Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.

April 4, 2018 | Author: Anonymous | Category: Business
Report this link


Description

1.Indonesia BAB IPENDAHULUANAir adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan kuantitas yangcukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia. Begitu pentingnya air, telahmenjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak asasi manusia1. Akses terhadap air bersihjuga menjadi salah satu target dari Millenium Development Goals (MDGs) 2 yang harus tercapaipada tahun 2015, yang ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000.Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan hal tersebut.Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat peningkatan jumlahpenduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti pertanian dan industri. Pada sisiyang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas semakin langka akibat kondisi daerahtangkapan air dan daerah retensi air yang semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaanair bersih mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah. Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan penyedia layananair bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi akses masyarakat terhadap air bersih. WorldHealth Organization (2003), menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengankomposisi sekitar 44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% pendudukmemiliki akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17% rumahtangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar 89% pendudukmemiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah tangga di perkotaan yangtersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah pedesaan sekitar 69% memiliki aksesterhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. DataSUSENAS dengan kategori akses terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004),mengindikasikan bahwa dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52%memiliki sumber air pribadi (pompa, sumur, dan lainnya), 25% memiliki akses terhadap sumberair yang dimiliki bersama (hidran air umum) dan hanya 15 % yang bergantung pada utilitaspublik3.Pada tahun 2006, akses rumah tangga terhadap air perpipaan di daerah perkotaanbaru mencapai 30,8%, sedang di pedesaan sebesar 9% (Laporan Pencapaian PembangunanMillenium, 2007). Cakupan pelayanan PDAM pada tahun 2006, mencapai 30,6% dengan rata-rata tingkat kebocoran sebesar 41,31%4. Dari ukuran pelanggan, lebih dari 85% PDAM memilikipelanggan kurang dari 10.000 dan hanya 4 % yang memiliki pelanggan di atas 50.000,1 General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and Cultural Rightsmenyatakan : “The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domesticuse.”2 MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015 (to halve by2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation)3Fabby Tumiwa, “ Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Alternatif Sumber dan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur Air di Indonesia, 2006, www.kruha.org4Presentasi Basah Hernowo (BAPPENAS) dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”, yangdiselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 200712. Indonesiasedangkan dari aspek kesehatan finansial, berdasarkan data dari 260 PDAM pada tahun 2007,hanya 18% PDAM yang berada dalam kondisi sehat, sisanya berada dalam kondisi kurang sehatdan tidak sehat.5 Selain cakupan pelayanan yang masih rendah, beberapa permasalahan umumyang dihadapi oleh PDAM di Indonesia adalah kualitas air dan pelayanan yang semakin menurunterutama setelah krisis ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan untukmemotong pengeluaran operasi. Effisiensi operasi dan keuangan PDAM mengindikasikan bahwaPDAM belum mengoptimalkan asset yang mereka miliki yang berakibat pada rendahnya efisiensidan kinerja usahanya. Tantangan selanjutnya yang dihadapi Indonesia untuk dapat menjamin aksesmasyarakat terhadap air bersih adalah keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah.Dalam upaya mencapai target MDGs pada tahun 2015, dibutuhkan investasi sebesar Rp 43triliun, sedangkan kemampuan pembiayaan pemerintah pusat sebesar Rp 500 milyar/tahun6.Gambaran situasi di atas, sedikit banyak menunjukkan bahwa dibutuhkan kerja kerasbagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih. Proposal yangtelah diajukan yang mencakup strategi pencapaian target 10 MDGs adalah melakukanintervensi-intervensi yang mencakup perluasan akses air bersih baik di perkotaan maupunpedesaan, peningkatan kualitas layanan, memperkenalkan teknologi baru dan memperluaspartisipasi sektor swasta (private sector participation/PSP).Dalam kerangka inilah kemudian PSP menjadi perdebatan. Pro dan kontra terhadapketerlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air bersih terus mengemuka dalambeberapa tahun terakhir. Perdebatan yang terjadi tidak hanya terjadi pada tataran ideologi,namun juga terjadi pada tataran praktis termasuk perdebatan tentang terminologi yangdigunakan. Kelompok pendukung PSP berpendapat bahwa partisipasi sektor swasta berbedadengan privatisasi, karena PSP tidak bertujuan untuk mengambil alih asset perusahaan publikkepada swasta. Selain itu kelompok pendukung PSP juga meyakini bahwa dengan PSP akanmeningkatkan efektifitas dan efisiensi layanan air bersih termasuk mengatasi keterbatasanpembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah melalui investasi yang ditanamkan oleh sektorswasta.Di lain pihak, kelompok penentang PSP berpendapat bahwa PSP merupakan bagian dariskema global untuk menerapakan resep-resep ekonomi neoliberal. PSP dipandang akanmenghilangkan kedaulatan negara dan rakyat, pengambil alihan asset kepada MultinationalCorporations (MNCs), dan pengalihan tanggung jawab penyediaan layanan dasar dari sektorpublik kepada sektor swasta. Para penentang juga berpendapat bahwa PSP tidak berbedadengan privatisasi dan pada tingkatan praktis tidak ada bukti yang signifikan bahwa pengelolanair oleh swasta akan lebih baik jika dibandingkan dengan pengelolaan air oleh publik. Bahkanpengelolaan air oleh swasta dipandang akan semakin menjauhkan akses masyarakat terhadapair.5 Presentasi Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, dalam Diskusi “Pembiayaan Air Minum” yang diadakan oleh Indonesia Water Dialogue,24 Juli 20086Presentasi BPP SPAM dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”, yang diselenggarakanoleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 200723. IndonesiaSituasi perdebatan seperti inilah yang mendorong terbitnya buku ini. Buku ini merupakankonsolidasi dari beberapa literatur yang membahas tentang PSP baik yang pro maupun kontradan data-data yang terkait dengan PSP serta tidak bermaksud untuk mencari “siapa yang palingbenar” dalam konteks perdebatan PSP tersebut.Secara umum uraian dalam buku ini akan terbagi dalam empat bab. Bab pertamamerupakan pengantar umum terhadap situasi penyediaan air bersih di Indonesia danperdebatan umum PSP di sektor air bersih. Bab kedua merupakan uraian terhadap kontroversiPSP di sektor air, latar belakang yang mendasari kontroversi tersebut, dan bukti-bukti empirismengenai PSP di sektor air bersih serta berbagai isu penting seputar PSP. Bab ketigamenguraikan berbagai fakta seputar PSP di Indonesia, termasuk sejarah keterlibatan swastadalam penyediaan air minum di Indonesia, regulasi terhadap keterlibatan swasta tersebut,tinjauan atas kerjasama swasta dan PDAM serta bagaimana keterlibatan swasta lokal danmasyarakat dalam hal penyediaan air minum. Bab keempat merupakan penutup yang akanmerangkum berbagai pandangan terhadap PSP di dalam National Working Group on PSP Reviewdan merumuskan pertanyaan-pertanyaan kunci bagi kajian lebih lanjut. 34. IndonesiaBAB IIKONTROVERSI di SEPUTAR PSP2.1. Air: Barang Publik atau Barang Ekonomi ?Pada Januari 1992, berlangsung International Conference on Water and Environment diDublin Irlandia. Konferensi tersebut menghasilkan empat butir prinsip - yang kemudian dikenaldengan Dublin Principles -, yang salah satunya adalah “water has an economic value in all itscompeting uses and should be recognized as an economic good. Within this principle, it is vitalto recognize first the basic right of all human beings to have access to clean water andsanitation at an affordable price. Past failure to recognize the economic value of water has led towasteful and environmentally damaging uses of the resources. Managing water as an economicgood is an important way of achieving efficient and equitable use, and of encouragingconservation and protection of water resources”.Cara pandang baru terhadap air menjadi awal pertarungan paradigma tentang siapayang memiliki air, bagaimana memahami fungsi air dan pengunaannya. Terlebih setelah banyakorganisasi internasional memberikan dukungannya terhadap cara pandang baru terhadap air,seperti yang dikatakan oleh Budds dan McGranahan (2003), “…In the wake of Dublin, manyinternational organizations realigned their position in the water sector, and the World Bankcame to play a central role in developing and promoting new approaches consistent with itsinterpretation of the Dublin Principles, in particular the treatment of water as an economic good.… Bilateral development agencies also started to promote private sector participation in theirrecipient countries, including DFID and USAID…” Bagi kelompok penentang privatisasi, memberlakukan air sebagai barang ekonomidipandang akan memperluas keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih. In theyears following Dublin, the concept of water as an economic good has been used to challengetraditional approaches to government provision of basic water services. Economist seized uponthe idea to argue that water should be treated as a private good, subject to corporate control,financial rule, market forces, and competitive pricing. Kelompok penentang juga berpendapatbahwa secara turun temurun air diperlakukan sebagai hak asasi – hak yang muncul dari kodratmanusia, kondisi historis, kebutuhan dasar atau gagasan tentang keadilan (Shiva, 2002),sehingga keterlibatan swasta di sektor air akan mengancam hak asasi atas air.Pada sisi yang lain, kelompok pendukung privatisasi berpendapat bahwa jika suatuproduk tersedia gratis, maka fungsi pasar yang seharusnya mengalokasikan sumber-sumberdaya secara efisien tidak akan tercapai. Artinya tidak ada jaminan ketersediaan air sebandingdengan tingkat konsumsi yang dilakukan. Orang cenderung untuk memanfaatkan air secaraberlebihan. Cara yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk mengendalikan hal tersebutadalah dengan membatasi penggunaannya melalui peraturan, pajak, atau denganmemberlakukannya sebagai private good yaitu barang yang bersifat excludable dan rival 45. Indonesia(Mankiw, 2001). Pendukung privatisasi juga berpendapat banyak kejadian dimanapengelolaan oleh publik cenderung menerapkan harga rendah sehingga tidak mampumempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada, apalagi meningkatkan jangkauanpelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga rendah yang dikatakan bermanfaat bagi pendudukmiskin, dalam kenyataannya tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayanisehingga harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk, 2000).Menariknya, diantara pro kontra tentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layananair bersih, terdapat kelompok yang mencoba bersikap lebih pragmatis terhadap kehadiranswasta dalam penyediaan air bersih. Kelompok ini berpendapat bahwa air tidak bisa secaramurni diperlakukan sebagai barang publik. Air membutuhkan biaya untuk pengadaannya,sehingga juga harus diberlakukan sebagai barang ekonomi yang harus dikelola sesuai denganhukum-hukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Budds dan McGranahan (2003) “Indebating the appropriate role of the private and public sectors, recognizing water as aneconomic good can seem to support a strong private sector role. This is not strictly correct, anddepends on how the term “economic good” – which is not widely used in economics – isinterpreted. If “economic good” are taken to mean the sort of goods idealized in economictheories of perfect markets, then the case for private provision of economic goods is strong. Buturban water services are not economic goods in this sense any more than they are “pure” publicgoods (and in any case, water utilities rarely operated in a competitive market). Alternatively, ifeconomic goods are simply taken to be goods that have an economic value, and to whicheconomic principles apply, then this would also apply to public goods, and is largely irrelevant tothe case for private provisioning”Dalam situasi kontroversi tersebut, Savenije (2001) mencoba memberikan sedikitgambaran tentang karakteristik air minum, yaitu:• Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa air, tanpa air tidak adaproses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak akan ada kegiatan manusia yangtidak tergantung pada air. Air merupakan sumber daya penting. Hal ini membuat air menjadikhusus tetapi tidak unik. Sama halnya dengan lahan, dan makanan.• Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja air yang dapatdikonsumsi.• Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki secara pribadi danketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi. Hal ini merupakan konsekuensidari sifat air minum yang penting dan tidak dapat disubstitusi. Pemerintah bertanggungjawab menyediakan air minum tetapi pemerintah tidak bertanggung jawab menyediakan airsecara gratis sebagaimana sering disalahpahami.• Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan sistem tertentu.Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan politik antar daerah.• Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besar bahkan jika pengaliran airmenggunakan sistem gravitasi. 56. Indonesia• Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai kemampuan membayaryang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit (pengguna domestik dan industri),lainnya mempunyai kemampuan membayar rendah dan menggunakan air dalam jumlahbesar (petani), bahkan lainnya tidak mempunyai kemampuan membayar (lingkungan danpenduduk miskin). Semuanya tidak dapat digabung dalam satu pasar. Meskipun air minumyang dibutuhkan merupakan benda yang sama tetapi karakter permintaan berbeda.Pertukaran diantara kepentingan yang berbeda ini sebaiknya diselesaikan melalui jalurpolitis dan bukan pasar.• Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitas pengguna air. Air digunakan olehpertanian mempengaruhi industri. Akibatnya hubungannya menjadi rumit.• Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air minum. Untuk mencapaiskala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang mengarah ke monopoli alamiah.• Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat dinilai dengan uang. Menurut Ouyahia (2006), karakteristik dari air bersih adalah high investment specificity,natural monopoly features of the sector, buried asset, externalities involving public health andenvironment, the need for universal provision, and location-specific. Karakteristik lain adalah“70-80 percent of water and wastewater assets are underground (Infrastructure Canada,2004). Hence obtaining accurate information about them can be costly and there is generally alack reliable information about the condition of existing infrastructure”. 67. IndonesiaKotak 1.1 Sejarah Sistem Penyediaan Layanan Air MinumSistem penyediaan layanan air bersih memiliki sejarah yang cukup panjang. MenurutSwyngedouw (2003), system penyediaan layanan air bersih dapat dibagi dalam empat tahapanperkembangan. Tahap pertama, berlangsung sampai pertengahan kedua abad ke-19, dimanasistem penyediaan layanan air minum dilakukan oleh perusahaan swasta kecil. Layanan yangdiberikan hanya untuk sebagian kecil kota khususnya daerah-daerah kaya perkotaan. Tahapan selanjutnya adalah pada periode munisipalisasi. Menurunnya kualitaslingkungan dan munculnya kesadaran akan sanitasi lingkungan menjadi pendorong utamaperiode ini. Periode ini juga diwarnai dengan kesadaran terhadap tanggung jawab daerah dalampenyediaan layanan dasar yang mendasar yang jika perlu diikuti oleh subsidi tarif yang tinggi dikebanyakan negara Eropa. Pada periode ini, sistem air bersih yang pada awalnya dibangun olehperusahaan swasta, kemudian diambil alih oleh pemerintah daerah (munisipal) di hampir semuanegara-negara Eropa, termasuk Inggris. Hanya di Perancis yang perusahaan air milik swastanyadapat bertahan, dan karena itu satu-satunya perusahaan swasta air raksasa di dunia adalah milikPerancis: Suez (dulunya Lyonnaise des Eaux) dan Veolia (tadinya Vivendi dan the CompagnieGenerale des Eaux) yang sudah berdiri sejak tahun 1853. Namun proses munisipalisasi jauh lebihcepat terjadi di Amerika Serikat ketimbang di Eropa: pada tahun 1897, sudah 82% kota-kotabesar di Amerika Serikat terlayani oleh operator publik tingkat daerah. Tahapan ketiga dimulai setelah perang dunia I, ketika air bersama dengan layanan publiklainnya seperti telekomunikasi dan listrik menjadi perhatian nasional negara. Pemerintah pusatdengan beragam intensitas kendali, regulasi dan investasinya mengambil alih peran daerah padasektor air minum. Investasi dalam pengembangan infrastruktur juga menjadi bagian pentingusaha mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meredam keresahan sosial melaluikebijakan redistribusi aset – dalam hal ini layanan air minum. Pada periode ini meskipunmanajemen air minum masih ada yang di tangan daerah namun pemerintah pusat punya perananyang besar khususnya pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan juga intervensiperaturan. Pada periode ini mulai dibentuk berbagai badan pengatur untuk berbagai kepentinganseperti kepentingan sosial, ekonomi, kualitas, dan lingkungan yang biasanya bersifat nasional.Periode keempat, periode terakhir, dimulai saat terjadi resesi global tahun 1970-an,sebuah periode yang ditandai dengan menurunnya peran negara dalam mendorong pertumbuhanekonomi. Anggaran yang terbatas dari pemerintah pusat berakibat pada berkurangnyapengeluaran untuk kesejahteraan publik dan dukungan terhadap program pengembanganinvestasi infrastruktur. Tarif air yang rendah, investasi yang disubsidi, infrastruktur yang mulaimenua, ditambah tingginya permintaan terhadap layanan air minum, memperparah tekananterhadap anggaran pemerintah pusat. Hal ini menjadi masalah akut yang sulit dipecahkankhususnya bagi negara berkembang. Tekanan negara pemberi hutang untuk mengamankanhutangnya melalui berbagai program seperti Structural Adjustment Program (SAP) dan tekananuntuk memperbaiki daya saing melalui peningkatan efisiensi mendorong munculnya berbagaiprogram pemotongan anggaran biaya layanan publik, program privatisasi dan deregulasi.Sedangkan di negara berkembang memiliki sejarah perkembangan yang berbeda. Padamasa kolonial, negara imperialis memfokuskan penyediaan air di negara koloninya hanya khususuntuk elit kolonial. Bahkan di Kampala (Uganda), ketika sistem penyediaan air diperluas,masyarakat setempat harus membayar iuran yang dihitung dengan dasar full cost recovery tanpasubsidi silang. Akibatnya pelayanan tersebut tidak terjangkau bagi masyarakat. Sistem elit ini,mewariskan jaringan fisik yang tidak utuh dan problem sosio-ekonomi berupa ketimpangan didalam masyarakat, yang mengakibatkan masalah yang ada bertambah parah dan memerlukanusaha yang besar untuk melakukan redistribusi. Upaya untuk membangun kembali infrastruktur fisik dan sosial, kembali muncul setelahkemerdekaan. Komitmen terhadap pelayanan air bersih dan pelayanan dasar lainnya kemudiandihubungkan dengan proses membangun negara yang independen dan akuntabilitas politik 78. Indonesiabanyak dalam sistem air bersih dibandingkan negara-negara utara. Lebih terdorong olehkemerdekaan dan bukan oleh industrialisasi, negara-negara ini tidak memiliki daerah yang kuatataupun masyarakat setempat kelas menengah yang kuat, sehingga kepemilikan di tingkat pusatuntuk perusahaan air bersih lebih banyak terjadi dibanding di negara-negara Utara. Di Sri Lanka,sebuah negara dengan sejarah pembangunan yang hebat di bidang kesehatan dan pendidikan, airbersih merupakan tanggung jawab primer Badan Usaha Milik Negara (parastatal) pemerintahpusat. Di Argentina, perluasan jaringan air di seluruh negeri dilakukan oleh penyedia layanan airmilik pemerintah pusat. Namun, kesemuanya lambat laun mulai terkikis, ketika LembagaKeuangan Internasional mensyaratkan untuk melakukan privatisasi kepada negara-negaratersebut.Sumber: Swyngedouw,(2003), Hadipuro (2006), Hall dan Lobina (2006)Kotak 1.2 Structural Adjustment Program (SAP)Structural Adjustment Program (SAP) diperkenalkan pada awal tahun 1980-an oleh Bank Dunia (dibawah kepemimpinan Robert McNamara). Pinjaman Bank Dunia diberikan untuk periodebeberapa tahun melalui program untuk mendukung secara langsung reformasi kebijakan dantidak lagi terkait dengan salah satu program investasi dalam bentuk proyek. Sejak saat itupinjaman yang memuat komponen SAP mendominasi portofolio pinjaman baik dari Bank Duniamaupun IMF. Bank Dunia mempraktekkan SAP dari sisi persediaan ekonomi, sedangkan IMFmemfokuskan diri pada sisi permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi.Pada tahun 1989, John Williamson ekonom dari Institute of International Economics (IIE)Washington DC, mencetuskan Washington Concensus yang berisi sepuluh rekomendasi kebijakanuntuk mengatasi krisis ekonomi di Amerika Latin. Dalam perkembangannya rekomendasi tersebutditerima secara