kukatakan dan yang berasal dari pada-Mu, semoga juga diterima oleh mereka yang berasal dari pada-Mu; dan kalau ada sesuatu yang berasal dari diriku sendiri, maka semoga diampuni, baik oleh-Mu maupun oleh mereka yang berasal dari padaMu" (Augustinus, tentang Trinitas XV, 28:51) Seperti kita ketahui, dalam era perang wacana ini, banyak sekali tulisan-tulisan bernuansa polemik yang menyerang kekristenan. Para polemikus ini biasanya miskin data tapi nekat maju demi menyerang iman Kristen yang lurus (Orthodox). Tujuan dari tulisan pendek ini sendiri adalah untuk meluruskan pandangan-pandangan yang salah tentang konsili Nicea 325, sehingga dari sana dapat dihasilkan kesimpulan yang objektif dan tidak hanya pandangan-pandangan baseless dan bernuansa polemik kacangan belaka. Saya akan membagi wacana ini menjadi 3 bagian: 1. K eesaan Allah Sebagai Ajaran Absolut Kekristenan, 2. Keilahian Sang Firman Meneruskan Tradisi Rabbinik Yahudi dan Tradisi Rasuli Kristen, 3. Huru-Hara Arianisme, Jalannya Konsili, dan Bagaimana Anathema Dijatuhkan. 1. Keesaan Allah Sebagai Ajaran Absolut Kekristenan Aqidah Tentang Keesaan Allah Kekristenan berasal dari monotheisme Yahudi, karena itu, keesaan Allah sangat ditinggikan di dalam agama Kristen. Shema (Pengakuan Iman) Yahudi berbunyi: "Dengarlah, hai orang Israel Yehuwa Allah kita, Yehuwa itu Esa" ( Ulangan 6:4). Ketika Sayidina Yasu al-Masih, ditanya oleh ahli Taurat mengenai Hukum apa yang terbesar dari Taurat, maka Sang Baginda menjawab bahwa Hukum yang terbesar adalah Shema Yahudi ini (Markus 12:29-32). Ajaran tentang keesaan Allah ini diikuti pula oleh para Rasul Yesus. Paulus mengatakan: "satu Allah dan Bapa dari semua" (Efesus 4:6). Yudas Tadeus menuliskan "Allah yang esa, juruselamat kita oleh Yesus Kristus, Tuhan kita." (Yudas 1:25). Yakobus menuliskan: "Engkau percaya , bahwa hanya ada satu Allah saja ? itu baik ! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu.." (Yakobus 2:19). Itu semua menjadi bukti bahwa kekristenan adalah agama yang tauhid, bahkan poin paling pertama dalam Syahadat-nya, Gereja Kristen mengaku: "Aku percaya pada satu Allah.." (Pengakuan Iman / Qanun al-Iman Nicea-Konstantinopel). Oleh karena itu kekristenan mengajarkan tentang pengakuan keesaan Esensi/Hakekat/Dzat Allah (tauhid rubbubiyah), yang diikuti pengakuan akan kepenguasaan tunggal alam semesta berada di tangan Allah yang esa (tauhid uhuliyya), dan mengamalkannya dengan beribadah kepada Allah yang esa ini (tauhid ubudiyyah). Doktrin keesaan Allah inilah pondasi dari keseluruhan iman Kristen, termasuk Tritunggal. Maka ketika kekristenan mengajarkan Tritunggal, maka pertanyaan tentang "berapa jumlah Allah" adalah sangat tidak layak untuk ditanyakan karena pondasi Tritunggal sudah jelas berasal dari pemahaman keesaan Allah yang telah mantap dan berakar kuat dalam iman Kristen. Allah Adalah Ilah Yang Hidup Yang Memiliki Firman dan Roh Tritunggal tidak membahas berapa jumlah Allah, karena Alkitab jelas berkata hanya ada satu Allah. Namun Tritunggal membahas mengenai "dalam Dzat Allah yang sudah disepakati esa itu, bagaimanakah keadaan di dalam Diri Allah sejauh Ia menyatakan Diri-Nya itu?". Memang Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah itu di atas logika manusia, bahwa "tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah, selain Roh Allah" (1 Korintus 2:11). Namun hal ini tidak mengurangi fakta bahwa Allah mewahyukan Diri-Nya di dalam Alkitab dan pengalaman segenap Gereja mengatakan bahwa Ia memiliki Firman dan Roh di dalam Diri-Nya sendiri. Sudah jelas dari 1 Korintus 2:11 di atas bahwa di dalam Diri Allah, ada Roh Allah Yang Kudus yang mengetahui ke-bagaimana-an dalam Diri Allah itu. Roh Allah berada dalam Diri Allah, sebagaimana roh manusia ada dalam diri manusia karena manusia adalah gambaran diri Allah (Kejadian 1:26). Selanjutnya dalam Yohanes 1:18 dikatakan bahwa "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya." (Yohanes 1:14-18) Dzat Allah yang esa ini disapa orang Israel dengan gelar kiasan "Bapa" karena segala sesuatu diciptakan oleh-Nya. Karena Dzat Allah ini disapa dengan gelar kias "Bapa", maka Firman Allah (Yunani: Logos, Logika) yang keluar dari kandungan / pangkuan Dzatullah ini pun layak diberi gelar kias "Anak". Firman / Logos yang keluar dari kandungan Dzat Allah, ini secara kias pula dikatakan "dilahirkan" oleh Bapa, laksana seorang pujangga yang "melahirkan" ide-idenya dan buah pikiran dari pujangga ini disebut secara kias sebagai "anak" dari pujangga tersebut. Firman Allah ini harus kekal. Mengapa? Logika sederhana saja: karena jika Firman Allah tidak kekal (makhluk ciptaan), maka akan ada waktu di mana Firman tidak ada (karena belum diciptakan), sehingga akan ada waktu di mana Allah tidak punya Firman (a.k.a bisu, a-logos / bodoh). Ini jelas tidak mungkin. Begitupun Roh Allah harus kekal. Mengapa? karena jika Roh Allah tidak kekal (makhluk ciptaan), maka akan ada waktu di mana Allah tidak punya Roh (a-pneuma / mati). Ini juga jelas tidak mungkin. Lalu apakah ini berarti ada 3 yang kekal? Tidak, karena Firman dan Roh ada di dalam Diri Bapa, sehingga yang kekal hanyalah 1 saja, yaitu Bapa, yang bersama denganNya memiliki Firman-Nya dan Roh-Nya. Firman dan Roh Allah yang kekal ini ternyata terlibat aktif dalam penciptaan: Oleh firman TUHAN (dabbar yhwh) langit telah dijadikan, oleh nafas (ruach) dari mulut-Nya segala tentaranya. (Mazmur 33:6) Jadi Perjanjian Lama pun mencatat bahwa Firman Allah (Dabbar Yehuwa) dan Roh Kudus (Ruach ha-Qodesh) Allah terlibat dalam Penciptaan. Penciptaan yang dilakukan Bapa melalui Firman-Nya dan Roh-Nya inilah yang diteruskan oleh Perjanjian Baru ketika Yohanes menulis bahwa: Firman itu adalah Allah... Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. (Yohanes 1:1, 3). Ayat di atas jelas mengatakan bahwa tanpa Sang Firman (yang kemudian berinkarnasi menjadi manusia Yesus Kristus) tidak akan ada yang dapat dijadikan. Jadi Bapa bergantung kepada Firman-Nya sendiri untuk menciptakan semesta. Tanpa Firman, Bapa hanya akan jadi Dzat yang hening dan mati, tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi apakah ini berarti Allah bergantung kepada yang lain selain Diri-Nya sendiri? Tidak, karena Firman ini adanya di dalam Diri Bapa itu sendiri. Demikian juga dengan Roh Kudus. Rasul Paulus juga meneruskan konsep Perjanjian Lama bahwa Roh Kudus terlibat dalam penciptaan semesta ketika ia menuliskan bahwa Roh Kudus Allah adalah " Roh, yang memberi hidup" (Roma 8:2). Jadi setelah semua diciptakan oleh Bapa melalui Firman-Nya, maka Roh Allah inilah yang menghidupi semua makhluk hidup yang diciptakan-Nya. Semua makhluk hidup tidak akan hidup jika Roh Allah tidak menghembusi kehidupan bagi mereka semua. Jadi dari sini sudah kita dapatkan bahwa di dalam Diri Allah yang disebut Bapa ini, ada Firman dan Roh yang sama-sama kekal dengan Allah, dan bahkan terlibat aktif dalam penciptaan, padahal tidak ada yang terlibat aktif dalam penciptaan selain Allah itu sendiri. Oleh karena itu, Yohanes tanpa ragu menuliskan bahwa "Firman itu adalah Allah" (Yohanes 1:1) dan Syahadat Gereja berdasarkan Roma 8:2 mengaku bahwa Roh Kudus adalah "Tuhan Sang Pemberi Hidup" (Pengakuan Iman NiceaKonstantinopel). Namun tidak ada 3 Allah dan 3 Tuhan, karena baik Firman dan Roh Kudus ada di dalam Diri Bapa. Dan ketika Firman dan Roh ini ada di dalam Diri Bapa, maka ini tidak mengurangi fakta bahwa Firman dan Roh dapat dibedakan dari Bapa. Firman bukanlah Bapa (Sumber Firman), tapi Firman ini satu dan tidak dapat dipisahkan dari Bapa (Yohanes 10:30) seperti seorang pujangga tidak bisa dipisahkan dari pikirannya. Demikian juga Roh bukanlah Bapa (Sumber yang dihidupi oleh Roh), tapi Roh tidak dapat dipisahkan pula dari Bapa. Keadaan Firman dan Roh yang ada dalam Diri Bapa, tapi bisa dibedakan dari Bapa, namun ikut terlibat aktif dalam Penciptaan oleh Bapa inilah yang disebut sebagai Firman dan Roh memiliki "realitas konkrit"-Nya sendiri-sendiri. Realitas Konkrit ini dalam bahasa Yunani disebut sebagai "Hypostasis", dalam bahasa Latin disebut "Personae". Jadi "Person / Pribadi" dalam Tritunggal bukanlah "Pribadi" dalam artian "kesadaran diri dan penentuan diri sendiri" seperti yang dimaksud ilmu psikologi, sama sekali bukan, karena kalau demikian maka akan ada lebih dari satu kesadaran dan kehendak dalam diri Allah. Ini jelas salah. Kata "Person"/"Pribadi" memang mengalami pergeseran makna semenjak Simon Freud menjabarkan teori psikoanalisanya. Kata "Pribadi" dalam ajaran Tritunggal hendaknya dimengerti sesuai term yang dimengerti oleh Alkitab dan para Bapak Gereja purba tentang Firman dan Roh yang ber-"realitas konkrit". Inilah sebabnya, teolog Gereja Barat yang bernama Herbert Vorgimler menjelaskan: Barth dan Rahner sepaham: Kalau Firman dan Roh disebut pribadi dalam arti modern, maka satu Allah itu menjadi tiga.. Kalau mau pakai kata pribadi dalam arti modern untuk Allah, maka seharusnya dikatakan: Allah kita adalah satu pribadi.. (Herbert Vorgimler, Trinitas: Bapa, Firman, Roh, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal 114). Jadi kalau kata "Pribadi" dimengerti dalam artian psikologi modern, jelas Allah itu satu Dzat dan satu pribadi. Namun jika dimengerti dalam pengertian Alkitab dan Bapak Gereja, maka jelas Allah itu satu Dzat yang memiliki 3 pribadi / realitas konkrit. Demikianlah Allah yang disebut Bapa ini, yang bersama dengan-Nya memiliki Firman-Nya, dan Roh-Nya inilah yang disebut Tritunggal. Maka semua yang mengaku monotheis HARUS MENERIMA pula Tritunggal, karena jika anda monotheis tapi menolak Tritunggal, maka anda sama dengan mengatakan bahwa Allah tidak memiliki Firman (a.k.a bisu) dan tidak memiliki Roh (a.k.a mati). Inilah yang dicecarkan oleh Yuhana al-Mansyur (John of Damascus), seorang Arab Kristen abad ke-8, yang tanpa mampu dijawab argumentasinya oleh pihak muslim kecuali dengan memotong lidah dan tangan Bapak Gereja Orthodox Timur ini: Dan lagi kami berkata kepada mereka, "Kamu berkata bahwa Al-Masih adalah Firman Allah dan Roh-Nya (Qs. 4:171). Maka bagaimana mungkin kemudian kamu menegur kami sebagai penyekutu-penyekutu Allah? Karena Firman Allah dan Roh Allah, masing-masing adalah tidak dapat dipisahkan dari Allah, yang mana dari padaNya-lah Firman Allah dan Roh Allah ini 'dilahirkan'. Jika, kemudian, di dalam Allah adalah (terdapat) Firman Allah, maka adalah jelas nyata bahwa Ia (Firman) adalah juga Allah. Tapi jika Ia (Firman), sebagaimana pemikiran kamu, ada di luar Allah, maka Allah adalah tidak memiliki Firman (a-logos, bodoh tolol) dan tidak punya Roh kehidupan (a-pneuma, mati). Sehingga, untuk mencegah menyekutukan Allah, kamu telah me-mutilasi Allah (dari Firman-Nya dan Roh-Nya). Tapi akan lebih baik bagimu untuk mengatakan bahwa Ia memiliki