Fikosianin_Melina_12.70.0033_KloterC_UNIKA SOEGIJAPRANATA

April 29, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

FIKOSIANIN : PEWARNA ALAMI DARI “BLUE GREEN MIKROALGA SPIRULINA” LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Melina Kiswandihardjo NIM: 12.70.0033 Kelompok C1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG Acara I 2014 2 1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan dari percobaan fikosianin dapat dilihat pada Tabel.1 berikut Kelompok Berat biomasa kering (gr) Aquades yang ditambah (ml) Filtrat yang diperoleh (ml) OD 615 OD 652 KF (mg/ml) Yield (mg/gr) Keterangan Warna C1 8 100 50 0,8348 0,4343 0,118 0,738 Sebelum : biru tua Setelah : biru muda C2 8 100 50 0,8334 0,4337 0,118 0,738 Sebelum : biru tua Setelah : biru muda C3 8 100 50 0,8324 0,4336 0,117 0,731 Sebelum : biru tua Setelah : biru muda C4 8 100 50 0,8317 0,4335 0,117 0,731 Sebelum : biru tua Setelah : biru muda C5 8 100 50 0,8313 0,4336 0,117 0,731 Sebelum : biru tua Setelah : biru muda C6 8 100 50 0,8313 0,4332 0,117 0,731 Sebelum : biru tua Setelah : biru muda Berdasarkan hasil pengamatan diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai OD mempengaruhi nilai KF dan yield yang dihasilkan. Nilai KF dan yield yang tinggi dimiliki oleh kelompok C1 dan C2. Sedangkan nilai KF sendiri berbanding lurus dengan nilai yield yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai OD yang dihasilkan maka semakin tinggi pula-lah nilai KF dan nilai yield yang dihasilkan. Sedangkan warna yang dihasilkan memiliki hasil yang sama juga tiap kelompoknya, yakni dari warna biru tua menjadi warna biru muda, hal ini disebabkan karena adanya pencampuran dekstrin yang dapat memudarkan warna dari pigmen fikosianin. 3 2. PEMBAHASAN Industri pangan umumnya membutuhkan bahan pewarna atau pigmen yang fungsinya untuk meningkatkan selera konsumen dalam mengkonsumsi suatu makanan tersebut, karena dengan adanya pemberian warna pada produk dapat meningkatkan penampilan produk menjadi lebih menarik (Candra, 2011). Jadi, dapat disimpulkan bahwa warna memiliki peran yang cukup penting dalam industri pangan yakni sebagai indikator kesegaran, kemanisan, dan kualitas bahan pangan. Menurut Mohammad (2007), pigmen dapat digolongkan menjadi 2 macam yakni alami atau buatan. Pigmen sintetis atau butan yang berlebihan tidak begitu baik, karena akan menimbulkan dampak pada kesehatan, oleh sebab itu lebih dianjurkan untuk menggunakan pigmen alami. Pigmen alami sendiri tidak punya efek samping bila dikonsumsi dan mudah diuraikan. Penggunaan pigmen alami memiliki beberapa kelemahan yakni kurangnya kestabilitasan terhadap panas, pH, cahaya, lebih mahal, ketersediaannya terbatas dan kurang cocok untuk produk massal. Pewarna alami dapat diperoleh dari spesies alga yakni tumbuhan tingkat rendah yang hidupnya di perairan. Pigmen yang berasal dari mikroalga ini dapat mengatasi masalah umum pigmen alami yakni ketersediaannya yang terbatas, karena mikroalga ini memiliki waktu pertumbuhan yang sangat cepat jadi mudah untuk diproduksi terus menerus (Arylza, 2005). Borowitzka & Borowitzka (1988) menyatakan bahwa jenis alga yang dapat menghasilkan pewarna adalah Spirulina yang memiliki kandungan pigmen fikosianin. Spirulina termasuk kedalam kelompok Cyanobacteria (alga hijau biru). Ukuran mikroorganisme ini berkisar pada 3,5 hingga 10 mikron, selain itu filamennya berbentuk spiral yang berdiameter 20 hingga 100 mikron. Spirulina punya kandungan protein dengan kisaran 60%, selain itu juga mengandung asam amino esensial, dan vitamin. Spirulina mempunyai pigmen fikosianin yang bermanfaat sebagai antioksidan dan antiinflamatori polisakarida yang fungsinya sebagai anti tumor dan anti viral. Selain itu Spirulina juga memiliki γ-asam linoleat (GLA) yang fungsinya baik untuk kesehatan