PERMASALAHAN PENERAPAN KONSTRUKSI TAHAN GEMPA PADA PROSES REKONSTRUKSI DENGAN SISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PASCA GEMPA YOGYAKARTA 27 MEI 2006. PROBLEMS TO IMPLEMENT THE STANDARD BUILDING CODE FOR COMMUNITY-BASED RECONSTRUCTION PROCESS AFTER MAY 27, 2006 YOGYAKARTA EARTHQUAKE Oleh Iman Satyarno1 This paper addresses several problems occurred during the reconstruction process after the last earthquake may 27, 2006 in Yogyakarta. Those problems related to the society habbits in constructing their houses, dissemination for standard building code, the finacial support and numbers of available labours required in the reconstruction process, and the limited numbers of facilitators and controllers to support the reconstruction process. In response to such problems, several recommendations is suggeted to minimize the impacts of those problems. 1. PENDAHULUAN Permasalahan yang timbul pada proses rekonstruksi lebih dari 200.000 rumah pasca gempa Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006 adalah kebutuhan sumber daya manusia (SDM) dan bahan bangunan yang sangat besar. Untuk mengatasi kebutuhan SDM dan bahan bangunan yang besar ini maka pelaksanaan rekonstruksi dilakukan dengan pendekatan pada pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat ditempatkan sebagai subjek atau pelaku yang mempunyai kedudukan mengatur pembangun rumah mereka sendiri terutama dalam memenuhi kebutuhan jumlah SDM yang sangat besar tersebut. Namun demikian dari observasi lapangan dan analisis data sekunder berupa laporan-laporan dan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan ditemukan beberapa persoalan-persoalan dari sisi teknis diseputar pelaksanaan rekonstruksi dengan pendekatan pada pemberdayaan masyarakat yaitu antara lain sebagai berikut. 1) kebiasaan masyarakat membangun rumah, 2) pedoman rumah tahan gempa, 3) kenaikan harga bahan bangunan dan kekurangan tenaga tukang, 4) keterbatasan jumlah fasilitator dan kontrol kualitas. Persoalan-persoalan dari sisi teknis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 2. KEBIASAAN MEMBANGUN RUMAH Jumlah rumah yang roboh/rusak berat atau tidak layak huni sebanyak 175.671 unit (wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta) dan 104.084 unit (wilayah Jawa Tengah). Besarnya angka rumah yang roboh/rusak berat atau tidak layak ini, bukan hanya karena faktor besarnya 1 Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. 1 goncangan akibat gempa bumi yang terjadi, tetapi juga karena rumah-rumah tersebut memang tidak dibangun dengan prinsip-prinsip design dan teknologi tahan gempa. Rumah-rumah tersebut kebanyakan dibangun secara swadaya dan tanpa design teknik (non-engineered structure), dan tidak memenuhi kaidah-kaidah rumah tahan gempa. Dari tinjauan lapangan nampak bahwa telah terjadi kesalahan pembuatan rumah yang dapat dilihat dari faktor-faktor penyebab kerusakan atau robohnya rumah yang menyebabkan timbulnya koban jiwa mencapai 6000 orang sebagai berikut [Satyarno (2007)]: 1) rendahnya kualitas material, 2) tidak memenuhi syarat pendetailan rumah tahan gempa, 3) modifikasi rumah tradisional, 4) bangunan tambahan atau bangunan sekunder, 5) dibangun pada tanah yang tidak stabil. Kesalahan pembuatan tersebut di atas terjadi karena umumnya pembangunan rumah penduduk dilakukan secara swadaya atau oleh tukang dengan latar belakang teknis yang kurang memadai dan dilakukan tanpa pengawasan. Selain itu pemilik rumah pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur bangunan, sehingga selama pembuatan rumah semuanya diserahkan kepada tukang dengan latar belakang pengetahuan teknik yang juga terbatas. Kebanyakan rumah penduduk yang roboh atau rusak akibat gempa adalah rumah tembokan yaitu rumah dengan sistem dinding dari pasangan bata ataupun