Karakteristik Nano Kitosan

May 3, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

KARAKTERISTIK NANO KITOSAN CANGKANG UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DENGAN METODE GELASI IONIK DESIE RACHMANIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 RINGKASAN DESIE RACHMANIA. C34070088. Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan AGOES M. JACOEB. Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang industri modern, misalnya farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan industri tekstil mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian yang menggunakan kitosan, termasuk melakukan modifikasi kitosan secara kimia atau fisik. Sejauh ini sistem pengahantar obat dengan menggunakan kitosan hanya terbatas pada modifikasi kima pada kitosan saja. Oleh karena itu, modifikasi fisik melalui pengaturan ukuran partikel kitosan menjadi hal yang sangat penting. Akan tetapi dalam pembuatan kitosan yang berstabilitas dan berkualitas tinggi, biasanya diperlukan metode yang cukup sulit. Pembuatan nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi material dan metode yang digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan rendemen kitosan tertinggi akibat pengaruh lama waktu perendaman HCl, menentukan proses gelasi ionik terbaik dengan berbagai perlakuan sizing, menentukan karakteristik nanopartikel yang meliputi morfologi, efisiensi, dan ukuran nanopartikel, menganalisa karakteristik partikel kitosan yang dilakukan dengan metode gelasi ionik menggunakan Fourier Transform InfraRed (FTIR) dan Scanning Electron Microscopy (SEM), menentukan metode pembuatan kitosan yang sederhana, dapat diterapkan dengan mudah di laboratorium. Pengujian yang dilakukan meliputi analisis proksimat, mutu kitosan, perhitungan rendemen kitosan dan nano kitosan, analisis Scanning Electron Miscroscopy (SEM), serta analisis Fourier Transform InfraRed (FTIR). Pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik dengan perlakuan menggunakan perbedaan alat sizing berhasil dilakukan dari hasil preparasi kitosan dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 72 jam dengan rendemen sebesar 13,50% (bk) dan yang terendah diperoleh dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 0 jam dengan rendemen sebesar 11,57% (bk). Rendemen kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada kitosan nanopartikel dengan perlakuan pengecilan ukuran menggunakan alat magnetic stirrer yaitu sebesar 81,30%. Sedangkan rendemen terendah ditunjukkan oleh kitosan nanopartikel dengan menggunakan alat homogenizer, yaitu sebesar 40,00%. Ukuran partikel yang diperoleh dengan menggunakan magnetic stirrer sebesar 400 - 450 nm. Nilai derajat deasetilasi dari kitosan nanopartikel terkecil yang dihasilkan yaitu sebesar 99% dan menunjukan bahwa nano kitosan yang dihasilkan merupakan kitosan murni. KARAKTERISTIK NANO KITOSAN CANGKANG UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DENGAN METODE GELASI IONIK Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: DESIE RACHMANIA C34070088 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Karakterisasi Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik Nama : Desie Rachmania NIM : C34070088 Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II NIP. 19531020 1985 03 2 001 NIP. 19591127 1986 01 1 005 Dra. Pipih Suptijah, MBA Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol Mengetahui: Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan NIP. 19580511 1985 03 1 002 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., Mphil. Tanggal Lulus: PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan metode gelasi ionik” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Desie Rachmania NRP C34070088 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 18 Desember 1989. Penulis merupakan anak bungsu dari dua bersaudara pasangan Bapak (Alm.) Momon Nurachman dan Ibu Sri Handayani. Penulis memulai jenjang formal pada pendidikan di Sekolah Dasar Islam Pelita dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan Sekolah Menegah Pertama di SMP Negeri 41 Jakarta dan lulus pada tahun 2004, selanjutnya penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 28 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjalani pendidikan akademik di IPB penulis pernah aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan tahun 2009, Paguyuban Penerima Beasiswa Karya Salemba Empat Institut Pertanian Bogor tahun 2010 - 2011, asisten praktikum m.k. Pengembangan KitinKitosan dan m.k. Teknologi Pengolahan Hasil Perairan tahun ajaran 2010-2011. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan kegiatan mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik dengan dosen pembimbing yaitu Dra. Pipih Suptijah, MBA. dan Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir yang berjudul Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, terutama kepada: 1) Ibu Dr. Pipih Suptijah, MBA dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahannya kepada penulis. 2) Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS., M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan sekaligus dosen penguji yang telah memberikan nasihat, kritik dan saran dalam penulisan skripsi. 3) Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb,-Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan atas bimbingan kepada penulis. 4) Mama dan (Alm.) Papa yang selalu memberikan doa, semangat, cinta kasih dan dukungan yang diberikan, baik moril maupun materil serta kasih sayang kepada penulis. 5) Febri Ika Suseno, S.St.Pi yang selalu meberikan motivasi, semangat doa dan perhatiannya kepada penulis. 6) Teman-teman seperjuangan ”Tim Nano ”(Nani, Icha dan Zahid). Terima kasih atas kebersamaannya. 7) Sahabat - sahabat dan teman seperjuangan: Siska, Ria, Medal, Fasta atas semangat, bantuan dan canda tawa selama ini. 8) Teman – teman ”Kost Tiara” : Mba Tatay, Fasta, Tatha, Aul, Ayu,dan Desti atas semangat dan doa yang selalu diberikan. 9) Tim Nano Kitosan: Taufik (THP 45) dan Yunko atas kebersamaan, kekompakan dan perjuangan menuju PIMNAS. 10) Teman-teman THP 44, 43 dan 45 yang telah mendukung dan memberikan semangat kepada penulis. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini belum sempurna. Oleh sebab itu penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca dan semoga tulisa ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. Bogor, Agustus 2011 Penulis DAFTAR ISI Hal. DAFTAR TABEL………………………………………………………. vii DAFTAR GAMBAR…………………………………............................. viii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. x 1 PENDAHULUAN………………………………………………......... 1 1.1 Latar Belakang………………………………………………………... 1 1.2 Tujuan Penelitian……………………………………………………... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 4 2.1 Komposisi Kimia Kulit Udang………………………………………. 4 2.2 Karakteristik………………………………………………………...... 5 2.2.1 Kitosan………………………………………………………..... 5 2.2.2 Nano Kitosan…………………………………………………... 7 2.3 Gelasi Ionik………………………………………………………....... 7 2.4 Tripolifosfat (TPP)………………………………………………….... 8 2.5 Surfaktan…………………………………………………………....... 9 2.6 Sonikasi……………………………………………………………..... 9 2.7 Pengeringan Semprot (Spray Dryer)……………………………….... 10 2.8 Scanning Electron Microscopy (SEM)……………………………..... 11 2.9 Fourier Transform Infrared (FTIR)…………………………………. 12 3 METODOLOGI……………………………………………………... 13 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………….. 13 3.2 Bahan dan Alat………………………………………………………. 13 3.3 Tahap penelitian……………………………………………………... 14 3.3.1 Penelitian Pendahuluan………………………………………... 14 3.3.2 Penelitian Utama……………………………………………..... 15 3.4.2.1 Tahapan pembuatan nano kitosan dengan metode gelasi ionik…….………………………………... 15 3.4.2.2 Tahapan pengujian dan analisis sifat karakteristik nano kitosan……………………………………………... 15 3.4 Analisis Fisik dan Kimia Sampel……………………………………. 17 3.4.1 Analisis Proksimat…………………………………………….. 17 3.4.1.1 Analisis kadar air………………………………………... 17 3.4.1.2 Analisis kadar abu………………………………………. 17 3.4.1.3 Analisis kadar lemak……………………………………. 18 3.4.1.4 Analisis kadar protein…………………………………… 18 3.4.1.4 Analisis kadar karbohidrat (by difference)…...…………. 19 3.4.1 Rendemen Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)…………………..... 19 3.4.2 Derajat Deasetilasi…………………………………………….. 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………… 21 4.1 Penelitian Pendahuluan…………………………………………….... 21 4.2 Rendemen Kitosan………………………………………………….. 22 4.3 Mutu Kitosan………………………………………………………... 23 4.4 Penelitian Utama……………………………………………….......... 26 4.4.1 Rendemen Kitosan Nanopartikel………………………………. 26 4.4.2 Hasil Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)………… 28 4.4.3 Hasil Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR)………….... 35 5 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 37 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………... 37 5.2 Saran…………………………………………………………………. 37 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 38 LAMPIRAN…………………………………………………………..... 42 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1 Komposisi kimia kulit udang (Litopenaeus vannamei).………... 4 2 Spesifikasi kitosan niaga………………………………………… 6 3 Komposisi kimia kulit udang hasil uji proksimat……………….. 21 4 Rendemen kitosan dari cangkang udang terhadap lamanya waktu perendaman HCl 1N…………………………………….. 22 5 Mutu kitosan dari rendemen hasil perendaman 72 jam HCl…….. 24 6 Rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan perlakuan alat penegcilan ukuran…………………………………………. 27 7 Ukuran partikel hasil foto SEM……………………………….. 29 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1 Struktur kitosan……………………………………………....... 5 2 Kitosan nanopartikel dengan gelasi ionik…………………….... 8 3 Proses pembuatan kitosan……………………………………… 14 4 Diagram alir pengujian stabilitas nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik……………………………………………. 16 5 Grafik hasil rendemen kitosan terhadap pengaruh waktu perendaman HCl …………………..…………………………... 