seorang sekutu daripada memutilasi-Nya, dan menampilkan-Nya seperti batu, atau kayu, atau benda-benda mati lainnya yang tidak bisa merasa. Oleh karena itu, meskipun kamu telah menuduh kami secara salah sebagai 'Penyekutu Allah', tapi kami menyebutmu sebagai 'Pemenggal-Pemenggal Allah'." (The Heresy http://www.orthodoxinfo.com/general/stjohn_islam.aspx ) of Ishmaelities, 2. Tritunggal Meneruskan Tradisi Rabbinik Yahudi dan Tradisi Rasuli Kristen Aqidah Keilahian Firman Berakar Pada Tradisi Rabbinik Yahudi Seperti diketahui, banyak sekali kesalah-pahaman orang akan ajaran Tritunggal dan keilahian Kristus. Kesalahan ini terbentang luas dari nabi Islam yang mungkin salah mengerti karena menganggap Tritunggal sebagai keluarga ilahi (Bapa, Maryam, dan Isa) dan bahwa Allah tidak mungkin punya Anak karena Allah tidak punya istri jadi tidak bisa nge-sex dan punya anak (Surah 6:101), sampai kepada bidat saksi Yehuwa yang menuduh bahwa Tritunggal adalah penyesatan filsafat-filsafat kafir (Platonisme sampai Trimurti Hindu) yang masuk ke dalam Gereja. Ajaran tentang Bapa, FirmanNya, dan Roh-Nya ini secara tidak bertanggung jawab telah disamakan oleh bidatbidat tersebut dengan gerombolan dewa-dewa yang saling nge-sex, beranak-pinak, saling berkelahi, dan bekerja sendiri-sendiri itu. Tentu saja ini adalah pemikiran yang salah. Tritunggal tidak lari ke mana-mana kecuali berakar dari pengajaran Yahudi sendiri. Ajaran Tritunggal dan keilahian Kristus justru adalah konsekuensi logis dari ajaran tentang "Memra" dalam Targum Yahudi. Apa itu Targum? Targum adalah bahasa Aram yang pararel dengan bahasa Arab “Tarjamah”. Jadi, Targum adalah Perjanjian Lama yang diberikan komentar-komentar dalam bahasa Aram yang berasal dari zaman Yesus sendiri. Mengapa Targum Yahudi ini penting untuk dipelajari? Karena Yesus sendiri membaca Targum. Buktinya, ketika mengutip Mazmur 22:2, menurut catatan Markus, Yesus berseru: "Eloi, Eloi, Lamma Sabhaktani", atau menurut Matius: "Eli, Eli, Lamma Sabhaktani". Ini adalah bentuk dialek Aram yang dijumpai dalam beberapa “Targum”, yang jelas oleh penulis Injil diterjemahkan dari ungkapan: "Elahi, Elahi, Lmah Sabakhtani", sementara di TANAKH (Torah, Nevim we Ketuvim) atau Perjanjian Lama bahasa Ibrani, ternyata berbunyi: "Eli, Eli, Lmah Azvakhtani". Jadi Yesus mengutip Mazmur 22:2 ini bukan dari TANAKH, melainkan dari Targum karena memang saat itu lebih mudah untuk mendapatkan Targum daripada TANAKH. Dalam Targum, Sang Firman (Ibrani: Dabbar, Aram: Memra, Yunani: Logos) diidentikkan dengan Yehuwa, yaitu TUHAN sendiri. Yahwe yang dalam Perjanjian Baru lebih akrab dipanggil Bapa, menggambarkan Allah dalam transendensi-Nya. TUHAN yang “nun jauh di sana”, yang berada di Surga, di tempat maha tinggi itu, ketika hadir menyapa umat-Nya, dalam Targum selalu memperkenalkan diri sebagai Memra. Misalnya: "Pada waktu malam, datanglah Allah dalam mimpi kepada Laban..." Bagaimananya Allah menemui Laban? Targum Onqelos mencatat bahwa Memra-Nya-lah yang menemui Laban: "Wa ata Memra min qedem Yahwe lwat Laban..." (dan datanglah Memra yang bersama-sama Yahwe itu menemui Laban). Begitu juga Yakub, disuruh pulang oleh TUHAN, dengan jaminan Ia akan menyertainya: We Ehyeh ‘imeka (Terjemahan harfiah dari teks Ibrani: "Dan Aku Ada akan beserta denganmu" (Kej. 31:2). Bagaimana Allah yang transenden itu dapat menyertai Yakub? Jawabnya, Targum Onqelos menerjemahkan: We yehi Memrei besa’ideka (Dan Memra -Ku akan menyertaimu). Dengan kata lain, sejauh Allah menyatakan diri supaya bisa dikenal umat-Nya, atau sejauh yang transenden itu menjadi imanen, atau sejauh yang "jauh tanpa terterangankan" berkenan menjadi "dekat tanpa bersentuhan", Dia selalu hadir dalam sosok Memra, yaitu Sabda Allah atau Firman-Nya. Melalui Firman-Nya-lah, Allah memperkenalkan dan menyatakan Diri-Nya kepada umat manusia. Seiring dengan adanya proyek di Alexanderia-Mesir untuk menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani bagi umat Yahudi diaspora (di luar Israel) pada 2 abad sebelum Masehi, maka kata Ibrani "Dabar" yang dalam Targum bahasa Aram disebut "Memra" inipun ikut diterjemahkan dalam bahasa Yunani "Logos", yang artinya sama-sama "Firman" dan "daya kreasi Allah". "Firman yang menyatakan Diri Allah" itulah yang selanjutnya melatarbelakangi “kristologi” Rasul Yohanes yang menerjemahkan Memra menjadi Logos (Yohanes 1:1-3, 14, 18), mengikuti terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (disebut Septuaginta). Rasul Yohanes mencatat bahwa Firman/Logos ini adalah Pencipta alam semesta. Alam diciptakan melalui Firman dan tanpa Firman Allah tidak akan ada sesuatu (Yohanes 1:3). Ini jelas merupakan kelanjutan dari ajaran Yahudi tentang Memra Allah. Ide bahwa Allah menciptakan alam semesta melalui Firman-Nya (Dabar, Memre atau Logos) adalah jelas dari teologi Yahudi sendiri. Contohnya, sebuah doa sehari-hari (Siddur) umat Yahudi: Barukh Atta Adonai Elohenu Melek ha 'Olam, Hakkal nihyah bi-Dabro Terpujilah Engkau, Ya TUHAN Allah yang kami sembah, Raja semesta alam, yang menciptakan segala sesuatu melalui Firman-Nya. Begitu pula, dalam Targum Onqelos menafsirkan Ulangan (Debarim) 33:27, "beMimreh mit'aved alama", "Memra, yang dengan-Nya alam diciptakan" ("Humash Humasi Torah 'im Targum Onqelos - The Torah: Haftaros, and Five Megilos with a Commentary Anthologized from the Rabbinic Writings", R. Nossom, Brooklyn