luas oleh ekonom di Amerika Serikat termasuk Depatemen Keuangan, BankDunia dan IMF, yang kemudian dijadikan standar kebijakan mereka. Konsensus Washingtonmenganjurkan stabilisasi ekonomi lewat kendali penyediaan mata uang dan perluasanpertumbuhan dengan seperangkat ukuran demi terwujudnya peningkatan aktifitas sektor swasta,kebijakan privatisasi pun menjadi standar Bank Dunia dan IMF serta bank-bank pembangunanregional seperti ADB, Inter America Development Bank dan lainnya. Pada tahun 1990-an, SAPmengimplementasikan beberapa prinsip Konsensus Washington dalam berbagai bentuk programyang didanai oleh lembaga-lembaga tersebut. Secara keseluruhan, tujuan yang ingin dicapai olehlembaga-lembaga keuangan internasional melalui privatisasi adalah (i) tujuan ekonomi, yaitumeningkatkan efisiensi seluruh sektor ekonomi, meningkatkan efisiensi, produktifitas dankeuntungan perusahaan, meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, dan menarik investasiswasta; (ii) tujuan fiskal, yaitu menghapus subsidi pemerintah pada badan usaha milik negara;memperoleh tambahan dana dari penjualan kepemilikan negara atas badan usaha sertameningkatkan pendapatan pajak dari badan usaha swasta; (iii) tujuan sosial politik, yaitumeningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan kepemilikan badan usaha oleh swastanasional; meningkatkan kepemilikan properti kelas menengah, meningkatkan pemanfaatantenaga kerja, dan mengurangi korupsi serta penyalahgunaan di kantor publik.Instrumen untuk mempengaruhi kebijakan dilakukan melalui mekanisme pinjaman baik programatau proyek yang senantiasa diikuti dengan pelbagai persyaratan. Karena kebanyakan negara-negara berkembang pada umumnya sangat membutuhkan dana pinjaman dari Bank Dunia danIMF - selain bank-bank regional lainnya –untuk menutupi defisit anggaran atau membiayaiprogram pembangunan, maka persyaratan yang diajukan pun pada akhirnya mendapat dukungansignifikan dari pemerintah masing-masing.Khusus untuk sektor air, sebuah studi secara random terhadap program bantuan IMF di 40negara pada tahun 2000 menunjukkan bahwa dalam perjanjian pinjaman (Letter of Intend/LoI)dengan negara-negara tersebut, terdapat 12 negara yang persyaratan pinjamannya (loanconditionalities) adalah privatisasi sumberdaya air.Sumber: Tumiwa dan Santono, dalam “Globalisasi Menghempas Indonesia” (2006)89. Indonesia2.2. Privatisasi, Private Sector Participation (PSP) atau Public Private Partnership (PPP)Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep privatisasi masih belum terklarifikasi.Seperti yang diungkapkan Bailey (1987), ”one of the concepts in vogue is privatization. Althoughthe concepts itself is unclear, it might be tentatively defined as general effort to relieves thedisincentives toward efficiency in public organizations by subjecting them to the incentives ofthe private market. There are in fact several different concepts of privatization. Demikian jugamenurut Kay dan Thompson (1986) “privatization is term which is used to cover several distinct,and possibly alternative means of changing the relationships between the government andprivate sector”. Namun, beberapa literatur yang lain mencoba mendefinisikan konsep privatisasi denganlebih jelas. Menurut Subagjo (1996) secara umum definisi privatisasi dapat dirangkum sebagaiberikut: (i) perubahan bentuk usaha dari “perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentukperseroan terbatas, (ii) pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatuperusahaan yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) pelepasan hak atau aset milik negara atauperusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk selamanya(antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu(termasuk dengan cara Build Operate Transfer), (iv) pemberian kesempatan pada swasta untukmenggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v)pembuat usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan asetpemerintah, serta (vi) membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam duniausaha. Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang BadanUsaha Milik Negara (BUMN), privatisasi adalah penjualan saham Persero baik sebagian maupunseluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham olehmasyarakat.Sedangkan Savas (1987) mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan mengurangi peranpemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah aktifitas atau pemilikan aset.Privatisasi dapat berbentuk umum (dikontrakkan ke swasta atau LSM dan penyediaan sukarela)dan khusus (food stamps, housing vouchers, and volunteer fire departments). Lebih lanjut Savasmenyatakan bahwa ada beragam tekanan atau alasan yang mendorong privatisasi. Alasan inidikelompokkan sebagai (i) pragmatis, ketika masyarakat mendefinisikan kebutuhan akanpelayanan pemerintah yang lebih baik, (ii) ideologis, ketika terdapat keinginan mengurangi peranpemerintah; (iii) komersil, ketika swasta melihat kesempatan mendapatkan keuntungan darimelakukan pelayanan publik; (iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasi sebagai caramenuju kondisi masyarakat yang lebih baik.Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi bisa diartikansecara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat untuk ikut bertanggungjawab terhadap kegiatan yang semula dikendalikan secara eksklusif oleh sektor publik. 910. IndonesiaPrivatisasi termasuk di dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik keswasta atau hanya sekedar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalamkegiatan operasional seperti contracting out dan internal markets.Seperti yang ditulis oleh Tumiwa dan Santono, “...dalam konteks ekonomi politik,privatisasi adalah sebuah cara untuk memperbaiki pengelolaan dan kinerja badan usaha sertasektor publik lainnya, termasuk mengurangi beban negara.” (Globalisasi MenghempasIndonesia: hal 137). Privatisasi bertujuan untuk mencapai efisiensi ekonomi mikro, mendorongpertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaranbelanja dengan cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN7. Sedangkanmenurut Stiglitz, keuntungan ekonomi privatisasi sesungguhnya berasal dari ketidakmampuanpemerintah dalam menyusun sejumlah komitmen , khususnya berkompetisi dan tidak memberisubsidi8. Dalam tulisannya yang berjudul The New Economy of Water; The Risks and Benefits ofGlobalization and Privatization of Fresh Water, Gleick menyatakan privatization in the watersector involves transferring some or all of the assets or operations of public water system intoprivate hands.There are numeorus ways to privatize water, such as the transfer of theresponsibility to operate a water delivery or treatment system, a more complete transfer ofsystem ownership and operation responsibilities, or even the sale of publicly owned water rightsto private companies. Alternatively, various combinations are possible, such as soliciting privateinvestment in the development of new facilities, with transfer of those facilities to publicownership after investors have been repaid". Sedangkan Budds dan McGranahan (2003)menyatakan “Private-sector participation” is used in the literature to cover a wide range ofarrangements between a government agency and a non-public institution, but usually refers to acontractual agreement involving a public agency and a formal (often multinational) privatecompany. The term “privatization” is also widely used but can refer to two rather different things.It is sometimes used as a generic term to refer to increasing private sector involment, but alsospecifically to the model of divesture. “Public-private partnership” is common term but is rarelyexplicitly defined. In the water and sanitation sector, it tends to be used to refer to contractualagreements in which private companies assume greater responsibility and/or risk, especiallythrough concession contracts. Lebih lanjut Budds and McGranahan mengatakan bahwa “Thereare several models of private sector involvement in water and sanitation utilities, with numerousvariations, depending on the legal and regulatory frameworks, the nature of the company andthe type of contract”.Dalam Policy Brief yang diterbitkan oleh OECD (April, 2003), menyatakan bahwa “Public-Private Partnerships refer to any form agreement (partnership) between public and privateparties. They should not be misunderstood as privatization, where the management andownership of the water infrastructure are transferred to the private sector”. Lebih lanjut,dinyatakan “Some options keep the operations (and ownership) in public hands, but involve the7 Lihat, Eytan Shesinski dan Luis F Lopez-Calva, “Privatization and Its Benefits: Theory and Evidence”, dalam CESifo Economics Studies, No.3, Vol.49,20038Lihat, Joseph E Stiglitz, Whither Socialism (Massachusetts: MIT Press, 1994) 1011. Indonesiaprivate sector in the design and constructions of the infrastructure. Other options involve privateactors in the management, operation and/or the financing asset”.Pendapat lainnya disampaikan oleh McDonald dan Ruiters, yang menyatakan bahwa“More properly known as “private sector participation” or as will be used in this chapter “publicprivate partnerships”, these institutional arrangements are nevertheless a form of privatization.There is a clear transfer of crucial decision making responsibilities from the public to the privatesector and an effective transfer of power over assets to a private company, with qualitativelyand quantitatively different rules and regulations guiding the decision that are made and howcitizens are able to access information”. Dalam perkembangannya, terdapat dua model keterlibatan swasta di sektor air. Pertamaberupa model UK yang diterapkan di Inggris dan Wales dimana kepemilikan dan pengelolaanutilitas air dilakukan oleh sektor swasta. Kedua adalah model Perancis, dimana kepemilikan ditangan publik sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh publik atau private. Perbedaan lain darikedua model tersebut adalah di UK dibentuk Office of Water Services (OFWAT) sebagai badanpengatur independen, sedangkan di Perancis “economic regulator” diperankan oleh pemerintahdaerah9. Secara umum, keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air minum dapat berbentuk:(i) Kontrak Jasa (service contracts). Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan pembacaan meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2 tahun). Kategori ini kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin. Kontrak jasa dipergunakan di banyak tempat seperti di Madras (India), dan Santiago (Chile).(ii)Kontrak Manajemen. Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di Mexico City, Trinidad, dan Tobago.(iii) Kontrak Sewa-Beli (lease contracts). Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Biasanya kontrak sewa berjangka 10-15 tahun. Perusahaan swasta mendapat hak dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada pemerintah. Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut memperoleh bagian dari pengumuman pendapatan yang berasal dari tagihan pembayaran. Konsep ‘enhanced lease’ diperkenalkan karena di negara berkembang dibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi, pengurangan9Lihat, OECD Policy Brief, “Public-Private Partnerships in Urban Water Sector”, April 2003, http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf1112. Indonesia kebocoran, dan peningkatan cakupan layanan. Perbaikan kecil menjadi tanggungjawab operator dan investasi besar untuk fasilitas pengolahan menjadi tanggungjawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak digunakan di Perancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal.(iv) Bangun-Operasi-Alih (Build-Operate-Transfer/BOT). BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung risiko dalam mendesain, membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk BOT. Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan swasta guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20 tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut.(v) Konsesi. Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan seluruh tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator swasta membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin dibuat rendah dengan mengurangi jumlah modal yang diamortisasi, yang dapat menguntungkan penduduk miskin jika mereka menjadi pelanggan. Konsesi dengan target cakupan yang jelas mengarah pada layanan bagi seluruh penduduk dapat menjadi alat yang tepat dalam memanfaatkan kemampuan swasta meningkatkan investasi, memberikan layanan yang baik, dan menetapkan tarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah tetap mengatur tarif melalui sistem regulasi dan memantau kualitas layanan. Konsesi mempunyai sejarah panjang di Perancis, kemudian berkembang di Buenos Aires (Argentina), Macao, Manila (Pilipina), Malaysia, dan Jakarta. Dalam konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar kinerja dan jaminan kepada konsesioner.(vi)Divestiture. 1213. Indonesia Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa pengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun sebagian aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak banyak contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam skala besar (Weitz, 2002; Stottmann, 2000).Tabel 1.Pembagian Tanggungjawab dalam Beragam Bentuk Partisipasi SwastaKontrak KontrakSewa-Beli KonsesiTipe PengalihjasaManajemen(ConcessionBOTan (Lease)(Service ) Penuh(Managemecontract)(Divestitnt contract) ure)Kepemilikan PublikPublik PublikPublik Swasta/PrivateAsetpublikInvestasi PublikPublik PublikSwasta Swasta PrivateModalResikoPublikPublik Berbagi Swasta Swasta PrivatekomersialOperasi/pe- Swasta/ Swasta SwastaSwasta Swasta PrivatemeliharaanPublikLama Kontrak1-2 tahun 3-5 tahun8-15 tahun25-30 tahun20-30SelamanytahunaSumber: Stottman, Walter (2000) dalam Budds and McGranahan, 2003 “Are Debates on Water Privatizations MissingThe Points? Experiences from Africa, Asia and Latin America”1314. IndonesiaKotak 1.3 Komersialisasi, Privatisasi, dan KomodifikasiKomersialisasi mengacu pada proses dimana mekanisme pasar dan praktek pasar diperkenalkanpada pengambilan keputusan operasi dari pelayanan publik, misalnya maksimalisasi keuntungan,pemulihan biaya, dan lain-lain (McDonald and Ruiter,2005).Komodifikasi adalah proses merubah barang atau layanan yang sebelumnya merupakan subyekyang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek yang mengikuti aturan pasar (Gleick,2002).Bentuk institusi yang populer dari komersialisasi adalah korporatisasi, dimana pelayanan dibatasimenjadi unit bisnis yang berdiri sendiri yang dimiliki dan dioperasikan oleh negara tetapi dijalankandengan prinsip-prinsip pasar. Lalu bagaimana kaitan antara korporatisasi dengan privatisasi?1. Pertama dan yang terutama adalah perubahan dalam etos pengelolaan dengan fokus pada penyempitan dan pertambahan prinsip dasar keuangan jangka pendek. Sehingga perubahan budaya pengelolaan terjadi jika penyedia jasa dan pelayanan yang dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh negara akan menjadi lebih komersial dibandingkan dengan mitra swasta mereka, dimana manager secara agresif mempromosikan dan menerapkan pemulihan biaya dan prinsip-prinsip pasar lainnya.2. Korporatisasi sering mempromosikan kontrak pihak ketiga (outsourcing) sebagai strategi operasidan cara lain dari pemotongan biaya mereka. Kondisi operasi yang kompetitif, pada akhirnyamembutuhkan deregulasi (atau regulasi kembali) terhadap kendali monopoli dari pelayanan danmemperbolehkan berbagai penyedia layanan untuk berkompetisi dengan unit khusus untukmenyediakan layanan tertentu dengan harga yang memadai (misalnya: pembacaan meter).3. Korporatisasi bisa menjadi pintu masuk bagi investasi langsung sektor swasta, kepemilikan ataukendali dengan membuat pelayanan publik menjadi lebih atraktif bagi sektor swasta. Meskipunbegitu perusahaan swasta tidak tertarik untuk membeli pelayanan yang mempunyai strukturyang rumit/atau subsidi silang tersembunyi, prosedur pengambilan keputusan yang tidakfleksibel dan terintegrasi secara politis atau budaya pengelolaan yang anti pasar.Untuk dapat menjalankan privatisasi dan komersialisasi, air harus diberlakukan sebagai komoditas.Seperti yang diungkapkan oleh Gleick (2002), “The processes of globalization and privatization tendto require that water (and water services) be treated as commodities, subject to the rules ofmarketplaces and free traditional cultural rules”. Pendapat senada disampaikan oleh McDonald danRuiters, “The last and most important point is that commodification is the driver of privatisation,commersialisation, and corporatisation”.Sumber: Gleick (2002), McDonald dan Ruiters (2006)1415. Indonesia2.3Pro-Kontra PSPPerdebatan mengenai keterlibatan swasta dalam penyediaan air terjadi di banyak negaraseperti di Bolivia, India, Philipina, Korea Selatan, Brazil, Afirica Selatan, Indonesia dansebagainya. Tidak jarang perdebatan tersebut memicu perlawanan dari LSM, Serikat Pekerja dankelompok masyarakat sipil lainnya untuk menentang keterlibatan swasta dalam penyediaanlayanan air bersih. Bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil di Eropa sudah memintakepada pemerintah mereka untuk menghentikan dukungannya terhadap keterlibatan swastadalam penyediaan air bersih seperti yang terjadi di Norwegia. Sepanjang dekade 1990, keterlibatan swasta didorong menjadi agenda kebijakan airdan sanitasi bagi negara berkembang sebagai cara mencapai tingkat efisiensi lebih baik danpeningkatan cakupan air dan sanitasi. Terdapat kesepakatan umum bahwa perusahaan publikmenjadi lemban dalam meningkatkan akses layanan dan tidak efisien dan menjadi sarangkorupsi10.Kotak 1.4 Terlucutnya Peran Negara Menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan intervensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai terjadi sejak tahun 1970-an, akibat melonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impor meningkat, yang berdampak pada krisis utang luar negeri yang berujung pada defisit anggaran. Dominasi negara atas aktivitas ekonomi di negara berkembang, mengakibatkan kinerja sektor publik terutama badan usaha milik negara menjadi perhatian utama dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Sedangkan di negara yang menganut konsep negara kesejahteraan, serangan terhadap kebijakan intervensi negara dilakukan menjelang akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Berbagai kajian terus bermunculan yang menggugat dominasi negara dalam aktivitas ekonomi dan terutama kinerja badan usaha yang dipandang sebagai sumber ketidakefisienan dan stagnannya ekonomi di negara berkembang. Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara semakin berkembang setelah Inggris dan AS (di bawah kepemimpinan Thatcher dan Reagan) “dinobatkan” sebagai pelopor kebijakan “menolak negara”. Kebijakan “menolak negara” atau “emoh negara” (meminjam istilah I. Wibowo) semakin mendapat tempat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, ketika negara seolah berasosiasi dengan segala keburukan. Dalam berbagai sektor, ekonomi misalnya negara berkonotasi dengan kolusi, ketidakefisienan dan nepotisme. Dalam politik, negara berkonotasi dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan di dalam birokrasi negara berdampingan dengan korupsi. Reputasi buruk yang memberikan legitimasi bagi pelucutan peran negara. Tidak aneh, jika kemudian (dan di bawah tekanan lembaga keuangan internasional) kebijakan publik yang dihasilkan adalah pencabutan dan pengurangan berbagai subsidi serta perluasan peran swasta dalam layanan dasar seperti air bersih. Dan mentransformasi peran negara sebagai penyedia menjadi regulator.10Budds and McGranahan, 2003, “Are the debates on water privatization missing the point? Experiences from Africa, Asia and Latin America”,Environment and Urbanization, Vol.15, No. 2 October 1516. IndonesiaKelemahan dan ketidakmampuan negara (yang juga didukung oleh berbagai teoriekonomi) menjadi dasar terbentuknya sintesa privatisasi ataupun keterlibatan swasta yangmembangun argumentasi mendukung kepemilikan swasta daripada publik11.Argumen dari pendukung privatisasi menyatakan bahwa perusahaan swasta cenderunglebih efisien dibandingkan dengan pemerintah dalam hal skala ekonomis, produktivitas pegawaiyang tinggi serta sedikitnya aturan yang membatasi. E.S. Savas dan Elliot Sclar dalam bukunyamenyalahkan pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah karena seringkali menerapkansistem monopoli dan ketidakmampuan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan warganegaranya atau masyarakat serta seringnya terjadi ketidakefisienan dalam pelayanan Johnson dkk (1995), Peraita dan Benson (1995) berpendapat sektor swasta dapatmenyediakan modal dan pengalaman untuk memastikan pengelolaan dan penggunaan air yangefisien. Pendukung privatisasi pun menyatakan bahwa meningkatnya keterlibatan swasta akanmenguntungkan penduduk yang belum terjangkau khususnya penduduk miskin (Finger danAllouche, 2002). Selain itu, sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi,terbuka bagi intervensi politisi, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen. Tarif rendahtidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin, yang ada malah mengabaikan pendudukmiskin. Pendukung keterlibatan swasta menyatakan swasta lebih efisien, apolitis dan tanggapkebutuhan. Regulasi yang independen, pemberian konsesi melalui proses yang kompetitif, akanmenghalangi penyalahgunaan kewenangan.Di lain pihak, tidak sedikit pula pihak yang menolak dilakukannya privatisasi air bersih.Argumen yang mendasarinya adalah bahwa sifat pelayanan yang dilakukan oleh pemerintahmemang tidak cocok apabila dilakukan oleh swasta/privatisasi. Mereka menganggap bahwakontrak yang dilakukan swasta dapat menimbulkan hidden-cost karena kurangnya informasi,perlunya pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas. Terdapat juga kondisi yang tidakmemungkinkan untuk menciptakan kompetisi bagi pelaksanaan oleh pihak ketiga, sehinggaprivatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan. Tidak ada indikasi bahwa perusahaanswasta lebih akuntabel. Justru, hal sebaliknya yang lebih cenderung terjadi. Privatisasi tidakmemiliki track record keberhasilan. Yang dimiliki privatisasi hanya risiko/bahaya dan kegagalan.Perusahaan swasta seringkali tidak memenuhi standar operasi, namun mengeksploitasi hargatanpa banyak menanggung konsekuensi.Sepanjang abad 20, pemahaman yang diterima publik adalah bahwa penyediaan airminum bersifat monopoli alamiah dan memberi manfaat bagi kesehatan masyarakat. Namunperlu diwaspadai bahwa monopoli swasta akan meningkatkan beban biaya dan mengabaikankepentingan kesehatan publik. Sektor publik harus memegang kendali untuk menghindaripenggunaan kekuasaan sewenang-wenang oleh swasta.11 Beberapa sintesa tersebut antara lain adalah teorema property rights, principal-agents, methodological individualism, dan public choice. Lebih lanjutlihat “Globalisasi Menghempas Indonesia” hal 133-140, Perkumpulan Prakarsa, 2006. 