23 6 Grafik hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan perlakuan metode pengecilan ukuran…………………………... 28 7 Hasil analisis uji SEM…………………………………………... 34 7a. Morfologi partikel kitosan (magnetic stirrer)……………….. 34 7b. Morfologi partikel kitosan (ultrasonik)……………………... 34 7c. Morfologi partikel kitosan (homogenizer)…………………... 34 8 Grafik derajat deasetilasi pada kitosan berukuran nano (partikel kitosan) dengan alat magnetic stirrer………………….. 35 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Analisis kadar air cangkang udang vannamei….………………... 43 2. Analisis kadar abu cangkang udang vannamei.…………………. 43 3. Analisis kadar protein cangkang udang vannamei…….………... 44 4. Analisis kadar lemak cangkang udang vannamei……...………... 45 5. Analisis kadar karbohidrat cangkang udang vannamei secara by difference………………………………………………….…. 45 6. Data rendemen kitosan udang vannamei………………………... 46 7. Analisis kadar air kitosan udang vannamei.…………………….. 46 8. Analisis kadar abu kitosan udang vannamei…….……………… 47 9. Analisis kadar protein cangkang udang vannamei……………… 48 10. Data hasil perhitungan derajat deasetilasi (DD)………………… 48 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan komoditas andalan dan bernilai ekonomis sebagai salah satu hasil perikanan utama Indonesia. Pusat Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2008 menunjukkan ekspor udang Indonesia meningkat selama periode tahun 2003 – 2007 sebesar 4,15 % yaitu dari 137.636 ton pada 2003 menjadi 160.797 ton pada tahun 2007. Peningkatan volume ekspor tersebut mendorong peningkatan nilai produksi udang, yaitu dari US$ 850,222 juta pada 2003 menjadi US$ 1,048 miliar tahun 2007. Nilai ekspor udang ini mencapai hampir 50 % dari nilai ekspor perikanan sebesar US$ 2,3 miliar. Selain itu produksi udang juga meningkat sebesar 16,9 % selama periode 2003 – 2007 yaitu dari 192.926 ton pada 2003 menjadi 352.220 ton pada tahun 2007. Sekitar 80 – 90% ekspor udang dilakukan dalam bentuk udang beku tanpa kepala dan kulit sehingga menghasilkan limbah yang bobotnya mencapai 25 – 30% dari bobot udang utuh (Sudibyo 1991 dalam Maulana 2009). Limbah udang yang potensial ini mudah sekali rusak karena degradasi enzimatik mikroorganisme sehingga menimbulkan masalah misalnya pencemaran lingkungan bagi indutri pengolah dan membahaykan kesehatan. Selain itu limbah ini sangat menyita ruang sehingga dibutuhkan tempat tertutup yang luas untuk menampungnya. Disisi lain limbah ini dapat didayagunakan sebagai sumber bahan mentah penghasil kitin, kitosan dan turunan keduanya yang berdaya guna dan serta bernilai tinggi. Kulit udang atau kepiting merupakan bahan baku penghasil kitin dan kitosan. Kitosan adalah kitin yang telah diasetilasi. Kitosan merupakan polisakarida dengan struktur yang mirip dengan selulosa (Savant et al. 2000 dalam Kencana 2009). Terdapat 75% dari berat total udang merupakan bagian kulit dan kepala. Kulit udang mengandung 15-20% kitin dan kitosan sebesar 50% dari kandungan kitin, kadar abu sebesar 20% serta kadar protein sebesar 35% pada basis kering (Kelly et al. 2005 dalam Rini 2010). Studi terhadap kitosan telah banyak dilakukan baik dalam bentuk serpih, butiran, membran, maupaun gel. 2 Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang industri modern, misalnya farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan industri tekstil mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian yang menggunakan kitosan, termasuk melakukan modifikasi kitosan secara kimia atau fisik. Modifikasi kimia menghasilkan perbaikan stabilitas kitosan melalui fungsionalisasi gugus fungsi yang ada, perbaikan ukuran pori kitosan dengan menggunakan senyawa porogen, dan dapat menaikkan kapasitas adsorpsi kitosan apabila kitosan dipadukan dengan polimer lain. Modifikasi fisik pada kitosan mencakup perubahan ukuran partikel atau butir kitosan menjadi lebih kecil untuk pemanfaatan yang lebih luas. Oleh karena itu, perkembangan modifikasi fisik mengarah ke bentuk nanopartikel (Wahyono 2010). Pembuatan nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi material dan metode yang digunakan. Untuk nanopartikel kitosan, komposisi material yang digunakan adalah kitosan, TPP dan surfaktan (asam oleeat). Metode pembuatan nanopartikel merupakan faktor lain yang menentukan selain komposisi material. Banyak metode yang dikembangkan untuk menghasilkan nanopartikel dan morfologi yang seragam (Wahyono 2010). Sampai saat ini penelitian nanopartikel kitosan terus dikembangkan, baik dalam penentuan komposisi maupun pencarian metode yang sesuai. Akan tetapi dalam pembuatan kitosan yang berstabilitas dan berkualitas tinggi, biasanya diperlukan metode yang cukup sulit. Untuk itu, dilakukan teknik atau metode yang prosesnya lebih efisien dan sederhana untuk memudahkan dalam pembuatan nano kitosan. Pengujian karakteristik nano kitosan dilakukan dengan proses gelasi ionik, serta perlakuan pengecilan ukuran (sizing) dilakukan dengan metode magnetic stirer, metode homogenizer ultrasonik dan metode sonokimia. Metode ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan nano kitosan yang terbaik diantara ketiga metode tersebut agar nano kitosan yang dihasilkan memiliki stabilitas konstan, berukuran partikel terkecil, berkualitas baik, serta mendapatkan metode yang paling sederhana dalam pembuatannya, sehingga dapat meningkatkan skala produksi. 3 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk - Mendapatkan rendemen kitosan tertinggi akibat pengaruh lama waktu perendaman HCl. - Menentukan proses gelasi ionik terbaik dengan berbagai perlakuan sizing. - Menentukan karakteristik nanopartikel yang meliputi morfologi, efisiensi, dan ukuran nanopartikel dengan SEM. - Menganalisis karakteristik partikel kitosan yang dilakukan dengan metode gelasi ionik menggunakan Fourier Transform InfraRed (FTIR) dan Scanning Electron Microscopy (SEM). - Menentukan metode pembuatan kitosan yang sederhana, dapat diterapkan dengan mudah di laboratorium. 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Kimia Kulit Udang Untuk kebutuhan ekspor udang beku, bagian tubuh udang yang dibekukan adalah bagian badan (abdomen) hingga ekor (uropod). Bagian kepala dan dada (cephaloporax) yang dibungkus oleh kulit udang keras merupakan bagian yang dibuang oleh industri pembekuan udang. Kulit udang mengandung 25-40 % protein, 30-50% kalsium karbonat dan 15-20 % kitin serta komponen lain sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia kulit udang Penaeus sp. Komposisi Jumlah (%) Air 12,86 Protein 32,75 Lemak 2,04 Abu 37,24 Karbohidrat 36,96 Kalsium 13,29 Magnesium 0,85 Fosfor 1,84 Besi 0,02 Mangan 0,0003 Kitin 18 Kalium 0,37 Tembaga 0,005 Natrium 0,436 Seng 0,005 Sulfur 0,419 Sumber: Arlius (1991) dalam Maulana (2007) Limbah udang merupakan bahan yang mudah busuk karena adanya proses degradasi oleh bakteri pembusuk dan enzim yang berjalan dengan cepat. Hal ini 5 menyebabkan menurunya mutu komponen yang terdapat dalam limbah, sehingga apabila komponen tersebut rusak maka akan mengahsilkan produk yang bermutu rendah. Oleh karena itu perlu diupayakan penanganan limbah yang baik agar tidak cepat terdegradasi dengan tujuan untuk memperoleh produk yang lebih baik (Suptijah et al. 1992 dalam Maulana 2007). 2.2 Karakteristik 2.2.1 Kitosan Kitosan adalah jenis polimer alami yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin. Kitosan mempunyai sifat yang khas yakni bioaktifis, biodegradasi dan tidak beracun. Kitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai rantai tidak linier dan mempunyai rumus (C6H11NO4)n. Mempunyai sifat tidak berbau,berwarna putih dan terdiri dari dua jenis polimer yaitu poli (2-deoksi,2-asetilamin,2-glukosa) dan poli(2-deoksi,2- amino glukosa) yang berikatan secara beta (1,4). Kitosan larut dalam pelarut organik, HCl encer, HNO3 encer, dan H3PO4 0,5%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4. Sifat kelarutan kitosan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi. Bobot molekul kitosan beragam, bergantung pada degradasi yang terjadi selama proses deasetilasi (Sugita 2010). Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur kitosan (Sumber: Mardliyati 2010) Parameter mutu kitosan biasanya dilihat dari nilai derajat deasetilsi, kadar air, kadar abu, bobot molekul, dan viskositas. Viskositas kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti derajat deasetilasi, bobot molekul, konsentrasi pelarut, dan suhu. Gel kitosan terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi antara molekul kitosan yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan menangkap sejumlah air di dalamnya. Sifat jaringan serta interaksi molekul yang mengikat keseluruhan gel menentukan kekuatan, stabilitas, dan tekstur gel. Untuk 6 memperkuat jaringan di dalam gel biasanya digunakan molekul lain yang berperan sebagai pembentuk ikatan silang (Keuteur 1996). Penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 150 o Derajat deasetilasi menyatakan banyaknya gugus amino bebas dalam polisakarida. Kitosan merupakan kitin dengan derajat deasetilasi lebih dari 70%. Deasetilasi adalah proses pengubahan gugus asetil (-NHCOCH C) menyebabkan pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan sehingga menurunkan berat molekulnya. Kitosan dengan berat molekul rendah akan lebih tepat diterapkan sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan dan antitumor. Kitosan menunjukkan sifat-sifat polimer biomedis misalnya nono-toksik, biokompatibel, dan biodegradable. Struktur kitosan yang mirip dengan selulosa dan kemampuanya membentuk gel dalam suasana asam, membuat kitosan memiliki sifat-sifat sebagai matriks dalam sistem pengantar obat (Sutriyo et al. 2005). Kitosan biasa dipakai sebagai pengantar obat berdasarkan kekuatan mekanik dan keteruraian hayatinya yang lambat. Kitosan berbentuk gel atau lembaran telah digunakan sebagai pengantar obat yang merupakan zat antikanker (Dhanikula et al. 2004). 