yakni sebagai penurun kolestrol (Desmorieux & Dacean, 2006). Penggunaan Spirulina ini telah teruji aman, menurut Angka & Suhartono (2000) Spirulina dilaporkan oleh badan internasional sebagai bahan pewarna yang tidak memiliki efek toksisitas. Kandungan protein yang kecil dalam tumbuhan umumnya disebabkan karena adanya protein yang berikatan dengan senyawa lain seperti lignoselulosa yang susah untuk dicerna, selain itu juga bisa berikatan dengan tannin yang dapat menurunkan nilai kecernaan protein tersebut. Spirulina dapat tumbuh di perairan danau yang sifatnya basa dan dengan suhu yang hangat. Spirulina sendiri menurut Kozlenko & Henson (2007) punya karakteristik yang tidak dimiliki alga lain pada umumnya yakni punya dinding sel lembut yang tersusun dari gula kompleks dan protein yang mudah dicerna. Didukung dengan pernyataan Tietze (2004), Spirulina yang mempunyai membran sel tipis dan lembut inilah yang menyebabkan Spirulina mudah untuk dicerna. Oleh sebab itu Richmond (1988) menyatakan bahwa Spirulina tidak memerlukan proses pengolahan khusus. Boussiba & Richmond (1980) menyatakan pula bahwa biomasa sel dari Spirulina lebih mudah larut dengan pelarut polar (air) dan buffer dibandingkan pelarut yang kepolarannya tidak tinggi. Kandungan fikosianin dalam biomasa sel sedikit atau banyak ini bergantung dari banyak sedikitnya nitrogen yang dikonsumsi oleh Spirulina. Pigmen fikosianin yang dihasilkan oleh Spirulina memiliki warna biru. Fikosianin merupakan pigmen yang terikat dengan protein atau disebut juga dengan biliprotein. Fikosianin memiliki karakteristik yang mudah larut dengan air atau pelarut polar, jadi pigmen ini banyak dimanfaatkan di industri pangan sebagai bahan pewarna alami (Boussiba & Richmond, 1980). Contoh industri pangan yang umumnya menggunakan pigmen ini ialah permen karet, minuman ringan, wasabi, dan lain-lain. Namun, menurut Tietze (2004), fikosianin ini mudah rusak karena suhu yang tinggi. Dari teori Richmond (1988) dikatakan bahwa fikosianin termasuk dalam divisi Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga biru hijau), dan Cryptophyta (alga kriptomonad) yang mampu menyerap warna jingga, merah, dan dapat memancarkan warna biru terang. Selain itu pigmen fikosianin ini dapat menyerap panjang gelombang 620nm dengan maksimal. Fikosianin dengan bentuk larutan mudah mengalami pemudaran warna kurang lebih sebesar 30% setelah penyimpanan 5 hari, fikosianin juga mampu mengalami perubahan warna menjadi bening setelah penyimpanan selama 15 hari pada suhu 35oC. Karena karakteristiknya yang mudah memudar ini maka dilakukan upaya untuk meningkatkan waktu penyimpanan fikosianin ini dengan melakukan proses pengeringan. Pengeringan sendiri memiliki fungsi untuk mengurangi kadar air bebas yang dapat digunakan bakteri dalam merusak pigmen ini (Tietze, 2004). Fikosianin memiliki struktur rantai tetraphyrroles terbuka yang memiliki fungsi dalam menangkap radikal oksigen (Romay et al., 1998). Struktur kimia c-fikosianin yakni chromophores sama dengan billirubin. Billirubin menurut (Romay et al., 1998) merupakan antioksidan yang punya fungsi penting untuk fisiologis manusia. Kemampuannya ini dapat berfungsi sebagai penangkap radikal peroksi dengan memberikan atom hidrogen yang terikat pada atom C ke 10 pada molekul tetraphyrroles. Fikosianin termasuk golongan billiprotein yang dapat menghambat pembentukan koloni kanker. Billiprotein juga dikenal sebagai fikobiliprotein yang merupakan kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga biru hijau), dan Cryptophyta (alga kriptomonad) yang fungsinya sebagai penyerap cahaya pada proses fotosintesis. Kelompok pigmen ini antara lain: C-fikosianin, R-fikosianin, Allo fikosianin, B-fikoeritrin, C-fikoeritrin, dan R-fikoeritrin. Pada praktikum ini, untuk mendapatkan pigmen