batako, dimana bata dan batako disusun dengan perekat motar atau spesi yang seharusnya dibuat dari campuran air, semen dan pasir dengan perbandingan tertentu. Namun disamping keterbatasan dana, ketidaktahuan tentang konsekuensi yang bakal terjadi jika ada gempa juga merupakan penyebab terjadinya kesalahan ini. Dari hasil penelitian di lapangan pasca gempa bahkan ditemukan bahwa banyak rumah di daerah Bantul menggunakan tanah liat tanpa semen untuk spesi perekat pasangan bata. Tentu saja spesi dari tanah liat ini mempunyai kualitas atau kuat tekan yang sangat rendah, sehingga dinding tembok menjadi sangat mudah terdisintegrasi dan runtuh akibat adanya getaran dari gempa. Apabila ini terjadi maka seluruh rumah akan runtuh secara mendadak. Secara garis besar rumah tembokan dapat dibagi menjadi menjadi tiga bagian utama yaitu: fondasi, dinding, dan atap. Rumah-rumah yang roboh atau rusak karena gempa umumnya disebabkan karena tidak terpenuhinya salah satu atau semua persyaratan pendetailan bagianbagian tersebut di atas. Untuk fondasi, syarat pendetailan yang umumnya tidak dipenuhi adalah kedalaman dan ukuran dasar yang kurang dari 60 cm dan atau kualitas bahan fondasi yang tidak memenuhi standar, serta tidak adanya balok sloof sebagai pengikat tembok bagian bawah. Untuk dinding, syarat-syarat yang umumnya tidak dipenuhi adalah: 1) rendahnya kualitas spesi pasangan bata, 2) tidak adanya elemen pengikat yaitu kolom dan balok ring dari beton bertulang, 3) minimnya ukuran baja tulangan yang dipakai dan atau jeleknya mutu beton yang digunakan pada beton bertulang untuk elemen pengikat, 4) lemahnya sambungan tulangan antara elemen pengikat seperti antara kolom dengan balok ring, 5) tidak adanya ankur tembok kekolom, 6) bangunan rumah dibuat tanpa tembok, Untuk atap syarat-syarat yang umumnya tidak dipenuhi adalah tidak adanya balok ring miring pada gunungan, dan tidak adanya ikatan angin antara kuda-kuda. Disamping itu akibat gempa 2 yang terjadi di Yogyakarta banyak juga ditemukan keruntuhan dan kerusakan yang cukup parah dari rumah tradisional Yogyakarta yang telah dimodifikasi oleh pemiliknya. Modifikasi yang umumnya dilakukan adalah mengganti dinding yang terbuat dari gedek dengan tembok pasangan bata. Namun dalam melakukan penggantian ini tidak dilakukan pendetailan sambungan yang memadai antara tembok baru dengan struktur yang ada berupa rangka dari kayu. Akibatnya saat terjadi gempa tembok penganti kemudian roboh. Jika rangka kayunya cukup kuat maka hanya temboknya saja yang roboh, tetapi jika rangkanya tidak kuat maka seluruh rumah akan roboh. Pembuatan bangunan tambahan dari suatu rumah seperti teras dan pagar tembok sering kurang mendapat perhatian karena dianggap hanya sebagai bangunan sekunder. Namun pada saat terjadi gempa, sejumlah korban terluka karena kejatuhan teras atau pagar tembok yang runtuh. Selain itu ada juga tambahan rumah yang berupa pelebaran dari rumah asli. Kerusakan rumah pada saat terjadi gempa tidak hanya disebabkan oleh tidak dipenuhinya persyaratan tahan gempa sebagaimana disebut di atas, namun kerusakan rumah dapat juga disebabkan oleh terjadinya kerusakan tanah dimana rumah tersebut dibangun. Kasus yang sering terjadi adalah kerusakan rumah karena tanah dimana rumah dibangun terjadi kelongsoran. Pada kejadian seperti ini kualitas konstruksi rumah secara garis besar tidak banyak berperan dalam mencegah kerusakan atau keruntuham. Hal ini karena kelongsoran umumnya membuat posisi rumah menjadi tidak stabil karena terjadinya kemiringan tanah yang signifikan. Artinya resiko rusak atau runtuhnya rumah tetap tinggi walaupun rumah tersebut telah dibangun menurut kaidah-kaidah rumah tahan gempa. 