Kerja Magang Di Pangreh Praja

April 5, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

1 MAGANG: SISTEM REKRUITMEN KORPS PANGREH PRAJA MASA KOLONIAL Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Sejarah Indonesia Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. Oleh TSABIT AZINAR AHMAD NIM S860209113 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009 2 MAGANG: SISTEM REKRUITMEN KORPS PANGREH PRAJA MASA KOLONIAL Tsabit Azinar Ahmad PENDAHULUAN Pada masa pemerintahan kolonial, terjadi diferensiasi masyarakat yang diadasarkan pada warna kulit (color line). Golongan yang secara politik dan ekonomi menduduki tempat teratas dalam susuna masyarakat itu adalah orangorang Belanda. Golongan Belanda dan Eropa merupakan salah satu kelompok sosial baru yang ada setelah berkembangnya imperialisme dan kolonialisme di Indoesia. Bangsa Eropa ini menempati posisi-posisi yang penting pada saat terjadi imperlialisme di Indonesia. Golongan-golongan ini terdiri atas (1) Bangsa Belanda dan keturunannya, (2) bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Portugis, Perancis, Inggris, dan lain sebagainya, serta (3) orang-orang bangsa lain (bukan Eropa) yang telah dipersamakan dengan Eropa karena kekayaan, keturunan bangsawan, pendidikan. Selain itu, ada pula golongan timur asing. Golongan timur asing pada saat kekuasaan pemeritah kolonial ini terdiri atas masayarakat yang berasal dari bangsa Cina, India, dan Arab. Golongan timur asing ini telah datang ke kawasan Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dan telah melakukan interaksi dengan masyarakat pribumi dalam bidang perekonomian, khususnya perdagangan. Pada saat pemerintahan kolonial, mereka memiliki kedudukan yang istimewa. Mereka memegang posisi yang strategis dalam bidang perekonomian. Golongan ketiga adalah golongan pribumi. Golongan pribumi pada dasarnya adalah golongan yang memiliki hak atas kepemilikan negeri. Hal ini disebabkan golongan pribumi telah turun-temurun mendiami dan mengolah alam di Nusantara. Pada saat penguasaan kolonial di Nusantara, golongan pribumi menjadi korban penindasan. Golongan ini memiliki status sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan-golongan lainnya. Diferensiasi yang disebabkan oleh warna kulit ini memunculkan konsekuensi adanya perbedaan dalam sistem birokrasi yang mengatur kehidupan masyarakat masa kolonial. Pada kuartal kedua abad XIX mucul dualisme birokras di daerah kolonial. Di satu sisi terdapat sistem politik yang berpusat pada seorang 3 Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia membawahi berbagai departemen. Di bawah Gubernur Jenderal terdapat berbagai pejabat administrasi dan kedinasan seperti Residen, Asisten Residen, Controleur, dan Aspirant Controleur. Elite birokrasi itulah yang dinamakan Binnenlands Bestuur (BB), yang dalam praktiknya hanya berkaitan dengan masyarakat eropa dan timur asing (Leirissa, 1985: 9-10). Sementara itu masyarakat pribumi diatur oleh sistem birokrasi tradisional yang berada di bawah BB, yang dinamakan Inlandsche Bestuur atau Pangreh Praja (PP). Adanya pejabat-pejabat pribumi yang terdiri atas para bupati, patih, wedana, camat, dan lain-lain merupakan bagian dari indirect rule dari pemerintahan kolonial, yang berarti sebuah strategi pemeritahan yang masih tetap menggunakan penguasa-penguasa lokal untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu ketika sistem baru yang disusun ternyata tidak dapat sampai pada tingkat rakyat bawah. Adanya dualisme birokrasi masa kolonial merupakan hal yang menarik. Karena di satu sisi terdapat sistem birokrasi yang modern, tetapi di satu sisi masih terdapat satu sistem birokrasi yang bersifat tradisional, baik dari susunan hierarkisnya maupun dari sistem