New York: Mesorah Publication, 1996, hal. 1120-1121). Nah, dalam sastra dan literatur rabbi-rabbi Yahudi, Mesias/Kristus yang akan datang tersebut diidentifikasikan dengan Memra atau Sabda Tuhan sendiri. Alam pikiran Yahudi inilah yang melatarbelakangi penulisan Injil Yohanes, yang serempak pula menyakini bahwa Yesus sendirilah Memra, Dabar atau Logos Allah yang telah menjadi Manusia (Yohanes 1:14). Sebelumnya, Yohanes juga menekankan bahwa dalam Sabda itu ada Hidup dan Hidup itu adalah Terang bagi manusia (Yoh. 1:4). Ungkapan ini mengingatkan kita pada nubuatan nabi Yesaya tentang Mesias yang akan datang: "Qumi, Ori, ki ba orika", "bangkitlah, menjadi teranglah, sebab Terangmu datang " (Yesaya 60:1). Dan jangan lupakan salah satu tradisi Rabbinik dalam naskah The Dead Sea Scrolls berbunyi: "Semua orang yang melakukan kebenaran mereka dipimpin oleh Pangeran Terang dan mereka berjalan di dalam terang." (1 QS 111:20). 10). Jadi, ketika Yesus berkata, "Akulah terang dunia, barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup" (Yohanes 8:12), maka ini semua hanya meneruskan ajaran Yahudi bahwa Mesias Ilahi yang akan datang adalah Memra dari Allah sendiri, sebagai Terang yang keluar dari Allah sendiri. Itulah mengapa kemudian Pengakuan Iman Nicea mengaku Yesus sebagai "..Terang yang keluar dari Terang..". Apakah ajaran Yahudi mengenai keilahian "realitas konkrit" Sang Firman yang menjelma menjadi Mesias ini hanya berhenti pada Targum? Tidak. Tema mengenai pra-eksistensi Mesias yang kekal dijumpai hampir merata dalam tradisi Yahudi. Dalam literatur Yahudi abad pertama sebelum Masehi yang berjudul The Book of Enoch, yang juga ditemukan pada tahun 1947 di antara naskah-naskah Qumran di Laut Mati (The Dead Sea Scrolls), antara lain disebutkan: "Mesias, Putra Allah, telah dipilih dan bersama-sama dengan Allah sebelum dunia diciptakan" (48:6). Tradisi penafsiran ini kemudian dilanjutkan oleh Rasul Yohanes yang mengajarkan bahwa "Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersamasama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah" (Yohanes 1:1). Jadi terbukti bahwa Yohanes hanya mengikuti Tradisi Rabbinik Yahudi yang mengatakan bahwa Sang Firman itu secara KEKAL ada bersama dengan Allah yang disebut Bapa Pra-eksistensi Mesias Ilahi, yang seperti telah dijelaskan di atas, dikenal bukan dalam sosok fisik (shape/frame/figure) seorang manusia, melainkan sebagai Memra yang dalam bahasa Ibrani selain dikenal sebagai Davar (Sabda), disebut juga sebagai hokmah (Hikmat) atau da'at Elohim (Ilmu Allah). The Dead Sea Scrolls menuliskan: Engkau telah menciptakan semua ini, dan dengan Hikmat rencana-Mu Engkau telah mempersiapkan hukum-hukum sebelum alam semesta ada. Oleh Sabda-Mu semuanya telah ada, dan tanpa Engkau tidak ada sesuatu yang ada dari segala yang telah dijadikan. (Hodayot/1QH 1,19) Segala yang ada dan akan datang berasal dari Ilmu Allah. Sebelum semua itu ada Ia telah menentukan dengan rencana-Nya. (1 QS 111:15-16) Jadi sangat jelas sekali dalam berbagai Tradisi Rabbinik Yahudi, Firman Allah adalah "realitas konkrit" (hypostasis, personae) tersendiri di dalam Diri Dzatullah, yang melalui-Nya, Allah yang tak terjangkau itu akhirnya dapat dikenali oleh manusia. Inilah yang dimaksud oleh Yohanes ketika ia menuliskan: "Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya." (Yohanes 1:18). Allah tidak dapat dijangkau manusia, tapi Allah mendatangi Laban dan Yakub, melalui sosok Memra / Firman-Nya. Demikian pula dengan Roh Kudus. Perjanjian Lama dengan jelas mengatakan bahwa Roh Kudus adalah "realitas konkrit" (hypostasis, personae) tersendiri pula dalam Diri Dzatullah yang esa. Nabi Yesaya menulis: Lalu teringatlah mereka kepada zaman dahulu kala, zaman Musa, hamba-Nya itu: Di manakah Dia yang membawa mereka naik dari laut bersama-sama dengan penggembala kambing domba-Nya? Di manakah Dia yang menaruh Roh Kudus-Nya dalam hati mereka, yang dengan tangan-Nya yang agung menyertai Musa di sebelah kanan, yang membelah air di depan mereka untuk membuat nama abadi bagi-Nya, yang menuntun mereka melintasi samudera raya seperti kuda melintasi padang gurun? Mereka tidak pernah tersandung, seperti ternak yang turun ke dalam lembah. Roh TUHAN membawa mereka ke tempat perhentian. Demikianlah Engkau memimpin umat-Mu untuk membuat nama yang agung bagi-Mu. (Yesaya 63:11-14) Terlihat jelas bahwa Roh Kudus tidak hanya ikut terlibat aktif dalam penciptaan (Kejadian 1:1-3), melainkan ikut terlibat pula dalam proses penyelamatan manusia. Roh Kudus akan diletakkan oleh Allah ke dalam hati orang percaya dan Roh Kudus inilah yang akan membawa umat ke dalam kepenuhan kebenaran. Ini diulangi lagi oleh Yesus yang berkata bahwa Roh Kudus adalah "realitas konkrit" dari Allah "kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman" (Yohanes 16:8). Roh Kudus akan menginsafkan kita akan dosa, dan ujung dari ini adalah Roh Kudus akan membawa kita ke tempat perhentian di sorga, kata Nabi Yesaya. Semuanya jelas dan gamblang. Tritunggal jelas merupakan konsekuensi logis dari Targum Yahudi dan karya-karya rabinik. Lalu mengapa Yahudi sampai sekarang tidak bisa menerima doktrin Tritunggal? Silahkan tanyakan sendiri kepada mereka, mengapa mereka tidak konsisten dengan ajaran mereka sendiri. Itulah mengapa Yesus berkata keras kepada orang-orang Yahudi yang mengetahui kebenaran tapi berkeras hati menolak kebenaran tersebut: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta." Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepada-Nya: "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?" Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu." (Yohanes 9:3941). Orang Yahudi sudah melihat kebenaran Tritunggal ini dalam catatan-catatan Rabinik mereka sendiri, tapi mereka telah memilih menjadi buta, sehingga tetaplah dosa mereka atas mereka sendiri. Aqidah Keilahian Firman Diteruskan Dalam Tradisi Rasuli Kristen Sabda Yesus bahwa Ia adalah Terang Dunia yang sudah dikutip di atas, membuktikan bahwa Yesus sadar mengenai keilahian Diri-Nya sebagai Sang Firman yang nuzul menjelma. Ada banyak sekali bukti yang lain, tapi pada bagian ini, saya ingin memberikan penekanan bahwa keilahian Yesus adalah ajaran Yesus yang diwariskan kepada murid-murid-Nya dan kepada Gereja segala abad, seperti yang hendak dibuktikan berikut ini: Rasul Petrus: “Dari Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus Kristus, kepada mereka yang bersama-sama dengan kami memperoleh iman oleh karena keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” (2 Petrus 1:1) Petrus menyebut dirinya sebagai hamba dan rasulnya Yesus yang adalah Allah dan Juruselamatnya. Rasul Yohanes: “Akan tetapi kita tahu, bahwa Anak Allah telah datang dan telah mengaruniakan pengertian kepada kita, supaya kita mengenal Yang Benar; dan kita ada di dalam Yang Benar, di dalam Anak-Nya Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang benar dan hidup yang kekal.” (1 Yohanes 5:20) Yohanes menyebut Yesus sebagai Allah yang benar. Rasul Yudas Tadeus: “ Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah masuk menyelusup di tengahtengah kamu, yaitu orang-orang yang telah lama ditentukan untuk dihukum. Mereka adalah orang-orang yang fasik, yang menyalahgunakan kasih karunia Allah kita untuk melampiaskan hawa nafsu mereka, dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Yesus Kristus.” (Yudas 1:4) Tadeus menyebut Yesus sebagai satu-satunya Penguasa dan Tuhan. Rasul Paulus: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa.” (Kolose 2:9-10). Pandangan para rasul akan keilahian Kristus inilah yang kemudian diwariskan terusmenerus dan turun-temurun kepada murid-murid mereka dan kepada Gereja untuk terus dijaga dan dipertahankan. “Saudara-saudaraku yang kekasih, sementara aku bersungguh-sungguh berusaha menulis kepada kamu tentang keselamatan kita bersama, aku merasa terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasihati kamu, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus.” (Yudas 1:3) Frase “iman yang telah disampaikan” ini dalam bahasa aslinya adalah “hapax”, yang berarti: diwariskan oleh para rasul sekali untuk selamanya, tanpa ada penambahan maupun pengurangan. Karena itu, tentulah sangat wajar jika kita menyebut ajaran yang bertentangan dengan ajaran rasuli ini sebagai ajaran sesat jika ternyata ajaran tersebut mengurangi status Yesus sebagai “Allah sejati dalam kodrat-Nya sebagai Firman yang kekal” (sebagaimana yang diwarisi Gereja dari Para Rasul itu sendiri) menjadi hanya sebatas “Tuhan tetapi bukan Allah” seperti yang diajarkan oleh bidat Arianisme. Ajaran-ajaran sesat itulah yang disebut sebagai ”Yesus yang lain” dan berasal dari ”roh yang lain” (2 Korintus 11:4), dan tentu saja, kitab suci sendiri sudah jelas mengutuk orang-orang yang mengajarkan “Injil yang lain” dan “Yesus yang lain” itu (Galatia 1:7-9). Lalu apa bukti bahwa para rasul telah mewariskan “iman yang sekali untuk selamanya” itu kepada Gereja? Tentu saja dengan melihat bagaimana pandangan murid-murid para rasul terhadap Yesus Kristus, karena memang mereka (murid-murid para rasul) diajar sendiri dan mendapatkan iman-pengetahuan mereka secara langsung dari para rasul yang menuliskan dokumen-dokumen Perjanjian Baru itu sendiri. Ignatius dari Antiokhia: Ignatius, adalah murid Rasul Yohanes dan ditahbiskan oleh Rasul Petrus menjadi Uskup Gereja Antiokhia, menyebut Yesus sebagai Allah-Nya. Di samping itu Ignatius yang menerima pengajaran secara langsung dari rasul Yohanes juga menyebut Yesus sebagai Firman Allah yang kekal: “Allah itu esa yang menyatakan diri-Nya sendiri dalam Yesus Kristus Anak-Nya, yaitu Firman-Nya yang keluar satu kali dari keheningan kekal..” (Epistle to the Magnesians, J.B. Lighfoot – J.R. Harmer, “The Apostolic Fathers”, Michigan: Baker Book House, 1984, pp.114) Tentu saja ini berarti bahwa Sang Firman yang disebut Anak itu sendiri adalah kekal, sehingga Ia adalah BUKAN CIPTAAN. Karena itulah ia disebut sebagai AlphaOmega (Wahyu 1:8, 17-18), dan tidak ada yang disebut demikian kecuali Allah itu sendiri. Hal itu ditegaskan kembali oleh Ignatius sebagai berikut: ”... Yesus Kristus, Allah yang membuat kamu bijaksana, Tuhan kita, yang menurut daging sungguh-sungguh keturunan Daud, dan menurut kehendak dan kekuatan Allah adalah Anak Allah, sungguh-sungguh dilahirkan dari seorang perawan” (Epistle to the Smyrnaeans 1:1, dalam J.B. Lighfoot – J.R. Harmer, The Apostolic Fathers, 1984, hal.128). Polikarpus dari Smirna: "Oleh karena inilah, dan bagi segala sesuatu, aku memuliakan-Mu, memuji-Mu, dan mengagungkan Nama-Mu, oleh Imam Besar surgawi kami yang kekal Yesus Kristus, Putra terkasih-Mu yang oleh-Nya, bersama-sama dengan-Mu, dan dengan Roh Kudus, segala hormat dan kemuliaan, mulai sekarang ini, dan sepanjang