1617. IndonesiaPenentang keterlibatan swasta juga mengkritisi bahwa penyediaan kepentingan publikyang diberikan pada swasta tetapi cenderung bersifat monopoli alamiah akan mengarah padapenerapan tarif tinggi dan pelayanan terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar.Selain itu, dikatakan bahwa air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika swastamendapat keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Lebih ekstrimdikatakan bahwa perusahaan swasta mencuri air dunia (Barlow dan Clarke, 2003). Kotak 1.5Perlawanan terhadap Kebijakan Privatisasi Air di Indonesia Pada tanggal 9 Juni 2004, sekelompok organisasi masyarakat sipil dan individu mengajukan gugatan uji materil (judicial review) terhadap UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Gugatan ini merupakan bagian dari proses perlawanan (pada saat masih menjadi RUU, beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia, sudah melakukan serangkaian advokasi, lobby dan kampanye untuk menentang diundangkannya UU No.7 tahun 2004) terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia yang disusun melalui WATSAP (Water Resources Sector Adjustment Program), yang didanai dari pinjaman Bank Dunia sebesar US $ 300 juta. Penggugat berpendapat bahwa UU Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan dirancang sebagai legitimasi atas kebijakan privatisasi air di Indonesia. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 2005 MKRI memutuskan menolak permohonan uji materil tersebut. Tujuh dari sembilan hakim MKRI menolak permohonan penggugat sedangkan dua hakim lainnya menerima permohonan penggugat. Menariknya, meskipun MKRI menolak gugatan para penggugat, namun MKRI memberikan kesempatan ”conditionally constitutional” jika dalam pelaksanaannya UU Sumberdaya Air bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan MKRI. Bagaimanapun, hal ini merupakan sesuatu yang baru dimana biasanya keputusan MKRI bersifat final. Namun sayangnya mekanisme conditionally constitutional ini belum diatur dengan jelas oleh Mahkamah Konstitusi sendiri.2.4. Fakta Empiris PSP di Sektor Air Minum Menarik untuk disimak, seberapa besar keterlibatan sektor swasta di sektor air minum.Menurut World Bank12, dalam kurun waktu 1990-2006 terdapat 524 proyek (dalam berbagaimodel) keterlibatan swasta di sektor air di 58 negara.Tabel 2.Indi kator Penting Indikator, 1990-2007ValueJumlah Negara dengan keterlibatan swasta60Proyek yang terlaksana 58412 Lihat, http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4 1718. Indonesia Indikator, 1990-2007ValueWilayah dengan porsi investasi terbesarAsia Timur dan Pasifik (48%)Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi investasikonsesi (68%)terbesarTipe keterlibatan swasta berdasar porsi jenis konsesi (40%)proyek terbesarProyek dibatalkan atau dalam masalah53 yang menunjukkan 29% dari total investasiSumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar keterlibatan swasta dalam sektor airbaik dari sisi investasi maupun proyek adalah model konsesi. Namun, dalam 5 tahun terakhir(2003-2007) keterlibatan sektor swasta di sektor air lebih banyak dilakukan dalam greenfieldproject13, meskipun dari sisi nilai investasi dalam kurun waktu tersebut masih lebih besar modelkonsesi (tabel 3) Tabel 3. Jumlah Proyek Berdasar Bentuk Keterlibatan SwastaTahunKonsesi Divestiture GreenfieldKontrak Anggaran ProjectManjemen dan TotalLease199110 012199220 226199360 32 11199480 51 14199591 35 18199671 97 241997 162 912391998 181112 321999 137 810382000 281 55 392001 12113144013Greenfield project: A private entity or a public-private joint venture build and operates a new facility. This category includes build-operate-transfer andbuild-own-operate contracts as well as merchant power plants, http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf1819. IndonesiaTahunKonsesiDivestiture Greenfield Kontrak AnggaranProject Manjemen danTotalLease2002 243 89442003 121 2110442004 270 21 5532005 180 3211612006 152 2713572007 205 30 762Total 23625 207 116 584Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4 Dari sekian banyak proyek swasta di sektor air, dalam kurun waktu 2001-2004 terdapatlima perusahaan terbesar yang memiliki lebih dari 50 proyek penyediaan air di seluruh dunia(tabel 4). Namun menurut Izzaguirre dan Hunt (2005), “Sponsors from developed countries stillaccounted for a large share of investment flows. But they limited their investment to selecteddeveloping countries and sought to exit underperforming contracts. RWE Thames announcedthat it would withdraw from most regions while focusing on Central and Eastern Europe, VeoliaEnvironment that it would concentrate on selected Asian countries, and Suez that it would pullout of Asia and Latin America. The retrenchment by global sponsors in some cases facilitatedgreater activity by local and regional sponsors”. Selain itu Izzaguirre dan Hunt menyatakan“...local companies with little or no operational experience entered the water business. Oneexample is the Russian investment conglomerate Interros, which won the lease contract for thewater utility in Siberia’s Perm City. In Chile local investors (Grupo Solari, Consorcio Financiero,Grupo Luksic, and Icafal) won five of the six water contract in 2004...”Tabel 4.Lima Besar Perusahaan Air dan Air LimbahSkema Partisipasi Swasta di Negara Berkembang (2001-2004)1920. IndonesiaPerusahaa Proyek Investa Proyek per Wilayahn si (US$ AsiaEropaAmerika TimurAsiaSub- juta)Timur dan Asia Latin Tengah Selatan Saharadan Tengah dan danAfrikaPasifikKaribia Afrika UtaraSuez 17 1,05392 1 203EnvironmentVeolia 16 1,08886 0 002EnvironmentNew World 7 29270 0 000InfrastructureRWE Thames6 76231 2 000Berlinwasser6 13532 0 001InternationalTotal52 3,330 30 11 3 206Sumber: Bank Dunia, PPI Project DatabaseSituasi ini, coba dijelaskan oleh Ducci (2007)14 dengan mengambil kasus pada negara-negaraAmerika Latin, “Many of international water operators, which were operating water andsewerage services in Latin America, withdrew from the region during the first five years of thenew millennium. The study examines the causes and consequences of the withdrawalinternational water operators in 14 cases in five countries (Argentina, Bolivia, Chile, Uruguay,and Venezuela) as well as in Brazil, Colombia, and Mexico. The study finds different reasonsexplained the departure. For some international water operators, the withdrawal was driven bytheir refocusing in their local and regional markets. In these cases, the exit was planned withinvestments sold to local investors. In other cases, the exit resulted from changes in sectoralpolicies or social and political conflicts caused by tariff increases, perception of lack oftransparency in the biddings, among other problems. The study indicates that it is unlikely thatinternational operators return to the region in the short term, but local and regional operatorsare emerging and filling the gap”.Menurut Hall dan Lobina, satu alasan kunci untuk hal ini adalah karena negara-negaraberkembang tidak dapat memberikan tingkat pengembalian (rate of return) yang dibutuhkanoleh pemilik modal dari luar negeri. Sebuah studi yang dilakukan Bank Dunia menunjukkanbahwa tingkat pengembalian investasi infrastruktur di negara-negara berkembang, termasuk diair bersih, berada dibawah biaya modal.14Lihat, http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=62021. IndonesiaSecara keseluruhan, penyediaan layanan air bersih oleh swasta jumlahnya kecil.Menurut Stephenson (2005) dalam Ouyahia (2006) menyatakan bahwa “Of the total of the worldpopulation of 6 billion, only about 5 percent are served by private companies. Of (these) 290million people, 126 million are in Europe, 72 million in Asia and Oceania, 48 million in NorthAmerica, 21 million in South America, and 22 million in other countries”. Lebih lanjutStephenson mengatakan bahwa “ the water market represents about US$ 400 billion per yearinternationally, compared to US$ 1,000 billion per year for electricity “.Meskipun mengalami peningkatan cukup signifikan sejak tahun 1990-an, namunketerlibatan sektor swasta di sektor air tetap kecil jika dibandingkan dengan sektor publik. Only3 percent of the population in poor or emerging countries is supplied through fully or partiallyprivate operators (Winpenny, 2003). Hall dan Lobina (2006) menyatakan bahwa kota-kota besaryang berada di negara-negara berpendapatan kecil atau menengah penyediaannya didominasioleh sektor publik. Lebih dari 90% layanan air di kota-kota tersebut dilakukan oleh sektor publik– yang populasinya lebih dari 1 juta jiwa – Tabel 5.Porsi Kerjasama Pemerintah-Swasta di Pasar Air Perkotaan Negara OECD (dalam % dari penduduk yang terlayani)NegaraManajemen PublikManajemen SwastaJerman96 4Perancis20 80Inggris 1288Belanda100-Amerika Serikat 85 15Sumber: BIPE (2001), dalam Public-Private Partnerships in the Urban Water Sector, Policy Brief OECD, April 2003Tabel 5 menjelaskan perbandingan penyediaan layanan yang dilakukan oleh sektorpublik dan swasta di negara-negara OECD. Dari tabel tersebut terlihat bahwa Perancis danInggris merupakan negara dengan sebagian besar penyediaan layanan airnya dilakukan olehsektor swasta. Cukup menarik adalah Belanda yang 100% penyediaan layanan airnya dilakukanoleh sektor publik, namun pada sisi lain Belanda merupakan salah satu negara yang mendorongketerlibatan swasta dalam penyediaan air terutama di negara-negara berkembang.Lebih spesifik studi-studi yang terkait keterlibatan swasta dalam di sektor airmenunjukkan hasil yang beragam. Ouyahia (2006) menyatakan studi-studi yang telah dilakukan2122. Indonesiamenggunakan pendekatan yang berbeda. Lebih lanjut Ouyahia, mengutip Renzetti dan Dupont(2004) menyatakan bahwa studi-studi yang sudah dilakukan (Morgan; 1977, Crain danZardkoohi; 1978) menunjukkan bahwa utilitas air swasta secara rata-rata memiliki biaya yanglebih rendah. Namun studi lain (Bruggink;1982, Feigenbaum dan Teeples;1983, Teeples danGlyer;1987) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan biaya antara publik dan swasta atauutilitas publik memiliki biaya yang lebih rendah. Studi lain menggunakan pendekatan produktivitas seperti yang dilakukan oleh Saal danParker (2001) (dalam Ouyahia, 2006). Keduanya mengukur kinerja industri air dan air limbah diInggris sebelum dan sesudah privatisasi dengan menggunakan indikator tenaga kerja dan totalfactor productivity. Keduanya menemukan bahwa meskipun produktifitas tenaga kerjameningkat namun total factor productivity menurun yang berarti bahwa privatisasi menghasilkanpengganti. Keduanya juga menemukan bahwa privatisasi menghasilkan keuntungan yang lebihtinggi tetapi keuntungan efisiensinya sedikit.Orwin (1999) dan Houstma (2003)15, keduanya menunjukkan bahwa secara rata-rataperusahaan swasta menetapkan harga yang lebih tinggi dibanding publik baik di Perancismaupun California. Studi yang dilakukan oleh Ballance dan Taylor (2005) 16 yang melakukansurvei terhadap 5000 municipal dan mencakup 68% penduduk di Perancis, menunjukkanbahwa “...on average, water delivered by private companies is 27% more expensive than thatdelivered by public operators...”.Studi lain dilakukan oleh ECLAC (1998) yang mencoba membandingkan kesuksesandan kegagalan pendekatan privatisasi di Meksiko, Venezuela, dan Chile, menyimpulkan bahwakegagalan di Venezuela disebabkan kurangnya pemahaman terhadap sistem privatisasisehingga menghasilkan kebijakan yang kurang sesuai. Selain itu, sektor publik tidak mempunyaikapabilitas memadai untuk mengawasi swasta. Pemantauan ketat yang dibutuhkan untukmemastikan swasta memenuhi kewajibannya tidak dilaksanakan. Sebaliknya, keberhasilan diChile disebabkan penerapan standar baku dan badan regulasi independen. Pada kasusMeksiko, keberhasilan ditunjang oleh minat dan keterlibatan industri swasta dalam penyediaanair dan sekaligus mempertahankan ketersediaan air bagi kebutuhan industri masing-masing Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di Aguascalientes,Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada beberapa aspek, keterlibatanswasta menguntungkan khususnya dalam bentuk peningkatan efisiensi dan akses, (ii) padaaspek keberlanjutan kurang mendapat perhatian seperti meningkatnya kesenjanganpendapatan. Khususnya dalam kondisi monopoli, dan keterbatasan sumber air, besarkemungkinan penduduk miskin akan mengalami kesulitan.Surjadi (2003) yang melakukan studi terhadap privatisasi air di Jakarta menyatakan“One effect of privatization, which our interviews highlighted, is two years after theimplementation of the PSP, the majority of the respondents perceive the flow and the quality ofdrinking water to be the same as before privatisation...These data indicate that expectation of15Orwin, A 1999. Privatization of Water and Wastewater Utilities: An International Survey”. Toronto: Environment Probe dan Houstma, J. 2003. “WaterSupply in California: Economic of Scale, Water Charge, Efficiency, and Privatization.” Mimeo, Mount Allison University.16 Ballance,T. and A.Taylor.2005. Competition and Economic Regulation: The Future of the European Water Industry. IWA Publishing, London UK2223. Indonesiathe improvement of flow of the drinking quality of the water is still high but has yet to befulfilled”. Pada studi yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di negaraberkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien (Estache,1999). Namun dalam publikasi selanjutnya Estache menyimpulkan bahwa “The results showthat efficiency is not significantly different in private companies than in public ones”17.Studi-studi lain mencoba melihat latar belakang keterlibatan swasta dalam penyediaanlayanan air bersih. Dalam salah satu kesimpulannya, Shofiani (2003) menyatakan bahwa“Financial difficulties and low level of service delivery as a motives to privatise Jakarta waterutility is proved inaccurate. PAM Jaya in fact had a status of self reliance. The Jakarta waterprivatisation is related to IFIs involvement, i.e ADB, IMF and the World Bank. The IFIs provideloans on water sector reformation that give limited room for domestic policy choices.”. Ouyahiamenyatakan “In Latin America, privatization was launched mainly because of heavy politicalcontrol of public utilities in more countries and goverment corruption. Privatization anddecentralization have been at the centre of the structural reform process over the last 20years”. Sedangkan Finger dan Allouche (2002) menyatakan “Because of financial pressure,more than 30 African countries have decided to let the private sector operate and invest in theirwater infrastructure”.2.5 Beberapa Isu Penting terkait dengan PSP2.5.1 PSP dan Kemiskinan Kehadiran PSP dalam penyediaan layanan air bersih sering dikaitkan denganpengurangan kemiskinan. Sektor swasta dipandang sebagai sosok yang paling pantas atasketerbatasan dana investasi, peningkatan kualitas dan perluasan akses layanan, termasukmemberikan layanan terhadap kelompok masyarakat miskin untuk mendapatkan air. Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga caraprivatisasi sehingga mempunyai dampak pada kesejahteraan penduduk miskin. Pertumbuhanekonomi. Pertama, investasi infrastruktur merupakan faktor penting dalam pertumbuhanekonomi, yang kemudian menjadi pendorong utama bagi pengurangan kemiskinan. Kedua,pengurangan pegawai. Langkah pertama privatisasi adalah peningkatan efisiensi dankeuntungan melalui pengurangan pegawai. Dalam jangka panjang langkah ini menghasilkanpertumbuhan ekonomi. Ketiga, realokasi pengeluaran publik. Secara konvensional, infrastrukturmenyerap dana pemerintah dalam jumlah besar untuk menutup subsidi dan membiayaipembangunan. Privatisasi mengurangi pengeluaran pemerintah pada kegiatan yang tadinyadibiayai pemerintah sehingga tersedia dana untuk membiayai kegiatan lain. Lebih lanjut menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro, privatisasimempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu:(i)Akses.Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut:17 Lihat, Hall dan Lobina, The Relative Efficiency of Public and Private Sector”, PSIRU, 20052324. Indonesia a. Peningkatan biaya sambungan.Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang sewajarnya setelahsebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh karena itu, biaya sambungankemungkinan tidak terjangkau oleh penduduk miskin kecuali disediakan pilihanmembayar bertahap. b. Pengurangan insentif.Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, aksesrendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendahdan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi keinginan swasta melayani pendudukmiskin.(ii) Keterjangkauan. Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.a. Peningkatan tarif.Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga perluditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi telah efisien danregulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat kemungkinan tarif akan menurunsetelah beberapa waktu.b. Pembayaran diformalkan.Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan sambungan liar.Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya, banyak penduduk miskinkemudian mulai membayar sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini bukan sesuatu yangburuk dengan mempertimbangkan bahwa sambungan liar cenderung tidak stabil,bahkan membayar lebih mahal pada ‘mafia air’.c. Peningkatan kualitas.Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada konsumen,yang kemungkinan membebani penduduk miskin.Namun dalam kenyataannya, kehadiran PSP tidak selalu seperti yang digambarkanoleh Estache. Perusahaan swasta, cenderung melakukan “cherry picking”, dimana perusahaanswasta hanya akan hadir pada area yang menjanjikan keuntungan dan menghindari area yangtidak menguntungkan seperti area kumuh, pedesaan, dimana secara topografi sulit, konsumsiair per kapitanya rendah, dan pendapatan masyarakatnya juga rendah. Meskipun terdapatdalam kontrak, sangat jarang ada perusahaan swasta yang mampu memenuhi kewajibankontrak ini (Swyngedouw, 2003 dan Castro, 2004:342), kecuali jika terdapat insentif yangcukup besar seperti dalam bentuk pembayaran kompensasi, pemberian subsidi daripemerintah, pengurangan atau pembebasan pajak (Hardoy dan Schusterman, 2000: 68).Estache sendiri, memahami ini dengan mencoba melihat privatisasi dalam kacamata ekonomi2425. Indonesiamikro dengan menyebutnya sebagai pengurangan insentif dimana penduduk miskin biasanyaberlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah, tak aman) sehingga biayalayanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal inimengurangi keinginan swasta melayani penduduk miskin. Situasi ini juga digambarkan olehKessler (2004), yang menyatakan ...government services sometimes lose money because theysubsidize prices for a large number of poor people. Because privatization inevitablycommercialized prices through user fees, government maybe forced to keep subsidies for thosewho can’t afford market prices. In other words, private provision may still require publicsubsidies.Dalam studinya, Guiterez (2003) berpendapat bahwa untuk dapat bermanfaat bagimasyarakat (terutama masyarakat miskin), PSP membutuhkan peningkatan kapasitas,partisipasi masyarakat, dan peran serta aturan baru diantara stakeholders. Sedangkan menurutEsteban Castro (2005), kebijakan neo-liberalisme yang diterapkan di sektor air dan sanitasi(WSS) sejak awal 1980-an tidaklah bertujuan untuk memperluas layanan terhadap masyarakatmiskin. Retorika pro-poor baru dimasukkan dalam kebijakan WSS pada tahun 1990-an,sebagai hasil dari meningkatnya protes dari masyarakat di negara berkembang dan gagalnyaproyek-proyek privatisasi WSS di Eropa dan Amerika. Kebijakan PSP tidak hanya gagal dalammemberikan pelayanan atas air dan sanitasi terhadap masyarakat miskin, akan tetapi jugamemperdalam kesenjangan kekuasaan yang berasal dari melemahnya kontrol negara,pemerintah lokal, dan kapasitas dari masyarakat sipil untuk melakukan kontrol demokrasiterhadap monopoli sektor swasta terhadap air, terutama di negara-negara berkembang.Pandangan yang meragukan PSP terutama terkait dengan pengurangan kemiskinan,juga diungkapkan oleh Prasad N (2006) yang menyatakan bahwa “...experiences of PSP inwater supply worldwide demonstrate that there is conflict between social development, publichealth, environment concerns and poverty reduction on the one hand and the motive of profitmaximizing of the private sector on the other hand. ...The PSP in water supply which is mainlybased on commercial and profit motives may not achieve the benefits it was supposed to bringto the poor”. Dalam kajiannya, Global Water Intelligence (2005), menyatakan bahwa Multi-National Companies (MNCs) tidak tertarik terhadap negara-negara berpendapatan rendahdimana terdapat ketiadaan kesinambungan secara komersial dalam penyediaan air. Dengankata lain, dalam perspektif sektor swasta, negara-negara berpendapatan rendah danmasyarakat miskin tidak menarik dan memiliki tingkat resiko yang tinggi.2.5.2 Pembiayaan Air dan PSP Pembiayaan menjadi salah isu penting dalam penyediaan layanan air, terlebih setelahakses terhadap air dan sanitasi menjadi salah satu target yang harus dicapai dalam MDGs.Untuk mencapai target 10 MDGs, sekitar 1,6 milyar orang harus memperoleh sambunganterhadap air bersih antara tahun 2006-2015 dan 2,1 milyar orang untuk sanitasi 18. Dalamkerangka tersebut, investasi yang dibutuhkan diperkirakan berkisar antara US$ 51 milyar18Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement,2006 2526. Indonesiasampai dengan US$ 102 milyar untuk air bersih dan US$ 24 milyar sampai dengan US$ 42milyar untuk sanitasi19. Tabel 6.Jumlah Penduduk yang Perlu Mendapat Akses Sesuai Target Air dan Sanitasi MDGs Tahun 2015Jumlah Penduduk yang MemperolehJumlah Penduduk yangAkses Air Minum (juta)Memperoleh Akses SanitasiDasar (juta) PerkotaanPerdesaan Total PerkotaaPerdesaa TotalWilayah nnSub-Sahara Afrika 175184359 178 185 363Timr Tengah dan 104 30134 105 34140Afrika UtaraAsia Selatan243201444 263 451 714Asia Timur dan290174465 330 376 705PacifikAmerica Latin dan 121 20141 132 29161KaribiaEropa Tengah dan270 2724 024TimurTotal 961 6091.571.032 1.076 2.1080Sumber: UN Millenium Project (2005), dalam Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Investin Water Services in Developing Countries, World Development Movement, 2006Besarnya investasi yang dibutuhkan, membuat banyak pihak percaya bahwa partisipasiswasta menjadi penting dalam penyediaan layanan air. Menurut Braadbaart (2001) “There aretwo arguments for privatizations: the fiscal argument that privatization will relieve government ofthe burden of investment financing and the efficiency argument taht performance will improveunder private ownership”. Pendapat lain disampaikan oleh Palmer dkk (2003), “why do we needthe private sector to be involved at all ? Government and government-controlled para-statalsrarely deliver services cost-efectively for the reasons noted earlier. Nor can governments usuallyraise the finance needed to expand the service provision. Involvement of the international watercompanies (on an appropriate basis) can serve to facilitate cost-effective delivery of services. Itcan also facilitate mobilising long-term finance. Participation on a risk sharing basis of the19 Ibid 2627. Indonesiainternational water companies enhances the confidence of the providers of finance thatinvestment programmes will be implemented eficiently”. Keniscayaan atas keterlibatan sektor swasta sebagai “juru selamat” atas persoalanpembiayaan air bersih, menempatkan kebijakan PSP menjadi “mantera wajib” terutama dibanyak negara berkembang. Seperti yang dikatakan oleh Clare Short (2002) “Privatization is theonly way to get the investment that (poor) countries need in things like banking, tourism,telecommunications and services such as water under good regulatory arrangements.Sedangankan Hilary Benn (2006) mengatakan bahwa “Clearly there needs to be significantlyincreased public investment (in order to meet the MDGs) – making water and sanitation apriority of national plans in developing countries. There needs to be a recognition private sectorinvestment may have a role too.Menurut data Bank Dunia, total investasi swasta di berbagai proyek air minum dalamkurun waktu 1991-2006 adalah US$ 57.159 juta, dengan puncaknya terjadi pada tahun 1997(tabel 7). Meskipun setelah tahun 1997, investasi swasta terus menurun (ditandai denganbanyaknya perusahaan swasta terutama MNCs yang menarik diri), namun menurut Izaguirre danMarin (2006), situasi ini tidak berarti aktivitas swasta di sektor air bersih telah berakhir.Masuknya pemain baru yang berasal dari perusahaan nasional dan regional dipandang sebagaikecenderungan positif dari keterlibatan swasta dalam layanan air bersih. Lebih lanjut Izaguirredan Marin, mengatakan “ So what we are seeing today is not a backlash but a naturalmaturation of the market following an initial boom. Now more aware of the benefits and risksinvolved, stakeholders are looking for contractual arrangements best suited to each country’ssituation”.Tabel 7.Jumlah Investasi berdasar Tipe Keterlibatan Swasta (US$ Juta) 2728. Indonesia Tahun InvestasiKonsesi Jual Penuh(Divestiture) GreenfieldprojectPengelolaandan Kontrak Sewa-Beli Total19917500075199228400028419936.465016406.6291994966038001.34619951.5632829. IndonesiaSumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4 Pendapat lain disampaikan oleh Hall dan Lobina (2006), dalam publikasinya yangditerbitkan oleh PSI dan World Development Movement (WDM)20, dimana: 1. Sebagian besar kontrak swasta untuk kontrak manajemen dan lease tidak melibatkan investasi badan usaha swasta sama sekali untuk perluasan sambungan untuk rumah yang belum tersambung pada jaringan air bersih. 2. Kontrak konsesi melibatkan investasi badan usaha swasta untuk perluasan jaringan.Tetapi komitmen investasi yang telah disepakati mengalami perubahan, dibatalkan atautidak mencapai target. 3. Untuk sebagian kontrak privatisasi, pembiayaan publik atau jaminan dari pemerintahatau bank pembangunan menjadi hal yang terpenting untuk mendatangkan investasiswasta yang nyata, khususnya menyambung jaringan air bersih untuk komunitas miskin. 4. Perusahaan air swasta tidak membawa sumber dan volume pembiayaan investasi tetapimereka juga sangat bergantung pada sumber yang sama dengan sektor publik.Pembiayaan air oleh sektor swasta juga diragukan, sektor swasta pada dasarnya jugamenggunakan sumber pembiayaan yang sama dengan sektor publik. Hal ini terjadi karenasektor swasta beranggapan bahwa terlalu beresiko untuk berinvestasi di negara berkembangdengan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Dalam tulisannya, Prasad N (2005)mengatakan bahwa “To overcome some of these insufficiencies, the private sector prefers torely on subsidies, soft loans, and a renegotiation of the contractual agreement in order toprovide service to the poor. In other words, the private sector is using the same sources of fundsas the public sector, such as loans from bilateral and multilateral donors, aid money, and moneyfrom customers through tariffs. In general, and as evidence suggest, it is public funds thatsupports the private sector in providing services to the poor”.20Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement,2006 2930. IndonesiaBAB IIIFakta Sekitar PSP di Indonesia3.1. Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia Seperti negara berkembang lainnya, sistem penyediaan air minum di Indonesiakebanyakan merupakan warisan kolonial. Sebagai contoh PDAM Kota Semarang yang didirikanpada tahun 1911, PDAM Kota Solo yang didirikan pada tahun 1929, PDAM Kota Salatiga tahun1921, dan PAM Jaya yang sudah berdiri sejak tahun 1843. Tahapan selanjutnya cikal bakalPDAM ini menjadi bagian dari Dinas Pekerjaan Umum dan baru pada sekitar tahun 60-an dan70-an berubah menjadi PDAM. Sejak awal tahun 1970 an sampai dengan tahun 1990 an (khususnya selama Pelita III1979-1984 dan Pelita IV 1984-1989), pemerintah pusat memegang peran aktif dalampembangunan infrastruktur bidang air minum secara luas di seluruh Indonesia. Targetnya adalahmemenuhi kebutuhan dasar air minum 60 liter/orang/hari dengan cakupan layanan 60% didaerah perkotaan. Pembangunan infrastruktur pemerintah pusat tersebut dimaksudkan sebagaimodal awal yang pada tahap selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan oleh PDAM danPemerintah Daerah setempat .Selama Pelita III pemerintah mulai melakukan kerja sama dengan lembaga keuanganinternasional dalam bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan investasi di sektor air minumperkotaan. Model pendekatan pembangunan dan standar teknis pengelolaan dirumuskan olehpemerintah pusat. Pembangunan prasarana dan sarana air minum dilaksanakan olehDepartemen Pekerjaan Umum. Untuk kota kecil dengan penduduk kurang dari 50.000 jiwapengelolaannya dilakukan dengan membentuk BPAM (Badan Pengelola Air Minum) yangbersama-sama dengan pemerintah daerah diharapkan dapat dikembangkan menjadi PDAM.Keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia, mulai terjadi padatahun 90-an, seiring dengan semakin menurunnya peran pendanaan dari pemerintah pusat.Proyek PSP pertama adalah BOO Serang Utara pada tahun 1993, kemudian kontrak konsesi diPulau Batam oleh PT. Aditia Tirta Batam (ATB) pada tahun 1996. Pada tahun 1998, pekerjaanserupa dilakukan oleh PT Palyja di Jakarta bagian barat dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) diJakarta bagian timur.Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, namun pada saat itu kerangkahukum yang mengatur keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih belummencukupi. Peraturan perundangan yang mengatur keterlibataan swasta pada saat itu hanyalahUU Penanaman Modal Asing dalam Pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967i jo Undang-UndangNo. 11/1970 yang mengatur secara tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkuthajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal lain3031. Indonesiatermasuk modal asing dan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Sahamdalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Baru pada tahun 2000, pengaturan yang lebih jelas tentang keterlibatan swasta dalampenyediaan air bersih disusun melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 96 tahun 2000 21tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan PersyaratanTertentu Bagi Penanaman Modal, dimana dumungkinkan bagi modal asing untuk melakukanusaha dalam bidang yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orangbanyak termasuk air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95%saham dari perusahaan tersebut - dalam perkembangannya Keppres No.96 tahun 2000 inidirubah menjadi Keppres No.118 tahun 2000. Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang SumberDaya Air, yang merupakan salah satu hasil dari reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia(lihat kotak 3.1). Dengan adanya UU ini, keterlibatan swasta di sektor air semakin dipertegas.Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air Pada saat hampir bersamaan dengan mulainya keterlibatan swasta, sektor sumberdaya air di Indonesia sedang mengalami tekanan luar biasa, akibat ketidakmampuan mempertemukan akibat meningkatnya pertumbuhan dan berbagai permintaan akibat meningkatnya jumlah penduduk. Paradigma kebijakan sumberdaya air di Indonesia juga dipandang sudah kadaluwarsa, sehingga pada tahun 1993 muncul draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020) yang merupakan hasil studi yang disponsori oleh FAO dan UNDP. Tanpa sebab yang jelas, draft rencana aksi ini ”menguap” begitu saja, sampai kemudian pembahasan terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia dimulai kembali pada sekitar tahun 1997. Melalui rangkaian seminar dan diskusi yang diinisiasi oleh Bappenas dihasilkan sejumlah visi pengelolaan sumber daya air yang terkait dengan perubahan pendekatan, yakni dari pendekatan sisi pasokan menjadi sisi permintaan; perubahan cara pandang terhadap air, yakni air tidak hanya dilihat sebagai barang publik tetapi juga barang ekonomi; dan menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengelolaan air.21Dalam konteks ini pada dasarnya terjadi kerancuan regulasi dimana pada tingkatan UU (UU No.II tahun 1970) mengatur secara tegas bahwa kegiatanekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal lain termasuk modalasing. Namun, pada PP No.20 Tahun 1994 dan Keppres No.96 Tahun 2000 dimungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidangyang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak khususnya dalam hal ini air minum dimana pemilik modal asingdimungkinkan untuk memiliki 95% saham dari perusahaan tersebut.3132. IndonesiaKotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya AirKrisis ekonomi tahun 1997, ”memaksa” Indonesia untuk berada di bawah program penyehatanyang dipimpin IMF, dan melaksanakan kerangka kerja dan kebijakan ekonomi makro yang tertuangdalam Memorandum of Economic and Financial Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI), yangkali pertama ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1997 antara Pemerintah Indonesia dan IMF.Sejumlah agenda reformasi kebijakan dan institusional dilaksanakan berdasarkan: a) manajemenekonomi makro; b) restrukturisasi finansial dan sektor bisnis; c) proteksi terhadap kaum miskin; dand) reformasi institusi ekonomi. Strategi dan program untuk melaksanakan agenda tersebutdimatangkan sepanjang tahun 1998 bekerja sama dengan Bank Dunia, ADB dan sejumlah kreditorbilateral. Bank Dunia pun mengeluarkan Policy Reform Support Loan (PRSL) pada bulan Juni 1998,kemudian disusul dengan PRSL II yang mencantumkan rencana untuk memperbaiki pengelolaansumber daya air Indonesia, sebagaimana tertera dalam Matrix of Policy Actions PRSL II.Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul pada akhir 1997. Ketika itusebuah tim kerja sektoral Bank Dunia menyimpulkan bahwa Bank Dunia tidak dapat memberikanbantuan lebih lanjut untuk sektor sumber daya air dan irigasi Indonesia, jika tidak ada perombakanbesar-besaran pada sektor tersebut. Perlunya perombakan ini sebenarnya sudah diidentifikasi olehpihak Bank Dunia saat dialog sektoral antardepartemen yang diadakan Bappenas pada 1997 dalamrangka penyusunan Repelita VII. Dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998, BankDunia menawarkan kepada Pemerintah Indonesia sebuah pinjaman program untukmerestrukturisasi sektor sumber daya air, yaitu WATSAL. Pinjaman program ini menjadi bagian darikeseluruhan pinjaman untuk mereformasi kebijakan ekonomi makro Indonesia yang sifatnya “cepatdicairkan” supaya dapat menutupi defisit neraca pembayaran, seperti juga tertera dalam dokumenCountry Assistance Strategy (CAS) Progress Report untuk Indonesia, Juni 1999. Dokumen inimerupakan revisi dari CAS Indonesia yang dikeluarkan Juni 1997, ketika Indonesia mulai dilandakrisis ekonomi.Tawaran tersebut diterima oleh Pemerintah Indonesia. Bappenas kemudian membentuksebuah tim khusus terdiri dari sejumlah staf pemerintah dan organisasi nonpemerintah untukmenyusun sebuah matriks kebijakan bersama dengan tim dari Bank Dunia. Tim ini, melaluiKeputusan Menteri tertanggal 2 November 1998, resmi menjadi Tim Pengarah Nasional ProgramPembangunan Bidang Sumber Daya Air (Task Force for Reform of Water Resources Sector Policy)yang berada di bawah Bappenas dan Kementrian Infrastruktur dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil).Tim yang lebih dikenal sebagai Kelompok Kerja WATSAL ini, bersama dengan dirjen-dirjen terkaitdan Tim Koordinasi Pemerintah/Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, menandatanganiLetter of Sector Policy yang mencakup matriks kebijakan yang disusun oleh Kelompok KerjaWATSAL. Selain itu, Kelompok Kerja WATSAL juga membuat sebuah Rencana Implementasi WATSALyang berisi tahapan proses dan jadwal dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam MatriksKebijakan. Rancangan itu diserahkan kepada Bank Dunia pada 29 Maret 1999 sebagai panduanmereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi.Surat perjanjian pinjaman sebesar US$ 300 juta ditandatangani pada 28 Mei 1999 denganjangka waktu pengembalian 15 tahun dan grace period selama tiga tahun. Pencairan pinjamandilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dicairkan pada bulan Mei 1999 sebesar US$ 50 juta.Tahap kedua sebesar US$ 100 juta, yang semula direncanakan untuk dicairkan akhir 1999, barubisa cair pada bulan Desember 2001, karena pada masa itu terjadi pergolakan politik danpergantian pemerintahan di Indonesia. Sedangkan agenda WATSAL tahap ketiga, akan dicairkan jikaRUU Sumber Daya Air telah disahkan.Sumber: “Kemelut Sumberdaya Air”, 2005, KRuHA dan Lappera 3233. Indonesia3.2Pengalaman PSP di Indonesia Akses masyarakat terhadap air bersih secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaituair perpipaan dan air non perpipaan baik yang terlindungi maupun tidak terlindungi 22 . Sampaidengan tahun 2006, hanya 18,4% rumah tangga yang dapat mengakses air perpipaan yangterdiri dari 30,8% di daerah perkotaan dan 9% di daerah pedesaan (lihat tabel 3.1) Tabel 3.1Akses Masyarakat Terhadap Air Perpipaan di Pedesaan dan Perkotaan Sumber Air PerpipaanTahun Perkotaan (%) Pedesaan (%) 2000 36,2 6,9 2006 30,89Sumber: Laporan Pembangunan Millenium Tahun 2007Penyediaan air perpipaan biasanya dilakukan oleh PDAM. Namun, dari sekian banyakPDAM tersebut sedikit sekali yang berada dalam kondisi sehat, sedangkan yang lainnya beradadalam kondisi kurang sehat, tidak sehat dan kritis (Gambar 3.1). Buruknya kondisi yang dialamioleh sebagian besar PDAM tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi antara hutangyang sudah mencapai lebih kurang Rp 6 triliun, tingkat kebocoran air rata-rata 40 %, tarif yanglebih rendah dari biaya produksi dan sebagainya. Gambar 3.1 Kondisi Keuangan 260 PDAM sampai dengan Agustus 200722 Sumber air yang tidak terlindungi artinya jarak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja kurang dari 10 meter sehingga kemungkinan besarterkontaminasi limbah tinja. Air dengan sumber terlindungi adalah air dengan kualitas sumber air yang mempertimbangkan konstruksi bangunansumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat. Jarak yang layak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja terdekat adalahlebih dari 10 meter, sedangkan air perpipaan adalah air dengan kualitas yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibandingkan sumber air lainnya.3334. IndonesiaSumber: BPSPAM per Agustus 2007, dikutip dari presentasi Direktorat Pemukiman dan Perumahan Bappenas, dalamdiskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Water Dialogue, 24 Juli 2008Situasi buruk yang hinggap dalam institusi penyedia layanan air bersih di Indonesiakhususnya air perpipaan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi keterlibatan sektor swastadalam penyediaan layanan air minum, seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi padatingkatan global. Sektor swasta dipandang akan mampu menutup kesenjangan investasi yangterjadi akibat berbagai persoalan yang dihadapi dalam pembangunan air minum, danketerbatasan pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah.Sampai dengan tahun 2006, terdapat 25 proyek PSP di Indonesia dimana sebagianbesar proyek PSP tersebut adalah model BOT dengan beberapa kontrak konsesi sepertiJakarta, Batam dan Palembang. Hal lain yang juga cukup menarik adalah sebagian besarkerjasama tersebut berada di daerah industri dan kota besar (lihat Tabel 3.2)Tabel 3.2Partisipasi Swasta dalam Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih di IndonesiaNoKotaTotalPeriodeInvestorInvestasiKontrak (juta US$) 1BOT Medan52000-2025Lyonnaise Des Eaux 2Konsesi Batam 100 1996-2021Cascal dan BangunCipta Sarana 3BOT Jambi21996-2001PT. Noviantama 4Konsesi Palembang51998-2003 PT. Bangun Cipta Sarana 5BOT Pekanbaru 102005-2020 PT. DAPENMA 6BOO Serang Utara 5 1993 PT. Sauh BahteraSamudra3435. IndonesiaNo Kota Total PeriodeInvestorInvestasi Kontrak (juta US$) 7Konsesi Jakarta Bagian Barat225 1997-2022PT. Palyja 8Konsesi Jakarta Bagian Timur225 1998-2023PT.TPJ 9JO Cisadane-1998-2003Tirta Cisadane 10 BOT Serpong 2,5 1997-2022 Bintang Jaya 11 BOT Lippo Karawaci101999-2024 Lippo Karawaci 12 BOO Bintaro Jaya101990Pembangunan Jaya 13 BOT Cikampek0,5 2000-2025 - 14 BOO Bekasi101993 Kemang Pratama 15 BOO Hyundai Indutrial Estate 51994PT. Hyundai 16 BOO Kota Legenda2,5 1995PT. Cikarang Permai 17 BOO Bukit Indah 101998PT. Bukit Indah 18 BOT Subang2,5 2005-2025 PT. MLD 19 Up Rating Gajah Mungkur22006-2026PT. Tirta GajahMungkur 20 BOT Bawen 102004APAC Inti 21 BOT Sidoarjo2,5 1998-2003PT. Vivendi 32005-2030 PT. Hanarida 22 BOT Denpasar101995-2020 PT. Tirta Artha Buana 23 BOT Samarinda52004-2029WATTS 24 BTO Banjarmasin52005-2010PT. Adhi Karya 25 BOT Tangerang-2006-2031 Gadang BerhadSumber: BPP SPAM3536. IndonesiaKotak 3.2 Konsesi Air di JakartaDari sekian banyak proyek PSP di Indonesia, kontrak konsesi Jakarta yang dilakukanoleh PT. Palyja dan PT. AERTA (sebelumnya TPJ) merupakan yang paling fenomenal, baik dariproses maupun kinerja kedua operator swasta tersebut. Tabel di bawah ini menunjukkantarget teknis dan realisasi kedua operator air swasta di Jakarta, dari tahun 2003-2007. Tabel 3.3 Kinerja Palyja 2003-2007PALYJA Satuan 2003 2004 2005 2006 2007TARGET(PKS2004)UFW %44,8842,4838,9537,1535,40Cakupan%51.0 57.0 63.0 69.0 75.0PelayananJumlahPelanggan329.987340.987351.987361.987371.987sambunganAir terjual juta m3131,31 134,40 138,70 143,00 146,93 REALISASIJumlahOrang4.362.7144.371.2524.382.7644.387.3204.414.993pendudukUFW %44,9346,8650,5949,0447,60 Cakupan%52,1853,7454,5555,4958,99Pelayanan Jumlah Tabel 3.4Pelanggan329.987337.640 