Sumber hukum Islam ada 3; 1. Al-Quran 2. As-Sunah 3. Ijtihad · Ijtihad Menurut pengertian kebahasaan kata ijtihad berasal dari bahasa Arab, “jahada”,yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum Islam yang ketiga sesudah al-Qur’an dan as-Sunah. Didalam al-Qur’an perintah ijtihad terdapat dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 83, asy-Syu’ara ayat 38, surat al-Hasyar ayat 2, dan surat al-Baqarah ayat 59. Selain itu dari sunnah yang menjelaskan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga berasal dari hadits mengenai dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama Muadz bin Jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad (berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya) mempergunakan akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu” Rasulullah SAW sangat senang atas jawabannya dan berkata “Aku bersyukur kepada Allah ayng telah menuntuk utusan Rasul-Nya” (Sunan Abu Daud). Kisah mengenai Muadz inilah menjadikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits (as-Sunah). Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini: · mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum · memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits · mengetahui soal-soal ijma · menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas. Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda: اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم ) Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim) Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: …اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس) Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas) Ada beberapa metode yang digunakan ulama dalam memutuskan suatu hukum, yaitu a. Ijma’ Ijmā adalah kesepakatan para ulama (mujtahid) dikalangan umat Islam, dalam memutuskan suatu perkara atau hukum pada masa setelah Rasulullah SAW wafat. Ijmā dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al-Qur’an dan sunah. Ijma’ harus memenuhi empat syarat yaitu : 1. Adanya sejumlah mujtahid ketika menetapkan suatu hukum atas suatu kejadian 2. Kesepakatan mujtahid tanpa memandang perbedaan 3. Jesepakatan para Mujtahid diiringi dengan pendapat masing-masing secara jelas, baik dengan ucapan, tertulis, maupun tindakan /perbuatan. 4. Kesepakatan para mujtahid diwujudkan dalam suatu keputusan hukum. Contoh Ijma’: · Menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam. · Pengumpulan dan pembukuan Al-qur’an sejak pemerintahan Abu Bakar tetapi idenya berasal dari Umar bin Khatab · Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 59 : “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya dan ulil amri diantara kamu….” Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulama dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. b. Qiyas Qiyas (analogi) adalah menyamakan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya (dalam al-Qur’an dan as-Sunah) dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an. Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu: · Dasar (dalil) · Masalah yang akan diqiyaskan · Hukum yang terdapat pada dalil · Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan c. Istislah (Maslahah mursalah) Istihlah menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan / untuk mencapai kebaikan. Dalam maslahah mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut: a. Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak akan berubah-ubah b. Tidak berlawanan dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah terkenal (tidak bertentangan dengan nash) c. Maslahah ada karena kepentinagan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat Imam malik adalah seorang faqih yang paling banyak menggunakan maslahah mursalah ini. Ia beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasul-Rasul-Nya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Jika ada kemaslahatan, kuatlah dugaan kita bahwa kemaslahatan itu syara’, karena hukum Allah diadalan salah satunya untuk kepentingan manusia.[9] 3. Contoh-contoh maslahah mursalah adalah: a. Dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasul tidak ada nash yang melarang mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian, para sahabat dizaman Abu Bakarbersepakat untuk menulis dan mengumpulkannya, karena mengingat kemaslahatan ummat, yang saat itu sahabat penghafal Al-qur’an banyak yang meninggal dunia. b. Tatkala Islam masuk ke irak, tanah Irak masih dimiliki oleh para pemilik asalnya dengan dikenaki pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemaslahatan umat islam umumnya. Seharusnya empat perlima tanah tersebut diberikan kepada orang yang memerangi peperangan sebagai harta rampasan atau keuntungan perang. c. Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan lainnya. d. ‘Urf ‘Urf adalah kebiasaan umum atau adat istiadat. Artinya kebiasaan mayoritas umat dalam menilai suatu perkataan dan perbuatan dijadikan sebagai suatu dalil dalam menetapkan hukum. Ditijau dari pemakaiannya ‘Urf terbagi 2, yaitu ‘Urf umum dan ‘Urf khusus. ‘Urf umum iadalah suatu kebiasaan yang berlaku untuk semua orang di semua negeri dalam suatu masalah, sedangkan ‘urf khusus yang dipakai di negeri tertentu atau dalam masyarakat tertentu. Kata urf berasal dari kata arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain. a. Urf umum Yaitu kebiasaan yang berlaku dimana-mana, hamper diseluruh penjuru dunia tanpa memandang Negara, bangsa dan agama. Misalnya menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan dan menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan. b. Urf khusus Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang didaerah tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disembarang tempat dan waktu. Adat menarik garis keturunan melalui garis ibu (matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku batak. Selain itu ada juga penggunaan kata budak di daerah tertentu menunjukkan arti anak-anak bukan hamba sahaya. Dari segi penilaian baik dan buruk a. Urf shahih Adalah kebiasan yang berlaku di tengah-tngah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalanya , dalam masa pertunangan laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.[ b. Urf fasid Adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. 3. PENYERAPAN ‘ADAT DALAM HUKUM a. Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan. b. Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat (tidak mengandung unsur mafsadat atau madarat) namun dalam pelaksanaannya tidak dipandang baik oleh islam. c. Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat dan tidak mengandung unsur manfaat. d. Adat atau urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum terserap kedalam syara’.