segala masa. Amin." (Martyrdom of Policarp, dalam J.B. Lightfoot - J.R. Harmer, ibid, hal. 208) Polikarpus juga murid langsung dari rasul Yohanes. Silahkan dilihat doa Polikarpus yang bercorak Trinitaris di atas, dan bahwa Polikarpus menyebut Yesus sebagai Putra yang kekal. Irenaeus dari Lyon: “..yang oleh Firman-Nya, yaitu Anak-Nya, telah menyatakan diri-Nya sendiri di atas segala sesuatu, sehingga kita mengenal Allah hanya melalui Firman itu. Firman Allah secara kekal ada bersama Sang Bapa, yang terdahulu, dan yang tidak diawali oleh waktu” (Against Heresies II:30:9) Irenaeus adalah murid dari Polikarpus. Irenaeus juga mengajarkan bahwa Yesus Kristus, Sang Firman Allah, adalah KEKAL dan BUKAN CIPTAAN. Ini ditambah lagi bahwa dalam Against Heresies 1:10:1, Irenaeus jelas mengaku percaya kepada Tritunggal seperti halnya Polikarpus. Sumber Sejarah Sekuler: Bahkan sumber-sumber sejarah non-Kristen pun juga mengakui bahwa orang Kristen mula-mula sudah beribadah kepada Yesus Kristus. Catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa teks liturgis yang menaikkan pujian 'Yesus sebagai Allah' pada Gereja masa kini tidak hanya bertanggal SETELAH Konsili Nicea, melainkan merupakan tradisi dari Gereja ABAD PERTAMA hasil ajaran dari Para Rasul penulis Injil seperti yang disaksikan oleh sumber DI LUAR kekristenan, yakni surat Pliny the Younger kepada Kaisar Trajan berikut ini: “Aku telah bertanya apakah mereka adalah orang-orang Kristen, dan jika mereka mengakuinya, aku mengulangi pertanyaan itu untuk kedua dan ketiga kalinya, dengan suatu peringatan akan hukuman yang menanti mereka. Jika mereka tetap mengakuinya, aku memerintahkan agar mereka dibawa pergi untuk dihukum mati; karena apapun sifat pengakuan mereka, aku yakin bahwa kekeras-kepalaan dan ketegaran mereka yang tak tergoyahkan tidak seharusnya tidak dihukum… Mereka juga menyatakan bahwa jumlah total dari kesalahan atau kekeliruan mereka tidak berjumlah lebih dari ini: mereka telah bertemu secara teratur sebelum subuh pada suatu hari yang telah ditentukan untuk menyanyikan ayat-ayat secara bergantian di antara mereka sendiri untuk menghormati Kristus sebagai Allah, dan juga untuk mengikat diri mereka dengan sumpah, bukan untuk tujuan kriminal apapun, melainkan sumpah untuk menjauhkan diri dari pencurian, perampokan, dan perzinahan… Ini membuatku memutuskan bahwa semuanya itu menjadikan lebih perlu untuk mendengarkan kejadian sebenarnya dari penyiksaan dua hamba wanita, yang mereka sebut diaken-diaken. Aku tidak menemukan apa-apa selain semacam pemujaan yang merosot sampai pada tingkat yang berlebihlebihan..” (Plinys Letters vol. II, X:96, seperti bisa dilihat pada John Dickson, The Christ Files: How Historians Know What They Know About Jesus (Sydney: Blue Bottle, 2005), hal. 20-21.) Pliny the younger yang hidup di abad pertama telah menuliskan kebingungannya karena tidak menemukan kesalahan orang-orang Kristen, padahal sebagai gubernur, ia harus memberangus orang-orang Kristen yang tidak mau memberi persembahan kurban kepada Kaisar, sehingga satu-satunya tuduhan yang dapat dikenakan terhadap Kristen adalah: “mereka menyanyikan pujian kepada Kristus sebagai Allah (Latin: carmen Christo, quasi Deo, dicere secum invicem).” Pliny sendiri ragu-ragu karena ia bingung dan tidak bisa menerima bagaimana ia harus menjatuhkan hukuman mati hanya karena sebuah keyakinan: “Christo, quasi Deo (Kristus sebagai Allah)”. Kata Latin “Deo” adalah paralel dengan kata Yunani “theos” (Allah). Dan ya, itulah “keyakinan umum (common believe)” umat Kristen waktu itu. Dan ingat, justru ini adalah sumber NON-Kristen yang memberikan kesaksian sejarah bahwa orang-orang Kristen rela mati, demi beribadah dan mempertahankan iman mereka kepada ke-Allah-an Yesus Kristus. Surat-surat dari murid-muridnya para rasul dan bukti-bukti sejarah sekuler inipun meski tidak dipandang sama dengan Kitab Suci dalam Gereja mula-mula merupakan bagian dari Tradisi suci yang diteruskan dari rasul-rasul (at-Taqlid al-muqaddas), yang fungsinya untuk: 1. menyaksikan kebenaran Alkitab (yashhadu li al-kitab al-muqaddas) 2. menjelaskan kepada kita makna Alkitab (yashrahu lana li al-kitab almuqaddas) seperti yang dimaksudkan oleh komunitas para rasul penulis dokumen-dokumen Perjanjian Baru itu sendiri. 3. melestarikan ajaran iman yang lurus dan benar (hafadza lana al-iman alurthuduks), dan 4. menjelaskan kepada kita mengenai sakramen-sakramen Gereja (syaraha lana thuqus al-kanisah), persis sama dengan yang dilakukan oleh rasul-rasul Kristus yang mulia. Metode pelestarian ajaran rasuli ini, dengan jelas diajarkan Polikarpus kepada muridmuridnya, persis seperti Polikarpus diajar oleh gurunya, rasul Yohanes, dan rasulrasul lainnya. Hal ini disaksikan dengan jelas oleh Irenaeus, murid Polikarpus sebagai berikut: "Masih kuingat baik-baik, tempat Polikarpus, orang saleh itu, duduk mengajar. Kuingat kotbah-kotbah yang disampaikannya kepada orang banyak, dan bagaimana ia menceritakan hubungannyadengan Rasul Yohanes, dan murid-murid Yesus yang lain, yang bersama-sama berjalan dengan Tuhan, bagaimana diucapkannya sabda-sabda Kristus yang telah dihafalnya itu, bagaimana mujizat-mujizat yang dilakukan Tuhan, bagaimana telah diterimanya ajaran-ajaran dari saksi-saksi mata yang telah melihat Firman Allah yang hidup itu, yang dalam segala hal sesuai dengan ayatayat yang tertulis dalam Kitab