rekruitmennya. Susunan hierarkis dari PP berada di tangan para penguasa lokal meliputi Bupati dan jajarannya sampai pada tingkat desa. Ditinjau dari sisi rekruitmen, pola rekruitmen sebagian pangreh praja masih menggunakan pola rekruitmen lama yang didasari pada konsep ngenger dan magang. Dari latar belakang pemikiran di atas, tulisan ini secara ringkas berupaya untuk menjelaskan sistem rekruitmen korps pangreh praja, terutama pada konsep magang sebagai satu sarana untuk masuk dalam jajaran birokrasi. MUCUL DAN BERKEMBANGNYA KORPS PAGREH PRAJA Pada abad XIX ketika Kumpeni diambil alih penguasaanya oleh pemerintah Belanda, daerah-daerah yang menjadi yuridiksi Kumpeni di Jawa menjadi daerah administrasi pemerintah kolonial Belanda (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo, 1993: 14). Daerah-daerah yang menjadi wilayah yuridiksi Kumpeni yang diambil alih penguasaannya oleh pemeritah kolonial Belanda adalah wilayah pesisir. Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan 4 Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara saja (Wasino, 2005: 19). Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak) dan Pesisir Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura). Pada perkembangannya, pada masa pemerintahan Inggris daerah kekuasaan kerajaan di Jawa mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Kedu yang pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris melalui perjanjian dengan Hamengku Buwono II yang kalah dalam pertempuran. Kemudian, setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan (Ong Hok Ham, 1984:3). Pringgodigdo seperti dikutip Wasino (2005) menyatakan Mancanegara barat meliputi Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah, Kalibeber, Roma, Jabarangkah, Pamerden, Wora-Wari, Tersono, Kerincing, Bobotsari, Kartanegara, Daya Luhur, Brebes, Lebaksiu, Balapulang Bentar, Banjarnegara, Purbalingga, serta daerah Jepara, Salatiga, dan Blora. Daerah mancanegara timur meliputi Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Keduwang, Magetan, Caruban, Pace, Kertosono, Srenget, Blora, Rawa, Kalangbret, japan/Lamongan, Wirasaba, Brebeg, Jagaraga. Wilayah mancanegara pesisir inilah yang sering disebut oleh orang Jawa sebagai wilayah Gupernemen. Di daerah Gupernemen ini posisi bupati-bupati beserta keluarga dan kerabatnya pada dasarnya tetap dipertahankan seperti pada masa Kumpeni. Namun ketika masa Daendels (1808-1811) pemerintah kolonial mengadakan penertiban dengan menerbitkan resolusi tanggal 1 September 1808 yang berisi tentang pengubahan status bupati-bupati di daerah Gubernemen menjadi pegawai kerajaan dengan gaji tetap dan pasti. Mereka dimasukkan dalam hirarki administrasi pemerintahan kolonial dan menjalankan kewajibannya atas perintah dan pengawasan pembesar kolonial, yaitu prefect (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo, 1993: 15). Deandels mengeluarkan kebijakan demikian karena bertujuan membentuk sebuah negara modern seperti di Perancis di mana para pejabat disusun menurut hirarki dan digaji, sehingga terjadi 5 pemisahan antara kepentingan pribadi dan jabatan yang pada mulanya berbaur menjadi satu (Sutherland, 1983). Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Demikian puula Residen yang berkedudukan di Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambilalih langsung di bawah pemerintah pusat di Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Perfectur , yang kelak pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Karesidenan yang kemudian terkenal dengan nama Gewest . Tiap Perfectur dikuasasi oleh seorang Perfect yang berada di bawah perintah langsung pemerintah pusat di Batavia (Soegijanto Padmo, 2007). Namun karena pemerintahan Daendels yang singkat, perubahan-perubahan