jurnal biofar dhana 3

April 5, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan bahwa kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Oleh karena bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi gaya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel, 1988). Absorpsi sistematis suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomi dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali. Sewaktu obat mengalami absorpsi sistemik berbagai proses fisiologik normal yang berkaitan dengan distribusi dan eliminasi biasanya tidak dipengaruhi oleh formulasi obat. Oleh karena faktor-faktor tersebut terlibat di dalam bioavailabilitas obat, khususnya pada absorpsi dalam saluran cerna, maka kadar obat sesudah pemakaian entral lebih bervariasi dibandingkan kadar obat sesudah memakai parenteral (Shargel, 1988). Studi bioavaibilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap bahan obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA (Food Drug Administration) untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bahan terapetik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa obat tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu produk obat harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian. Untuk menyatakan bahwa standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi bioavaibilitas dan bila perlu persyaratan bioekivalensi untuk semua produk (Shargel, 1988). Adanya perbedaan bioavaibilitas dari setiap sediaan yang sama yang ada dipasaran inilah yang melatarbelakangi dilakukan percobaan evaluasi sediaan yang ada dipasaran. Dalam hal ini yang diuji adalah sedian Lasix dan Furosemid (Syukri, 2002). Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat aktif yang sama dan dalam bentuk sediaan yang sama, serta diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai kejadian (zat aktif menjadi tidak aktif atau menjadi toksik) dapat menyebabkan ketidaksetaraan tersebut. Studi biofarmasetika menyatakan bahwa metode fabrikasi dan formulasi akan mempengaruhi ketersediaan hayati suatu obat (Syukri, 2002). Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sistem sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu tujuan dalam merancan suatu bentuk sediaan g dan keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut (Syukri, 2002). 1.2 TUJUAN PERCOBAAN Melakukan eksperimen untuk menyelidiki pengaruh rute pemberian obat (IV dan peroral) sediaan sulfadiazin dan furosemid terhadap parameter farmakokinetika menggunakan data konsentrasi obat dalam darah. 1.3 MANFAAT PENELITIAN Dengan melakukan percobaan ini, praktikan dapat mengetahui rute-rute pemberian obat, juga dapat mengetahui cara pengambilan sampel darah dari hewan percobaan, dan dapat mengetahui konsentrasi obat serta ketersediaan hayatinya didalam darah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketersediaan Hayati (Bioavailabilitas) Efek terapi suatu obat biasanya baru terlihat sesudah zat aktifnya melalui sistem pembuluh aorta lalu masuk ke ahti dan kembali masuk peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh jaringan badan. Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sistem sirkulasi sistemik dan menunjukkan kinetik perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan salah satu tujuan dalam merancang suatu bentuk sediaan dan keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut (Syukri, 2002). Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada keadaan pasien yang bersangkutan (secara in vivo) dengan menentukan kadar obat dalam plasma darah dan setelah mencapai keseimbangan antara serum cairan tubuh (keadaan tunak). Ada korelasi yang ba antara ik kadar obat dalam plasma dengan efek terapi. Sekarang telah dicoba untuk menetukan kadar obat di dalam air liur. Penentuan tersebut ternyata lebih mudah dibandingkan dengan penentuan obat dalam plasma. Di samping itu terdapat hubungan antara kadar obat dalam air liur dan kadar obat dalam plasma. Sebagai contoh pada fenitoin terdapat perbandingan kirakira 1:10, bila contoh air liur diambil pagi hari sebelum menelan obat (Anief, 2000). Ketersediaan farmasetik ditentukan secara invitro dengan menguku kecepatan r disolusi zat aktif dalam waktu tertentu. Tidak ada korelasi positif antara pengukuran kadar obat in vivo (dalam plasma) dengan pengukuran kadar obat secara in vitro. Pengertian ketersediaan hayati lebih banyak digunakan daripada pengertian ketersediaan farmasetik (Anief, 2000). Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva kadar waktu setelah obat diminum dan berada pada jaringan biologik atau larutan seperti darah dan urin (Anief, 2000). Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, 1988). Sewaktu obat mengalami absorpsi sistemik berbagai proses fisiologik normal yang berkaitan dengan distribusi dan eliminasi biasanya tidak dipengaruhi oleh formulasi obat. Oleh karena faktor-faktor tersebut terlibat di dalam bioavailabilitas obat, khususnya pada absorpsi dalam saluran cerna, maka kadar obat sesudah pemakaian enteral dapat lebih bervariasi dibandingkan kadar obat sesudah pemakaian parenteral (Shargel, 1988). Banyak obat yang jika diberikan secara oral akan mengalami efek lintasan pertama yang nyata, akibatnya ketersediaan hayati obat akan berkurang, jika dibandingkan secara intra otot atau intra vena. Pada umumnya besarnya ketersediaan hayati suatu obat mengikuti saluran pemberiannya yaitu oral ± intra otot ± intra vena (Shargel, 1988). Suatu obat dapat diberikan dalam berbagai rute dan tetap menghasilkan aktivitas yang ekivalen, tetapi lama dan mula kerja mungkin sangat berbeda karena perubahan farmakokinetik yang disebabkan oleh rute pemberian. Sebelum suatu obat dibuat untuk suatu rute pemberian tertentu adalah penting untuk mempertimbangkan perubahan fisiologik dan fisikokimia yang disebabkan oleh perubahan bentuk sediaan (Shargel, 1988). 2.2 Ketersediaan Hayati Sulfadiazin Sulfadiazin diberikan peroral diabsorpsi dan diekskresi secara cepat pada GIT. Konsentrasi puncak dalam darah dicapai pada waktu 3-6 jam setelah pemberian single dose. Jika diberikan oral dose sebanyak 3 gram, konsentrasi puncak dalam darah adalah 50 mg/ml. 50 % diikat dalam protein plasma pada konsentrasi 100 mg/ml dari plasma protein normal (Goodman, 1958). Konsentrasi terapeutik pada cairan serebrospinal pada 4 jam adalah 60 mg/kg. Pada awalnya sulfadiazin diekskresikan secara cepat oleh ginjal dalam bentuk asetilat tapi pada jam ke-2-3 menjadi lambat. Pada menit ke-30 diekskresikan sekitar 15-40 %. Bentuk asetilat diekskresi lebih cepat daripada bebas (Goodman, 1958). Data ketersediaan hayati sulfadiazin dalam sediaan oral adalah sebagai berikut: Availabilitas Ekskresi melalui urine Ikatan dengan plasma Klirens Volume distribusi T1/2 : -100 : 57 + 14 % : 54 + 4 : 0,55 + 0,17 ml/min.kg : 0,29 + 0,04 L/kg : 9,9 + 4,3 jam (Goodman, 1958). 2.3 Ketersediaan Hayati Furosemid Mulai kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya. Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, PP-nya ca 97%, plasma t-1/2 nya 30-60 menit; ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu (Tjay & Kirana, 2002). Bioavalabilitas furosemida adalah 65%. Diuretic kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui sistem transport asam organik di tubuli proksimal. Dengan cara ini obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di tempat kerja di daerah yang lebih distal lagi. Probenesid dapat menghambat sekresi furosemid, dan interaksi antara keduanya ini hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuli, dan tidak pada tempat kerja diuretic. Sebagian furosemida yang diberikan secara iv diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian kecil diekskresi dalam bentuk glukuronat (Ganiswara, 1995). Bioavalabilitas adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek terapeutisnya. Di beberapa Negara, bioavalabilitas juga mencakup pula kecepatan dengan mana obat muncul di sirkulasi darah. Biasanya, efek obat baru mulai nampak sesudah obat melalui sistem pembuluh darah porta serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah besar yang mendistribusikannya ke selu ruh jaringan (Tjay & Kirana, 2002). Bioavalabilitas dapat diukur in vivo (pada keadaan sesungguhnya) dengan menentukan kadar plasma obat sesudah tercapai steady state. Pada keadaan ini terjadi kesetimbangan antara kadar obat di semua jaringan tubuh, dan kadar darah praktis konstan karena jumlah zat yang diserap dan yang dieliminasi adalah sama. Antara kadar plasma dan efek terapeutik pada umumnya terdapat suatu korelasi yang baik (Tjay & Kirana, 2002). Bioavalabilitas menunjukkan fraksi dari dosis obat yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif. Bila obat dalam bentuk aktif diberikan secara iv maka F=1, tetapi bila disuntikkan dalam bentuk derivate yang perlu dikonversi dalam tubuh, maka F= fraksi yang dikonversi menjadi bentuk aktif, misalnya kloramfenikol etilsuksinat, hidrokortison Na-suksinat, klindamisin fosfat (Ganiswara, 1995). Bila obat diberikan per oral maka F biasanya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang diabsorpsi). Ini terjadi karena, untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorbsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan/ atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organorgan tersebut. Metabolism ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavalabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavalabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorbsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rectal, atau memberikannya bersama makanan (Ganiswara, 1995). Besarnya bioavalabilitas suatu obat oral digambarkan oleh AUC (area under curve) atau luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam plasma terhadap waktu, dari obat oral tersebut dibandingkan dengan AUC-nya pada pemberian iv. Ini disebut bioavalabilitas oral, dan merupakan bioavalabilitas absolut dari obat oral tersebut. Bioavalabilitas oral = Bioavalabilitas absolut =   Bioavalabilitas suatu sediaan obat (preparat dagang) disebut bioavalabilitas produk yang bersangkutan. Ini ditentukan selain oleh bahan baku obatnya, juga oleh formulasi produk tersebut; besarnya dibandingkan dengan bioavalabilitas produk penemunya, sehingga merupakan Bioavalabilitas relatif dari produk tersebut. Bioavalabilitas suatu (Ganiswara, 1995). produk = Bioavalabilitas relatif =      Penelitian bioavailabilitas perlu dilakukan dalam hal berikut : 1) Obat-obat yang batas keamanannya sempit 2) Obat-obat yang absorpsinya berfluktuasi 3) Obat-obat yang variasi individunya besar dalam kadar plasma pada dosis biasa 4) Diperlukan untuk mempertahankan MEC/MIC obat dalam cairan hayati selama terapi 5) Obat-obat baru. 2.4 Bioekuivalensi Ekuivalensi kimia-kesetaraan jumlah obat dalam sediaan- belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut ekuivalensi biologic atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetapi tidak berekuivalensi biologic dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat-obat yang absorbsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan pada obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya, misalnya eritromisin dan levodopa. Perbedaan bioavalabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperlihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat yang indeks terapinya sempit, misalnya digoksin, difenilhidantoin, teofilin (Ganiswara, 1995). Dua produk obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan keamanan yang sebanding. Dengan demikian, ekivalensi/inekivalensi terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik. Akan tetapi, untuk produk obat yang bekerja sistemik, uji klinik mempunyai kendala berikut : pada penyakit ringan tidak terlihat, pada penyakit berat tidak etis endpoint yang diukur seringkali kurang akurat sehingga variabilitasnya besar sekali, dengan akibat dibutuhkan sampel yang besar sebagai uji klinik untuk menunjukkan ekivalensi dibutuhkan sampel yang besar sekali Oleh karena itu, sebagai alternatif dilakukan uji bioekivalensi yang endpointnya sangat akurat (yakni kadar obat dalam plasma) sehingga variabilitasnya rendah, dan dengan demikian sampel yang dibutuhkan jauh lebih kecil. Jika terdapat perbedaan yang bermakna secara klinik dalam bioavailabilitasnya, maka kedua produk obat tersebut dinyatakan inekivalen secara terapeutik (inekivalensi terapeutik) (http://www.pom- obat.go.id/archive/guideline.pdf). 2.5 Parameter Farmakokinetika 2.5.1 Tetapan Laju Eliminasi Laju eliminasi untuk sebagian besar obat merupakan suatu proses order ke satu. Tetapan laju eliminasi ,K, adalah suatu tetapan laju eliminasi order kesatu dengan satuan waktu-1. Pada umumnya hanya obat induk atau obat yang aktif yang ditentukan dalam kompartemen vaskular. Pemindahan atau eliminasi obat secara total dari kompartemen ini dipengaruhi oleh proses metabolisme (biotransformasi) dan ekskresi. (Shargel, 1988). 2.5.2 Volume Distribusi Volume distribusi menyatakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan dalam kompartemen cuplikan. Volume distribusi juga dapat dianggap sebagai (Vd) di mana obat terlarut (Shargel, 1988). 2.5.3 Area di bawah Kurva (Area Under Curve) Area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu adalah suatu ukuran dari jumlah bioavailabilitas suatu obat. AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. AUC adalah area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu dari t = 0 sampai t = b, dan sama dengan jumlah obat tidak berubah yang mencapai sirkulasi umum dibagi klirens (Aiache, 1993). Parameter ini dapat menggambarkan persentase jumlah obat yang diabsorpsi dari dosis yang diberikan dengan membandingkan dengan AUC obat yang diberikan secara intravena. Hasil yang didapat sama dengan nilai ketersediaan hayati absolut (F). Nilai AUC dapat menggambarkan lama dan intensitas obat berada dalam sirkulasi. 