3) dan rantai molecular kitin menjadi gugus amina lengkap (-NH2 Tabel 2 Spesifikasi kitosan niaga ) pada kitosan dengan penambahan NaOH konsentrasi tinggi. Kemampuan kitosan bergantung pada derajat kimia reaktif yang tinggi gugus aminonya(Kusumaningsih et al. 2004 dalam April 2008). No Parameter Ciri 1 Ukuran partikel Serbuk sampai bubuk 2 Warna Putih kelabu 3 Kelarutan 97% dalam 1% asam asetat 4 Kadar abu (%) ≤ 2,0 5 Kadar air (%) ≤ 10,0 6 Warna Larutan Tak berwarna 7 N-deasetilasi (%) ≥70,0 Sumber: (Kencana 2009) 7 2.2.2 Nano Kitosan Nano kitosan yaitu kitosan yang memiliki pertikel yang berbentuk padat dengan ukuran sekitar 10 – 1000 nm. Kitosan dalam bentuk nanopartikel ini pun bersifat netral, tidak toksik, dan memiliki stabilitas yang konstan. Nanopartikel ini digunakan dalam berbagai rute (aplikasi parental, mucosal misal oral, nasal, dan ocular mucosa) yang sangat tidak invasive. Dalam sistem pengantaran obat, nanopartikel berperan sebagai pembawa (carrier) dengan cara melarutkan, menjebak, mengenkapsulasi, atau menempelkan obat di dalam matriksnya. Baru- baru ini, nanopartikel yang berasal dari bahan polimer digunakan sebagai sistem pengantaran obat yang potensial karena kemampuan penyebarannya di dalam organ tubuh selama waktu tertentu, dan kemampuannya untuk mengantarkan protein atau peptida (Mohanraj dan Chen 2006). Nanopartikel dari bahan polimer yang biodegradable dan kompatibel merupakan salah satu perkembangan baik untuk pembawa obat karena nanopartikel diduga terserap secara utuh di dalam system pencernaan setelah masuk ke dalam tubuh (Wu et al. 2005 dalam Wahyono 2010). Tujuan utama dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai sistem pengantar obat adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat permukaan, dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagi sasaran pengobatan. Aplikasi nanoteknologi membuat revolusi baru dalam dunia industri dan diyakini pemenang persaingan global di masa yang akan datang adalah negara-negara yang dapat menguasai nanoteknologi. Ruang lingkup nanoteknologi meliputi usaha dan konsep untuk menghasilkan material atau bahan berskala nanometer, mengeksplorasi dan merekayasa karakteristik material atau bahan tersebut, serta mendesain ulang material atau bahan tersebut ke dalam bentuk, ukuran dan fungsi yang diinginkan. 2.3 Gelasi ionik Gelasi atau pembentukan gel merupakan gejala penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jaringan tiga dimensi yang sinambung dan dapat memerangkap air di dalamnya menjadi suatu struktur yang kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran bertekanan (Fardiaz 1989 dalam Latifah 2010). Gel yang dapat menahan air dalam strukturnya disebut hidrogel 8 (Wang et al. 2004 dalam Napthaleni 2010). Hidrogel dapat diklasifikasikan menjadi hidrogel kimia dan hidrogel fisika. Contoh hidrogel kimia adalah hidrogel kitosan yang berikatan silang secara kovalen (Keuteur 1996). Larutan kitosan pada batas konsentrasi tertentu dalam asam asetat 1% dapat membentuk gel. Gel kitosan yang terbentuk dapat diperbaiki sifatnya (menurunnya waktu gelasi dan meningkatnya kekuatan mekanik gel) dengan penambhan PVA (Wang et al. 2004 dalam Wahyono 2010). Metode yang paling umum dalam pembuatan nanopartikel melalui proses gelasi ionik yaitu metode magnetic stirer, metode homogenizer ultrasonik dan metode high speed. Banyak penelitian difokuskan untuk membuat nanopartikel dari polimer yang biodegradable: kitosan, gelatin, dan sodium alginat. Salah satu contoh metode gelasi ionik ini adalah mencampurkan polimer kitosan dengan polianion sodium tripoliposfat yang menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik (Mohanraj dan Chen 2006). Proses terbentuknya kitosan nanopartikel dengan gelasi ionik dapat dilihat pada Gambar 2. Sizing Gelasi Ionik Chitosan solution chitosan nanoparticle Gambar 2 Kitosan nanopartikel dengan gelasi ionik 2.4 Tripolifosfat (TPP) Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik. Shu dan Zhu (2002) melaporkan bahwa penggunaan tripolifosfat untuk pembentukan gel kitosan dapat meningkatkan mekanik dari gel yang terbentuk. Hal ini karena tripolifosfat memiliki rapatan muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar. Menurut Yongmei dan Yumin (2003) dalam Wahyono (2010), pembentukan nanopartikel hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Peran TPP sebagai zat 9 pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian - bagian yang lebih kecil (Wahyono 2010). 2.5 Surfaktan Penelitian nanopartikel kitosan termodifikasi menggunakan emulsifier yang merupakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Berdasarkan penelitian Silva et al. (2006) diketahui bahwa penambahan surfaktan dapat memperkecil ukuran partikel kitosan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan nonionik (Tween 80 dan Span 80). Beberapa contoh surfaktan nonionik adalah Tween 80 (polietilena sorbitan monooleat) dan Span 80 (sorbitan monooleat). Tween 80 dan Span 80 bersifat nontoksik yang umumnya digunakan sebagai emulsifier dan penstabil pada bidang pangan dan farmasi. Tarirai (2005) dalam Wahyono (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan gel kitosan sebagai pembawa obat ibuprofen dengan menggunakan senyawa pengikat silang tripolifosfat dan senyawa surfaktan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat silang, yaitu asam oleat, sodium laurit sulfat (SLS) dan Tween 80. 2.6 Sonikasi Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal yang memiliki frekuensi 20 KHz ke atas. Pada alat Ultrasonics Processor Cole-Parmer, spesifikasi yang dapat diperoleh yaitu frekuensi yang tidak bisa diubah-ubah sebesar 20 KHz dan daya sebesar 130 watt. Pada alat tersebut juga terdapat waktu sonikasi, amplitude, dan pulsa gelombang yang dapat diatur sesuai kebutuhan. Gelombang suara ultrasonik dapat didengar dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh pendengaran beberapa jenis binatang, seperti anjing, kelelawar dan lumba - lumba (Tipler 1998). Batas atas rentang ultrasonik mencapai 5 MHz untuk gas dan mencapai 500 Mhz untuk cairan dan padatan. Penggunaan ultrasonik berdasarkan rentangnya yang luas ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama termasuk suara 10 beramplitudo rendah (frekuensi lebih tinggi) dan berkaitan dengan efek fisik medium pada gelombang dan biasanya disebut “gelombang energi rendah” atau “ultrasonik frekuensi tinggi”. Biasanya, gelombang amplitudo rendah digunakan dalam tujuan analisis untuk mengukur kecepatan dan koefisien absorpsi gelombang dalam medium pada rentang 2 sampai 10 MHz. Yang kedua adalah gelombang energi tinggi (frekuensi rendah), yang dikenal dengan “ultrasonik energi tinggi” dan terletak antara 20 – 100 KHz. Jenis kedua ini digunakan untuk pembersihan, pembentukan plastik, dan yang terbaru adalah untuk sonokimia (Mason et al. 2002 dalam Komariah 2010). Efek kimia dari gelombang ultrasonik, tidak secara langsung berinteraksi dengan molekul – molekul untuk menginduksi suatu perubahan kimiawi. Ini karena panjang gelombang ultrasonik yang terlalu panjang jika dibandingkan dengan panjang gelombang molekul – molekul. Interaksi gelombang ultrasonik dengan molekul – molekul terjadi melalui media perantara berupa cairan. Gelombang yang dihasilkan oleh tenaga listrik (lewat tranduser) diteruskan oleh media cair ke medan yang dituju melalui fenomena kavitasi akustik (Wardiyati et al. 2004 dalam Wulandari 2010), yang menyebabkan terjadinya temperatur dan tekanan lokal ektrem dalam cairan dimana reaksi terjadi. 2.7 Pengeringan Semprot (spray drying) Metode pengerinagn semprot (spray drying) merupakan metode yang paling mudah dan sederhana untuk mengenkapsulasi suatu bahan karena larutan suspensi yang akan dinanoenkapsulasi cukup dimasukkan ke dalam alat pengering semprot dengan serbuk nanokapsul sebagai produk. Metode ini dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu (1) produk yang berupa cairan didispersikan dalam penyemprot (sprayer), (2) kontak antara semprotan dengan udara panas, (3) pengeringan semprotan, dan (4) pemisahan antara produk kering (aliran serbuk bebas) dan udara. Keuntungan nanoenkapsulasi dengan metode pengeringan semprot ini diantaranya ialah (1) meningkatkan stabilitas serbuk, (2) teknik yang dapat dipercaya, (3) biaya yang murah, (4) menghasilkan serbuk berupa mikrokapsul yang kecil, (5) teknik yang ramah, terhindar dari penggunaan pelarut organik, (6) 11 dilakukan satu tahap, atau dengan kata lain prosesnya sinambung (continuous), dan (7) merupakan metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk enkapsulasi polimer – polimer yang berbeda dan suhu berbeda (Yundhana 2008). 2.8 Scanning Electron Microscopy (SEM) Mikroskop merupakan alat untuk melihat benda yang berukuran kecil (mm). Salah satu jenis mikroskop adalah SEM (scanning electron microscopy). Scanning Electron Microscopy (SEM) menggunakan elektron dan cahaya tampak sebagai sumber cahayanya. Elektron menghasilkan gelombang yang lebih pendek dibandingkan cahaya foton dengan ukuran 0,1 nm dan menghasilkan gambar dengan resolusi yang lebih baik (Lee 1993 dalam Rini 2010). Scanning electron microscopy (SEM) menghasilkan gambar dari suatu permukaan spesimen dengan kedalaman fokus 500 kali lebih besar dibandingkan mikroskop cahaya. Gambar yang dihasilkan memiliki fokus yang baik pada kedalaman spesimen, sehingga gambar yang dihasilkan berupa bentuk tiga dimensi spesimen. Hal ini disebabkan oleh ketajaman pancaran elektron yang menyinari spesimen. Mikroskop SEM memiliki perbesaran hingga 50.000 kali (Fujita et al. dalam Rini 2010). Mikroskop SEM memiliki lensa yang berbeda dengan mikroskop cahaya. Bagian electron gun berfungsi memancarkan elektron. Condensing lenses berfungsi untuk memantulkan elektron. Lensa yang berdekatan dengan sampel adalah lensa objek. Pancaran elektron yang mengenai permukaan sampel diteruskan oleh detektor, sehingga penampakan permukaan sampel dapat terlihat pada monitor (Chandler 1980 dalam Rini 2010). Elektron bermuatan negatif sehingga untuk mengamati permukaan sampel, diperlukan pelapis sampel yang bersifat konduktor. Pelapis yang umumnya digunakan antara lain platina, emas, dan perak. Namun, platina relatif mahal dibandingkan dengan emas dan perak. Perak memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan platina dan emas, namun memiliki daya konduktor yang kurang baik. Sehingga emas lebih banyak digunakan sebagai pelapis sampel (Lee 1993 dalam Rini 2010). 