3. SOSIALISASI PEDOMAN RUMAH TAHAN GEMPA Karena pelaksanaan rekonstruksi rumah yang rusak atau yang roboh akibat gempa dilakukan secara swadaya dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat maka sosialisasi mengenai pedoman rumah tahan gempa menjadi sangat penting dan krusial dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan pasca gempa. Ini perlu dilakukan untuk menghindari terulangnya praktek pembuatan rumah yang tidak memenuhi kaidah-kaidah rumah tahan gempa yang pernah dilakukan masyarakat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dalam penerapanya di lapangan dapat dicatat beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) pedoman rumah tahan gempa yang disosialisasikan belum banyak yang pernah lihat sebelumnya, 2) beberapa masyarakat masih merasa kesulitan memahami pedoman rumah tahan gempa secara mandiri, 3) di masyarakat beredar berbagai macam versi pedoman rumah tahan gempa, dan 4) pedoman rumah tahan gempa yang disosialisasikan lebih dikhususkan untuk tipikal rumah tembokan dengan ukuran 6mx6m atau 36m2. Pedoman rumah tahan gempa sebenarnya sudah diperkenalkan kurang lebih 30 tahun yang lalu antara lain oleh Teddy Boen. Namun sepertinya pelaksanaan sosialisasi yang lalu belum berjalan dengan baik dan kejadian gempa yang luar biasa seperti gempa tanggal 27 Mei 2006 sudah lama tidak terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dengan demikian pedoman rumah tahan gempa yang sebenarnya sudah diperkenalkan sejak lama tersebut kenyataannya belum diaplikasikan dimasyarakat secara menyeluruh. Untuk meyakinkan bahwa masyarakat atau tukang yang membangun rumah mempunyai pengetahuan yang memadai tentang bangunan tahan gempa, serta agar supaya mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti sebelumnya maka dilakukan berbagai sosialisasi tentang 3 pedoman rumah tahan gempa. Sasaran utama dari sosialisasi design dan teknologi rumah tahan gempa tersebut adalah para tukang dan warga masyarakat yang akan terlibat dalam proses rekonstruksi. Akan tetapi dari hasil observasi lapangan nampak bahwa sosialisasi dan aplikasi pedoman membangun rumah tahan gempa tersebut menemui beberapa permasalahan. Hasil penelitian yang dilakukan memperlihatkan beberapa permasalahan sebagai berikut [Barunadri (2008)]: 1) Sebesar 98% peserta pelatihan menyatakan bahwa pelatihan rumah tahan gempa sangat bermanfaat dan 96% menyatakan bahwa pelatihan yang diikuti telah merubah cara mereka dalam membagun rumah. 2) Sebesar 43% masyarakat atau tukang yang terlibat dalam proses rekonstruksi telah mendapatkan sosialisasi atau mendapat pelatihan pedoman rumah tahan gempa, sedangkan sisanya sebesar 66% belum mendapat pelatihan. 3) Sebesar 13% peserta pelatihan telah lupa pada materi yang telah diberikan dan 31% tidak menginginkan mengikuti lagi pelatihan (ada banyak faktor yang menyebabkan keengganan mereka untuk mengikuti pelatihan lagi). 4) Dari sisi teknis 66% masyarakat merasa bahwa pembangunan rumah tahan gempa lebih sulit karena persyaratan yang harus dipenuhi lebih banyak dibandingkan dengan membangun rumah seperti lazim dikerjakan oleh masyarakat secara umum. Disamping itu dapat juga dicatat bahwa masyarakat dan tukang kebanyakan merupakan pekerja harian, sehingga jika mengikuti pelatihan mereka kehilangan penghasilan. Masalah lain yang ada adalah beragamnya versi pedoman rumah tahan gempa dengan persyaratan yang berbeda-beda telah beredar dimasyarakat. Hal ini mengakibatkan juga beragamnya pemahaman masyarakat terhadap persyaratan yang harus dipenuhi dalam membangun rumah tahan gempa. Perbedaan persyaratan yang paling menonjol pada persyaratan rumah tahan gempa yang cukup membuat polemik dimasyarakat pada saat pelaksanaan rekonstruksi adalah persyaratan tulangan pokok balok dan kolom, yaitu apakah harus menggunakan diameter 10 mm menurut sebagian pedoman atau menggunakan diameter 12 mm menurut pedoman yang lain. Polemik timbul karena harga kedua baja tulangan tersebut berbeda sangat signifikan dimana perbedaan harga bisa mencapai 50 % lebih mahal untuk baja tulangan diameter 12 mm dibandingkan dengan baja tulangan diameter 10 mm. Selain itu pedoman rumah tahan gempa yang disosialisasikan umumnya untuk rumah tembokan dengan tipikal ukuran 6mx6m, sehingga jika masyarakat berminat membangun rumah dengan dengan tipe lain kerapkali mengundang masalah. 