2.5.4 t maks Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada t maks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Satuan t maks adalah satuan waktu (misal: jam, menit) (Aiache, 1993). 2.5.5 Cp maks Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian obat secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik dan untuk memberi suatu respon terapetik dan petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat. Satuan Cp mg/ml) (Aiache, 1993). maks adalah satuan konsentrasi (misal, 2.5.6 Waktu Paruh Waktu paruh (t ½ ) menyatakan waktu yang diperlukan oleh sejumlah obat atau konsentrasi obat untuk berkurang menjadi separuhnya. Harga t ½ untuk reaksi order ke satu dapat diperoleh dari persamaan berikut: t 12 ! 0,693 K Dari pesamaan itu tampak bahwa untuk reksi order ke satu, t ½ adalah konstan. Tanpa perlu diperhatikan berapa jumlah atau konsentrasi obat pada keadaan awal. Satuan t ½ adalah waktu -1 (Aiache, 1993). 2.5.7 Fraksi Dosis Terabsorpsi (F) F adalah fraksi dosis terabsorpsi; setelah pemberian IV, F sama dengan satu, karena seluruh dosis terdapat dalam sirkulasi sistemik dengan segera. Oleh karena itu, obat dianggap tersedia sempurna setelah pemberian IV. Setelah pemberian obat secara oral F dapat berbeda mulai dari harga F sama dengan nol (tidak ada absorpsi obat) sampai F sama dengan satu (absorpsi obat sempurna) (Aiache, 1993). Alasan utama dilakukannya studi bioekivalensi adalah karena produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding dengan penderita. Rancangan dan evaluasi studi bioekivalensi yang dikendalikan dengan baik memerlukan kerja sama antara ahli farmakokinetik, statistik, farmakologi klinik, bioanalitik kimia dan ahli yang lain. Pada studi bioavailabiltas dan bioekivalen, peneliti hendaknya meneliti kepustakaan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Prinsip dasar petunjuk studi bioavailabilitas in vivo adalah tidak ada penelitian pada manusia yang tidak diperlukan. Dalam studi bioekivalensi, satu formulasi obat dipilih sebagai standar pembanding dari formulasi obat yang lain. Standar pembanding hendaknya mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banyak berada dalam sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah sama seperti formulasi lain yang dibandingkan. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute yang sama seperti formulasi yang dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau rute tambahan diperlukan untuk menjawab masalah farmakokinetika tertentu. Produk obat pembanding hendaknya merupakan produk yang diterima oleh profesi kesehatan, disebut juga dengan produk inovator atau produk dari pabrik yang pertama memproduksi obat tersebut (Shargel, 1988). BAB III METODELOGI PERCOBAAN 3.1 ALAT Peralatan yang digunakan adalah sentrifuge, spektrofotometer uv- visible, vortex mixer, spuit 1 ml dan 3 ml, anomal box, stopwatch, silet goal, tabung sentrifuse, alat-alat gelas, vial, pinset, penyangga mulut kelinci, dan wadah es. 3.2 BAHAN Bahan-bahan yang digunakan adalah aqua bebas CO2, Heparin 100 IU, Asam tri kloro asetat 10%, NaOH 1 N, NaOH 0,2 N, NaCl 0,9%, Bratton Marshal 0,5%, Amonium sulfamat 0,5%, NaNO2 0,5%, HCl 0,1 N, Sulfadazid kapasul, tablet dan intravena, furosemid, alkohol dan es batu. 3.3 HEWAN PERCOBAAN Kelinci Jantan dengan berat 1,5 ± 2 Kg. 3.4 PROSEDUR 3.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi In Vivo Sulfadiazin Ditimbang 250 mg sulfadiazin. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml. Kemudian ditambah HCl 1 N sampai larut dan dicukupkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda. Dari larutan dipipet 0,5 ml, dipindahkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan diencerkan dengan HCl 0,1 N. Dari larutan tersebut di pipet 1; 1,5; 2; 2,5; dan 3 ml dimasukkan dalam labu takar 100 ml. Ditambahkan 1 ml natrium nitrit dan didiamkan selama 3 menit. Ditambahkan 1,5 ml ammonium sulfamat dan didiamkan selama 2 menit. Ditambahkan 2,5 ml pereaksi Bratton Marshall dan diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda. Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer visibel pada panjang gelombang maksimum. 3.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi In Vivo Furosemid Ditimbang 50 mg furosemida. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan NaOH 1 N sampai larut. Kemudian dicukupkan dengan cairan lambung buatan PH 1,2 sampai garis tanda. Dari larutan tersebut di pipet 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 1,8 dan 2,0 ml diencerkan dengan air sampai 50 ml. Dari masing-masing larutan kalibrasi dipipet 0,5 ml, dipindahkan ke dalam labu tentukur 10 ml. Ditambahkan 1 ml natrium nitrit dan didiamkan selama 3 menit. Ditambahkan 2 tetes ammonium sulfamat dan didiamkan selama 2 menit. Ditambahkan 1 ml pereaksi Bratton Marshall dan diencerkan dengan air sampai 10 ml. Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum. 3.4.3 Cara Pengambilan Darah Hewan Ditimbang berat badan kelinci. Rambut telinga kelinci dicukur, kemudian diolesi vaselin putih secukupnya. Vena telinga marginal kelinci dibocorkan dengan pipa kapiler yang terawat heparin, lalu ditampung darah pada daun telinga dan diambil darah dengan menggunakan spuit yang terawat 0,5 ml heparin dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 2 ml asam trikloroasetat 10%. 3.4.4 Uji In Vivo Melalui Pemberian Oral (Tablet, Kapsul, atau Sediaan Lepas Lambat) Diambil darah lebih kurang 1,0 ml melalui vena telinga marginal kelinci dan digunakan sebagai blanko. Kemudian diberikan secara oral (tablet, kapsul atau sediaan lepas lambat) sulfadiazin dan furosemida kepada kelinci dengan menggunakan plastik pembuka mulut. darah lebih kurang 1 ml melalui vena telinga marginal dengan spuit terisi 0,5 ml heparin pada waktu 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90, 120 dan 150 menit setelah pemberian obat dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 2 ml asam trikloroasetat 10%. Dianalisis konsentrasi sulfadiazin dan furosemid bebas di dalam semua sampel darah dengan metode Bratton Marshall, termasuk blanko. 3.4.5 Uji In Vivo Melalui Pemberian Intravena Diambil darah lebih kurang 1,0 ml melalui vena telinga marginal kelinci dan digunakan sebagai blanko. Dihitung volume injeksi sulfadiazin, furosemid, sulfadiazin kapsul dan sulfadiazin tablet yang diperlukan (dosis 40 mg). Diberikan melalui vena telinga marginal. Diambil darah lebih kurang 1 ml melalui vena telinga marginal dengan spuit terisi 0,5 ml heparin pada waktu 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 90, 120 dan 150 menit setelah pemberian obat dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 2 ml asam trikloroasetat 10%. Digunakan telinga kiri jika pemberian injeksi melalui telinga kanan atau sebaliknya. Dianalisis konsentrasi obat bebas di dalam semua sampel darah dengan metode Bratton Marshall, termasuk blanko. 3.4.6 Analisis Obat Bebas dalam Darah Sampel darah dihomogenkan dengan alat vortex, kemudian dimasukkan ke dalam alat sentrifuge, dan disentrifuge dengan kecepatan Diendapkan campuran selama 10 menit. Diambil 0,5 ml cairan supernatan yang jernih, dimasukkan ke dalam tabung. Ditambahkan 1 ml larutan natrium nitrit 0,5%, dihomogenkan dan didiamkan selama 3 menit. Ditambahkan 1,5 ml larutan ammonium sulfamat 0,5%, dihomogenkan campuran dan didiamkan selama 2 menit. Ditambahkan 2,5 ml larutan reagen Bratton Marshall 0,5% lalu diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda. Setelah dihomogenkan, diukur absorben campuran dengan alat spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 500-580 nm. DAFTAR PUSTAKA Aiache, J. M. (1993). Farmasetik 2 : Biofarmasi. Edisi Kedua. Penerjemah: Dr. Widji Soeratri. Penerbit Airlangga University Press. Surabaya, Halaman 108. Anief, M. (2000). Farmasetika. Cetakan Kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Halaman: 29, 31-32, 37-39 Ganiswarna, G.S. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta. Halaman 3 ± 6 Goodman,Louis S and Gilman, Alfred.(1958).The Pharmacological Basic and Therapeutik, third edition.New York: The Macmilan Company. Pages: 297 Shargel, L. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah: Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua. Penerbit Airlangga University Press. Surabaya. Halaman: 3132, 85, 100-102 Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. UII Press. Yogyakarta. Hal.31, 35-37. Tjay, T. H. & Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal.130, 136, 492. http://astaqauliyah.com/2006/05/08/jangan-ragu-mengonsumsi-obat-generik/ (http://www.pom-obat.go.id/archive/guideline.pdf) http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_BioavailabilitasObat.pdf/11_BioavailabilitasObat.ht ml


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.