dalam sistem birokrasi masih belum sepenuhnya diimplementasikan. Perubahan yang sebenarnya baru terjadi da terwujud pada pemerintahan Raffles (1811-1816) dengan landrent system-nya, yang merupakan defeodalisasi terhadap seluruh aristrokrasi lokal (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo, 1993: 17). Pada perkembangannya, Bupati dan kerabatnya bergeser menjadi birokrat-birokrat pribumi pada sistem administrasi pemerintahan kolonial. Birokrat-birokrat ini merupakan satu korps yang disebut dengan korps pangreh praja (PP). Pangreh praja secara istilah berarti penguasa kerajaan. Namun demikian makna tersebut tidak dipahami secara mentah, tetapi kemudian dimaknai sebagai sebuah pemerintahan pribumi (Inlandsche bestuur). Para pangreh praja menurut H. Sutherland (1983) merupakan suatu elite birokrasi dengan sistem cara kerja dengan etos dan juga dengan hubungan-hubungan sosial, ekerabatan yang saling jalin-menjalin. Pemerintahan ini oleh Belanda dianggap satu tingkat lebih rendah daripada pemerintahan Binnenlands Bestuur. Inlandsche Bestuur dapat dibedakan antara yang berada di bawah langsung dan yang tidak berada di bawah langsungPemerintah Hindia Belanda. Di daerah yang di bawah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dapat dibedakan antara Inheemsche Gouvernemen Bestuur atau Pemerintahan Bumi Putera dan Inlandsche Gemeentelijk Bestuur atau Pemerintahan masyarakat Hukum Bumi 6 Putera. Dalam Inheemsche Gouvernement Bestuur Bupati merupakan pejabat yang tertinggi. Di atas Inlandsche Gemeentelijk Bestuur yang sudah ada sebelum kedatangan orang Belanda diangkat Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang pada pokoknya bertugas sebagai penghubung antara Pemerintahan Masyarakat Hukum Bumi Putera dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Di daerah yang tidak langsung dikuasai pemerintah Hindia belanda disebut Zelfbestuurende Landschappen atau daerah Swapraja, Daerah Istimewa (Soegijanto Padmo, 2007). Pemerintahan daerah ini diatur berdasarkan kontrak-kontrak politk. Ada dua macam kontrak politik yaitu kontrak politik panjang dimana hubungan antara pemerintah lokal Swapraja dengan pemerintah Hindia Belanda diatur secara terinci. Adapun kontrak politik pendek berisi aturan tentang hubungan antara pemerintahan lokal swapraja dengan pemerintaha Hindia Belanda diatur secara rinci dalam format yang lebih pendek (Soegijanto Padmo, 2007). Korps pangreh praja menjadi bagian dari administrasi pemerintahan kolonial yang khusus mengurusi kepentingan penduduk pribumi. Bupati menjadi pimpinan tertinggi pemerintahan pribumi itu. Walaupun menjadi bagian dari pemerintahan kolonial, pangreh praja tidak kehilangan sifat-sifat dasarnya yang bersifat feodal. Hubungan tradisional antara pejabat-pejabat pemerintahan pribumi dengan desa da masyarakatnya masih tetap bersifat feodal. Berhubungan dengan itu, beberapa unsur yang menunjukkan kewibawaan feodal masih tetap dipertahankan seperti lambang-lambang, upacara-upacara, gaya hidup, gelar, bahkan sistem pergantian dan rekruitmen masih dipertahankan. Pemerintah kolonial bahkan mengeluarkan undang-undang bahwa posisi bupati masih tetap turun-temurun. Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo (1993: 19) menyebutkan bahwa sejak tahun 1836 pemerintah kolonial menetapkan secara konstitusional posisi bupati sebagai basis kekuasaannya pada ReegeringsReglement (RR) pasal 67 dan pada RR 1854 ini 69 ayat 4 dinyatakan posisinya yang turun-temurun. Apabila ada lowongan bupati maka yang pertama-tama mengisi adalah salah seorang anak atau saudara-saudara dari bupati yang meninggalkan jabatan itu. 7 MENJADI PRIYAYI: MAGANG SEBAGAI SISTEM REKRUITMEN Dalam pandangan beberapa ahli seseorang yang mendapatkan posisi sebagai pegawai dalam struktur birokrasi pada masa kolonial sering pula disebut dengan priyayi. Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja, melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan, termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan. Priyayi pada dasarnya adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi. Pendapat bahwa priyayi identik dengan para birokrat ini seperti pendapat yang diungkapkan oleh van Neil yang menyatakan bahwa golongan priyayi terdiri atas pejabat-pejabat administrasi pemerintahan tertentu (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo, 1993: 4-7). Selain itu ada pula pendapat dari Heather Sutherland (1983) yang menekankan priyayi sebagai kelompok sosial yang menguasai jabatan-jabatan pada administrasi pemerintahan dalam negeri. Priyayi merupakan administrasi pemerintahan, mereka adalah pegawai dalam rangka sistem pemeritahan tidak langsung. Dilihat dari kaca mata rakyat, golongan priyayi menjadi pewaris penguasa tradisional yang bersifat feodal. Hubungannya dengan rakyat yang bersifat patrimonial sedapat mungkin dipertahankan. Oleh karena statusnya inilah, menjadi bagian dari pangreh praja merupakan satu proses yang sulit, apalagi bagi mereka yang tidak berasal dari kalangan berada. Ada aturan-aturan yang membatasi penduduk pribumi untuk menjadi pegawai negeri. Tidak sembarang orang atau setiap penduduk pribumi dapat dengan mudah menjadi pegawai pemerintah, khususnya untuk menjadi pejabat kepala daerah (Inlands Hoofden), seperti misalnya asisten Wedana, Wedana, dan Bupati (Sudarmo, 2006: 2). 8 Menjadi priyayi bukan semata-mata pekerjaan, melainkan juga berarti kehormatan. Kutowijoyo (2003: 203) mejelaskan untuk menjadi priyayi seseorang harus suwita (mengabdi seseorang, dilihat kesetiaannya), kemudian magang (in-job training) untuk dilihat kemampuan profesionalnya. Semua itu agar supaya setelah jadi priyayi tidak memalukan. Etiket itu ialah kepandaian berbahasa, gerakan tubuh, air muka, dan moral yang baik; kesalahan etiket berarti dosa terhadap sang amurbeng bumi (penguasa dunia). Sesudah selesai magang lalu ada wisudha. Biasanya, setelah wisuda seseorang jadi jajar. Sesudah jajar jenjangnya berturut-turut adalah bekel, lurah, mantri, panewu, kliwon, dan bupati. Untuk sampai kepada jabatan pimpinan, seperti camat, wedana dan bupati, seseorang harus menjalani magang, suatu perjuangan yang cukup berat dan lama. Itu tergantung kepada atasannya. Proses ini untuk menguji kesetiaan seseorang pegawai, agar jika kelak menjadi pimpinan supaya memiliki loyalitias yang tinggi kepada pemerintah (Sudarmo, 2006: 4). Untuk menjadi pegawai seperti tersebut diatas adalah sangat sulit, karena ada syarat-syarat berat dapat dilalui. Syaratsyarat itu antara lain adalah keturunan bangsawan atau aristokrat, pejabat atau kepala pribumi (inlands hoofden), kaya, loyal, berpendidikan. Syarat yang disebut terakhir ini yang umumnya harus dilalui dan dijalani oleh calon pegawai yang berasal dari pegawai rendahan, misalnya seorang (mantri) guru. Magang adalah suatu pekerjaan yang harus dijalani dalam waktu yang tak terbatas bagi seseorang (penduduk pribumi) sebelum dipercaya menduduki jabatan-jabatan tinggi di lingkungan kerja Pangreh Praja (Inlandsche bestuur). Magang dapat dilakukan pada pejabat dari orang Pribumi maupun Belanda (Sudarmo, 2006: 6-7). Pemagang tidak hanya diberi pekerjaan administratif di kantor sebagai jurutulis (pegawai rendahan) namun juga pekerjaan di luar kedinasan, misalnya sebagai pembantu di rumah yang diikuti magang. Ini dengan maksud agar pemagang itu mengetahui sopan-santun, etika, dan perilaku seorang pejabat, di samping mengetahui urusan-urusan administratif. Walaupun sudah bertahun-tahun ikut magang