12 2.9 FTIR (Fourier Transform InfraRed) FTIR (Fourier Transform InfraRed) merupakan suatu metode spektroskopi IR. Spektroskopi InfraRed (IR) dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks dalam senyawa tetapi tidak dapat menentukan molekular unsur penyusunnya. Pada spektroskopi IR, radiasi IR dilewatkan pada sampel. Sebagian dari radiasi IR diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu fibrasi spesifik sama dari frekunsi radiasi IR yang langsung menuju molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan menggambarkan absoprsi dan transmisi molekular, membentuk sidik jari molekular suatu sampel (Kencana 2009). Sistem optik Spektrofotometer FTIR dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak (M) dan jarak cermin yang diam (F). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi (δ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sisitem optik dari Spektrofotometer IR yang didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red. Pada sistim optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmision of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detector secara utuh dan lebih baik. Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra Glycerine Sulpahte) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan disbanding detector TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah. 13 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Febuari 2011 sampai April 2011. Pembutan kitosan dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian analisis Proksimat Kitosan dilakukan di Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan nano kitosan dilakukan dengan gelasi ionik dan perlakuan pengecilan ukuran (sizing) dengan metode magnetic stirer dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan nano kitosan menggunakan metode homogenizer ultrasonik dilakukan di Laboratorium Kimia Fisik, Departemen Kimia, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan nano kitosan menggunakan metode sonikasi dilakukan di Laboratorium Biofisik, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pengujian nano kitosan dengan SEM dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembagan Kehutanan, Bogor dan Laboratorium Geologi Kuarter, Institut Teknologi Bandung. Pengujian FTIR (Fourier Transform InfraRed) dilakukan di Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri, Tangerang. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang udang vannamei (Litopenaeus vannamei), aquades, asam asetat 0,3%, dan tripoliphospat (TPP) 0,1 %, dan surfaktan (Tween 80) 0,1 %. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beaker glass, timbangan digital, gelas ukur, kertas pH, kompor listrik, saringan, alat pengaduk, termometer, magnetic stirer, homogenizer ultrasonik, Ultrasonics Processor (Cole-Parmer 20 kHz 130 watt), pipet, spray dryer, alat uji SEM dan alat uji FTIR. 14 3.3 Tahap Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dimulai dari penelitian pendahuluan dengan membuat kitosan dan pengujian proksimat kitosaan. Penelitian utama membuat nano kitosan dengan perlakuan perbedaan pengecilan ukuran menggunakan metode gelasi ionik, dan pengujian serta menganalisis karakteristik nanopartikel. Adapun proses penelitian nano kitosan ini dapat dilihat sebagai berikut. 3.3.1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan terdiri dari uji proksimat kitosan dari kulit udang meliputi uji kadar air, uji kadar abu, uji kadar protein, dan kadar lemak. Diagram alir pembuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Proses pembuatan kitosan (Sumber : Suptijah et al. 1992) Cangkang udang Demineralisasi HCl 1 N, 90 0C, 1 h Netralisasi Deproteinasi NaOH 3 N, 90 0C, 1 h Netralisasi Kitin Deasetilasi NaOH 50 %, 1400C, 1 h Kitosan Perendaman HCl 1:7 (selama 0 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam) 15 Pembuatan kitosan diawali dengan perendaman kulit udang dalam larutan HCl 1 N dengan perlakuan waktu perendaman 0 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Setelah itu, dilakukan demineralisasi dengan HCl 1 N, pada suhu 90 °C selama 60 menit. Setelah 60 menit, dilakukan netralisasi menggunakan aquades sampai pH netral. Kemudian dilakukan deproteinasi dengan NaOH 3 N, pada suhu 90 °C selama 60 menit, dan dilakukan kembali netralisasi sampai pH netral untuk mendapatkan kitin. Setelah itu, dilakukan deasetilasi dengan NaOH 50 %, pada suhu 140 % selama 60 menit dan didapatkan kitosan. 3.3.2 Penelitian Utama Perlakuan perendaman kulit udang yang menghasilkan rendemen kitosan tertinggi dilanjutkan dalam penelitian utama. Penelitian utama meliputi tahapan pembentukan gel yang lunak berantai panjang lurus dari 0,2 gr kitosan 0,2 % yang dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 0,3%. Hal ini bertujuan agar dengan mudah memutuskan polimer tersebut. Kemudian dilakukan pencampuran bahan-bahan dengan terlebih dahulu menentukan konsentrasi bahan (kitosan, asam oleat, dan TPP) yang akan dibentuk menjadi emulsi cair. 3.3.2.1 Tahapan pembuatan nano kitosan dengan metode gelasi ionik Kitosan yang telah dilarutkan dalam asam asetat, yang memiliki bentuk gel lunak berantai panjang lurus, diambil sebanyak 50 ml. Setelah itu, dilakukan pembuatan nanopartikel kitosan dengan gelasi ionik dan perlakuan pengecilan ukuran (sizing) dengan metode magnetic stirer, metode homogenizer ultrasonik dan metode sonikasi 60 menit. Kemudian ditambahkan 25 ml emulsifier (Tween 80) 0,2 % yang dapat memisahkan gel antara gel satu dengan gel lainnya. Surfaktan (Tween 80) diberikan dengan cara tetes demi tetes ke dalam kitosan yang telah mengalami pemotongan, dan didiamkan memutar selama 30 menit. Setelah itu, ditambahkan 10 ml tripoliphospat 0,1 % yang bertujuan agar ukuran partikel yang dihasilkan tetap stabil. Kemudian didiamkan selama 30 menit. 3.3.2.2 Tahapan pengujian dan analisis sifat karakteristik nano kitosan Sampai tahap ini kemudian dilakukan analisis karakterisasi nanopartikel yang dihasilkan dengan SEM untuk mengetahui karakteristik, ukturan dan morfologi nanopartikel kitosan serta keadaan missel yang memiliki stabilitas yang konstan. 16 Diagram alir pengujian stabilitas nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Diagram alir pengujian stabilitas nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik Kitosan dilarutkan dalam asam asetat Larutan kitosan dimixer selama 60 menit dengan 3 metode Metode magnetic stirer Ultrasonik Ditambahkan emulsifier (Tween 80) 0,2 % secara tetes demi tetes Diamkan selama 30 menit Ditambahkan tripoliphospat 0,1 % Didiamkan selama 30 Larutan Nano kitosan Dikeringkan dengan spray dryer Nano Kitosan yang stabil Uji SEM Metode homogenizer Uji FTIR 17 3.4 Analisis Fisik dan Kimia Sampel Analisis yang dilakukan untuk kitosan pada penelitian ini antara lain yaitu analisis fisik dan kimia. Analisis fisik pada kitosan dilakukan perhitungan rendemen kitosan dan nilai derajat deasetilasi. Analisis kimia yang dilakukan yaitu analisa proksimat meliputi analisis kadar air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat (by difference). 3.4.1 Analisis Proksimat Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi: 3.4.1.1 Analisis kadar air (AOAC 1995) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam, kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Keterangan: B = berat sampel (gram) B1 B = berat (sampel+cawan) sebelum dikeringkan 2 3.4.1.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995) = berat (sampel+cawan) setelah dikeringkan Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 600 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 o C selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. 18 Kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (berat basah) 3.4.1.3 Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana), kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3 Perhitungan kadar lemak : % Kadar lemak = ). Keterangan : W1 W = Berat sampel (gram) 2 W = Berat labu lemak kosong (gram) 3 3.4.1.4 Analisis kadar protein (AOAC 1995) = Berat labu lemak dengan lemak (gram) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan satu butir kjeltab dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40 %, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2 % dan 2 tetes indicator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna 19 hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut : %N = Keterangan : Fp = Faktor pengenceran fk = 6,25 3.4.1.5 Analisis kadar karbohidrat (AOAC 1995) Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: % Karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein) 3.4.2 Rendemen Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Rendemen merupakan persentasi dari perbandingan serbuk kitosan terhadap bobot kulit udang sebelum mengalami perlakuan. Perhitungan persentase rendemen dengan rumus sebagai berikut: 3.4.3 Derajat Deasetilasi (Domsay 1985) Kitosan sebanyak 0,2 gram digerus dengan KBr dalam mortar agate sampai homogen, kemudian dimasukkan dalam cetakan pelet, dicetak dengan dipadatkan dan divakum sampai optimum, selanjutnya pelet ditempatkan dalam sel dan dimasukkan ke dalam tempat sel pada spektrofotometer inframerah IR- 408 yang sudah dinyalakan dan stabil, Kemudian tombol pendeteksian ditekan, akan muncul histogram FTIR pada rekorder yang memunculkankan puncak- puncak dari gugus fungsi yang terdapat pada sampel kitosan. Histogram yang diperoleh dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif misalnya 20 analisis kuantitatif derajat deasetilasi dari kitosan. Pengukuran derajat deasetilasi berdasarkan kurva yang tergambar oleh spektrofotometer. Puncak tertinggi (P0 ) dan puncak terendah (P) dicatat dan diukur dengan garis dasar yang dipilih. Nisbah absorbansi dihitung dengan rumus: Keterangan: P0 dengan panjang gelombang 1.655cm = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi -1 atau 3.450 cm-1 P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang . 1.655cm-1 atau 3.450 cm-1 Perbandingan absorbansi pada 1.655cm . -1 dengan absorbansi 3.450 cm-1 digandakan satu per standar N-deasetilasi kitosan (1,33). Dengan mengukuran absorbansi pada puncak yang berhubungan, nilai persen N-deasetilasi dapat dihitung dengan rumus: Keterangan: A1.655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1.655 cm-1 A . 3.450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3.450 cm-1 1,33 = konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna. . Log P0 A= P A1.655 1 % N-deasetilasi = 1- X A3.450 1,33 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan uji proksimat kulit udang. Uji proksimat kulit udang yang dilakukan pada penelitian ini meliputi penentuan kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar abu. Berdasarkan uji proksimat, kulit udang vanamei memiliki kadar air yakni 15,04 % (bb). Kadar air cangkang udang Penaeus notabilis berdasarkan penelitian Emmanuel et al. (2008) sebesar 13,3%. Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh perbedaan jenis udang dan tingkat kekeringan sampel yang digunakan pada penelitian. Berdasarkan uji proksimat, kulit udang vanamei memiliki kadar lemak sebesar 0,57% (bb), hal ini menunjukan bahwa kadar lemak pada kulit udang tergolong rendah. Menurut literatur kadar lemak pada kulit udang yakni 9,8% (bk) (Ravichandran et al. 2009). Perbedaan kadar lemak dipengaruhi oleh jenis udang dan fase hidup udang saat panen. Udang pada fase molting mengandung kadar lemak yang lebih tinggi (Cuzon dan Guillaume 2001 dalam Rini 2010). Hasil analisis kadar protein dan kadar abu kulit udang vanamei menunjukkan nilai yang relatif sama dengan hasil penelitian Ravichandran et al. 2009. Komposisi kimia kulit udang vanamei hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia kulit udang hasil uji proksimat Komposisi Jumlah (%) (bb) Air 15,04 Abu 18,02 Protein 34,69 Lemak Karbohidrat 0,57 31,75 Keterangan: bb = berat basah Kadar protein kulit udang vanamei sebesar 34,69 % (bb). Menurut penelitain yang dilakukan oleh Kim et al. (2011) kadar protein cangkang udang Litopenaeus vannamei sebesar 40,35% (bb). Kadar abu pada kulit udang vannamei sebesar 18,02% (bk). Nilai kadar abu ini lebih rendah dibandingkan 22 kadar abu yang diteliti oleh Ravichandran et al. (2009) sebesar 21,5% (bk). Perbedaan nilai kadar abu diduga dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan hidup. Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference menunjukkan bahwa cangkang udang vannamei mengandung karbohidrat sebesar 31,75%. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). 4.2 Rendemen Kitosan Rendemen kitosan ditentukan berdasarkan persentase berat kitosan yang dihasilkan terhadap bahan baku kulit udang kering dengan lamanya waktu perendaman HCl. Rendemen kitosan dari kulit udang yang diperoleh dengan perlakuan waktu perndaman HCl 1 N selama 0 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam tertera pada Tabel 4 dan Gambar 5. Tabel 4 Rendemen kitosan dari cangkang udang terhadap lamanya waktu perendaman HCl 1 N No. Perlakuan (Jam) Rendemen (%) + stdev 1. 0 11,57 ± 0,14 2. 24 12,00 ± 0,7 3. 48 13,20 ± 0,37 4 72 13,50 ± 0,37 Rendemen yang diperoleh untuk setiap perlakuan 11,43% - 13,87%. Hasil percobaan Suptijah et al. (1992) menunjukkan rendemen kitin kitosan yang diperoleh dari limbah udang 20% - 30%. Perlakuan waktu perendaman HCl 1 N yang berbeda memberikan pengaruh terhadap rendemen kitosan tersebut. Perlakuan dengan perendaman HCl 1 N (72 jam) menghasilkan rendemen tertinggi yakni sebesar 13,50%. Perlakuan waktu perendaman HCl 1 N (0 jam) menghasilkan rendemen terendah yakni sebesar 11,57 %. Hal ini dipengaruhi oleh kadar air pada kitosan tersebut yang relatif rendah yakni sebesar 5,09 %. Data selengkapnya dapat dilihat pada 23 Lampiran 7. Grafik rendemen kitosan menurut waktu perendaman dengan HCl dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Grafik rendemen kitosan terhadap pengaruh waktu perendaman HCl Perlakuan perendaman dengan HCl 1 N yang berbeda memberikan pengaruh terhadap rendemen kitosan. Mineral memiliki sifat larut asam, oleh karena itu perendaman cangkang udang dengan HCl 1 N menyebebkan mengembangnya matrik cangkang udang sehingga memudahkan pelarut masuk ke dalaam matriks. Berdasarkan hal tersebut, waktu perendaman (retention time) kulit udang di dalam larutan HCl 1 N akan mempengaruhi penurunan kadar mineral pada proses pembuatan kitin. Semakin lama waktu perendaman, maka akan menghasilkan semakin banyak rendemen dari kitosan. Hal ini dikarenakan, perendaman menyebabkan terbukanya pori-pori cangkang udang yang maksimal, sehingga ruang-ruang yang terbentuk memudahkan dicapai oleh pengestrak (HCl), dengan demikian mineral mudah terlepas atau terekstrak dengan optimum (Suptijah 1992 dalam Ariesta 2008). 4.3 Mutu kitosan Kitosan harus memiliki mutu yang baik, dan pengukurannya dapat dilihat dari ukuran partikel, warna larutan, kadar air, kadar abu, dan kadar nitrogen. Setelah dilakukan proses pembuatan kitosan dengan pengaruh waktu perendaman HCl, 24 dihasilkan rendemen kitosan terbanyak dan mutu yang memenuhi persyaratan Protan Biopolimer (Suptijah et al. 1992). Berdasarkan hasil analisa terhadap rendemen kitosan tertinggi, didapatkan mutu kitosan yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Mutu kitosan dari rendemen hasil perendaman 72 jam HCl 1 N Parameter Nilai (Penelitian) Protan Biopolimer (Suptijah et al. 1992) Ukuran partikel Serpihan - serbuk Serpihan – serbuk Warna larutan Jernih Jernih Kadar air 15 % ≤ 10 % Kadar abu 0,11 % ≤ 2 %. Kadar nitrogen 4,73 % ≤ 5 %. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa ukuran partikel pada kitosan dari kulit udang berupa serpihan – serbuk. Hal ini sesuai dengan Suptijah et al. (1992) yaitu ukuran partikel pada kitosan berupa serpihan – serbuk. Pada proses pembuatan kitosan dengan ektraksi bahan baku terlihat hancur. Warna larutan kitosan tersebut jernih, yang berarti tidak ada zat pengotor yang menempel pada permukaan kitosan. Kadar abu merupakan parameter untuk mengetahui mineral yang terkandung dalam suatu bahan yang mencirikan keberhasilan proses demineralisasi yang dilakukan. Kadar abu kitosan hasil penelitian ini yaitu 0,11%. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu sesuai ketentuan Protan Biopolimer, yakni sebesar ≤ 2 %. Kadar abu ini dipengaruhi proses pengadukan yang dilakukan selama proses pembuatan kitosan. Pada proses tersebut dilakukan pengadukan yang cukup kostan sehingga kadar abu dari kedua kitosan tersebut cukup rendah. Kadar abu yang rendah menunjukan kandungan mineral yang rendah. Semakin rendah kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan tingkat kemurnian kitosan akan semakin tinggi. Selain itu proses pencucian yang baik dan diperolehnya pH netral, juga berpengaruh terhadap kadar abu. Dengan pencucian ini, mineral yang telah terlepas dari bahan dan berikatan dengan pelarut dapat 25 terbuang dan larut bersama air (Angka dan Suhartono 2000). Pencucian yang kurang sempurna akan mengakibatkan mineral yang sudah terlepas dapat melekat kembali pada permukaan molekul kitin. Kadar air merupakan salah satu parameter yang sangat penting untuk menentukan mutu kitosan. Protan Biopolimer menetapkan standar mutu kadar air kitosan adalah ≤ 10 % (Bastaman 1989). Dari Tabel 5 diketahui bahwa kadar air kitosan sebesar 15 %. Kitosan yang dihasilkan memiliki kadar air yang masih cukup tinggi dan melebihi batas maksimum standar mutu kadar air kitosan yang telah ditetapkan. Kadar air yang terkandung pada kitosan dipengaruhi oleh proses pengeringan, lama pengeringan yang dilakukan, jumlah kitosan yang dikeringkan dan luas tempat permukaan tempat kitosan yang dikeringkan (Saleh et al. 1994). Benjakula dan Sophanadora (1993) juga menyatakan bahwa kadar air kitosan tidak dipengaruhi oleh jumlah bahan, nisbah bahan, dan waktu proses tetapi dipengaruhi oleh waktu pengeringan yang dilakukan terhadap kitosan. Kadar air yang tinggi dipengaruhi oleh kurang meratanya peletakan kitosan pada tempat pengeringan, sehingga ada kitosan yang saling menggumpal dan akan mempersulit proses pengeringan. Instensitas sinar matahari yang tidak stabil (berubah-ubah) juga akan menyebabkan proses pengeringan berlangsung kurang sempurna. Selain itu, kadar air kitosan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, khususnya kelembaban relatif dari tempat kitosan tersebut disimpan. Pada umumnya kitosan disimpan di dalam ruangan. Hal yang harus diperhatikan agar dihasilkan kitosan dengan kadar air yang memenuhi persyaratan adalah dengan cara pengeringan, cara pengemasan dan cara penyimpanan yang baik. Penyimpanan yang baik dengan penutupan yang sempurna merupakan upaya untuk mempertahankan mutu kitosan, khususnya kadar airnya. Kadar nitrogen merupakan salah satu parameter yang juga diukur untuk menentukan mutu kitosan. Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang berinteraksi dengan gugus lainnya. Keberadaan senyawa lain dalam kitosan yaitu bentuk gugus amin (NH2) menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang cukup tinggi, sehingga kitosan mampu mengikat air dan larut dalam asam asetat. Menurut Protan Biopolimer standar mutu kadar nitrogen kitosan yang telah ditetapkan adalah ≤5 %. Pada Tabel 5 di atas ditunjukkan bahwa kadar nitrogen 26 kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar yang ditetapkan yakni sebesar 4,73%. Pada penelitian ini dilakukan proses deasetilasi yang sesuai dengan penelitian Ariesta (2008), yaitu dengan konsentrasi NaOH 50 % dan suhu proses deasetilasi 140 °C. Hasil analisis kadar nitrogen menunjukkan nilai yang relatif sama dengan hasil penelitian Ariesta (2008) yaitu ≤5 %. Konsentrasi NaOH dan suhu deasetilasi yang semakin tinggi, menyebabkan kadar nitrogen cenderung semakin kecil. Hal ini didukung oleh pernyataan Benjakula dan Sophanodora (1993) bahwa kadar total nitrogen berupa protein yang dapat dihilangkan (pada pembuatan kitin) sangat dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang digunakan, waktu ekstraksi dan suhu ekstraksi. Protein yang masih terikat setelah proses deasetilasi dilakukan dengan suhu yang semakin meningkat dan konsentrasi NaOH yang tinggi. Proses pengadukan yang konstan juga merupakan salah satu faktor yang mempermudah panghilangan protein dari kulit udang melalui reaksi antara larutan NaOH dengan bahan. Menurut Saleh et al. (1994) kadar nitrogen dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan waktu proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan dan semakin lama waktu deproteinasi yang digunkan maka reaksi antara protein dengan larutan pembentuk ester (Na-proteinat) akan semakin sempurna, sehingga protein yang dihilangkan akan semakin banyak. 4.4 Penelitian Utama Pada penelitian utama dilakukan perhitungan rendemen kitosan nanopartikel yang dihasilkan dari berbagai metode alat yang berbeda antara lain magnetic stirrer, ultrasonik dan homogenizer. Tahap berikutnya, dari hasil rendemen yang tertinggi dilakukan proses karakteristik fisik dari kitosan nanopartikel dengan metode gelasi ionic menggunakan ketiga alat tersebut. Parameter yang diamati pada penelitian utama meliputi ukuran partikel melalui analisis SEM (Scanning Electron Microscopy) dan FTIR (Fourier Transform InfraRed). 4.4.1 Rendemen Kitosan Nanopartikel Rendemen kitosan nanopartikel ditentukan berdasarkan persentase berat kitosan nanopartikel yang dihasilkan terhadap berat serbuk kitosan yang 27 digunakan. Rendemen yang diperoleh untuk setiap perlakuan adalah 38,5% - 85%. Hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perlakuan metode yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan perlakuan alat pengecilan ukuran No. Perlakuan (Alat) Rendemen (%) + stdev 1. Magnetic stirrer 81,30 ± 5,30 2. Ultrasonik 46,88 ± 0,88 3. Homogenizer 40,00 ± 2,06 Penggunaan alat ultrasonik atau mekanik dengan waktu sonikasi 60 menit dan amplitudo 30% menghasilkan rendemen kitosan nano sebesar 46,88 %. Rendemen kitosan nano menggunakan alat homogenizer dengan waktu homogenisasi 60 menit kecepatan 3000 rpm yaitu sebesar 40,00 %. Sedangkan rendemen kitosan nano yang dihasilkan menggunakan alat magnetic stirrer dengan waktu 60 menit dan 6000 rpm yaitu sebesar 81,30 %. Tabel 6 menunjukkan rendemen kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada perlakuan metode pengecilan ukuran dengan alat magnetic stirer yaitu sebesar 81,30 %. Sedangkan rendemen terendah ditunjukkan oleh kitosan nanopartikel dengan perlakuan menggunakan alat homogenizer yaitu sebesar 40,00 %. Rendemen yang rendah ini dapat disebabkan oleh proses yang digunakan. Alat ultrasonik memiliki kelemahan yaitu memerlukan energi tinggi untuk dekomposisi kimia. Selain itu, metode pemecahan menggunakan homogenizer memiliki kelebihan antara lain cocok untuk senyawa yang kelarutannya rendah, sedangkan kekurangan metode ini antara lain pemecahan partikel padatan memerlukan energi dan waktu yang lebih besar, dapat menghasilkan panas, dan ukuran partikel yang dihasilkan terbatas, yaitu lebih besar dari 1000 nm. Berdasarkan hasil yang diperoleh, rendemen nano kitosan yang tertinggi yaitu menggunakan magnetic stirrer, karena dengan alat magnetic stirrer memiliki kelebihan yaitu proses homogenisasi antara kitosan serbuk awal dengan bahan gelasi ionik, dapat dikendalikan secara merata dengan kecepatan yang tinggi, dibanding dengan menggunakan alat lainnya, sehingga lebih efektif menghasilkan 28 nanopartikel dan dapat menghasilkan rendemen 81,30%, yang sesuai dengan persentasi kitosan awal yang digunakan (Wahyono 2010). Proses pengeringan semprot (spray drying) juga mempengaruhi rendemen hasil nano kitosan yang dihasilkan. Pada pengeringan semprot terjadi kontak antara semprotan dengan udara panas, pengeringan semprotan, dan pemisahan antara produk kering (aliran serbuk bebas) dan udara (Yundhana 2008). Grafik hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan pengecilan ukuran dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Grafik hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan perlakuan metode pengecilan ukuran 4.4.2 Hasil Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM (Scanning Electron Microscopy) digunakan untuk mengamati morfologi suatu bahan. Prinsip kerja mikroskop SEM adalah sifat gelombang dari elektron berupa difraksi pada sudut yang sangat kecil. Elektron dapat dihamburkan oleh sampel yang bermuatan karena memiliki sifat listrik (Samsiah 2009 dalam Wulandari 2010). Hasil karakteristik SEM kitosan nanopartikel yang dibuat dengan berbagai metode yaitu magnetic stirrer, ultrasonik, dan homogenizer menunjukan partikel yang berupa bulatan menyerupai bola dan berkerut. Ukuran partikel dapat ditentukan dengan mengukur diameter bola tersebut. Perbesaran yang digunakan yaitu mulai dari 1000 kali hingga 20.000 kali. 29 Setelah dilakukan pengukuran diameter berdasarkan foto SEM diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Ukuran partikel nano kitosan hasil foto SEM Perlakuan Metode BPPT (2010) Penelitian H H1 (nm) H2 (nm) H1(nm) 2(nm) Magnetic Stirrer 25,9 28 400 450 Ultrasonik 1,2 25 1222 1600 Homogenizer 1,2 25 1375 2000 Pada Tabel 7 terlihat bahwa dengan menggunakan magnetic stirrer dihasilkan ukuran partikel terkecil dan lebih stabil yaitu sebesar 400 nm (H1) dan 450 nm (H2). Sedangkan pada perlakuan ultrasonik dan homogenizer dihasilkan ukuran pertikel yang lebih besar dan tidak stabil, yaitu dengan perlakuan ultrasonik didapatkan ukuran partikel sebesar 1222 nm (H1) dan 1600 nm (H2). Dengan perlakuan homogenizer dihasilkan ukuran partikel sebesar 1375 nm (H1) dan 2000 nm (H2). Hal ini sesuai dengan penelitian BPPT (2010) yaitu partikel terkecil dan stabil didapatkan dengan perlakuan magnetic stirrer sebesar 25,9 nm (H1) dan 28 nm (H2). Sedangkan partikel yang lebih besar serta tidak stabil diperoleh dengan perlakuan ultrasonik dan homogenizer sebesar 1,2 nm (H1) dan 25 nm (H2). Berdasarkan Gambar 7, kerutan pada partikel semakin berkurang dengan adanya pengaruh pemberian surfaktan, TPP dan perlakuan pengecilan ukuran. Perbedaan metode pengecilan ukuran pada gelasi ionik ini, memperlihatkan bahwa pengaruh alat homogenisasi cenderung mempengaruhi ukuran partikel dan meningkatkan kehomogenan ukurannya. Karakteristik nanopartikel kitosan dilakukan dengan menggunakan analisis SEM. Secara umum, nanopartikel kitosan seluruh formula memiliki ukuran partikel tidak seragam. Hal ini diduga karena dalam proses pembuatan nanopartikel, menggunakan perbedaan alat pengecilan ukuran dengan kecepatan pengadukan yang berbeda- beda sehingga pengendapan partikel-partikel berukuran besar menjadi kurang efektif. Akibatnya, partikel yang dihasilkan masih berupa partikel yang berukuran mikro. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa peggunaan alat magnetic stirrer dengan waktu 30 60 menit dan kecepatan maksimal, kisaran nanopartikel yang nanopartikel dihasilkan adalah 400 - 450 nm. Nanopartikel adalah butiran atau partikel padat dengan kisaran ukuran 10 - 1000 nm (Mohanraj dan Chen 2006). Nano partikel yang dihasilkan oleh magnetic stirrer rata-rata berukuran sekitar 400 - 450 nm. Berdasarkan teori kinetik molekul menyatakan bahwa molekul dapat bertumbukan satu dengan lainnya. Jadi, reaksi kimia berlangsung sebagai akibat dari tumbukan antara molekul-molekul satu dengan lainnya dalam reaksi. Dari segi teori tumbukan dari kinetika kimia, maka laju reaksi akan berbanding lurus dengan banyaknya tumbukan molekul per detik, atau berbanding lurus dengan frekuensi tumbukan molekul. Semakin cepat putaran, memperbesar intensitas bersentuhan molekul pelarut dengan kitosan, sehingga semakin besar intensitas kecepatan putaran dari magnetic stirrer maka partikel yang dihasilkan semakin kecil (Chang 2005). Pada alat ultrasonik, semakin tinggi persen amplitudo serta lama waktu kontak, maka semakin kecil ukuran partikel dan seragam. Hasil dari ultrasonik dan homogenizer masih berukuran lebih dari 1000 nm dan partikel masih menempel satu sama lain. Hal ini dapat dipengaruhi oleh proses emulsi yang kurang stabil sehingga saat proses ultrasonik dan homogenizer partikel yang terpecah membentuk partikel yang lebih kecil tetapi mudah bergabung kembali. Faktor pengeringan dengan menggunakan pengering semprot juga dapat mempengaruhi ukuran partikel karena suhu yang terlibat di dalamnya cukup tinggi (±180 °C). Selain itu, sifat surfaktan (Tween 80) juga mudah larut dalam air, sehingga kemungkinan terjadi dalam proses difusi Tween 80 dalam air menyebabkan penggabungan partikel proses penggumpalan kembali terjadi. Pada dasarnya partikel yang dihasilkan melalui metode ultrasonik dan metode homogenizer lebih kecil dibandingkan menggunakan magnetic stirrer. Partikel yang lebih kecil mempunyai luas permukaan yang lebih besar. Konsentrasi penstabil yang diberikan belum dapat mempertahankan partikel yang sudah tersalut sehingga membutuhkan penstabil yang lebih kuat agar tidak bergabung atau menyatu kembali (Latifah 2008). Berbeda dengan sampel yang menggunkan alat magnetic stirrer, penyebaran energi cenderung merata, sehingga seluruh molekul terkena energi yang sama dan 31 molekul larutan emulsi akan terpecah dengan ukuran yang sama serta distribusi ukuran partikelnya cenderung labih homogen. Hal inilah yang menyebabkan nanopartikel di dalamnya juga akan dapat terpisah satu sama lain sehingga didapatkan nanosfer dengan ukuran terkecil. Selain itu, penggunaan tripolipospat dalam proses gelasi juga besar pengaruhnya, yaitu dapat menstabilkan missel (emulsi homogen dan sangat kecil) sehingga missel tersebut menjadi lebih stabil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BPPT yang dilakukan dengan uji PSA (Particle Size Analyzer) (Tabel 7), bahwa ultrasonik dan homogenizer memiliki kestabilan rendah. Sedangkan dengan magnetic stirrer menghasilkan kestabilan tetap, yang bisa dilihat dalam waktu/hari. Magnetic stirrer lebih stabil dalam waktu 24 jam, sementara pada ultrasonik dan homogenizer bisa berubah kestabilannya mencapai 25 kali lebih meningkat (BPPT 2010). Surfaktan yang digunakan untuk obat secara farmakologi harus nontoksik. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan surfaktan dari golongan nonionik yang bersifat tidak toksik, yaitu Tween 80. Surfaktan merupakan molekul yang diadsopsi oleh permukaan partikel untuk mencegah terjadinya gumpalan (Mustika et al. 2006 dalam Latifah 2008). Pengaruh surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan antar lapisan larutan bahan dengan kitosan semakin baik dengan terbentuknya misel – misel, artinya bahan akan menyaluti permukaan matriks kitosan atau berada pada inti matriks. Penggunaan tripolipospat mengingat sifatnya yang nontoksik. Menurut Mi et al. (1999) dalam Wahyono (2010), penambahan TPP bertujuan untuk membentuk silang ionik antara molekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penguat. Hal ini dapat disebabkan oleh peran TPP sebagai zat pengikat silang yang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Pada penelitian ini, konsentrasi kitosan yang digunakan sebesar 0,2% (50 ml) dan konsentrasi surfaktan sebesar 0,2% (25 ml), sesuai dengan penelitian Kencana (2009) dalam mendapatkan nanokitosan dengan ukuran partikel terkecil 32 yaitu 300 - 600 nm. Penambahan surfaktan berfungsi untuk menstabilkan emulsi partikel dalam larutan dengan cara mencegah timbulnya penggumpalan (aglomerasi) antarpartikel. Dengan adanya surfaktan, partikel-partikel kitosan di dalam larutan akan terselimuti dan terstabilkan satu dengan yang lain sehingga proses pemecahan partikel akan semakin efektif. Partikel yang telah terpecah akan kembali terstabilkan dalam emulsi larutannya, sehingga mencegah terjadinya aglomerasi. Silvia et al. (2006) melaporkan bahwa menambahan surfaktan Tween 80 dan Span 80 ke dalam larutan kitosan dapat menurunkan diameter partikel berturut-turut dari 198 µm menjadi 181,3 µm dan dari 132,6 µm menjadi 24,9 µm. Menurut Yongmei dan Yumin (2003), pembentukan nanopartikel hanya terjadi pada konsentasi kitosan dan TPP tertentu. Yongmei dan Yumin berhasil membuat nanopartikel kitosan berukuran 20 - 200 nm dengan menggunakan konsentrasi kitosan 1,5mg/ml dan konsentrasi TPP 0,7 mg/ml. Selain itu, Wu et al. (2005) dalam Wahyono (2010) juga berhasil membuat nanopartikel kitosan berukuran 20 - 80 nm dengan menggunakan konsentrasi kitosan 1,44 mg/ml dan konsentrasi TPP 0,6 mg/ml. Hal ini diduga karena analisis ukuran partikel menggunakan peralatan yang memiliki akurasi yang tinggi sehingga ukuran partikel yang diperoleh mendekati ukuran sebenarnya. Menurut Mi et al. (1999) dalam Komariah (2010), penambahan TPP bertujuan untuk membentuk silang ionik antara molekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penjerap. Penambahan jumlah TPP akan menurunkan jumlah nanopartikel kitosan. Hal ini dapat disebabkan oleh peran TPP sebagai zat pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karenanya jumlah partikel kitosan yang dihasilkan akan semakin sedikit. Untuk itu, pada penelitian ini digunakan formulasi pada ketiga metode pengecilan ukuran dengan konsentrasi TPP 0,1% (10 ml) dan konsentrasi kitosan sebesar 0,2% (50 ml), agar tidak terjadi penggumpalan (aglomerasi) molekul-molekul kitosan. Alasan lain pada konsentrasi kitosan yang 33 tinggi hingga mencapai 3,0% (b/v) dengan jumlah TPP yang tetap, menyebabkan terjadinya penggumpalan (aglomerasi) molekul-molekul kitosan sehingga proses pemecahan menjadi kurang efektif, akibatnya jumlah nanopartikel yang dihasilkan akan semakin sedikit. Namun, seiring dengan penambahan jumlah konsentrasi kitosan, akan menyebabkan peningkatan jumlah nanopartikel kitosan. Hal ini menyatakan bahwa, konsentrasi kitosan harus lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi TPP yang digunakan (Wahyono 2010). Pengaruh cara penegecilan ukuran dengan magnetic stirrer dengan kecepatan tinggi, akan menyamaratakan energi yang diterima oleh partikel diseluruh bagian sisi larutan sehingga ukuran partikel semakin homogen. Meningkatnya kehomogenan ukuran partikel juga dapat dilihat pada Gambar 7. Jika dilihat dari kehomogenan distribusi ukuran partikel, sampel yang menggunakan alat magnetic stirrer (A1) distribusi ukuran partikelnya cenderung lebih homogen dibandingkan dengan alat lainnya (A2 dan A3), karena penyebaran energi yang dipantulkan dari magnetic stirrer terhadap molekul disekitarnya lebih rata dan lebih konstan. Sedangkan, ketika menggunakan homogenizer ultrasonik (A3) dan ultrasonik (A2), penyebaran energinya tidak sama, sehingga energi yang dipantulkan pada molekul larutan emulsi berbeda – beda pula. Terjadinya pemantulan yang berbeda – beda ini menyebabkan molekul larutan ada yang pecah lebih cepat dan ada juga yang pecah lebih lama sehingga menghasilkan ukuran partikel yang lebih besar dan tidak homogen (Wulandari 2010). Dalam waktu yang relatif singkat, sebenarnya sonikasi dapat memecahkan partikel hingga ukuran yang sangat kecil. Lamanya sonikasi dapat mengakibatkan partikel-partikel yang telah terpecah untuk menggabungkan diri kembali sehingga terlihat adanya penggumpalan partikel pada citra SEM tersebut (Kencana 2009). Selain itu, sifat tween 80 juga mudah larut dalam air, sehingga kemungkinan dalam proses difusi tween 80 juga larut sebagian dalam air sehingga proses penggumpalan kembali terjadi. Berbeda dengan sampel yang menggunakan alat magnetic stirrer (A1), penyebaran energi cenderung merata, sehingga seluruh molekul terkena energi yang sama dan molekul larutan emulsi akan terpecah dengan ukuran yang sama serta distrinbusi ukuran partikelnya cenderung labih homogen. Hal inilah yang 34 menyebabkan nanopartikel yang terkungkung di dalamnya juga akan dapat terpisah satu sama lain sehingga didapatkan nanosfer dengan ukuran terkecil. A1 (magnetic stirrer), H1 A1 (magnetic stirrer), H2 A2 (ultrasonik), H1 A2 (ultrasonik), H2 A3 (homogenizer), H1 A3 (homogenizer), H2 Gambar 7 Morfologi partikel kitosan; A1 (magnetic stirer) H1 dan H2, A2 (ultrasonik) H1 dan H2, dan A3 (homogenizer) H1 dan H2 35 Gambar foto SEM pada kode sampel A3 berbeda dengan kode sampel lainnya (Gambar 7). Hal tersebut karena terjadi penundaan proses spray dryer setelah melakukan proses homogenisasi. Larutan yang telah diproses sebaiknya langsung dilakukan proses spray drying agar larutan tersebut tetap terjaga stabilitas distribusi partikelnya. Tujuan dilakukan spray drying agar menghasilkan serbuk berupa partikel nanokapsul yang kecil, teknik yang ramah sehingga dapat terhindar dari penggunaan pelarut organik, dan dapat meningkatkan stabilitas serbuk (Yundhana 2008). 4.4.3 Hasil Analisis FTIR Spektrum inframerah digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi kitosan yang digunakan, mengetahui gugus fungsi kitosan, serta penentuan indeks kristalinitas kitosan awal dan kitosan yang telah dilakukan metode pengecilan ukuran (magnetic stirrer). Derajat deasetilasi adalah penghilangan gugus asetil (COCH3 ) yang terdapat pada kitin. Kitin yang mengalami proses deasetilasi disebut kitosan. Hasil analisis FTIR pada kitosan menunjukkan derajat deasetilasi sebesar 99 %. Grafik derajat deasetilasi dapat dilihat pada Gambar 8. 4000.0 3000 2000 1500 1000 450 .0 -2.0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22.0 cm-1 %T Laborato ry T es t Result J (2) 3901.52 3854.88 3839.58 3818.17 3803.28 3751.96 3735.87 3690.79 3672.48 3392.84 2342.47 1575.13 1412.31 1152.06 1076.14 651.62 Gambar 8 Grafik derajat deasetilasi pada kitosan berukuran nano (partikel terkecil) dengan alat magnetic stirrer 36 Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa kitosan tersebut telah sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan oleh laboratorium Protan diacu dalam Suptijah et al. (1992) yaitu ≥70 %. Derajat deasetilasi yang tinggi menunjukkan kemurnian dari kitosan yang dihasilkan (Bastaman 1989). Derajat deasetilasi dari kitosan menentukan banyaknya gugus asetil yang telah hilang selama proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Semakin besar derajat deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif karena semakin banyak gugus amina menggantikan gugus asetil. Gugus amina lebih reaktif diabandingkan gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan (Muzzarelli dan Peter 1997 dalam Kencana 2009). 37 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik dengan perlakuan menggunakan perbedaan alat sizing berhasil dilakukan dari hasil preparasi kitosan dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 72 jam dengan rendemen sebesar 13,50% (bk) dan yang terendah diperoleh dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 0 jam dengan rendemen sebesar 11,57% (bk). Rendemen kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada kitosan nanopartikel dengan perlakuan pengecilan ukuran menggunakan alat magnetic stirrer yaitu sebesar 81,30%. Sedangkan rendemen terendah ditunjukkan oleh kitosan nanopartikel dengan menggunakan alat homogenizer, yaitu sebesar 40,00%. Penggunaan TPP pada penelitian ini dapat menguatkan sifat mekanik kitosan yang mudah rapuh dan dapat membentuk ikatan silang ionik antara molekul kitosan. Lamanya waktu homogenisasi dapat meningkatkan kehomogenan ukuran partikel. Magnetic stirrer dapat mendistribusikan ukuran partikel yang lebih homogen dibandingkan menggunakan homogenizer ultrasonik dan ultrasonik. Sampel dengan pengaruh alat magnetic stirrer, konsentrasi TPP, surfaktan dan waktu yang sesuai menunjukkan bahwa kerutan pada partikel semakin berkurang. Gelasi ionik dengan surfaktan dan TPP, menghasilkan partikel sangat kecil dan tidak berpolimerisasi. Ukuran partikel yang diperoleh dengan menggunakan magnetic stirrer sebesar 400 - 450 nm. Nilai derajat deasetilasi dari kitosan nanopartikel terkecil yang dihasilkan yaitu sebesar 99% dan menunjukan bahwa nano kitosan yang dihasilkan merupakan kitosan murni. 