344.368 351.230377.765sambunganKinerja PT. TPJ 2003-2007 Air terjualjuta m3131,31 127,34 129,34 130,04 130,26TPJ Satuan 2003 2004 20052006 2007TARGET(PKS2005)UFW %44,36 48,2444,5542,5840,59Cakupan%64,40 66,8069,2071,6074,00PelayananJumlah Pelanggan360.469368.25 379.032 387.158395.253sambunganair terjualJuta m3142,79 143,57144,00146,28 148,47 REALISASIJumlahOrang 4.148.2594.195.666 4.245.4724.297.7484.352.566pendudukUFW %44,36 48,2449,5852,5653,15 Cakupan%65,59 67,0666,4567,2666,08Pelayanan36 Jumlah Pelanggan360.469368.25 364.551 374.211 377.79sambungan Air terjual Juta m3142,79 143,57 137,74131,82 122,50Sumber: PAM Jaya37. Indonesia3.3Kerjasama Publik-Publik3.3.1 Kerjasama Swasta-Publik Non Profit 23 : Kerjasama Perusahaan PublikBelanda dan Beberapa PDAM Sejarah panjang keterlibatan perusahaan air minum Belanda (Dutch Water Companies,sebuah perusahaan publik) di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1980-an melalui twinningprogram dalam bentuk proyek konsultansi dan peningkatan kapasitas. Hasilnya hanya terlihatdalam jangka pendek dan kemudian masalah yang sama kembali terulang. Pada akhir 1990-an,kerjasama ditingkatkan dengan memasukkan investasi sebagai tambahan dalam satu paketdengan bantuan teknis. Kerjasama jangka panjang dipandang lebih berkelanjutan dan efektif(Soussan, 2000).Sejak dicanangkannya Millenium Development Goals (MDGs), Pemerintah Belanda,melalui The Directorate General for International Cooperation, Dutch Ministry of Foreign Affairs(DGIS), kemudian berkomitmen untuk membantu pencapaian target MDG tersebut. Komitmentersebut akan dipenuhi oleh pemerintah Belanda melalui kerjasama dengan perusahaan airminum Belanda, konsultan teknik, dan organisasi lainnya.Pemerintah Belanda mempersyaratkan bentuk kerjasama publik dan swasta ditandaidengan kontribusi keuangan, berbagi resiko, tanggungjawab dan manfaat dari masing-masingpihak. Sehingga publik dan swasta merupakan mitra sejajar dalam pencapaian pembangunanberkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan di negara berkembang.Tahun 2004,pemerintah Belanda bekerjasama dengan WMD dan WFI kemudianmeluncurkan proyek percontohan “Public-Private Partnership Water Sector” (P3SW), dengandukungan keuangan dari pemerintah Belanda. Pendekatan yang diterapkan berbasis bisnis tapinir laba, sehingga disebut juga Public-Private Partnership Non-Profit. Model kerjasama ini padadasarnya bagian dari usaha pelaku publik mencapai sasaran sosial dengan bekerjasama dengan23Sebagian besar bahan dikutip dari hasil riset Budhi Yonanta Bahroelim, Public-Private Partnerships Non-Profit in Water Services: Case Studies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007.3738. Indonesiapelaku swasta yang bertujuan memperlebar pasar luar negeri. Bentuk baru kerjasama inimengarah pada lahirnya kerjasama publik swasta nir laba.A. Proyek Kerjasama dengan WMDMelalui proyek P3SW, WMD dikontrak untuk menyediakan air minum bagi 2,4 jutapenduduk di 10 kota Indonesia Timur, dan mengurangi kebocoran air dari 50 persen menjadi 15persen dalam jangka waktu 15 tahun. Dibutuhkan 120 juta Euro. Untuk 5 tahun pertama,investasi WMD mencapai 3,5 juta Euro dan kontribusi DGIS 7,5 juta Euro. Seluruh investasi akandikelola oleh Water Fund East Indonesia Foundation. Saat ini telah terlaksana kerjasama dengan 6 PDAM yaitu Ambon dan Seram (PropinsiMaluku), Manado dan Tomohon (Propinsi Sulawesi Utara), Biak dan Sorong (Propinsi Papua).Sebenarnya WMD telah memulai bentuk kemitraan ini di Ambon dan beberapa kota lainnya diIndonesia Timur sejak 1998. Kemudian sejak 2005 diadopsi oleh P3SW. Pendekatan kemitraan WMD melalui pembentukan perusahaan patungan bersamaPDAM setempat dengan komposisi saham mayoritas berada di tangan WMD, sehinggamenghindari campur tangan pemerintah daerah dan PDAM. Kondisi ini memungkinkan WMDmengambil alih segala jenis keputusan khususnya terkait penerapan prinsip pemulihan biayamelalui peningkatan tarif. Ditargetkan dalam 5 tahun, perusahaan sudah dapat memperolehmodal untuk memperluas cakupan pelayanan. Disamping juga perusahaan akan menjelmamenjadi entitas bisnis yang independen. Pemerintah daerah harus membeli kembali (buy back)saham WMD . Hasil pengembalian ini akan digunakan untuk menjalankan pendekatan sejenis ditempat lain.A.1Kemitraan WMD dan PDAM AmbonSejak tahun 1994, WMD dan PDAM Ambon telah merintis kemitraan melalui twinningprogram. Tahun 1998, kedua pihak bersepakat meningkatkan bentuk kemitraan denganmendirikan perusahaan patungan, PT. Dream Sukses Airindo (DSA), dengan saham mayoritas58% dikuasai WMD. Sebagai bagian kontribusi PDAM Ambon, diserahkan beberapa aset ke DSAseperti sumber air, reservoir berikut peralatannya, pipa distribusi utama dan sambungan rumahyang senilai 435 ribu Euro. WMD menyediakan kontribusi modal sebesar 610 ribu Euro untukinvestasi dan modal kerja. DSA bertanggungjawab memperluas cakupan layanan dan mengelolasistem layanan pada sebagian kecil wilayah kota Ambon, sekitar 1.800 sambungan yangsebelumnya dikelola PDAM Ambon (ADB, 2004)Namun, perkembangan kemitraan ini terhambat oleh terjadinya kerusuhan Ambon tahun1999, hanya beberapa minggu setalah DSA beroperasi. Walaupun demikian setelah kondisimembaik, tahun 2002, DSA berhasil menambah sambungan baru sebanyak 1.400 Sambungan 3839. IndonesiaRumah. Namun DSA tetap beroperasi dengan tarif dan tingkat kerugian yang sama denganketika dikelola PDAM Ambon. Keinginan DSA untuk memperluas cakupan layanan menjangkauseluruh kota Ambon masih belum tercapai. Pemerintah daerah masih menunda kesepakatantersebut.A.2Kemitraan WMD dengan PDAM Manado Di Manado, Sulawesi Utara, pemerintah daerah menyetujui kemitraan dengan WMDpada tahun 2004. Namun PDAM Manado tidak menindaklanjuti kesepakatan tersebut. Sampaiakhirnya pada tahun 2007, PT. Air Manado, yang merupakan perusahaan patungan antaraPDAM Manado dan WMD diluncurkan.B. Proyek Kerjasama dengan WFI Bentuk kemitraan lain adalah kemitraan dengan Water Fund Indonesia (WFI). WFImerupakan yayasan yang dibentuk oleh Aquanet yang merupakan perusahaan swasta yangdimiliki oleh lima perusahaan air minum Belanda. Kelima perusahaan tersebut bersama denganpemerintah Belanda membentuk Water Fund Holland Foundation. WFI memperoleh suntikandana dari DGIS berupa subsidi sebesar 5,1 juta Euro dan modal sebesar 4,7 juta Euro dariperusahaan air minum Belanda selama peirode 2005-2010.WFI kemudian membentuk perusahaan patungan dengan PT. Karta Tirta DharmaPangada (KTDP)24, sebuah perusahaan swasta lokal, dengan nama PT. Tirta Riau. WFImemegang saham mayoritas 51%. Tirta Riau membiayai rehabilitasi Instalasi Pengolahan AirMinum, reservoir dan jaringan distribusi, termasuk pemberian saran manajerial ke PDAMPekanbaru. Kemitraan mengikuti skema REOT (Rehabilitasi, Expansi, Operasi, dan Transfer),dengan Tirta Riau akan mengoperasikan instalasi pengolahan air dan menjual air baku ke PDAM.Hasil pembayaran akan digunakan untuk mengamblikan investasi dari WFI. Pinjaman diberikandalam bentuk mata uang Rupiah.24PT KTDP memperoleh kontrak dari pemerintah Kota Pekanbaru membiayai investasi infrastruktur PDAM Pekanbaru, tetapi kemudian mengalamikesualitan memenuhi kewajibannya.3940. Indonesia KOTAK 3.3 Sekilas Public-Private Partnership Water Sector (P3SW) Pelaku pembangunan air minum dan sanitasi Belanda terdiri dari beragam institusi publik,swasta dan LSM, yang menyumbang sekitar 2% dari total pasar air minum dan sanitasi dunia. Parapelaku ini telah mempunyai pengalaman yang cukup panjang sehingga kemampuan, keahlian,kehandalan teknologi, pengalaman dan sumber dayanya dapat disumbangkan kepada negara lain.Disamping itu, akses layanan air minum dan sanitasi telah mencapai 100% sejak dekad 70-an. Kerjasama perusahaan Belanda dengan mitra luar dibatasi oleh aturan untuk melindungikualitas pelayanan domestik Belanda sehingga perusahaan air minum Belanda membentuk anakperusahaan yang akan mewakili kepentingannya. Terdapat 6 perusahaan air publik dan 14 WaterBoards dan Kiwa yang membentuk Aquanet BV pada tahun 1991. Tujuannya adalah untukmemberikan layanan konsultansi dalam pengembangan kelembagaan kepada mitra luar negeridibawah proyek bilateral/multilateral. Perusahaan juga memberi kontribusi modal untuk menarikdukungan pemerintah dalam memperbesar pasar luar negeri. Model kerjasama ini pada dasarnyabagian dari usaha pelaku publik mencapai sasaran sosial dengan bekerjasama dengan pelaku swastadengan tujuan pelebaran pasar Tujuan P3SW adalah mengurangi kemiskinan di Indonesia melalui peningkatan akses airminum. Dalam kemitraan ini, pemerintah Belanda memberi hibah berupa subsidi ke yayasan berbasisdi Belanda yang dimiliki oleh perusahaan air Belanda yang juga berkontribusi modal dalam yayasan.Yayasan berfungsi sebagai pengumpul dana. Keberadaan yayasan ini menjadi penting untukmembelokkan motif mencari keuntungan dari institusi swasta. Subsidi dari pemerintah Belandamengurangi resiko modal bagi perusahaan air minum Belanda. Dana yang terkumpul di yayasankemudian disalurkan dalam bentuk pinjaman lunak untuk membiayai investasi modal melalui anakperusahaan di Indonesia. Anak perusahaan didirikan oleh yayasan tersebut, yang kemudianmendirikan perusahaan patungan dengan PDAM atau perusahaan setempat, dengan mitra Belandamemegang saham mayoritas minimal 51%. Hal ini memberi kendali bagi mitra Belanda untukmemastikan perusahaan patungan mengimplementasikan prinsip pemulihan biaya paling tidakselama 15 tahun Dalam proyek percontohan ini, investasi dilakukan untuk memperbesar produksi, mengurangikebocoran air, meningkatkan kapasitas terpakai, memperbaiki operasi dan pemeliharaan sekaligusjuga melakukan pelatihan. Diharapkan intervensi ini akan meningkatkan pendapatan dan kapasitaspegawai. Untuk memastikan terlaksananya prinsip pemulihan biaya, tarif air ditingkatkan bertahap.Penerimaan akan dipergunakan untuk mengembalikan pinjaman, yang selanjutnya dipergunakanuntuk investasi program sejenis di tempat lain. Implementasi proyek dimulai tahun 2005 di dua lokasiyaitu bekerjasama dengan WMD di 10 kota di Indonesia Timur dan bekerjasama dengan WFI diPekanbaru.Sumber: Budhi Yonanta Bahroelim, Public-Private Partnerships Non-Profit in Water Services: CaseStudies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007. 4041. IndonesiaGambar 3.2 PPP Non-Profit- WMDNetherlands IndonesiaConsultancyGovernmentServicesGovernment Non-Profit OrganizationPrivate SectorCentral Government Private Sector Water Fund East Indonesia Ministry of Public Works Central GovernmentFoundation-є11 millionEngineeringConsultantsWMD Subsidiary CompaniesGrant/ Established by WMDSubsid BPPSPAMDGISyP3SW Royal Haskoning Inowa ConsultingWMD 50% WFIMinistry of HealthRWS50% Witteveen+Bos Ministry of Finance Loan Wahana Consulting Provincial GovernmentDHV WMD 100% Ministry of Home AffairsRisk Capital PT. Dream Sukses Province Drenthe Є3.5 millionIndo Water BV AirindoBappenasSubsidiary of WMD WMD 58% 100% PDAM Ambon 42%Drenthe WaterCompany WMD NV Local GovernmentLoan Ambon Municipality41 PDAM Ambon42. IndonesiaGambar 3.3PPP Non-Profit-Water Fund IndonesiaHibahSubsid IndonesiayNetherlandsLayanan Konsultansi PemerintahSwastaGovernmentNon-Profit Organization PrivateSector Pusat Perusahaan Indonesia Water FundCentral EngineeringDepartemen PUGovernment Holland Stichting DapenmaConsultants Є9.8 million PamsiDGIS BPPSPA MMRoyal HaskoningPT. TDP RWSDepkes Witteveen+Bos LoanJoint Venture CompaniesDepkeu Provincial Government DHVShareCapita Depdagri PT. Tirta Riau Waterl WFI 51% Bappenas CompaniesAquanet BV KTDP 49% LoanPT. MTI Sumber: Budhi Yonanta Bahroelim, 2007 Water FundLoan WFI 51%PemdaIndonesia BVDapenma 49%Inowa ConsultingMunicipality PekanbaruIndo Water 50%WFI 50%PDAM Pekanbaru4243. Indonesia KOTAK 3.4 Manfaat dan Resiko Public Private Partnership Non-Profit ManfaatSecara umum terdapat beberapa manfaat yang diperoleh PDAM yaitu (i) kendala campur tangan pemerintah daerah terhadap pengelolaan PDAM akan dapat dihindari karena saham pengendali berada di tangan mitra Belanda; (ii) tarif dapat ditetapkan di atas biaya produksi sehingga prinsip pemulihan biaya dapat terlaksana; (iii) tingkat bunga pengembalian (marginal rate of return) akan relatif rendah, dibawah bunga pasar; (iv) transfer pengalaman, keterampilan dan pengetahuan. ResikoTerdapat beberapa resiko yang perlu diantisipasi PDAM diantaranya (i) proses kemitraan tidak melalui proses tender sehingga kemungkinan bentuk kerjasama ini bukan merupakan pilihan yang optimal; (ii) kendali perusahaan berada di tangan mitra Belanda sehingga informasi yang tersedia menjadi tidak simetris (information asymmetry) yang dapat berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak optimal terutama menyangkut tarif yang cenderung kurang memperhatikan kepentingan masyarakat miskin; (iii) pengelolaan usaha akan efisien tapi biaya manajemen kemungkinan akan sangat besar mempertimbangkan penggunaan tenaga ahli asing yang sangat ekstensif dengan gaji yang tinggi; (iv) walaupun kemitraan ini bersifat nirlaba tetapi dengan adanya motif mengembalikan pinjaman yang nilainya cukup besar dengan melalui penerapan tarif yang cenderung tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, kemitraan ini akan gagal memenuhi target MDG yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin. Penerapan subsidi silang akan kurang bermanfaat ketika jumlah pelanggan sedikit sementara pelanggan masyarakat miskin dominan. Disamping itu, penerapan subsidi silang dalam kondisi seperti ini akan mengakibatkan tarif menjadi sangat mahal yang mendorong pelanggan menggunakan alternatif sumber air lain (pompa, sumur, dan lainnya) akibatnya kapasitas terpakai akan menurun tajam; (v) pada kasus PDAM Pekanbaru, resiko kekurangan permintaan dan harga jual dibawah harga beli air baku ditanggung oleh PDAM Pekanbaru. Sumber: Budhi Yonanta Bahroelim, Public-Private Partnerships Non-Profit in Water Services: Case Studies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007. Komponen lain dari kerjasama ini adalah melibatkan PT. Mitra Tirta Indonesia (MTI)yang merupakan perusahaan patungan antara WFI dan PT. Dapenma Pamsi25. MTI dikontrakoleh PDAM Pekanbaru untuk memasang sambungan rumah dan memperluas jaringandistribusi. Kegiatan ini juga dibiayai oleh WFI. Kemitraan ini juga mengatur rencana bisnistermasuk peningkatan tarif secara berkala tiap 6 bulan. PDAM Pekanbaru bertanggungjawabmenanggung selisih dari kekurangan biaya air baku dan harga jual air, dan juga ketikaterjadi kekurangan permintaan. Tirta Riau saat ini (2007) belum beroperasiKerjasama WFI dengan PDAM telah terjalin pada tahun 2002 melalui kemitraandengan PDAM Tirta Nadi Sumatera Utara. WFI dan PDAM Tirta Nadi membentuk perusahaan25 Merupakan perusahaan pengelola dana pensiun pegawai PDAM dan merupakan pemilik PT. KTDP.4344. Indonesiapatungan dengan nama Tirta Sumut untuk menyediakan air baku ke PDAM Tirta Nadi. Dalamkemitraan ini, WFI disubsidi oleh pemerintah Belanda sebesar 400 ribu Euro dan kontribusiWFI sebesar 700 ribu Euro untuk 15 tahun. Dibutuhkan 2 tahun memformulasikan bentukkontrak kemitraan tersebut.3.3.2 Kerjasama Publik-Publik (PDAM-PDAM) Tirtanadi di Sumatera Utara adalah satu-satunya PDAM yang telah mengadopsiKemitraan Antarpemerintah. PDAM Tirtanadi dimiliki oleh Pemerintah Daerah SumateraUtara. Dari 319 PDAM (data tahun 2006), hanya terdapat 2 PDAM yang dimiliki olehPemerintah Propinsi, yaitu DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Melalui kerjasama operasi, PDAM Tirtanadi terlibat dalam kerjasama dengan PDAM yanglebih kecil. Sejak 17 Juli 1999, kontrak kerjasama 25 tahun ditandatangani antara PDAMTirtanadi dengan PDAM Deli Serdang, PDAM Simalungun, PDAM Tapanuli Tengah, PDAMNias, dan PDAM Tapanuli Selatan. Kontrak kerjasama manajemen ditandatangani denganPDAM Labuan Batu dan PDAM Dairi.3.4Kerjasama Publik (PDAM) dan Komunitas: Sambungan Rumah Komunal Bagi Daerah Kumuh Perkotaan Pada dasarnya, sistem sambungan rumah komunal ini adalah perpanjangan layanankeran umum dari PDAM. Dengan adanya sambungan rumah komunal, masyarakat tidak lagiperlu berjalan kaki bolak-balik menggotong ember atau jerigen untuk memperoleh air darikeran umum. Namun masyarakat tetap memperoleh air dengan harga sosial (tarif keranumum PDAM). Sistem sambungan rumah komunal merupakan jawaban terhadap dilema PDAMdalam menyediakan layanan air minum bagi daerah kumuh perkotaan. Di satu sisi, PDAMmemiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan bagi seluruh masyarakat di daerahpelayanan/wilayah administratif kota/kabupaten, baik bagi warga golongan kaya,menengah, maupun miskin. Di sisi lain, PDAM menghadapi kendala seperti status rumahdan tanah yang ilegal, kondisi perumahan yang kurang memadai untuk standar teknispelayanan PDAM, serta kehilangan air, pencurian air, dan yang utama adalah masalahtunggakan pembayaran. Sistem sambungan rumah komunal ini merupakan sebuah inovasi dalam pelayananair minum kepada masyarakat. Sistem sambungan rumah komunal ini merupakan contohketika pemerintah dapat berbagi tanggung jawab dengan masyarakat. Dengan demikian,masyarakat didorong untuk berpartisipasi aktif dan melaksanakan tanggungjawab denganbaik.4445. IndonesiaKOTAK 3.4Proyek Percontohan Sistem Sambungan Rumah KomunalESP-USAID bekerjasama dengan Jaringan Kesejahteraan/Kesehatan Masyarakat (JKM) Medanmembantu memfasilitasi pembangunan Master Meter System (Sistem Meter Induk) atau sistem sambunganrumah Komunal di kota Medan. Proyek percontohan sistem sambungan rumah komunal ini dilaksanakan di tigakelurahan, yaitu Kelurahan Sunggal, Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Sei Mati.Dalam pembangunan sistem sambungan air komunal ini, terdapat 4 tahapan yang dilalui. Tahapanpertama adalah penyiapan masyarakat. Kegiatannya berupa pemilihan lokasi, kemudian dengan bantuanfasilitator (LSM) dilakukan diskusi dan perencanaan di tingkat masyarakat untuk mengembangkan konsep.Selain itu, masyarakat juga menerima program penguatan kapasitas dan peningkatan kesadaran. Setelah itu,dibentuklah kelompok pengguna (Community-based Organization/CBO) yang nantinya akan mengelola sistem.Tahap kedua adalah pembuatan kontrak antara pihak PDAM dan CBO yang telah terbentuk yang meliputiperencanaan sistem, biaya pembangunan dan pengadaan barang. Tahap ketiga adalah tahap konstruksi. PDAMbertanggungjawab untuk menyediakan sambungan melalui meter induk di dalam atau tepat di luar areakomunitas yang akan dilayani. Kemudian, dengan bantuan fasilitator (LSM) dan/atau PDAM, CBO bertanggungjawab untuk membangun jaringan pipa sederhana setelah meter induk. Tahap keempat, yaitu penguatan CBOberupa pelatihan teknis, dan pelatihan pemeliharaan sarana, serta pengelolaannya.Tanggungjawab PDAM, LSM dan CBO CBO bertanggung jawab (i) membangun pipa distribusi dan sambungan rumah di daerah kumuh; (ii)mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan jaringan perpipaan setelah meter induk. (ii) pembayaran rekeningair ke PDAM. CBO bertanggungjawab mengumpulkan pembayaran dari tiap rumah tangga pelanggan. SementaraPDAM berperan (i) membangun jaringan pipa induk sampai batas daerah permukiman kumuh; (ii) membantupenyelesaian permasalahan yang diluar kemampuan masyarakat/CBO. Selain itu, LSM berperan (i) sebagaimediator antara pihak PDAM dan masyarakat; (ii) mempersiapkan masyarakat dan (iii) menjadi salah satupenyandang dana.Sistem TarifTarif pada meteran induk merupakan tarif sosial yang ditetapkan PDAM, sementara jumlah yang dibayarkan tiapKepala Keluarga (KK) merupakan kesepakatan bersama warga, tergantung dari sistem distribusi airnya, sehinggabisa saja terdapat perbedaan. Misalnya pada Kelurahan Sunggal, air dari meter induk kemudian didistribusikanlangsung pada tiap rumah tangga tanpa adanya tambahan meter di tiap KK, sehingga tarif yang dibebankankepada masyarakat adalah sebesar tarif total dari meter induk dibagi dengan jumlah KK. Di Kelurahan Sei Matidan Kampung Baru, dari meter induk kemudian dipasang meteran kontrol yang digunakan bersama olehbeberapa KK. Dengan demikian tarif yang dibayarkan bergantung kepada jumlah pemakaian yang tertera padameteran kontrol yang kemudian dibagi bersama antara pengguna meteran tersebut.Manfaat dari Sistem Sambungan Rumah KomunalSistem sambungan rumah komunal ini, memberi manfaat pada kedua belah pihak, yaitu PDAM danwarga daerah kumuh. Bagi PDAM, kekhawatiran mengenai pembayaran rekening air bisa ditiadakan. Karenadengan sistem sambungan rumah komunal ini, urusan administrasi dan tagihan air akan menjadi lebih mudah,karena PDAM hanya berurusan dengan 1 konsumen. Kemudian, permasalahan kebocoran dan sambungan ilegalsetelah meter induk pun bukan lagi menjadi kekhawatiran PDAM, karena masyarakat ikut berpartisipasi aktifdalam memelihara jaringan perpipaan, misalnya melaporkan adanya kebocoran, sambungan ilegal, penggunaanpompa dan lain-lain. Keuntungan lain yang bisa diperoleh dari sambungan rumah komunal ini adalah bahwasistem ini memungkinkan PDAM untuk membangun sistem jaringan perpipaan sederhana/teknologi berbiayarendah. Selain itu rumah tangga dengan status tidak jelas/ilegal tidak menjadi pelanggan langsung PDAM,sehingga PDAM tidak akan mengalami permasalahan dengan Pemda mengenai status pelanggan.Sementara manfaat bagi masyarakat adalah (i) memperoleh kemudahan administrasi untukmendapatkan sambungan rumah, sehingga masyarakat memperoleh akses air perpipaan dengan hargaterjangkau, (ii) masyarakat memperoleh kemudahan dalam pembayaran. Karena melalui CBO, sistempembayaran pun bisa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Tarif bisa dibayar secara harian/mingguan/bulanan secara tunai (tidak perlu ATM).Sumber: Oswar Mungkasa ed. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia. Pembelajaran dariBerbagai Penggalaman. Pokja AMPL, 2008. 4546. Indonesia3.5Penyedia Air Minum Skala Kecil (Small Scale Water Providers/ SSWP) 26Berdasar data Susenas 2006, penduduk perkotaan (baik kota kecil maupun kotabesar), yang memperoleh layanan air minum perpipaan hanya mencapai sekitar 41 persen.Penduduk kota besar hanya separuhnya yang memperoleh layanan air minum perpipaan.Sementara sebagian besar sisanya memperoleh air dari sumber seperti sumur dangkal,sumur dalam, keran/hidran umum, sungai/danau maupun penyedia air skala kecil (smallscale water providers)27. Tidak tersedia data yang pasti berapa porsi penyedia air skala kecil.Walaupun demikian, berdasar hasil studi yang dilakukan WSP pada 5 kota besaryaitu Jakarta, Palembang, Makassar, Bandung, dan Subang, ternyata pada lokasi di luarjangkauan pelayanan PDAM penyedia air skala kecil menjadi sumber utama.3.5.1 Truk TangkiPorsi layanan melalui truk tangki relatif tidak signifikan, terutama buat masyarakatmiskin. Hal ini terutama karena volume layanannya yang besar sehingga bersifat perantara(intermediate), biasanya melayani pembelian skala besar seperti hidran, terminal air,industri, pertokoan, dan penduduk menengah atas. Truk tangki dioperasikan oleh swastamaupun PDAM.3.5.2 Hidran/Terminal Air Hidran berfungsi sebagai perantara antara sistem perpipaan PDAM denganpenduduk khususnya yang kurang mampu. Walaupun tidak sedikit sumber hidran tersebutberasal dari sumur dalam atau bahkan truk tangki. Kebutuhan modal yang besar dalammengelola hidran menjadikan pengelolaannya membutuhkan keterampilan yang cukuptinggi. Pada dasarnya hidran membantu PDAM untuk menjangkau penduduk kurang mamputetapi karena tarif hidran yang dikenakan oleh PDAM bersifat sosial sehingga terdapatkecenderungan bahwa PDAM kurang mendukung keberadaannya. Apalagi kemudian ketikahidran tersebut menjual air dengan harga di atas tarif sosial tersebut. PDAM sendiri tidakdapat menerapkan tarif progresif disebabkan adanya persepsi bahwa hidran diperuntukkanbagi penduduk kurang mampu.Walaupun demikian di Makassar ditemukan kerjasama antara PDAM dan swastalokal dalam pengelolaan terminal air. Tangki air disediakan oleh PDAM, sementara swastamenyediakan lahan.26 Sebagian besar dikutip dari Peter Gardiner dkk. Indonesia Small Scale Water Providers Study. Final Report. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP), 2007.27 SSWP didefinisikan sebagai sumber layanan air minum yang berasal dari terminal air, membayar air dari tetangga atau pemilik lahan/bangunan, truk tangki, kereta doorong (carter), air kemasan/isi ulang. Namun dalam tulisan ini air kemasan tidak akan dibahas.4647. Indonesia3.5.3 Gerobak DorongTerkecuali Makassar, porsi layanan kereta dorong pada daerah kumuh dan daerahtidak terlayani PDAM di keempat kota lainnya relatif dominan. Kereta dorong merupakanbisnis skala kecil dan bersifat informal. Kereta dorong sangat bergantung pada sumber airPDAM, sehingga lebih bersifat sebagai perpanjangan tangan PDAM. Pasar kereta dorongterutama pada daerah kumuh perkotaan dengan karakteristik pemilikan lahan yang tidakjelas sehingga PDAM menghadapi hambatan hukum untuk melayani daerah tersebut.Layanan PDAM pada daerah tersebut akan beresiko dianggap sebagai legalisasi perumahanliar283.5.4 Jaringan Skala Kecil dikelola oleh Pemilik Swasta Lokal Sistem layanan ini bisa berupa sistem jaringan perpipaan yang canggih di daerahperumahan menengah atas sampai sistem jaringan sederhana dengan skala layananterbatas. Sumber air berasal dari air tanah. Layanan jenis ini relatif kecil porsinya.Beberapa contoh jaringan skala kecil di Jakarta adalah di Kamal Muara, Cengkareng,Pulo Gebang dan Kebon Pala. Sedikit berbeda di Bandung, sumber mata air dikuasai olehswasta berlokasi di Desa Mekarwangi, Kecamatan Ujung Berung. Air yang berasal dari mataair disalurkan melalui pipa ke terminal air, lalu diangkut menggunakan truk tangki keindustri, bisnis air isi ulang, dan hidran dikelola perorangan. Di Makassar juga ditemukanjaringan skala kecil yang bersumber dari air tanah dalam, atau PDAM, yang didistribusikanmelalui pipa ke beberapa rumah di sekitarnya.3.6Kemitraan Pemerintah, LSM dan Masyarakat Berdasar pembelajaran pembangunan air minum di Indonesia, dapat dikatakanpembangunan yang dilakukan oleh masyarakat selalu dipicu oleh adanya dorongan daripihak luar baik pemerintah, LSM, bahkan swasta. Bentuk kemitraan yang paling seringterjadi adalah kemitraan antara LSM, pemerintah dan masyarakat seperti pada contoh DesaTogo-Togo, Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Bahkan dapat pula terjadi kemitraanantara LSM, masyarakat, dan swasta seperti pada contoh Desa Cibodas KabupatenBandung. Sementara kemitraan dua pihak antara pemerintah dan masyarakat biasanyaterjadi ketika terdapat komponen pinjaman dalam sumber pembiayaannya seperti contohproyek Water Supply for Low Income Community (WSLIC) dan Pro Air.Kesemua kemitraan tersebut dapat disebut sebagai kemitraan pemerintah-masyarakat, walaupun pada contoh Desa Cibodas terdapat keterlibatan swasta tapi hanya28Pada bagian lain tulisan ini dibahas tentang sambungan rumah komunal sebagai alternatif solusi masalahperumahan liar di daerah kumuh perkotaan. 4748. Indonesiadalam bentuk pemberian pinjaman pada lembaga pengelola sarana air minum tanpaketerlibatan dalam pengelolaannya.Pada ketiga contoh tersebut, masyarakat terlibat secara aktif sejak awalperencanaan sampai pengelolaannya. Untuk menjamin keberlanjutan prasarana yangdibangun, masyarakat dipersyaratkan untuk memberi kontribusi baik berupa dana tunai,tenaga maupun material tergantung pada kesepakatan awal. Kemudian masyarakatmembentuk lembaga/kelompok pengelola sarana. Keterlibatan pemerintah dan LSM secaraintensigf hanya pada tahap awal persiapan dan pembangunan sarana, untuk kemudianpada tahap operasi dan pemeliharaan secara perlahan masyarakat yang kemudian berperanaktif. Setelah sistem berjalan selama beberapa tahun, kelompok/lembaga pengelola mulaiberkembang dan bahkan mempunyai aset dan dana tunai yang cukup besar. Hal inikemudian mendorong masyarakat untuk mengembangkan jaringan pelayanan bahkansampai keluar desa. Dana yang terkumpul dari penerimaan kemudian sebagiandipergunakan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan diantaranya seperti membeli lahan danmembangun sekolah, dan memberi bea siswa.Semakin lama lembaga pengelola mulai terlihat seperti PDAM dalam skala kecil.Seringkali disebut sebagai ’PDAM Desa’. Bahkan untuk beberapa kondisi, ’PDAM Desa’ inijelas kinerjanya lebih baik. Hal ini terlihat dalam akuntabilitas laporan keuangan dalambentuk pelaportan keuangan yang terbuka dan dipampang di papan pengumuman.Penerapan sanksi pada pelanggan dilakukan secara ketat. Penerapan tarif pun bersifatprogresif dan bahkan subsidi silang juga diterapkan. Kinerja yang baik terlihat dari Danatersisa setiap tahun semakin meningkat sehingga dapat dipergunakan untuk reinvestasi,kontribusi ke APBDes dan juga kegiatan kemasyarakatan. Hal lain yang mengemuka bahwa salah satu dari ’PDAM Desa’ ini memperolehpinjaman dari swasta tanpa jaminan, dan dapat dikembalikan lebih cepat dari waktunya.Selain itu, fleksibilitas pelayanan juga terlihat dari kemauan pengelola melayani desatetangga tanpa memperhatikan batasan administrasi sehingga tidak setiap desa harusmempunyai ’PDAM Desa’. Pemanfaatan air menjadi lebih efisien.KOTAK 3.5The Second Water and Sanitation for Low Incomes Communities Project (WSLIC-2) Proyek WSLIC-2 merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia, Bank Dunia,dan Pemerintah Australia. WSLIC-2 dilaksanakan di 8 propinsi yaitu Propinsi Sumatera Barat,Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Sulawesi Selatan dan SulawesiBarat dan mencakup 37 kabupaten, 2300 desa dan menjangkau 4,5 juta penduduk. Kegiatanmulai dilaksanakan pada tahun 2001 dan berakhir tahun 2009. Sasaran WSLIC-2 adalah menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang aman, mudah,terjangkau untuk komunitas miskin di desa yang tingkat layanan air minum dan sanitasi belummemadai dalam rangka meningkatkan status kesehatan, produktifitas, dan kualitas hidupmasyarakat. WSLIC-2 dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan (i) berdasar kebutuhanmasyarakat, pro miskin dan mempertimbangkan aspek gender; (ii) masyarakat terlibat secara aktifdalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan; (iii) kontribusi masyarakat, sebesar 20% darikebutuhan investasi (4% tunai dan 16% material dan tenaga); (iv) pemerintah berperan lebihsebagai fasilitator4849. IndonesiaKOTAK 3.8 Pengelolaan Air Bersih di Desa Cibodas, Kabupaten Bandung Pengelolaan air bersih di Desa Cibodas merupakan hasil kerjasama Yayasan CARE dengan masyarakat melalui fasilitasi pemerintah. Sejak awal pembangunan sarana air bersih, masyarakat sudah ikut terlibat dalam setiap kegiatan mulai dari melakukan survei untuk mencari sumber air yang potensial, melakukan pengukuran dan perhitungan untuk menyusun anggaran biaya hingga proses konstruksinya. Bantuan dari Yayasan CARE berupa pipa induk dan bimbingan teknik, administrasi serta penyuluhan ke masyarakat. Sementara sisa dana yang dibutuhkan berasal dari biaya sambungan yang dibayar dimuka oleh masyarakat. Proses pembangunan dimulai tahun 1988, dimulai dengan yayasan CARE melaksanakan penataran teknik, KOTAK 3.7 dan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagi para administrasiPengelolaanmasyarakat.Togo-Togo Kabupaten Jeneponto tokoh Air Desa Setelah itu,dibentuk Panitia Pembangunan Sarana Air Bersih (PPSAB) yang anggotanya adalah masyarakat itu sendiri. Karena jaringan perpipaan juga melewati desa lain, Penyediaan sehingga pelayanan air bersih mencakup desa kerjasama antara Planair bersih di Desa Togo-Togo merupakan tetangga dengan peraturan yang berlaku sama. KOTAK 3.6Indonesia dengan masyarakat Togo-togo. Sistem penyediaan air bersih Desa Togo-togokonstruksi dua tahun. Setelah Pembangunan dilakukan secara bertahap dengan waktu inidibangun pada tahun 1994, dan sampai saat dibubarkan dan ProAir selama 14 Pengelola Sarana Air Bersih dan konstruksi selesai, PPSAB ini telah berlangsung dibentuk Badan tahun.Sistem penyediaan air bersih di Togo-togo ini berjalan oleh kepala desa. Anggota BPABS ini dibedakan dengan PPSAB, Sanitasi (BPABS) yang disahkan dengan baik terlihat dari peningkatanpendapatan kotor dari rekening airmerupakan proyek dapat diinvestasikan kembali denganditeknis konstruksi sarana, yaitu anggota sehingga dana ini penyediaan air memahami mengenai Propinsi Nusa TenggaraProAir PPSAB merupakan anggota yang minum dan sanitasimembangun bak penampung air (reservoir) berkapasitaskeahlian Bahkan kemudian halSumba Timur, Timor TengahTimur mencakup 5 BPABS memiliki 20 m3. administrasi dan manajerial. sementara anggota kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat, iniSelatan, Alor, dan Ende. Pendanaan daerah pelayanan dari 2002desa Akibat permintaan terus bertambah, pada tahun tiga BPABS berinisiatif melakukanmemancing Plan Indonesia membantu mengembangkanPrroAir sebagian besar dari hibah Pemerintah Jerman. Proyekmenjadi lima desa dengan tahun 2002 dan akan berakhir tahun 2009. dari kas BPABS ditambah dengan pinjaman pengembangan jaringan yangSR menjadi 1.000 unit, termasuk jugadimulai penambahan jumlah sebagian didapatkanmemancing investasi dari sebuah perusahaan pompa distribusi sebanyak 4 buah. jaminan, dengan masa pinjaman 5dari pemerintah berupa swasta. Pinjaman ini diperoleh tanpa tahun, dan ternyata pinjaman dapat dilunasi dalam waktu (i) tahun. ProAir dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan 3 berdasar kebutuhan masyarakat; (ii) Keberhasilan ini terutama disebabkan olehaktif dalam perencanaan,sejak awal, masyarakat terlibat secara keterlibatan masyarakat pelaksanaan dan pengelolaan; (iii) Tarifdan juga pendampingan yang intensif dari Plan Indonesia. Keterlibatan masyarakat tunai sebesar 4% dari kontribusi masyarakat untuk dana pemeliharaan dalam bentukdipersyaratkan oleh Plan Indonesiaprogresif dan berupa tenaga pada saat konstruksi. masyarakat yang tidak mampu kebutuhan investasi, dan subsidi silang diberlakukan bagi Tarif dalam bentuk (i) ketersediaan lahan untuk perangkatyang akan dipasang, sehingga BPABS untuk jalur pipa, (ii) adanya kontribusi warga selama dan pelanggan tersebuttermasuk lahan dapat memasang sambungan air tanpa biaya apapunkonstruksi, (iii) adanya kepanitiaan selama konstruksi serta kepengurusan yang berlebihan, dikenakan biaya tidak perlu membayar tagihan air. Sementara pengguna air dalam cukup besar. Pemberlakuan sistem tarif ini menyadarkan masyarakat bahwa memperoleh airoperasional dan pemeliharaan fasilitas, dan (iv) adanya peraturan dalam pelayanan. tidaklah gratis (benda ekonomi). Selain itu, penerapanKenaikan tarif pada semua oleh pengelola BPABS, SR maupunsistem meter diputuskan jenis sambungan, baik namun masyarakat ikut terlibat dalamHU, dengan tarif air pengambilan keputusannya dan di sosialisasikan kepada seluruh pengguna air bersih. Legalisasi yang sama mendorong masyarakat menggunakan air secara efisien.Disamping juga mejadi sumber dana operasi dan pemeliharaan. Desa (BPD) dan ditandatangani Kepala Desa Cibodas. tarif diputuskan melalui Badan Perwakilan Segala peraturan bagi pemakai air bersih dengan jelas tertuang dalam AD/ART BPABS. Kontribusi masyarakat, baik berupa uang, jasa ataupun barang semakin Transparansi Dana BPABSmenguatkan rasa memiliki terhadap sarana dan prasarana air minum. Untuk menjaminkeberlangsungan sarana, pengelolaan sistem diserahkan berasalsuatu iuran rutin dan biaya sambungan air, yang Pemasukan BPABS Cibodas pada dari badan pengelola,yaitu Badan Pengelola Air Minum (BPAM). Organisasi BPAM ini pembayaran honor terlihat digunakan untuk pengeluaran rutin berupa sudah cukup rapi, perangkat BPABS, insentif kepadadari struktur organisasi yang jelas, Perkebunan keuangan yang akuntabel serta standar dilalui oleh pipa induk. Perhutani, PT administrasi Nusantara dan Desa Suntenjaya yangprosedur operasionalPemasukan termasuk aturan main bagi pelanggan (biaya,masyarakat, seperti disumbangkan ke yang baik, BPABS juga digunakan untuk kepentingan sanksi danlainnya). Calon pengelola yang akan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), pembelian lahan untuk dalam kas desa menduduki kepengurusan di BPAM sebelumnya jugamendapatkan pelatihan dari Plangedung sekolah SMP itu, pejabat struktural tingkat pembangunan Indonesia. Selain Negeri Cibodas, dan banyak lainnya. BPABS melaporkankecamatan juga ikut berperan dalam kepada masyarakat melalui papan pengumuman BPABS. Selain itu, keuangan secara transparan BPAM, yang kemudian memungkinkan InstalasiPenyediaan Air Bersih Togo-togo memperoleh kepada Kepala Desa serta Badansistem dari Desa. BPABS ini juga dilaporkan bantuan untuk pengembangan PerwakilanPemerintah Daerah pada tahun 2007. Sumber: Oswar Mungkasa ed. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di 49Sumber: Oswar Mungkasa ed. Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Pokja AMPL, 2008. Indonesia. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan diIndonesia. Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Pokja AMPL, 2008.50. Indonesia BAB IVKESIMPULAN DAN PEMBELAJARANTema buku ini adalah tentang Kerjasama Pemerintah - Swasta dalam Sektor Air Minum diIndonesia, dengan tujuan untuk membuka perbedaan pemikiran tentang masuknya pelakubisnis swasta di dalam penyelenggaraan pelayanan air perpipaan, atau air PAM, diperkotaan di Indonesia. Kerjasama pemerintah swasta yang disebut sebagai PPP inisebenarnya dapat dikategorikan ke dalam salah satu varian dari privatisasi, yaitu di manaPemerintah mengajak fihak di luar Pemerintah, untuk ikut bersama-sama menjalankantugas yang sebelumnya dilaksanakan Pemerintah atau untuk menjalankan menjalankantugas yang seharusnya menjadi tugas Pemerintah (Nugroho & Wrihatnolo, 2008).Namun demikian, privatisasi acapkali dinilai berlebihan dari berbagai pihak. Pihak yangmendukung privatisasi berpendapat bahwa privatisasi adalah hal yang wajar dan bahkanharus, karena Pemerintah semakin tidak mampu memberikan layanan kepada warganya.Pihak yang menentang privatisasi berpendapat bahwa privatisasi adalah hal yang di luarkewajaran, bahkan perlu ditentang, karena Pemerintah tidak pada tempatnya untuk “laridari tanggungjawabnya” untuk melayani publik pada sektor-sektor yang berkenaan dengankebutuhan dasar, terutama yang dapat dimaknai sebagai public goods provider. Alasanselanjutnya adalah bahwa pihak swasta yang diserahi tugas pelayanan publik olehPemerintah pada dasarnya cenderung memperkaya diri sendiri daripada memberikanpelayanan yang lebih baik. Akibatnya, pelayanan menjadi lebih mahal karena public goodstelah dikomodifikasi atau dijadikan sebagai komoditi bisnis, atau telah menjadi privategoods.Perdebatan yang menjadi semakin meruncing, apabila mencermati pusat tren privatisasi.Sebagaimana diketahui, pemahaman privatisasi mulai menjadi arus-utama dunia sejakkepemimpinan Margareth Thatcher di Inggris bersamaan dengan kepemimpinan RonaldReagan di Amerika Serikat. Kejatuhan rezim sosialis di Uni Soviet dan seluruh sekutunya diEropa Timur dan privatisasi bisnis yang masif di Inggris membuat dunia bergerak ke arahsebuah kepastian baru bahwa neoliberal adalah pilihan terbaik yang tersedia. Pemahamantersebut dibakukan oleh Prof. John Williamson dalam sebuah premis bahwa: “Audiences the 5051. Indonesiaworld over seem to believe that this signifies a set of neoliberal policies that have beenimposed on hapless countries by the Washington-based international financial institutionsand have led them to crisis and misery. There are people who cannot utter the term withoutfoaming at the mouth.”Pemikiran Williamson mendapatkan respon mendunia pada tahun 1990, ketika pernyataanakademisnya disampaikan “to refer to the lowest common denominator of policy advicebeing addressed by the Washington-based institutions to Latin American countries as of1989.”29 Gagasan ini dikembangkan menjadi serangkaian paket kebijakan yang diadopsioleh lembaga-lembaga keuangan dunia, khususnya Dana Moneter Internasional dan BankDunia. Paket kebijakan yang disebut sebagai “Washington Concensus” adalah : 1. Fiscal discipline 2. A redirection of public expenditure priorities toward fields offering both higheconomic returns and the potential to improve income distribution, such as primaryhealth care, primary education, and infrastructure 3. Tax reform (to lower marginal rates and broaden the tax base) 4. Interest rate liberalization 5. A competitive exchange rate 6. Trade liberalization 7. Liberalization of inflows of foreign direct investment 8. Privatization 9. Deregulation (to abolish barriers to entry and exit) 10. Secure property rightsDiakui atau tidak, konsep ini menjadi inti pemikiran dari pembuat keputusan global padatahun 1990an, tidak terkecuali yang dibawa ke Indonesia berkenaan dengan privatisasipelayanan-pelayanan publik. Prof. Joseph Stiglitz adalah salah satu kritikus utama darigagasan neo-liberalisasi tanpa pandang bulu dari Washington Concensus. Buku StigliztGlobalization and Its Discontent (2001)30 menjadi sebuah manifesto global gerakan anti-globalisasi yang dihela serba-privatisasi, yang dilatarbelakangi pemahaman WashingtonConcesus. Kegagalan resep IMF mengatasi krisis di Asia pada tahun 1998/1999 dankegagalan Bank Dunia memastikan hasil baik dari privatisasi pelayanan publikmenghasilkan pandangan baru bahwa Washington Concensus bukanlah panasea.29 http://www.cid.harvard.edu/cidtrade/issues/washington.html30 Joseph Stiglitz, 2001, Globalization and Its Discontent, .....5152. IndonesiaWilliamson pun kemudian, dengan mengutip kritik kepadanya, mengoreksi WashingtonConcensus, dengan mengatakan:Some of the most vociferous of todays critics of what they call the WashingtonConsensus, most prominently Joe Stiglitz... do not object so much to the agenda laidout above as to the neoliberalism that they interpret the term as implying. I of courseneverintendedmy term toimply policies like capital accountliberalization...monetarism, supply-side economics, or a minimal state (getting thestate out of welfare provision and income redistribution), which I think of as thequintessentially neoliberal ideas.31Bagi Indonesia, terlepas dari Williamson yang menyadari kekurangan dari gagasan besarWashington Concensus-nya, namun ide tersebut telah terlanjur mendunia. Indonesiamenjadi salah satu bagiannya. Salah satu pelayanan dasar yang seharusnya diberikan olehPemerintah yaitu air minum perpipaan di perkotaan, sebagian telah diserahkanpengelolaannya kepada swasta.Pilihan tersebut, yang biasanya diberi penamaan yang lebih lembut: PPP, tidak dapat denganserta merta disalahkan, karena Pemerintah menghadapi masalah dalam melakukaninvestasi untuk pelayanan dasar air minum, termasuk jika dikaitkan dengan target MilleniumDevelopment Goals (MDGs). Uniknya, meski telah mengundang mitra swasta, hingga tahunbelakangan ini pun Pemerintah masih mengalami kesulitan memastikan bahwa MDGsdalam air minum tercapai pada tahun 2015. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalammencapai target MDGs di bidang air minum sangatlah besar. Informasi yang diperoleh dariBPP SPAM menunjukkan bahwa kondisi air minum dapat disimak pada tabel berikut. Tabel 4.1. Target Pencapaian MDGs dan Pendanaan No. Uraian 2005 2015 1Cakupan pelayanan, % 4180 2Penduduk terlayani, juta 4290 3Sambungan Rumah, juta 7,115 4Kapasitas produksi, m3/detik105 155 5Investas, Rp 500 Miliar 43Triliun31 http://www.cid.harvard.edu/cidtrade/issues/washington.html5253. IndonesiaSumber: BPP SPAM, 2008.Dari segi investasi, total investasi yang diperlukan untuk mencapai cakupan pelayanandengan standar prestasi MDGs tahun 2015, yaitu 80% penduduk perkotaan dilayani melaluiair perpipaan, adalah Rp 43 trilyun. Sementara, Pemerintah memprediksi kemampuaninvestasinya adalah Rp 0,5 trilyun per tahun. Artinya, jika direntang antara 2005-2015,maka Pemerintah “hanya” mempunyai kapasitas investasi Rp 5 trilyun, atau 11,6%. Daritabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat gap yang besar antara kemampuanPemerintah dalam penyediaan dana dibandingkan dengan kebutuhan. Tentu saja, data dariBPPS-PAM ini adalah data berdasarkan perkiraan pemenuhan kebutuhan air dalam artikuantitatif.Disadari atau tidak, arah pikir ini tetap sejajar dengan pemikiran Washington Concensus,yang oleh inisiatornya sendiri telah dikoreksi, bahwa kebijakan ke depan adalahmempercepat pelibatan sektor swasta di air minum perpipaan. Kondisi ini biasanyadiperkuatdengan pembuktian inefisiensi dari perusahaan milik daerah yangmenyelenggarakan pelayanan air perpipaan yaitu PDAM. Banyak disebutkan bahwa PDAMsebagai operator air minum yang bertanggung jawab terhadap pelayanan air minum kepadamasyarakat, jag menghadapi beberapa masalah yang umum dihadapi, yaitu kualitas air yangsemakin jelek, kualitas pelayanan yang semakin menurun, terutama akibat krisis moneter1998 yang menjadi penyebab tertundanya perbaikan dan perawatan aset. Keadaan inidiperparah oleh adanya inefisiensi operasi dan keuangan PDAM akibat belum optimalnyapenggunaan aset yang dimiliki oleh PDAM.Pemikiran yang berkembang adalah bahwa keterlibatan swasta dalam berperan serta untukmembenahi kinerja PDAM adalah dalam rangka menjawab tantangan yang disebutkan tadi,yaitu swasta dipandang mampu mengatasi masalah pendanaan yang tidak bisa disediakanoleh Pemerintah. Selanjutnya, banyak disebutkan bahwa swasta dapat bekerja lebih efisien,baik dalam mengoperasikan sistem pelayanan air minum, maupun dalam mengelola asetagar lebih efektif penggunaannya, sedangkan kepemilikan aset tetap berada dalamkekuasaan Pemerintah/PDAM.5354. IndonesiaPendapat tersebut semakin mengristal ketika membandingkan prestasi pelayanan padaPDAM yang diswastanisasi dan yang tidak diswastanisasi 32. Kombinasi pernyataan-pernyataan Pemerintah yang pro-privatisasi dan pembuktian bahwa dalam pelayanan airminum swasta lebih efisien mengukuhkan keyakinan bahwa privatization is a must.Di sisi lain, bagi yang kontra terhadap keterlibatan swasta terdapat kekhawatiran bahwaterlibatnya swasta dalam pengelolaan air minum dapat berdampak hilangnya kedaulatanrakyat karena aset PDAM akan diambilalih oleh MNC. Selain itu, juga dianggap bahwaPemerintah mengalihkan tanggung jawab yang semestinya menjadi kewajiban Pemerintahuntuk melayani masyarakat akan kebutuhan air minum, kemudian tanggung jawab inidilaksanakan oleh swasta. Padahal, belum ada kenyataan yang kongkrit yang bisamembuktikan bahwa swasta mampu mengelola lebih baik dibandingkan PDAM. Tambahanlagi, dikhawatirkan bahwa pelayanan oleh swasta ditujukan terhadap orang kaya, sedangkangolongan berpenghasilan rendah diabaikan karena hanya mampu membayar dengan tarifyang disubsidi. Apa lagi karena sifat bisnis air minum adalah monopoli alamiah, dan apabiladipegang swasta, maka hal ini akan menjurus kepada penerapan tarif tinggi dan pelayananhanya terfokus pada penduduk yang mampu membayar.Ditengah permasalahan mencari upaya agar pelayanan air minum dapat meningkat hinggatercapainya target MDGs, kontroversi sekitar PSP seakan tidak pernah selesai sebagaiakibat dari tidak adanya rumusan yang jelas tentang konsep PSP tersebut. Misalnya, adanyadua pendapat yang berseberangan dalam menjawab pertanyaan apakah air merupakanbarang publik ataukah barang ekonomi. Di satu sisi ia adalah barang publik karenamerupakan barang yang esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tetapi di sisi lain iajuga adalah barang ekonomi, karena dengan menganggapnya sebagai barang ekonomi,maka ini berarti kita mengakui nilai ekonomi dari air sehingga pengelolaannya dapatterhindar dari penanganan yang tidak efisien. Dengan demikian, dengan menganggap airsebagai barang ekonomi, maka pengelolaannya akan menjurus kepada tercapainya efisiensidan mendorong konservasi dan perlindungan sumber daya air.Tentang konsep privatisasi ternyata juga masih belum terklarifikasi dengan jelas. Jadi,proses privatisasi berlangsung ditengah tidak adanya konsep yang jelas sehingga arah dan32 Lihat antara lain hasil riset dari Water Dialog yang dilaksanakanoleh ITB yang membandingkan kinerja pelayanan PAM yang diswastanisasi diBatam dan yang tidak diswastanisasi di Kabupaten Bogor. Water Dialog, Review for Private Sector Paticipation in Water and Sanitation inIndonesia: A Case-Comparative Study Batam and Bogor, Jakarta: 20095455. Indonesiatujuan privatisasipun dengan demikian tidak jelas pula. Yang jelas secara empiris kelihatanbahwa privatisasi adalah menghilangkan disinsentif ke arah efisiensi dari organisasi publikke pasar swasta. Di sini terkandung pengertian bahwa peran Pemerintah akan berkurangdan peran swasta akan bertambah dalam hal kepemilikan atau pengelolaan aset. Adabeberapa tekanan atau alasan mengapa suatu negara melakukan privatisasi. Alasannya (i)secara pragmatis adalah ketika masyarakat menginginkan pelayanan yang lebih baik, (ii)secara ideologis ketika terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah, (iii) secarakomersial, ketika swasta melihat adanya kesempatan mendapatkan keuntungan darimelakukan pelayanan kepada publik, dan (iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasisebagai cara menuju kondisi masyarakat yang lebih baik.Ada beberapa model tentang keterlibatan swasta dalam air minum, dan dengan beberapavariasi pula, bergantung pada kerangka legal dan kerangka regulatory, bentuk dariperusahaan dan jenis kontrak yang terjadi. Tetapi kemudian dalam perkembangannya,bermacam -macam model tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua model. Yang pertamaadalah model yang diterapkan di Inggris dan Wales di mana kepemilikan dan pengelolaandilakukan oleh swasta. Kedua, adalah model Prancis di mana kepemilikan ditangan publiksedangkan swasta hanya melakukan pengelolaan saja. Perbedaan lainnya adalah di UKdibentuk Ofwat (Office of Water) suatu badan independen yang mengatur pelayanan airminum kepada publik. Di Prancis, pengaturan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.Ditinjau dari perdebatan ideologis keterlibatan swasta, butir masalah yang dijadikanargumen bagi pro privatisasi adalah diseputar yang menyangkut efisiensi, ketersediaanmodal untuk investasi untuk memperbaiki dan mengganti infrastruktur yang sudah usang,dan penyederhanaan birokrasi yang apabila dipegang swsata akan menjadi lebih ringkas,tidak berbelit-belit.Berseberangan dengan yang telah dikemukakan di muka, pihak yang kontra terhadapprivatisasi menganggap bahwa sebagai kebutuhan dasar manusia, penyediaan air minumlebih tepat dilakukan oleh pemerintah dan tidak cocok apabila dilakukan oleh swasta.Kontrak yang dilakukan swasta, menurut mereka, dapat memberi peluang adanya hiddencosts yang sulit dibuktikan karena terbatasnya informasi. Apalagi mengingat bahwapelayanan ini bersifat monopoli sehingga peluang untuk menaikkan harga menjadi terbukalebar. Monopoli swasta akan meningkatkan beban biaya dan mengabaikan kesehatan5556. Indonesiapublik. Pelayanan hanya mengutamakan pelanggan kaya yang mampu membayar, sehinggapelayanan bagi masyarakat miskin terabaikan. Selain itu, tidak ada bukti yang meyakinkanbahwa swasta lebih mampu melayani publik; justru sebaliknya yang terjadi, swasta tidakmemiliki track record yang menunjukkan bahwa mereka berhasil.Dari fakta empiris di lapangan, pada kurun waktu 1990-2006 terdapat 524 proyekketerlibatan swasta di sektor air minum di58 negara, terbanyak adalah jenis konsesi. Namundalam lima tahun terakhir, antara 2003-2007, keterlibatan swasta lebih banyak dilakukandalam greenfield project. 5657. IndonesiaPerkembangan yang menarik berlangsung pada kurun waktu 2001-2004, di mana pihakswasta melakukan rasionalisasi dalam menjalankan operasinya hanya untuk wilayah-wilayahtertentu saja. Salah satunya adalah RWE Thames yang menarik diri dari Jakarta dan hanyafokus pada bisnisnya di Eropah Tengah dan Eropa Timur. Thames PAM Jaya dijual kepadaAcuatico, perusahaan Singapura yang sebagian besar sahamnya dimiliki Kelompok Recapitaldari Indonesia. Demikian juga Suez menarik diri dari Asia dan Amerika Latin. Di Jakarta, Suezmenjual sebagian sahamnya kepada konsorsium Grup Astratel, anak perusahaan AstraInternational Tbk, dan Citi Group. Mayoritas dari pembeli adalah berbasis lokal. Salah satualasan kunci mengapa mereka menarik diri adalah negara berkembang seperti Indonesiatidak bisa menjamin tingkat pengembalian (rate of return) yang dibutuhkan olehinternational equity capital. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkatpengembalian investasi infrastruktur jatuh turun pada tingkat pengembalian cost of capitalMeski keterlibatan swasta meningkat, namun penyediaan air minum oleh swastasebenarnya jumlahnya kecil; dari seluruh penduduk dunia yang berjumla 6 milyar orang,hanya 5% yang dilayani oleh swasta. Kota-kota besar yang berpendapatan kecil ataumenengah penyediaannya masih didominasi oleh sektor publik. Menarik juga mengetahuiBelanda yang seluruh penyediaan air minum dilayani oleh sektor publik, namun merupakan5758. Indonesiasalah satu negara yang mendorong keterlibatan swasta dalam penyediaan air minumterutama di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.Meski privatisasi sudah berlangsung sejak 1990-an, studi yang terkait dengan keterlibatanswasta menyimpulkan hasil yang beragam. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:  Ditinjau dari sisi harga ada yang menyimpulkan bahwa utilitas swasta memiliki biaya yang lebih rendah dibanding perusahaan publik. Namn studi dengan fokus yang sama oleh peneliti lain menyimplkan bahwa tidak ada perbedaan antara publik dan swasta, malah utilitas publik memiliki biaya yang lebih rendah.  Studi lain menunjukkan bahwa air yang didistribusikan oleh swasta 27 % lebih mahal daripada yang disediakan oleh publik.  Ada juga studi yang mengukur kesuksesan atau kegagalan swasta dalam penyediaan air minum di Amerika Latin. Kegagalan di Venezuela disebabkan kurangnya pemahaman tentang privatisasi sehingga menghasilkan kebijakan yang kurang sesuai. Selain itu sektor publik tidak mempunyai kapabilitas memadai untuk mengawasiswasta,sehingga ketentuan dalam kontrak yang seharusnya dilaksanakan oleh swasta tidak terpantau dan tidak terawasi dengan ketat. Sebaliknya di Chile, peran serta swasta berhasil karena adanya penerapan standar baku dan badan regulasi independen.  Studi terhadap kasus privatisasi Meksiko menunjukkan dua hal yang signifikan; pertama keterlibatan swasta meningkatkan efisiensi dan akses; kedua, aspek keberlanjutan kurang mendapat perhatian.  Studi tentang privatisasi di Jakarta menunjukkan tidak adanya perbaikan pada tingkat pelayanan setelah 2 tahun kerjasama.. Meski beberapa studi menunjukkan swasta lebih efisien, tetapi pada kesimpulannya ternyata tidak banyak perbedaan antara efisiensi yang dicapai swasta dibandingkan dengan perusahaan publik.  Akhirnya dapat disimpulkan bahwa keterlibatan swasta di Jakarta bukanlah karena kesulitan keuangan untuk investasi dan bukan pula karena inefisiensi, tetapi hal ini terjadi karena adanya tekanan dari lembaga finansial internasional yang mengakibatkan ruang gerak penyusun kebijakan nasional menjadi sempit. Hal senada juga terungkap di Afrika: karena adanya tekanan yang bersifat finansial, 30 negara di Afrika memutuskan untuk mengundang swasta untuk mengoperasikan pelayanan infrastruktur air minum. 5859. IndonesiaPSP sering dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan dengan argumentasi bahwadengan adanya investasi, maka akan terjadi peningkatan kualitas pelayanan dan cakupanpelayanan, dengan demikian pelayanan akan menjadi lebih baik. Sebagai konsekuensinya,masyarakat miskin akan ikut menikmati pelayanan air minum. Namun yang terjadi adalah,dengan adanya investasi, maka biaya penyambungan akan semakin tinggi, tarif air minumakan dirasionalisasi ke angka keekonomian, artinya tarif akan semakin tinggi sehingga tidaklagi terjangkau oleh masyarakat miskin. Belum lagi apabila ada biaya tambahan akibatpeningkatan kualitas pelayanan. Ini berarti, meski pengelolaan air minum dilakukan olehswasta, masyarakat miskin tetap perlu dilindungi melalui subsidi oleh pemerintah.Mengenai pembiayaan air minum dan kaitannya dengan PSP, dapat ditarik kesimpulanbahwa besarnya kebutuhan dana untuk mencapai target MDGs membuat orangberkesimpulan bahwa dengan terbatasnya dana yang ada pada pemerintah, maka swastaakan dapat mengisi kesenjangan (gap) dalam hal pendanaan. Selain itu, diyakini bahwadengan dipegang oleh swasta maka efisiensi pengelolaan air minum akan dapatditingkatkan. Tetapi ada pendapat lain yang sama sekali bertentangan dengan apa yangdinyatakan di atas. Hall dan Lobina (2006) berpendapat bahwa sebagaian besar kontrakmanajemen dan lease tidak melibatkan badan usaha swasta sama sekali dalammemperluas jaringan dan penyambungan baru. Jikapun ada komitmen untuk melakukaninvestasi untuk memperluas jaringan, hal ini atau sering kali berubah, atau dibatalkan samasekali, atau malah tidak mencapai target.Sampai di sini, dengan melihat pro dan kontra privatisasi yang dipaparkan, pertanyaanyaadalah : apakah kita akan memilih rejim privatisasi atau non-privatisasi ? Buku inimenggambarkan bahwa pilihannya lebih dari sekedar pro atau kontra. Pembelajaran lahyang perlu untuk diambil sebagai simpulan. Pembejaran yang paling pokok adalahbagaimana memahami prinsip right to water dengan baik.Pemahaman bahwa hak untuk air (right to water), terutama air minum perpipaan yangsebagian besar terdapat pada kawasan urban, adalah hak dari rakyat sebagai warganegarayang harus dipenuhi oleh Negara. Melalui UU No. 11 Tahun 2005 Indonesia telahmeratifikasi kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, yang termasukdi dalamnya menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air. Selanjutnya, pada pasal5960. Indonesia5 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan bahwa negara menjamin haksetiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari gunamemenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif, yang berarti jaminan atas rightto water. Ditambahkan pada pasal 6 UU No. 7/2004 bahwa sumberdaya air dikuasai olehnegara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang mempertegasprinsip water right untuk rakyat.Permasalahannya adalah adalah bagaimana Pemerintah memahami water right dari sisisebagai penyedia hak atas air. Hak atas air berada pada muara dari tata kelola air. Dibelakangnya terdapat hak atas terdapatnya pengelolaan lembaga penyedia layanan air yangbaik, selanjutnya di belakangnya terdapat hak atas terdapatnya pengelolaan sumber airbaku yang baik, dan di belakangnya terdapat hak atas terdapatnya pengelolaan ataskawasan sumberdaya air yang baik. Di depan hak atas air yang berarti hak atasketersediaan air yang baik terdapat hak atas adanya pengelolaan sistem sanitasi dan limbahair yang baik. Pemahaman tata kelola hak atas air dapat digambarkan sebagai berikut.Gambar 4.1. Hak Atas Air Right to water (hulu) Hak atas terdapatnyapengelolaan atas sumberdaya air yang baik Hak atas terdapatnya pengelolaan atas air baku yang baikHak atas terdapatnya lembaga penyedia layananair (perpipaan) yang baikHak atas ketersedian air yang baik Hak atas ketersedian penyediaan sistem sanitasi dan limbah yang baik Right to water (hilir) 6061. IndonesiaKetersediaan air mimum perpipaan tidak ada dengan sendirinya, melainkan tergantungkepada fakta adakah lembaga pemberi layanan air perpipaan yang baik. Isu ini mengenakepada adakah PDAM telah memberikan layanan yang baik. Sejauh kata dibawa, hingga hariini simpulannya adalah sebagian besar PDAM tidak mampu memberikan layanan yang baik.Diperkirakan kurang dari 10% PDAM yang sehat secara keuangan, kemudian mampumelayani dengan baik karena mempunyai manajemen yang baik. Pertimbangan yangseringkali diberikan pada saat ini jika PDAM tidak perform adalah hutangnya banyak danmanajemen tidak profesional. Pahadal, masalahnya tidak di situ.Penyebab pertama pelayanan PDAM tidak baik sebelum manajemen yang buruk adalahkeuangan yang buruk. Total hutang PDAM sekitar Rp 5 trilyun, dengan pengutang terbesaradalam PDAM DKI Jakarta dengan total pinjaman kepada Pemerintah Pusat pada tahun2009 sekitar Rp 1,2 trilyun, dan hutang kepada mitra swasta diperkirakan sekitar Rp 700milyar. Mengapa hutang PDAM begitu besar? Karena Pemerintah tidak bersedia melakukanpublic investment untuk membangun infrastruktur penyedia layanan air minum perpipaan.Sebagai contoh, di Jakarta, seluruh investasi untuk instalasi penjernihan air, jaringan pipaprimer, dan jaringan pipa sekunder dibebankan kepada PDAM, yang berarti dibebankankepada tarif, yang berarti dibebankan kepada masyarakat. Pada sejumlah negara, seperti diAustralia, Malaysia, Singapura, Hongkong, Spanyol, dan Prancis, negara melalui PemerintahDaerah melakukan investasi infrastruktur publik untuk sarana air minum perpipaan, palingtidak pada instalasi penjernihan air. Ini merupakan bukti implementasi pemahaman bahwapenyediaan air adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, operatorpenyediaan air perpipaan, baik perusahaan daerah ataupun swasta, hanya menanggungbiaya operasional, yang termasuk di dalamnya sambungan tersier, yaitu sambungan keperumahan. Tarif air perpipaan menjadi efisien. Tidak perlu dilakukan setiap tahun. Dantidak membebani operatornya, siapa pun operatornya. Ketidaksediaan untuk menanggunginvestasi publik dengan berbagai alasan, adalah bentuk nyata upaya untuk berkelit daritugas dan tanggung jawab. Di mana pun PDAM, tidak akan mampu melakukan self-financing jika biaya infrastruktur publik dimasukkan, karena memang khittah dariinfrastruktur publik adalah high-investment and low return. Karena itu lah para cerdik danbijak meletakkan keharusan membangun pelayanan publik menjadi tugas negara, karenanegara telah memungut pajak, dan hak atas pelayanan yang baik ada di dalam setiap pajakyang dibayarkan warganegara. 6162. IndonesiaPertimbangan lain, investasi untuk infrastruktur publik tidak akan pernah terkejar dari sisiharga atau tarif. Terlebih, jika tidak diberikan tarif yang tinggi. Di Indonesia air PAM bukansaja sekedar public goods, melainkan juga political goods. Para pimpinan daerah sejakdibentuknya PDAM memilih untuk menjaga agar tarif air PAM tetap rendah agarmendapatkan popularitas dan dukungan publik yang berkesinambungan. Di sisi lain,investasi dibebankan kepada PDAM. Ditambah dengan manajemen yang kurang baik, makalengkaplah proses self-defeating PDAM. Privatisasi adalah penyelesaian yang tidak kalahburuk. Sebagai contoh, di Jakarta biaya investasi atau capital expenditure (capex) dari mitraswasta senantiasa naik dari tahun ke tahun. Bersamaan dengan itu, tarif didesak untuknaik. Karena sudah swasta, maka Pemerintah “terpaksa” membuat mekanisme agar tarifdapat naik terus. Bahkan, selama tiga tahun (2004-2007) terdapat kebijakan penyesuaiantarif otomatis yang dapat dilaksanakan setiap semester. Artinya, setiap semester tarif PAMdapat dinaikkan. Pada kenyataannya, pelayanan tidak dapat ditingkatkan secara signifikansesuai dengan investasi yang ditanamkan. Ada pertimbangan, investasinya tidak efektif.Namun, kenyataannya adalah memang investasi tersebut tidak mudah untuk diskemakanuntuk dikembalikan untuk jangka waktu tertentu. Yang terjadi adalah investasi kemudiantarif naik, bukan untuk kebutuhan return on investment, tetapi untuk kebutuhan menutupinvestasi itu. Karena investasinya tidak dapat ditutup oleh tarif, terkecuali tarif dapatditetapkan secara arbitrer oleh operator, yang berarti lonjakan tarif yang luar biasa, dan airPAM makin absah sebagai komoditi atau private goods.Solusi instan yang biasanya diambil adalah “subsidi silang”. Ini adalah “penyakit malasberfikir” yang diidap banyak pengambil kebijakan. Subsidi silang artinya, kelompok kayamembayar sangat mahal, kelompok miskin membayar murah. Ada tiga komplikasi yangmengikutinya. Pertama, kejengkelan (yang pasti tidak diungkap) oleh kelompok kaya, bahwamereka sudah dikenai pajak yang tinggi karena kaya, masih harus mensubsidi orang miskin.Kalau memberikan derma, hal itu dapat diterima. Namun, mensubsidi orang miskin adalahtugas Pemerintah yang sudah menerima pajak. Terkecuali, tidak ada pajak, maka orangkaya harus berbagi kekayaan dengan orang miskin. Pajak adalah mekanisme share ofwealth yang sah, legal, dan rasional. Ke dua, kelompok miskin juga melakukan kejahatanpublik. Rata-rata pelanggan rumah tangga non-subsidi di Jakarta mengkonsumsi 30 meterkubik per bulan. Sementara itu, rumah tangga disubsidi mengonsumsi sampai 40 meterkubik per bulan. Karena harganya murah, ada kecenderungan menggunaan air dengan 6263. Indonesiaboros. Subsidi seperti memasukkan koin ke kantung celana berlubang. Kontribusi yangrelatif sia-sia. Ke tiga, karena pelanggan kaya memberikan pendapatan terbaik, makaoperator PAM, entah swasta atau PDAM, cenderung mengutamakan pelanggan kayadaripada miskin.Sementara itu, jika Pemerintah mematok harga tanpa mau berinvestasi di infrastrukturdasar, maka sepatutnya Pemerintah yang memberikan subsidi melalui pola public serviceobligation. Jadi, tarif dapat dipatok wajar, tetapi Pemerintah membayar kekurangan bayardari kelompok masyarakat miskin yang tidak mampu menjangkau tarif yang “wajar”tersebut. Hingga hari ini, tidak satu pun Pemda yang bersedia mengalokasikan sebagianAPBD-nya untuk membayar subsidi dalam bentuk PSO ini.Pembelajaran pertama : Pemerintah Indonesia masih memahami air bukan sebagai publicgoods yang harus disediakan oleh negara, baik secara langsung atau pun tidak langsung.Baik dari sisi ketidaksediaan melakukan investasi pada infrasruktur dasar maupunketidaksediaan membiayai subsidi untuk orang miskin melalui mekanisme yang wajar, yaituPSO.Mundur ke belakang, adalah hak atas terdapatnya pengelolaan sumber air baku yang baik.Dengan alasan keterbatasan dana, maka Perum Jasa Tirta, pengelola bendungan-bendungan di Indonesia, terutama di Jawa mempunyai kendala untuk mendapatkanpembiayaanyangmemadai.Sumber di BUMNpengelolabendungan pernahmengemukakan, “Kami tidak pernah mendapatkan cukup anggaran. Bahkan untuk biayapemeliharaan jaringan pun kami tidak mendapatkan dana yang mencukupi”. Pembiayaanterbatas untuk pengelolaan air baku diperburuk dengan rendahnya kualitas kebijakan yangmengatur kewajiban industri untuk menjaga agar limbahnya tidak mencemari air. TarumBarat, yang mengalir dari Bendung Jatiluhur ke Jakarta, tercemar oleh tiga sungai di Bekasi,dengan sungai yang paling berat pencemarannya adalah Kali Bekasi. Dengan demikian,pengelola air PAM di Jakarta terpaksa mempergunakan bahan kimia lebih banyak darikondisi wajar air Tarum Barat sebelum masuk ke Jakarta. 