4. KEBUTUHAN BAHAN BANGUNAN DAN TENAGA TUKANG Pada saat rekonstruksi pasca gempa 27 Mei 2006 di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, rumah yang rusak dan yang roboh sejumlah kurang lebih 200 ribu yang mana dibangun kembali dengan waktu yang hampir bersamaan. Hal ini mengakibatkan masalah kenaikan harga bahan bangunan dan kekurangan jumlah tukang yang diperlukan. Memang tidak semua bahan bangunan naik harganya karena adanya kontrol dari pemerintah seperti semen. Namun ada bahan bangunan lain yang tidak dikontrol oleh pemerintah seperti pasir, batu, batu bata, genting, kayu dan baja tulangan. Kenaikan harga bahan bangunan tersebut cukup signifikan. Kenaikan tersebut membuat rencana anggaran belanja pembuatan rumah menjadi berubah. 4 Persoalan lain yang juga terjadi adalah kekurangan tenaga tukang, terutama tenaga tukang yang memahami bangunan rumah tahan gempa. Untuk memenuhi kebutuhan ini masyarakat mendatangkan tenaga tukang dari luar daerah. Tentu saja para tukang yang datang dari luar daerah tersebut belum dibekali dengan pengetauan tentang rumah tahan gempa, karena sosialisasi pedoman rumah tahan gempa pada waktu itu hanya dikhususkan untuk masyarakat didaerah yang terkena gempa. Itulah sebabnya di lapangan kemungkinan terjadi rumah yang dibangun oleh tukang-tukang dari luar daerah tersebut menjadi tidak memenuhi kaidah-kaidah rumah tahan gempa, kecuali dengan pengawasan yang ketat. 5. FASILITATOR DAN KONTROL KUALITAS Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya bahwa pelaksanaan rekonstruksi dilakukan secara swadaya dengan menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Karena pengetahuan masyarakat tentang rumah tahan gempa dan manajemen pembangunan rumah tidak cukup memadai, maka dalam pelaksanaan rekonstruksi masyarakat dibantu oleh tim fasilitator yang didalamnya terdapat fasilitator teknis. Dalam konteks ini, warga masyarakat korban gempa yang akan membangun rumahnya diajak mendiskusikan bahan-bahan yang hendak dipergunakan, tukang-tukang yang kelak membangun, serta design dan teknologi rumah tahan gempa yang mau diterapkan. Diskusi bisa dilakukan secara perorangan, dalam arti dilakukan secara khusus hanya antara fasilitator dengan warga masyarakat tertentu di lapangan. Tetapi diskusi juga bisa dilakukan secara kolektif, dalam arti dalam bentuk musyawarah yang diikuti oleh semua anggota Kelompok Swadaya Masyarakat Perumahan. Dalam pelaksanaannya di lapangan para fasilitator ini mendapat beberapa kendala sebagai berikut. 1) Jumlah fasilitator yang ada tidak mencukupi sehingga tidak dapat melayani masyarakat terutama dalam melakukan kontrol kualitas pembangunan rumah secara memadai. Dari hasil survey [Macon (2007)] diketahui bahwa belum semua rumah rekonstruksi dibangun sesuai dengan pedoman rumah tahan gempa walaupun menurut laporan 93% di Jawa Tengah dan 97% di Daerah Istimewa Yogyakarta pelaksanaan rekonstruksi didampingi oleh fasilitator. 2) Mengingat kebutuhan jumlah fasilitator yang besar sedangkan jumlah calon fasilitator yang berpengalaman terbatas jumlahnya, maka fasiltator dengan pengalaman lapangan yang sangat minim juga tetap digunakan. Di lapangan pendapat fasilitator dengan pengalaman yang terbatas kadang kalah berdebat dengan tukang yang berpengalaman lama dalam hal kesesuaian pedoman rumah tahan gempa dengan kebiasaan masyarakat membangun rumah. 