Suci" (Eusebius, Church History V, 20:6) Inilah pentingnya mempelajari sejarah Gereja, termasuk sejarah bapak-bapak Gereja rasuli, khususnya Ignatius, Polikarpus, dan Klemens yang termasuk murid-murid langsung dari para rasul, dengan jelas membuktikan akar rasuli ajaran keilahian Yesus dalam Tritunggal yang esa. Gereja Protestan (terutama dari 'kubu' Injili) yang menjunjung tinggi sola-scriptura pun memandang penting tulisan-tulisan ini, bahkan Henry H. Helley pun menuliskan: "Karya-karya para bapak Gereja dari zaman rasuli ini tidak boleh dipertentangkan dengan Alkitab. Karena berbeda dengan literatur apokrifa yang biasanya membajak nama para rasul, kitab-kitab ini dibuat dengan nama mereka sendiri.. Tulisan ini sangat berharga karena tulisan-tulisan tersebut adalah mata-rantai antara masa rasul-rasul dengan sejarah Gereja di kemudian hari" (Halley's Bible Handbook, Michigan: Zondervan Publishing House, 1997, pp. 749) Ajaran tentang keilahian dan kekekalan Sang Firman ini selanjutnya diteruskan turuntemurun kepada Hypolitus, Tertulianus, ketiga Bapak Gereja Kapadokia, dst dst sampai kepada Gereja masa kini sehingga terbentuk sanad (mata-rantai) khilafah rasuliyah (apostolic succession, suksesi tahbisan) dan sanad aqidah (apostolic teaching, suksesi ajaran). Jadi dengan senjata ini: "suksesi ajaran" dan "suksesi tahbisan" inilah kita bisa tahu bahwa ajaran Tritunggal adalah berasal dari komunitas rasuli sendiri dan ajaran lainnya yang menentang ajaran Tritunggal adalah tidak berasal dari para rasul melainkan berasal dari setan. 3. Huru-Hara Arianisme, Jalannya Konsili, dan Bagaimana Anathema Dijatuhkan. Huru-Hara Arianisme Sudah terbukti di atas bahwa Tritunggal, keilahian dan kekekalan Sang Firman adalah berasal dari para rasul dan Yesus itu sendiri. Namun pada suatu saat di awal abad ke4, muncullah suatu perdebatan sengit di Gereja Alexanderia (Mesir) mengenai keilahian dan kekekalan Sang Firman. Adalah Arius, seorang Archimandrit (rohaniawan jenius yang tidak menikah) dari Alexanderia, menyimpang dari ajaran rasuli dan mengajarkan bahwa Sang Firman adalah ilah yang diciptakan oleh Bapa, dan karena ilah ini diciptakan dari Bapa, maka ilah ini tidak kekal, sempat ada waktu tidak ada (karena belum diciptakan), dan lebih kecil/rendah dari Bapa. Herannya, ilah ciptaan Bapa ini, seperti dikatakan oleh Arius, ternyata membantu Bapa dalam menciptakan ciptaan yang lain. Sejarawan Philip Schaff yang mengutip dari sejarawan abad ke-4, Eusebius dari Kaisaria, menuliskan bahwa Arius "mengajarkan bahwa Kristus, walaupun Ia adalah Pencipta dunia, tapi Ia sendiri adalah makhluk ciptaan Allah, sehingga Ia tidak sepenuhnya ilahi" (Schaff, "History of the Christian Church", 3:9:119). Jadi Arius mengajarkan ada 2 ilah pencipta dunia, yakni Bapa (yang tidak diciptakan) dan Yesus (ilah yang diciptakan Bapa). Ini semua berangkat dari kesalahan Arius mengartikan "Firman diperanakkan" sebagai "Firman diciptakan". [ Ajaran sampah Arius (Arianisme) ini kemudian dipungut lagi pada abad ke-19 oleh bidat saksi-saksi Yehuwa]. Tentu saja Gereja menolak ajaran Arius yang menyimpang dari Alkitab dan Tradisi Rasuli ini. Alexander, Patriarkh Alexandria, menentang pemikiran Arius hingga terjadilah perdebatan yang sangat sengit sehingga pada tahun 321 diadakanlah konsili lokal di Alexanderia yang diikuti 100 uskup Mesir dan Libya dengan menghasilkan kesimpulan bahwa ajaran Arius sesat. Diberlakukan eks-komunikasi / pengucilan terhadap Arius dan para pengikutnya, dan mereka diperintahkan untuk keluar dari Mesir. Arius menentang hasil persidangan sinode dan bertahan di Mesir. Para pengikutnya bahkan membuat keonaran di kota-kota. Bentrokan fisik sering terjadi antara pendukung Arius dan pendukung Gereja resmi di bawah Alexander. Ketika posisinya tidak lagi menguntungkan, Arius menggalang dukungan dengan politik tebar-pesona. Arius menulis surat kepada 2 orang Uskup: Eusebius dari Nicomadea dan Eusebius dari Kaisaria, orang-orang dekat Kaisar Konstantin untuk membantunya: "Tapi kami berkata dan telah diajarkan, dan mengajarkan, bahwa Sang Anak tidak diperanakkan, tidak pula diturunkan dari Dzat-Nya (Nya=Bapa), tapi bahwa oleh kehendak dan pemikiran-Nya (Nya=Anak) sendiri Ia (Anak) terbentuk sebelum segala waktu dan zaman sebagai Allah yang sempurna, hanya saja "diperanakkan" dan tak berubah, dan bahwa sebelum Ia diperanakkan, atau diciptakan, atau dimaksudkan, atau dibentuk, Ia pernah tidak ada. Karena Ia tidak diperanakkan. Kami dianiaya, karena kami mengatakan bahwa Anak memiliki permulaan, tapi Allah (Bapa) tidak memiliki permulaan." (Peters , Heresy and Authority in Medieval Europe, p. 41, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Arianism#Beliefs) Dalam surat pribadinya itu, Arius mencari muka dan memposisikan dirinya sebagai "pihak yang teraniaya", dan memohon kepada kedua Eusebius (yang bersama Arius adalah murid dari Lucianus), yang memiliki wibawa dalam Gereja-Gereja berbahasa Yunani itu, utuk memohon dukungan agar posisi Arius sebagai imam dikembalikan oleh Patriarkh Alexander. Dengan tekanan dari kedua Eusebius yang berpengaruh di istana inilah, dukungan kepada Arius mulai menguat kembali. Tercatat 20 orang uskup menjadi pendukung Arius, dan perdebatan yang berlarut-larut ini akhirnya tidak hanya mengguncang Gereja, tapi juga mengganggu stabilitas imperium Romawi. Philip Schaff menulis: Alexander menerbitkan surat kepada seluruh uskup melawan kaum murtad. Uskup bangkit melawan uskup, dan provinsi melawan provinsi.. (Schaff, ibid) Konstantin yang tidak ingin wilayahnya terganggu, mengirim Hosius, Uskup Roma, untuk menyelidiki apa yang terjadi di Gereja Alexanderia. Hosius kemudian berpendapat bahwa Arius salah, tapi ia merekomendasikan kepada Konstantinus untuk memfasilitasi dan mengumpulkan semua uskup dalam Gereja semesta agar masalah Gereja ini segera diselesaikan oleh Gereja sendiri. Jalannya Konsili dan Bagaimana Anathema Dijatuhkan Ada 318 uskup yang menghadiri Konsili ini. Mayoritas di antaranya datang dalam kondisi cacat sebagai akibat dari penganiayaan Kaisar Valerius di masa lampau sebelum Edict Milano membebaskan orang Kristen untuk beribadah. Di antaranya adalah Paphnutius dari Thebaid dan Potamon dari Heraklea yang mata kanannya masing-masing dicungkil, dan Paulus dari Kaisaria Baru yang disiksa dengan besi panas menyala dan kedua tangannya dipotong oleh Licinus, dsb dsb (Schaff, 3:9:120). Mereka inilah yang dituduh secara konyol oleh kaum polemikus sebagai "disiksa karena menolak perintah Konstantin untuk mengakui Tritunggal", padahal mereka memang datang sudah cacat. Kenapa cacat? Karena mereka sebelumnya disiksa oleh orang-orang Romawi karena menolak menyembah Kaisar melainkan memilih bertahan untuk menyembah Yesus. Kaum polemikus menuduh bahwa keilahian Kristus baru disahkan lewat voting di Konsili Nicea 325. Tentu saja ini bodoh, karena seperti telah dibuktikan sebelumnya, keilahian Kristus justru berasal dari Tradisi Rabbinik Yahudi dan kemudian diteruskan oleh Alkitab dan Tradisi Rasuli Kristen. Sama sekali tidak ada voting dalam Konsili ini. Yang ada adalah kedua pihak yang berlawanan dipersilahkan maju untuk menguraikan ajarannya. Arius diberi kesempatan pertama, dan segera setelah Arius berbicara, mayoritas uskup yang hadir menolak. Di lain pihak, tangan kanan Patriarkh Alexander, seorang Diakon (Pendeta Muda) yang bernama Athanasius membacakan diskursus melawan Arius. Argumentasi Athanasius meliputi pembuktian bahwa Arius mengajarkan Politheisme dan bahwa tidak mungkin pernah ada waktu di mana Firman tidak ada sehingga ada waktu di mana Allah tidak memiliki Firman-Nya (a.k.a. bisu). Di lain pihak, Arianisme ditolak berdasarkan tumpukan ayat-ayat kitab suci yang secara langsung dan tidak langsung mengajarkan keilahian Kristus, dan kesamaan Dzat-Nya dengan Bapa. Konsep Pencipta yang diciptakan, yang ada sebelum segala jaman, namun memiliki awal permulaan, telah ditunjukkan berkontradiksi pada dirinya sendiri. Tidak dapat ada makhluk yang setengah Pencipta dan setengah ciptaan.... Athanasius menyebut Arianisme sebagai paham Dualisme, dan bahkan Politheisme, dan dengan demikian menghancurkan ajaran penebusan. Karena jika Anak adalah ciptaan, maka manusia masih tetap akan terpisahkan dari Allah. Tidak ada ciptaan yang dapat mendamaikan ciptaan lain dan menyatukan mereka dengan Allah.. (Philip Schaff, dalam Dictionary of Biblical, Historical, Doctrinal, and Practical Theology, Toronto, New York & London: Funk & Wagnalls Company, hal. 137) Mayoritas uskup meng-amin-kannya dan kemudian menanda-tangani pengakuan iman yang kini disebut sebagai Syahadat Nicea. Ini termasuk 18 uskup yang sebelumnya mendukung Arius, semuanya akhirnya diyakinkan oleh argumentasi Athanasius. Jadi total hanya ada 3 orang yang menolak menanda-tangani Syahadat Nicea: Theonas, Secundus (keduanya uskup Mesir), dan Arius sendiri. Ketiganya yang keras-kepala ini dibuang ke Illyria, dan buku-buku Arius (termasuk tulisannya yang berjudul Thalia) dibakar (Schaff, ibid). Jadi kalau ada yang bilang bahwa di konsili ini ada acara bakar-bakaran "Injil asli", maka itu adalah tuduhan yang bodoh karena yang dibakar adalah buku-bukunya Arius dan bukan yang lain. Syahadat Nicea ini kemudian disusul dengan penjatuhan tahrim kepada ajaran Arius: "..sedangkan tentang mereka yang berkata: 'Pernah ada waktu di mana Ia (Firman) belum ada', atau 'Putra Allah itu berasal dari tidak ada kemudian menjadi ada' (creatio ex nihilo), dan juga kepada mereka yang menyangkal bahwa Putra Allah mempunyai dzat lain, atau dzat lain selain dari Allah', atau 'diciptakan', atau 'dapat berubah', maka Gereja (Tuhan) yang kudus, jami'ah (kathuliq, universal), dan rasuli, dengan ini mengharamkan (tahrim) ajaran mereka". Jadi, dengan memperhatikan akar ajaran mengenai keilahian dan kekekalan Sang Firman, maka kita dapat yakin bahwa Konsili Nicea 325 hanya meneguhkan apa yang sudah diajarkan oleh PL, Tradisi Rabbinik, sabda Yesus, dan kemudian diteruskan kepada Gereja segala abad melalui Alkitab dan Tradisi Rasuli. Justru Arius-lah yang hendak memaksakan ajaran barunya yang nyeleneh, tapi Konsili Athanasius menegaskan apa yang sudah ada sebelumnya. Dari sini sudah bisa disimpulkan: 1. Kekristenan adalah agama yang monotheis dan Tritunggal, keilahian dan kekekalan Firman berakar pada keesaan Allah. 2. Keilahian Firman bukan berasal dari filsafat kafir, melainkan justru berasal dari PL, Tradisi Rabbinik, sabda Yesus, dan kemudian diteruskan kepada Gereja segala abad melalui Alkitab dan Tradisi Rasuli. 3. Arius mengajarkan politheisme dan menghujat Allah sebagai Allah yang pernah bisu. 4. Ajaran Arius bertentangan dengan "apa yang telah ada sejak semula". Amin.
Comments
Report "Konsili Nicea - Memaksakan Atau Meneguhkan"