6364. IndonesiaTrie M. Sunaryo, dari Kemitraan Air Indonesia, dalam “Sistem Pembiayaan Pengelolaan SDAWS Brantas” melakukan kajian tentang Perum Jasa Tirta I yang mengelola wilayah SungaiBrantas33. Disampaikan bahwa wilayah Sungai Brantas mempunyai luas tangkapan hujan11.800 km2 (25% Jawa Timur), Penduduk 18 juta (43% Jawa Timur), Curah hujan 2,000mm/ th, Potensi air 12 milyar m3/th, Panjang sungai 320 km, dengan tata guna lahan :sawah 26.5 %, tegalan 22.5 %, tanaman 4.0 %, hutan 26.4 %, hunian 19.4 %, lain-lain 1.2%. Investasi bagi bendungan Brantas menelan nvestasi Rp. 7,38 trilyun untukpengembangan SDA antara lain membangun Waduk 8 (delapan) buah untuk memasok airbaku (irigasi, industri, rumah tangga), PLTA, pengendalian banjir. Manfaat pengembanganSDA Brantas meliputi pengendalian banjir untuk skala periode 50 tahunan, pasokan airirigasi untuk 345,000 ha sebesar 2,400 juta m3/tahun, energi listrik 1,200 juta kWh/th, airbaku untuk industri & air minum 350 juta m3/th.33Sumber : http://www.inawater.org/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=706465. IndonesiaDikemukakan oleh Sunaryo, bahwa sebelum 1990 semua pembiayaan pengelolaan SDAwilayah sungai Brantas didanai dari Pemerintah 100 % tanpa ada kontribusi dari pemanfaat,bahkan yang komersialpun gratis mendapatkan air. Pada 1990 Pemerintah membentukPerum Jasa Tirta untuk menerapkan Konsep dasar Pemerintah mengenai sistempembiayaan pengelolaan SDA wilayah sungai Brantas pertama untuk layanan penyediaan airbaku komersial (industri, air minum, energi listrik), pemanfaat berkewajiban membayar jasapengelolaan SDA berupa iuran Operasi & Pemeliharaan sarana dan prasarana terkait yangditetapkan Pemerintah kepada Perum Jasa Tirta, untuk layanan publik (pengendalian banjir,pengendalian kualitas, penyediaan air baku untuk kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari)dan penyediaan air irigasi, Pemerintah menyediakan dana jasa pengelolaan SDA berupadana Operasi & Pemeliharaan sarana dan prasarana tekait untuk layanan publik (PublicService Obligation / PSO) kepada Perum Jasa Tirta, dan untuk pembangunan prasarana SDAdidanai Pemerintah dan dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah.Menurut Sunaryo, sampai dengan tahun 2007 konsep tersebut berhasil diterapkan dengancatatan sebagai berikut. Pertama, pemanfaat komersial (industri, air minum, energi listrik)telah membayar jasa pengelolaan SDA berupa iuran Operasi & Pemeliharaan sarana danprasarana terkait sesuai tarip yang ditetapkan Pemerintah, dengan tarif yang ditetapkanPemerintah belum sepenuhnya cost recovery, mengingat penerapannya secara bertahapdan dengan pertimbangan bahwa di wilayah sungai yang lain masih belum diterapkan iuranserupa. Ke dua, Pemerintah telah memberikan PSO (Public Service Obligation) kepadaPerum Jasa Tirta sebagai kewajiban Pemerintah dalam pelayanan publik yang dilaksanakanoleh Perum Jasa Tirta. Ke tiga, besaran dana PSO belum memadai dibandingkan denganpengeluaran Perum Jasa Tirta untuk melaksanakan kewajiban Pemerintah dalam pelayananpublik. Ke empat, Pemerintah telah membangun secara bertahap prasarana SDA untukmelengkapi pengembangan SDA di wilayah sungai Brantas dengan membentuk lembagayang melaksanakan pembangunan. Ke lima, akibat kondisi tersebut di atas, maka kinerjaPerum Jasa Tirta dalam Operasi & Pemeliharaan Sarana dan Prasarana SDA WS Brantastidak optimal, seperti tampak pada tabel berikut ini :6566. Indonesia Tahun Uraian19921993 19941995199619971998 Pendapatan dari iuran (Milyar Rp.) 9.0410.2611.52 16.34 17.72 19.06 21.64 Biaya O&P (Milyar Rp.) 21.70 22.8029.10 30.60 38.70 41.40 43.10 Derajat Ketersediaan Dana O&P (%)41.65 44.9839.59 53.38 45.78 46.03 50.20Tahun Uraian1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Pendapatan dari iuran (Milyar Rp.) 26.99 28.62 29.08 32.97 38.5745.40 55.71 Biaya O&P (Milyar Rp.) 84.1 86.1 95.1 104.4 115.1 130.6 139.1 Derajat Ketersediaan Dana O&P (%)32.09 33.24 30.58 31.58 33.5034.76 40.07Pada tahun 2006, Jasa Tirta I mengajukan PSO melalui APBN-P sebesar Rp 37 miliar. Padasaat diajukan pun, sebagaimana dikemukakan pihak Jasa Tirta sendiri, kemungkinan besardana PSO yang disetujui hanya sekitar Rp 5 miliar 34. Simpulannya, pengelola pelayanansumber air baku tetap dibebani tugas-tugas operasional yang maksimal dengan anggaranlebih dari yang tersedia.34 http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=152902 6667. IndonesiaPembelajaran ketiga, hak atasterdapatnya pengelolaan atas kawasansumberdaya air yang baik. Pertanyaannyaadakah Pemerintah telah mampu menjagakawasan hutang di hulu sungai yangberfungsi sebagai resapan air, untukkemudian muncul sebagai sumber airsungai. Limbah kebijakan lingkunganhidup berupa kebijakan pembangunanekonomi, industri, dan otonomi daerahyang tidak align dengan pembangunanlingkungan menjadikan Indonesia sebagainegara penghancur hutan tercepat didunia, dengan kecepatan 1,871 juta hektar lahan hutan per tahun. Kawasan hulu sungaimenjadi salah satu kawasan yang paling terancam kepunahan. UU SDA belum bisa berjalansebagai pelindung hak atas terjaminnya kelestarian kawasan hulu sungai. Mungkin,beberapa tahun kemudian akan dapat dilaksanakan. Tetapi, hutan-hutan tersebut telahhilang. Penghutanan kembali dan menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan resapanutama memerlukan waktu sekitar 50 tahun.Hak atas air juga berkenaandenganhak atasadanyapengelolaan sistem sanitasi danlimbah air yang baik. KawasanperkotaanIndonesiadenganperlahan dan pasti melakukankesalahanyangsama:menjadikansungai sebagaitempat sampah raksasa, baiksampah rumah tangga maupunindustri. Pelakunya mulai darimasyarakat kelompokbawahhingga industri raksasa. Jakarta bahkan “dikutuk” oleh tiga belas sungai yang mengalirinya.6768. IndonesiaKutukan itu adalah tidak ada satu sungai pun yanglayak untuk diolah menjadi air baku. Tingkatpencemaran sudah berada pada tingkat yang palingparah untuk dapat diolah kembali. Sementara ituproposal dari Badan Regulator PAM Jaya untukmembangun Deep Tunnel ditolak oleh Pemerintah.Program revitalisasi Kali Besar yang diajukan oleh ahlilingkungan hidup, Dr. Firdaus Ali dari UniversitasIndonesia, diterima, tetapi terkendala entah di mana,sehingga implementasinya tidak kunjung merealita.Simpulannya adalah privatisasi atau bukan privatisasi adalah sebuah pertanyaan yanghakiki. Permasalahan pokoknya adalah bagaimana Pemerintah menilai pelayanan air PAMatau perpipaan. Air minum perpipaan adalah infrastruktur publik yang menjadi kewajibanPemerintah untuk memenuhi. Pembangunan instalasi penjernihan air dan infrastrukturprimer adalah investasi yang non-returanble-investment. Investasi yang diperlukan lebih darirata-rata kemampuan-bayar-tarif dari publik. Pengalaman Jakarta, investasi pembangunanIPA PAM Jaya yang dibiayai dari hutang two-step loan Bank Dunia, pada akhirnya tidakmampu dibayar, dan mengakibatkan pada saat ini PAM Jaya berbeban hutang Rp 1,5 trilyunkepada Pemerintah Pusat. Permasalahannya adalah tidak “setiap saat” tarif PAM dapatdinaikkan. Pada kondisi ekonomi normal, upaya penaikan tarif dapat menciptakankeresahan sosial, terlebih dalam situasi ekonomi yang berat. Pada saat ini, PAM Jaya telahdi”privatisasi” dalam bentuk konsesi selama 25 tahun. Investasi terbesar memang telahdilakukan oleh PAM Jaya, sehingga mitra swasta tidak perlu lagi mengeluarkan biayaraksasa. Namun demikian, umber di Badan Regulator PAM, meragukan biaya investasi ataucapital expenditure yang dikeluarkan setiap tahun dapat memberikan kontribusi tambahanpendapatan lebih besar, atau paling tidak, sama dengan pengeluaran untuk investasi.Bahkan, investasi yang besar ternyata tidak memberikan peningkatan pelayanansebagaimana diharapkan. Data berikut ini menunjukkan bahwa mitra swasta ternyatasemakin jauh dari kemampuannya memenuhi janji sesuai target, sehingga melakukanproses penyesuaian target yang semakin jauh dari target awal. 6869. Indonesia Target Target NoTarget Capaian Tahun (re-basing (re-basing.(awal) (riil) 1) 2) 1 199858,35 %61,17 % 2 199954,79 %57,94 % 3 200048,51 %50,94 % 4 200147,15 %50,78 % 5 200245,38 %47,75 % 6 200343,50 %44,65 % 45,26 % 7 200441,63 %45,34 % 47,81 % 8 200539,76 %41,75 % 50,36 % 9 200637,89 %39,86 % 51,17 % 10200736,02 %37,99 % 51,01 % 11200835,06 %36,92 % 48,25 % 50,20 % 12200934,11 %35,56 % 47,15 % 46,78 %* 13201033,15 %34,18 % 46,05 % 14201132,19 %32,77 % 44,52 % 15201231,23 %31,21 % 43,25 % 16201330,28 %30,00 % 41,62 % 17201429,32 %28,68 % 40,00 % 18201528,36 %28,05 % 38,37 % 19201627,40 %27,29 % 37,00 % 20201726,45 %27,01 % 35,62 % 21201825,93 %26,74 % 34,44 % 22201925,41 %26,50 % 33,37 % 23202024,89 %26,24 % 32,24 % 24202124,37 %26,30 % 31,14 % 25202223,85 %26,29 % 29,93 %* data hingga Februari 2009Sumber : Irzal Z. Djamal, dkk, Penurunan Kehilangan Air: Pengalaman Jakarta Setelah Kerjasama Pelayanan AirMinum PAM Pemerintah-Swasta 1998-2008, Jakarta: BR PAM, 2009Dari tabel di atas pun kita dapat menyimak, bahwa kerjasama dengan swasta tidakmenjamin Jakarta dapat mencapai target Millenium Development Goals di air minumperpipaan di perkotaan pada tahun 2015, sebagaimana ditargetkan. Achmad Lanti dkk.,dalam Sepuluh Tahun Kerjasama Kemitraan Pemerintah-Swasta Air Minum di DKI Jakarta1998-2008 (2008) mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan kualitas air, berbedadengan kondisi di negara – negara yang lebih maju, di Indonesia, air yang keluar dari kerantidak bisa langsung diminum, mesti direbus terlebih dulu agar layak diminum. Dari sudutpandang pemanfaatan energi, kondisi ini sebenarnya jauh dari efisien, karena masyarakatJakarta harus untuk memasak air PAM tersebih dahulu sebelum dikonsumsi. Meski belumada penelitian tentang kebutuhan energi untuk memasak di jakarta, tetapi diperkirakankonsumsi energi yang diperlukan untuk memasak air saja sudah sangat besar. Kondisipelayanan pun masih mencemaskan. Pada Januari 2009, dilaporkan terdapat 64.500 6970. Indonesiapelanggan yang tidak mendapatkan air karena kurangnya tekanan (no water), dari 141.000pelanggan yang tidak mengkonsumsi air (zero consumption). Sebagian besar pelanggantersebut dilaporkan terus ditagih atas biaya air yang tidak mereka terima.Berkenaan dengan tarif, pada penelitian daya bayar masyarakat (affordability survey) akanair PAM di Jakarta yang dilakukan konsultan independen pada bulan Nopember-Desember2008 menemukan bahwa tingkat tarif rata-rata di DKI Jakarta telah masuk ke pada kategorisaturated, atau terlalu tinggi untuk dinaikkan lagi. Kondisi ini terutama pada kelompokpensubsidi, yaitu kelompok III B hingga kelompok khusus. Bahkan, menurut Departemen PU,tarif rata-rata PAM Jakarta relatif lebih tinggi dibanding kota-kota besar di Asia Tenggara, diantaranya Bangkok, Manila, Kuala Lumpur Johor Baru, dan Singapura (Achmad Lanti, 2008,dkk). Dibanding kota-kota lain di Indonesia, dapat dipastikan tarif Jakarta adalah yangtertinggi. Ditengarai tingginya harga air bersih per unit ini disebabkan oleh proses provision,produksi dan delivery air bersih masih di bawah tingkat efisiensi yang diperlukan. Inefisiensitersebut dibebankan pada konsumen. Dengan demikian, ternyata mengundang swastasebagai pengelola pelayanan PAM belum menjadi jaminan pelayanan menjadi baiksebagaimana diharapkan. Pada kasus seperti di Australia, Pemerintah Melbuorne menunjuksebuah otorita untuk mengelola pelayanan PAM. Otorita tersebut semacam badan di bawahPemerintah, dan bukan swasta. Namun demikian, pelayanan yang diterima masyarakatdapat dikatakan memuaskan. Di Singapura, Pemerintah mendirikan badan otorita yangsama untuk mengelola air minum, dengan hasil yang memuaskan. Kuala Lumpur dan JohorBaru memilih untuk menyerahkan penguasaan dan pengelolaan air PAM kepadaperusahaan patungan, antara perusahaan milik daerah dengan perusahaan swastadomestik, dengan hasil yang memuaskan.Pertanyaannya adalah, bagaimana jika Pemerintah sudah terlanjur membebankan kepada“pihak lain”, sehingga biaya tarif menjadi di atas kewajaran. Jawabannya tinggal satu:bentuk Public Service Obligation atau PSO. Mengapa, karena Pemerintah memberikanpenugasan yang menjadi tugasnya kepada pihak lain. Kekurangan-biaya ini harusditanggung pemberi tugas, yaitu Pemerintah. PSO menjadi lebih rumit, jika Pemerintahmenyerahkan penugasan tersebut kepada swasta, karena secara anggaran, swasta tidakberhak menerima uang Pemerintah yang berasal dari pajak. Logikanya, sebagai konsekuensidari penyerahan kewajiban Pemerintah kepada swasta, maka jika swasta mengalamimasalah dalam pembiayaan yang wajar, Pemerintah memberikan “subsidi” dalam bentuk7071. IndonesiaPSO. Pemecahannya adalah bahwa mekanisme PSO harus ditata agar tidak menyalahiaturan administrasi publik, yaitu hanya dapat diberikan kepada badan layanan umum ataubadan usaha yang dimiliki negara. Satu catatan kritis adalah, pemberian PSO harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, karena swasta sering dengan sangat “cerdas”menyembunyikan ketidakmampuannya dengan cara memaksa meminta PSO.Kotak 4.1 Public Service Obligation (PSO)PSO adalah konsep yang bari berkembang akhir 1990an. Salah satu pemrakarsanya adalah AsianDevelopment Bank (ADB). Tidak sulit sebenarnya untuk memahami PSO. Yang pasti, PSO berbedadengan subsidi, meski banyak fihak yang mempertukarkannya.Subsidi adalah peristiwa di mana Pemerintah mengeluarkan dana untuk membiaya pengeluarandari masyarakat miskin atau tidak mampu. Di masa lalu subsidi untuk produk pelayanan yang non-consumtion disebut subsidi, sebagaimana untuk yang produk yang dikonsumsi (secara habis). Jadi,pada masa lalu ada subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, subsidi pupuk, dan subsidi BBM.Pemahaman terkini adalah bahwa subsidi diberikan hanya kepada produk yang tidak dikonsumsi,atau tidak habis dalam sekali konsumsi. Jadi, subsidi diberikan kepada pelayanan-pelayanan yangdiberikan oleh pemerintah dalam bentuk pelayanan jangka panjang. Misalnya, subsidi pendidikan,dalam bentuk beasiswa atau tunjangan pendidikan, dan kesehatan, dalam bentuk subsidi untukpelayanan kesehatan di Puskesmas, subsidi bagi ongkos berobat.Sementara itu, ada pula kegiatan yang seharusnya dilakukan pemerintah, namun karena alasan-alasan khusus, maka pemerintah tidak menyelenggarakannya. Misalnya penyediaan air bersih. Dimasa lalu, pemerintah yang melayani secara langsung penyediaan air bersih, kemudian diserahkankepada perusahaan daerah –ada yang diswastakan ada yang tetap PDAM. Dengan demikian,proses penyediaan air minum dikelola melalui proses bisnis, dan bukan proses birokrasi.Proses bisnis memerlukan satu hal: laba, dalam rangka menjaga kesinambungan usaha. Karenaitu, ditetapkan harga jual tertentu, agar perusahaan memperoleh marjin laba. Namun, bagaimanajika terdapat suatu populasi yang tidak mungkin mencapai harga tersebut, padahal merekamemerlukan air bersih? Pemerintah kemudian menetapkan tarif harga jual produk tersebut.Masalahnya, bagaimana jika harga jual tersebut berada dibawah biaya produksi atau operasi?Artinya, ada selisih negatif antara harga jual dengan harga produksi (plus laba). Di sini lah munculklausul PSO.Karena pemerintah yang menentukan tarif, maka pemerintah harus menanggung kerugian akibatpenetapan tarif tersebut. Jadi, selisih negatif dikalikan dengan volume yang dikonsumsi/terjualkepada kelompok miskin tersebut yang harus dibayar oleh pemerintah. Inilah inti pemahaman PSO.Bukankah ada subsidi silang dari kelompok kaya? Benar. Tetapi bukanlah tidak fair, jika seluruhnyaditanggung secara subsidi silang? Bukankah kelompok ini juga telah membayar pajak kepadapemerintah, termasuk pajak penggunaan air bersih yang dipergunakanya?Jadi, PSO adalah bagian dari tanggung-jawab pemerintah atas keputusan publik yang dibuatnya.Apabila keputusan tersebut tidak merugikan proses bisnis, demi kesinambungan pelayanan, makatidak perlu PSO, namun jika sampai merugikan, baru diperlukan PSO.7172. IndonesiaDengan demikian, buku ini hendak diakhiri dengan sebuah kenyataan baru, bahwapertanyaannya bukanlah to privatize or not to privatize, melainkan bagaimana kita menilaipelayanan air minum perpipaan. Pelayanan air minum perpipaan, terutama di perkotaan,merupakan tugas atau tanggungjawab Pemerintah. Tanggung jawab tersebut minimaldirealisasikan dalam kesediaan dari Pemerintah untuk menanamkan investasi kepadainfrastruktur dasar pelayanan air minum perpipaan, yang berkenaan dengan instalasipenjernihan air dan jaringan primer. Sisanya diserahkan kepada operator, apa punbentuknya, otorita, perusahaan daerah, ataupun swasta. Dengan demikian, masyarakatmembiayai hanya untuk investasi jaringan sekunder dan tersier, dan biaya pemeliharaan.Gagasan yangserta-mertamendikotomikan kebijakanuntuk meprivatisasiatau Pemerintahmempunyaitidak memprivatisasi bukan Dikelola olehkeandalan untukPemerintah sendirimembangunsaja gagasan yang keliru,dalam bentukinfrastruktur, tetapi birokrasi pemerintahtetapi tidak relevan. Terlebihmempunyaiatau otoritaketerbatasan untukjika yang mengarus-utamakan Pelayanan PAMmengelolaadalahwacanatersebutadalah tugas/tanggungjawab PemerintahPemerintah.ApapunDiserahkan Pemerintahalasannya, kebijakan tersebut pengelolaan kepadamembangunperusahaan daerahdapat mengundang kritik infrastruktur, atau swasta, atau lembaga bisnispatungan, ataubahwa Pemerintah lari dari sebagai pengelolakonsesitanggung-jawabnya untukmenyediakankebutuhandasar bagi publik setelah menerima pembiayaan dari instrumen fiskal dari negara. Pilihanbijaksana adalah memastikan bahwa pelayanan PAM adalah tugas dan tanggung jawabPemerintah, yang diwujudkan dalam investasi publik di infrastruktur dasar. Setelahitu pilihantergantung kemampuan manajemen. Jika birokrasi mempunyai kecakapan manajerial, dapatdibentuk badan otorita yang mengelola pelayanan dengan pola seperti bisnis. Namun jikabirokrasi tidak mampu, pilihannya adalah mendirikan perusahaan milik Pemerintah(Daerah) atau jika perusahaan tersebut tidak mampu, maka baru kemudian pilihannyamengundang mitra swasta untuk menggandeng perusahaan milik pemerintah tersebut, baikdalam bentuk konsesi ataupun patungan. Dengan demikian, privatisasi atau tidak,merupakan secondary issue dari pelayanan air minum PAM.--ooo0ooo- 7273. IndonesiaDAFTAR ISTILAHAD/ART Anggaran Dasar/Anggaran Rumah TanggaADBAsian Development BankAPBDes Anggaran Pembangunan dan Belanja DesaATBPT. Aditia Tirta BatamBOTBuild Operate TransferBPABSBadan Pengelola Sarana Air Bersih dan SanitasiBPAM Badan Pengelola Air MinumBPDBadan Perwakilan DesaBUMN Badan Usaha Milik NegaraCASCountry Assistance StrategyCBOCommunity-based OrganizationDGIS The Directorate General for International Cooperation, Dutch Ministry of Foreign AffairsDSAPT. Dream Sukses AirindoJKMJaringan Kesejahteraan/Kesehatan MasyarakatKeppresKeputusan PresidenKK Kepala KeluargaKTDP PT. Karta Tirta Dharma PangadaLOILetter of IntentLSMLembaga Swadaya MasyarakatMDGs Millenium Development Goals (MDGs),MKRI Mahkamah Konstitusi Republik IndonesiaMNCMultinational CorporationsMTIMitra Tirta IndonesiaOffwat Office of Water ServicesP3SW Public-Private Partnership Water SectorPDAM Perusahaan Daerah Air MinumPMAPenanaman Modal Asing7374. IndonesiaPPP Public Private PartnershipPPSAB Panitia Pembangunan Sarana Air BersihPRSLPolicy Reform Support LoanPSP Private Sector ParticipationREOTRehabilitasi, Expansi, Operasi, dan TransferSAP Structural Adjustment ProgramSSWPSmall Scale Water ProvidersSUSENAS Survei Sosial Ekonomi NasionalTPJ PT Thames PAM JayaUUUndang UndangWATSAPWater Resources Sector Adjustment ProgramWFI Water Fund Indonesia BVWDM World Development MovementWSLIC Water Supply for Low Income CommunityDAFTAR PUSTAKABahroelim, Budhi Yonanta. Public-Private Partnerships Non-Profit in Water Services: Case Studies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007.Gardiner, Peter dkk. Indonesia Small Scale Water Providers Study. Final Report. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP), 2007.Mungkasa, Oswar ed. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia.Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Kelompok Keja Air Minum dan PenyehatanLingkungan, Jakarta, 2008.7475. i


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.