tetapi tidak memiliki prestasi kerja yang menonjol, disiplin, dan tekun, pemagang itu belum akan dinyatakan lulus, maka selamanya akan hanya menjadi sorang pemagang atau jurutulis saja. Kerja magang ini ada yang digaji 9 ada yang tidak diberi gaji. Yang disebut terakhir ini biasanya adalah kerja magang yang dilakukan oleh priyayi di rumah keluarga pejabat tinggi (orang Pribumi atau Belanda) (Sudarmo, 2006: 6-7). Sistem magang ini telah menjadi satu sistem yang secara turun temurun. Salah seorang pejabat di Solo pada masa kolonial di penghujung abad XIX pernah menulis bahwa barang siapa ingin mencapai pangkat tinggi, mulailah dengan mengabdi kepada seorang terkemuka, kalau dapat kepada seorang pangeran atau seorang perdana menteri, sekurang-kurangnya seorang bupati, ia harus beranggapan tidak ada kesulitan yang terlalu besar, atau pekerjaan yang terlalu hina, untuk merebut perhatian tuannya, ia harus selalu memperhatikan perubahan wajah tuannya dan menyusun jawaban atas pertanyaan sepatutnya, bertujuan untuk senantiasa menyenangkan tuannya. Kemudian ia harus selalu ringan tangan dan menyenangkan setiap orang yang dihubunginya. Dengan berlaku demikian, lamat laun ia bukan saja akan memperoleh perhatian dari tuannya, melainkan juga mendapat nama yang baik di antara priyayi lainnya. Apabila akhirnya ia berhasil diterima ke dalam kalangan pejabat, ia harus mempertahankan kehormatan pangkat yang diperolehnya, dan melalui perbuatannya membuktikan bahwa dirinya pantas bagi kedudukan tersebut. Dengan cara demikian, dalam jangka panjang ia akan naik ke kedudukan yang pantas dan mencapai tingkat tertinggi yang akan dicapai (Sutherland, 1983). Berkaitan dengan sistem magang, Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo (1993: 18) menjelaskan bahwa sejak usia dewasa, anakanak priyayi dimagangkan di ligkungan pangreh praja sebagai persiapan menduduki jabatan-jabatan pemreintahan pribumi. Khusus bagi anak bupati, magang dilakukan sebagai persiapan untuk menggantikan posisi ayahnya. Bagi kelompok masyarakat luas, saluran langsung untuk magang dapat dikatakan tidak ada. Bagi masyarakat luas, ketika ingin magang menjadi priyayi sebelumnya sejak usia muda mengabdikan diri pada seorang priyayi. Proses ini disebut dengan ngenger agar di kemudian hari dapat magang menjadi priyayi dengan perantaraan priyayi yang diabdinya itu. Kesempatan magang diberikan jika selama mengabdi menunjukkan kelakuan yang baik, rajin, cakap, dan sebagainya. 10 H. Sutherland (1983) menjelaskan bahwa dengan cara magang yang demikian, seorang magang akan terserap dalam kehidupan sehari-hari priyayi yang dilayaninya. Dengan demikian, ia menjadi mengerti tugas-tugas seorang priyayi, tentang ikatan-ikatan pribadi, etika dan keagamaan priyayi dengan pejabat-pejabat lain dan rakyat. Dengan magang, seseorang tidak hanya menguasai keterampilan-keterampilan dasar perkantoran, tetapi juga hal yang lebih penting, yakni tujuan dan arti dirinya dalam masyarakat. Di dalam magang tidak ada batasan jumlah untuk seseorang yang mengabdikan diri kepada seorang pejabat atau priyayi. Bahkan ada anggapan bahwa semaki banyak magang yang dibimbing oleh seorang priyayi, maka semakin tinggi prestise yang dimilikinya. Hal ini karena banyaknya magang menunjukkan kemampuan keuangan dan tingkat kedudukan seseorang (Sutherland, 1983). Proses dan lamanya magang berbeda-beda. Raden Tumenggung Sastrodiningrat, satu-satunya bukan-keluarga raja yang dikuburkan di Imogiri, makam keluarga raja. Sebagai seorang priyayi sejati, ia memulai kariernya sebagai magang di keraton menjadi punakawan (abdi dalem kawan), sedangkan jabatan resminya diperoleh tahun 1881. Setelah mengabdi selama dua puluh tahun, ia jadi kepala sekretariat yang mengetuai semua