3) Fasilitator lebih banyak disibukan dengan masalah proses administrasi pencairan dana daripada masalah teknis rumah tahan gempa. 6. KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari sisi teknis pelaksanaan rekonstruksi berbasis pada pemberdayaan masyarakat mempunyai dua permasalahan utama sebagai berikut. 1) Mengkodisikan masyarakat agar jika membangun rumah selalu sesuai dengan kaidahkaidah rumah tahan gempa melalui capacity building program. 5 2) Menyelesaikan permasalahan penyediaan kebutuhan bahan bangunan yang besar yang menyebabkan kenaikan harga. Capacity Building Program Pelaksanaan rekonstruksi rumah pasca gempa dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat guna melakukan program rekonstruksi secara swadaya seperti yang dilakukan pasca gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta perlu didukung dengan program pembekalan pengetahuan tentang pembangunan rumah tahan gempa bagi masyarakat yang terlibat. Program pembekalan ini terutama harus diberikan jika dari hasil survey kerusakan rumah pasca gempa ditemukan fakta bahwa telah terjadi kesalahan praktek pembuatan rumah yang mengakibatkan rumah yang dibangun tidak tahan gempa. Berdasarkan pengalam di DIY dan Jateng dapat direkomendasikan penyempurnaan capacity building program dari yang pernah dilakukan sebagai berikut. 1) Pelaksanaan program pembekalan pengetahuan pedoman rumah tahan gempa buat masyarakat terutama buat para tenaga tukang dan fasilitator jangan menunggu sampai gempa datang. Sebaiknya pelaksanaan program dilakukan sejak dini dan langsung diterapkan dalam pembangunan rumah sebelum terjadi gempa. Dengan demikian semua rumah yang dibangun pasca pelatihan diharapkan telah memenuhi kaidah-kaidah persyaratan rumah tahan gempa. Hal ini diharap akan mengurangi jumlah rumah yang rusak dan korban jiwa yang akan terjadi untuk kejadian gempa yang akan datang. 2) Jika jumlah peserta pelatihan pada suatu daerah diperkirakan akan sangat banyak maka perlu dilakukan pola kaderisasi atau TOT (Training of Trainer). 3) Untuk penyelenggaraan TOT dengan kebutuhan jumlah tenaga trainer yang besar perlu dilakukan dengan berbagai cara dan kerja sama antara pihak-pihak terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum, perguruan tinggi, serta pihak swasta yang bergerak dalam bidang konstruksi. 4) Pelaksanaan TOT oleh universitas bisa dilakukan dalam bentuk KKN (Kuliah Kerja Nyata) atau program-program yang lain yang sejenis. 5) Program pelatihan rumah tahan gempa terutama untuk daerah-daerah dengan resiko gempa tinggi harus dilakukan terencana dan berkelanjutan. 6) Pengetahuan tentang struktur tahan gempa sebaiknya diperkenalkan juga secara formal pada kurikulum sekolah bahkan jika perlu sejak SD. 7) Sosialisasi tentang rumah tahan gempa harus dilakukan secara berkelanjutan dengan menggunakan berbagai media seperti poster, leaflet, koran, radio, televisi dan lain-lain. 8) Perlunya penetapan legal aspek persyaratan tahan gempa dalam membangun suatu rumah yang dapat diterapkan seperti lewat proses pengurusan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Penyelesaian Masalah Kebutuhan Bahan Bangunan Pada uraian di atas telah dijelaskan bahwa pada masa rekonstruksi kebutuhan bahan bangunan akan sangat besar yang bisa menyebabkan naiknya harga. Untuk menutupi kekurangan bahan bangunan dan dana pada saat rekonstruksi akibat naiknya harga bahan bangunan tersebut maka perlu dikembangkan metode pemanfaatan kembali (reuse) dan metode daur ulang (recycle) bahan bangunan yang masih bisa dipakai dari reruntuhan rumah yang tersisa sebagaimana dijelaskan sebagai berikut. 