5.2 Saran Penelitian selanjutnya dapat divariasikan lagi konsentrasi TPP, surfaktan dan waktu yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar kitosan tersebut lebih homogen dan lebih sedikit, sehingga didapatkan ukuran partikel akhir sesuai standar nano. 38 DAFTAR PUSTAKA Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut.. Bogor: PKSPL, Institut Pertanian Bogor. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemyst. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemyst, Inc. Ariesta A. 2008. Karakteristik mutu dan kelarutan kitosan dari ampas silase kepala udang windu (Penaeus monodon) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bastaman S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Belfast : The Department of Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University. Benjakula S, Sophanodora P. 1993. Chitosan Production from Carapace and Shell of Black Tiger Shrimp (Penaeus monodon) Asean Food Jurnal. 8(4): 145-148. BPPT. 2010. Pembuatan Partikel Nano Kitosan dengan Metode Gelasi Ionik Menggunakan Magnetic Stirrer. Tanggerang: Balai Pengkaji dan Penerapan Teknologi. Chang R. 2005. Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Dhanikula AB, Pachagnula R. 2004. Development and characterization of biodegradable chitosan films for local delivery of paclitaxel. www.aapsj.org [10 Oktober 2010]. Domsay T M, Robert. 1985. Evaluation of Infra Red Spectroscopic Techniques for analyzing Chitosan. Macromol Chem 186, 1671 Emmanuel, Adeyeye I, Habibat O. Adubiaro, Awodola OJ. 2008. Comparability of Chemical Composition and Functional Properties of Shell and Flesh of Penaeus notabili. Journal of Nutrition 7(6):741-747. Kencana A. 2009. Perlakuan sonikasi terhadap kitosan: viskositas dan bobot molekul kitosan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Keuteur J. 1996. Nanoparticles and Microparticles for drug and vaccine delivery. Eur J of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 189: 19-34. 39 Kim, T. Y and Cho S. Y. 2005. Adsorpsi Equilibria of Reactife Dye Onto Highly Polyaminatid Porous Chitosan Bead. Korean J. Chem Eng. 22 (5) 691- 696. Kim JD, Nhut TM, Hai TN, Ra CS. 2011. Effect of Dietary Essential Oils on Growth, Feed Utilization and Meat Yields of White Leg Shrimp L. Vanname. Journal Anim. Sci 24(8):1136-1141. Komariah S. 2010. Kombinasi emulsi dan ultrasonikasi dalam nanoenkapsulasi ibuprofen tersalut polipaduan poli (as.laktat) dan poli (ε- Kaprolakton). [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Latifah S. 2010. Stabilitas mikrokapsul ketoprofen dengan penyalut kitosan alginat [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Malvern. 2010. Berbagai Industri Partikel Nano . http://www.eNews.com [12 Desember 2010]. Mardliyati E. 2010. Pengenalan Pemanfaatan Nanopartikel Kitosan sebagai Matriks Enkapsulasi. Jakarta: Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Maulana H. 2007. Stabilitas larutan kitosan 1,5% sebagai antibakteri pada penyimpanan suhu ruang [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mohanraj UJ and Y chen. 2006. Nanoparticles - A Review. Tropical Journal of Pharmaceutical Research 5(1): 561-573. Napthaleni. 2010. Nanoenkapsulasi ketoprofen tersalut kitosan-alginat berdasarkan jenis dan ragam konsentrasi surfaktan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pusat Data Statistik. 2008. Jumlah Ekspor Udang di Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Rini I. 2010. Recovery dan karakterisasi kalsium dari limbah demineralisasi kulit udang jerbung (Penaeus merguiensis deMan) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 40 Saleh MR, Abdillah, Suerman E, Basmal J, Indriati N. 1994. Pengaruh Suhu, Waktu dan Konsentrasi Pelarut pada Ekstraksi Kitosan dari Limbah Pengolahan Udang Beku terhadap Beberapa Parameter Mutu Kitosan. Jurnal Pasca Panen Perikanan 81:30 43. Shu XZ and Zhu KJ. 2002. Controlled Drug Release Properties of Ionically Cross- Linked Chitosan beads: The Influence of Anion Structure. International Journal of Pharmaceutics 233: 217-225. Silvia. SS. 2005. Physical Propertis and Biocompatibility of Chitosan/ Sury Blendet Membran, Jurnal of Material Science 16. 575- 579. Steel RGD, JH Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sugita. 1992. Isolasi kitin dan komposisi senyawa kimia limbah udang windu (Penaeus monodon) [tesis]. Bandung: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suptijah, P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J. 1992. Pengaruh Berbagai Isolasi Khitin Kulit Udang TerhadapMutunya. Laporan Penelitian Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 30 hal. Sutriyo, Joshita D, Indah R. 2005. Perbandingan pelepasan propanol hidroklorida dari matriks kitosan, etil selulosa, dan hidroksipropil metal selulosa. Majalah Ilmu Kefarmasian 2: 145-153. Tripler, Paul A. 2001. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Jilid 2. Edisi ketiga. Soegiyono B. Penerjemah. Terjemahan dari Physics for Scientist and Engineers Volume 2 Third Edition. Jakarta: Erlangga. Wahyono D. 2010. Ciri nanopartikel kitosan dan pengaruhnya pada ukuran partikel dan efisiensi penyaluran ketoprofen [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widjhati R. 2010. Aplikasi Nanoteknologi pada Industri Farmasi. Jakarta: Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Wulandari T. 2010. Sintesis nanopartikel ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) berbasis polimer kitosan, TPP dengan metode gelasi emulsi [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 41 Yongmei X, Yumin D. 2003. Effect of moleculer structure of chitosan on protein delivery properties of chitosan nanoparticles. International Journal of Pharmaceutics 250: 215-226. 42 LAMPIRAN 43 Lampiran 1. Analisis kadar air cangkang udang vannamei Keterangan Ulangan 1 2 Berat sampel (gram) (B) 1,0024 1,0031 Berat (sampel+cawan) sebelum dikeringkan (B1) 48,1175 48,0204 Berat (sampel+cawan) setelah dikeringkan (B2) 47,9663 47,8699 Kadar air (% bb) 15,08 15,00 Rata-rata (%) 15.04± 0.05 Perhitungan kadar air % Kadar air = Lampiran 2 Analisis kadar abu cangkang udang vannamei Keterangan Ulangan 1 2 Berat sampel (gram) 1,0134 1,0115 Berat sampel dan cawan akhir (gram) 46,1763 45,8999 Berat cawan kosong (gram) 45,9963 45,7149 Kadar abu (%) 17,76 18,28 Rata-rata (%) 18,02± 0,36 Perhitungan Kadar abu cangkang udang vannamei 44 Lampiran 3 Analisis kadar protein cangkang udang vannamei Keterangan Ulangan 1 2 Berat contoh (g) 0,1243 0,1217 Volume HCl titrasi sampel (ml) 12,90 12,50 N HCl 0.096 0.096 Faktor pengencer 10 10 Kadar Protein (% bb) 34,87 34,51 Rata-rata (% bb) 34,69±0,25 Perhitungan kadar protein cangkang udang vannamei % N (U1) = x 100 % = x 100 % = 5,579 % % Protein (U1) = 6,25 x % N = 6,25 x 5,579 % = 34,87 % % N (U2) = x 100 % = x 100 % = 5,521 % % Protein (U2) = 6,25 x % N = 6,25 x 5,521 % = 34,51 % % Protein rata-rata = = 34,69 % 45 Lampiran 4 Analisis kadar lemak cangkang udang vannamei Keterangan Ulangan 1 2 Berat sampel (gram) 2,0043 2,0012 Berat labu lemak kosong (gram) 38,0190 40,1502 Berat labu lemak dengan lemak (gram) 38,0298 40,1624 kadar lemak (%) 0,54 0,61 Rata-rata (%) 0,57±0.05 Perhitungan Kadar lemak % Lemak 1 = x 100 % = x 100 % = 0,54 % % Lemak 2 = x 100 % = x 100 % = 0,61 % % Lemak rata-rata = = 0,57% Lampiran 5 Analisis kadar karbohidrat cangkang udang vannamei secara by difference % Karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein) % Karbohidrat = 100% - (15,08% + 17,76% + 0,54% + 34,87%) % Karbohidrat = 31,75% 46 Lampiran 6. Data uji rendemen kitosan udang vannamei No. Perlakuan (Jam) Rendemen Rata – rata (%) ± stdev Ulangan 1 Ulangan 2 1. 0 11,56 11,58 11,57 ± 0,14 2. 24 12,00 13,00 12,5 ± 0,7 3. 48 13,20 13,73 13,46 ± 0,37 4. 72 13,50 14,03 13,77 ± 0,37 Lampiran 7 Analisis kadar air kitosan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) No. Perlakuan (Jam) Kadar air Rata – rata (%) ± stdev Ulangan 1 Ulangan 2 1. 0 4,79 5,38 5,09 ± 0,42 2. 24 5,09 5,00 5,05 ± 0,06 3. 48 6,78 7,05 7,00 ± 0,20 4. 72 15,08 15,00 15,04 ± 0,06 Contoh perhitungan: Perhitungan kadar air pada sampel kulit udang: Keterangan: A= Berat cawan kosong (gr) B= Berat cawan dengan sampel kulit udang (gr) C= Berat cawan dengan sampel kulit udang setelah dikeringkan Diketahui: A= 47,1151 B= 48,1181 C= 47,9663 % kadar air = = 15,00 % 47 Lampiran 8 Analisis kadar abu kitosan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) Kode Berat sampel Berat cawan Berat cawan setelah oven Hasil (%) U1 1,0134 25,9669 25,968 0,11 U2 1,0115 29,2438 29,245 0,12 Contoh Perhitungan: Perhitungan kadar abu pada sampel kulit udang Keterangan: A= Berat cawan abu porselen kosong (gr) B= Berat cawan abu porselen dengan sampel kulit udang (gr) C= Berat cawan abu porselen dengan sampel kulit udang setelah dikeringkan (gr) U1 (ulangan 1): A= 25,9669 gr B= 26,9803 gr C= 25,968 gr = 0,11 % U2 (ulangan 2): A= 29,2438 gr B= 30,2553 gr C= 29,245 gr = 0,12 % Rata – rata kadar abu = 0,115 % 48 Lampiran 9 Analisis kadar protein kitosan udang vannamei Kode Berat sampel Titrasi (ml) N HCl Hasil (bk) (%) U1 0,1340 11,80 0,096 30,80 U2 0,1345 11,85 0,096 29,63 Contoh perhitungan: Perhitungan kadar protein kulit udang Kadar protein U1 ulangan 1: Volume titran HCl sampel = 11,80 ml Volume titran HCl blanko = 0 ml Bobot sampel = 0,1340 = 4,73% Lampiran 10 Data Hasil Perhitungan DD (Derajat Deasetilasi) DD = [1 - ( - ( ) ] x 100% A 1575 = A 3392 = DD = [1 -[ ( - ( ) ] ] x 100% = [1 -[0,76 – 0,75] ] x 100% = [1– 0,01] x 100% = [0,99] x 100% DD = 99 % Cover Ringkasan Halaman Judul Lembar Pengesahan Pernyataan Riwayat Hidup Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metodologi Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka Lampiran


Comments

Copyright © 2025 UPDOCS Inc.