abdi dalem carik (juru tulis). Ia menjadi tokoh populer di kota, dan berakhir sebagai Ketua Boedi Oetomo Cabang Solo (Kuntowijoyo, 2003: 204). Pada tahun 1915, Sewaka, seorang asisten wedana telah magang selama 12 tahun sebelum ia dapat dinaikkan ke dalam kdudukan wedana. Tirtokoesoemo adalah seorang anak dari Wedana Madiun yang sederhana, dengan bekal ijazah sekolah rendah dari Lagere Inlandsche School (Sekolah Rendah Pribumi) dan menguasai pengetahuan membaca, menulis (bahasa Jawa dan Melayu) dan berhitung, harus melewai masa magang sebelum mendapatkan pekerjaan dilingkungan pemerintahan mulai dari sebagai mantri polisi, patih, sampai dengan bupati. Pertama kali, ia bekerja magang di keluarga MR. Ph. (sic.) – sorang jaksa (omgaand rechter) berkebangsaan Belanda. Tidak lama kemudian, sebelum mendapatkan promosi sebagai pegawai kejaksaan, institusi omgaand rechter itu dihapus. Karena pengalaman magangnya itu ia diperkenankan menjadi siswa 11 Sekolah Perkebunan (Landbouwschool) di Bogor pada tahun 1884. Oleh karena kecakapannya ia dapat berbahasa bahasa Belanda dengan baik, sehingga diangkat Direktur sekolah Perkebunan itu yaitu Prof. DR. M. Treub sebagai asisten guru (assistant-leeraar) pada tahun 1887. Tidak lama kemudian ia dapat bekerja di lingkungan kerja Inlandsche Bestuur (Pangreh Praja) sebagai Mantri Polisi di Temanggung, Karesidenan Kedu. Tirtokoesoemo, semenjak itu, kariernya mulai menajak, sehingga pada tahun 1900 diangkat menjadi Patih (Wakil Bupati di Magelang, kemudian tahun 1993 diankat menjadi Bupati di Kabupaten Karanganyar (Sudarmo, 2006: 7). Proses kegiatan kerja magang ini tampaknya merupakan kebijakan pemerintah kolonial untuk mencetak kepala-kepala daerah yang memiliki tingkat loyalitas yang tinggi untuk mempertahankan bentuk adminitasi pemerintahannya yang bercorak beamstenstaat (negara pegawai) di lingkungan lembaga Kepangrehprajaan (Sutherland, 1983). PENUTUP Sistem birokrasi yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang bersifat dualistik mengakibatkan terjadinya paradoks. Di satu sisi terdapat sistem birokrasi yang disaring berdasarkan kriteria modern, di satu sisi masih tetap dipertahankannya system tradisional melalui magang. Magang merupakan salah satu upaya yang diakukan untuk rekruitmen korps pangreh praja. Melalui magang yang masih bersifat feodalistik diharapkan akan muncul para pejabat yang memiliki loyalitas tinggi terhadap atasan. Hal ini boleh jadi merupakan suatu strategi yang sengaja untuk tetap diselenggarakan pada masa colonial untuk mendukung terwujudnya uatu beamtenstaat, yakni sebuah negara apolitis di mana politik adalah pertama-tama sebagai sebuah alat untuk benar-benar mewujudkan suatu pemerintahan yang kokoh, bukannya alat untuk mewujudkan tuntutantututan sosial yang bersaingan. 12 DAFTAR PUSTAKA Kuntowijoyo. 2003. “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta 1900-1915”. Dalam Humaniora Volume XV, No. 2/2003. Hlm. 200-211. Ong Hok Ham. 1984. “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. Hlm. 3-27. Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo. 1993. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soegijanto Padmo. 2007. Desentralisasi Pemerintahan Daerah di Indonesia. Dalam http://sejarah.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=11. Diunduh pada 27 Oktober 2009. Sudarno. 2006. “Kerja Magang: Dari Juru Tulis sampai Bupati di Hindia Belanda Menjelang Abad XX”. Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta pada 13-16 November 2006. Sutherlan, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Terjemahan. Jakarta: Grafiti Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Pedesaan Jawa. Semarang: Unnes Press


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.