6 Pada metode pemanfaatan kembali bahan bangunan ini dilakukan pemilahan bangunan dari reruntuhan rumah untuk dapat diambil dan dimanfaatkan kembali bahan-bahan bangunan yang masih baik untuk menekan biaya rekonstruksi. Beberapa bahan bangunan yang masih bisa digunakan lagi antara lain adalah: 1) bata yang masih utuh , 2) genting, seng atau asbes yang masih utuh, 3) reng, usuk, dan kuda-kuda dari atap yang masih utuh, 4) kosen serta daun pintu dan jendela, 5) tulangan baja dengan ukuran diameter yang sesuai untuk peruntukannya yaitu diameter 6 mm sampai 8 mm untuk tulangan sengkang serata diameter 10 sampai 12 untuk tulangan longitudinal. Tidak semua reruntuhan rumah bisa langsung dimanfaatkan kembali seperti yang dijelaskan di atas. Diantara sisa reruntuhan rumah yang biasanya dianggap tidak bisa dimanfaatkan kembali itu adalah limbah reruntuhan tembok. Banyaknya rumah tembokan yang rusak dan runtuh telah menimbulkan limbah reruntuhan tembok dengan jumlah yang sangat banyak dimana dari sudut padang penduduk limbah tersebut malah merupakan suatu persoalan tersendiri. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa limbah reruntuhan tembok tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi yang harus dibersihkan dan dibuang sebelum memperbaiki atau membangun kembali rumah mereka. Mengingat terbatasnya dana dan tenaga, sebagian besar penduduk membuang limbah reruntuhan tembok tersebut ke tepi-tepi jalan. Tentu saja hal ini mengakibatkan terganggunya lalu lintas yang melalui jalan tersebut. Untuk itu pemerintah melakukan usaha pembersihan limbah reruntuhan tembok yang ada di tepi-tepi jalan tersebut dengan biaya yang tidak sedikit. Untuk kasus pasca gempa Yogyakarta, besarnya biaya yang diperlukan untuk membersihkan limbah reruntuhan tembok tersebut mencapai milyaran rupiah. Namun karena terbatasnya lahan, pada beberapa kasus pembuangan limbah reruntuhan tembok tersebut tidak dapat dilakukan pada tempat yang semestinya. Beberapa diantaranya bahkan dibuang ke tempat atau lahan produktif seperti sawah. Dari pengalaman dapat diketahui bahwa limbah reruntuhan tembok yang telah dihaluskan tersebut ternyata dapat juga dimanfaatkan kembali [Satyarno (2006, 2007)]. Proses penghalusan dapat dilakukan dengan tangan atau secara manual maupun dengan mesin. Mesin penghalus reruntuhan tembok secara umum terdiri dari tiga bagian yaitu rangka dudukan yang dilengkapi dengan roda agar mudah dipindah, ruang penumbuk dan mesin penggerak berupa diesel dengan daya sekitar 2 PK. Di dalam ruang penumbuk terdapat bilahbilah penumbuk yang berputar untuk menghaluskan reruntuhan tembok yang masuk. Hasil penghalusan reruntuhan tembok ini adalah berupa bubuk yang bisa digunakan sebagai agregat halus. Secara umum bubuk reruntuhan dapat digunakan untuk berbagai keperluan sebagai bahan spesi pasangan, lepo tembok, pembuatan bata atau batako, dan pembuatan dinding cor langsung. DAFTAR PUSTAKA 7 Satyarno, I., 2007, Peran Kompetensi Tukang Dalam Mitigasi Bencana Gempa, Workshop Gempabumi Nasional Perumusan Regulasi Daerah untuk Pengurangan Resiko Bencana, November 2007, Yogyakarta. Barunadri, 2008, IMB Support Team Operation and Services, Final Report, PT. Barunadri Engineering Consultant. Macon, 2007, Quality Assurance & Quality Control Pelaksanaan Rehabilitasi/Rekonstruksi Psca Gempa Bumi di DI Yogyakarta & Jawa Tengah, Laporan Akhir, PT. Multi Area Conindo. Satyarno, I., 2006, Recycling Procedure of Brick Masonry Wall Rubble, International Seminar and Symposium on Earthquake Engineering and Infrastructure & Building Retrofitting (EE & IBR), Graduate School for Infrastructure Management Gadjah Mada University, Research Centre for Enggineering Science Gadjah Mada University, JICA, HATHI, HAKI, POSYANIS, Kimpraswil DIY, Agustus 2006, Yogyakarta. Satyarno, I., 2007, Penggunaan Reruntuhan Tembok Pasangan Bata untuk Mortar dan Beton, Penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. 8