fikosianin dari Spirulina, maka dilakukanlah ekstraksi. Pertama-tama, biomasa Spirulina diambil dan ditimbang diatas neraca analitik sebanyak 8 gram, kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer. Lalu dilarutkan dengan aquades dengan perbandingan 2:25 (8 gram Spirulina dengan 100 ml aquades). Metode ini sesuai dengan teori Walter (2011) bahwa dalam proses ekstraksi fikosianin dari Spirulina digunakan pelarut polar yang pH-nya netral, yakni aquades atau buffer fosfat pH 7. Hal ini sesuai juga dengan teori Boussiba & Richmond (1980) yang menyatakan bahwa biomasa dari sel Spirulina mudah untuk larut dnegan air atau buffer. Setelah pencampuran aquades dengan Spirulina, dilakukan pengadukan dengan menggunakan stirrer selama 2 jam, dengan tujuan homogenisasi larutan supaya ekstraksi berjalan maksimal. Setelah proses penghomogenisasian ini berlangsung, maka lanjut ke proses berikutnya yakni larutan tadi disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh endapan dan supernatan. Sentrifugasi dilakukan untuk mengendapkan debris sel, mengambil pigmen fikosianin yang larut dalam awuades, dan juga dapat digunakan untuk memisahkan padatan dan cairan agar saat diukur absorbansinya tidak ada gangguan (Silveira et al., 2007). Supernatan yang didapatkan diukur kadar fikosianinnya dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615nm dan 652nm. Hal ini sesuai dengan teori Silveira et al. (2007) yang menyatakan bahwa analisa fikosianin dikur dari filtrat yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan panjang gelombang 615 dan 652nm. Absorbansi diukur untuk mengetahui kelarutan fikosianin yang ada pada larutan menurut Achmadi et al. (1992). Setelah diabsorbansi, supernatan ditambah dekstrin dengan perbandingan antara supernatant dan dekstrin = 1:1,25 (8ml banding 10 gram). Pencampuran dilakukan diatas 2 loyang yang pertama terbagi 3 untuk kelompok C1 hingga C3, dan loyang kedua untuk kelompok C4 hingga C6. Dalam proses penuangan dilakukan secara hati-hati agar pencampuran antara supernatan dan dekstrin dapat tercampur secara sempurna. Dekstrin merupakan pembawa bahan pangan yang aktif, seperti pewarna dan flavor yang membutuhkan sifat larut air dan bahan pengisi sehingga dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk padat (bubuk) menurut teori Ribut & Kumalaningsih (2004). Bentuk molekul dekstrin yang spiral akan memerangkap molekul flavor didalam strukturnya. Adapula fungsi lain dari dekstrin yakni dapat mengurangi komponen volatil yang hilang saat proses pengolahan, dan dapat menjaga atau melindungi stabilitas dari flavor saat proses pengeringan dengan menggunakan suhu panas. Didukung oleh teori dari Murtala (1999), dekstrin juga dapat mempercepat proses pengeringan, melapisi komponen flavor, menjaga dari kerusakan akibat panas, memperbesar volume, dan dapat meningkatkan total padatan. Setelah proses pencampuran dengan dekstrin, maka loyang-loyang tadi dimasukkan dalam oven dengan suhu 45oC hingga kadar airnya 7%, namun tidak ada pengukuran kadar air, hanya dengan menggunakan spatula saja dilihat apakah sudah kering atau masih ada yang menggumpal. Penggunaan suhu 45oC ini sudah sesuai dengan teori dari Desmorieux & Dacean (2006) karena dengan menggunakan suhu diatas 60oC akan menyebabkan reaksi pencoklatan (Maillard) dan fikosianin akan terdegradasi. Sedangkan pengeringan tradisional dengan menggunakan sinar matahari menurut Angka & Suhartono (2000) dapat meningkatkan kontaminasi bakteri dan akan menimbulkan aroma yang tidak sedap. Setelah proses pengeringan selama 24 jam, keesokan harinya adonan tadi diambil dan dihancurkan dengan menggunakan pisau hingga bentuknya menjadi bubuk halus. Penumbuhkan atau penghancuran adonan ini dilakukan agar Spirulina tidak mudah mengalami fermentasi menurut teori dari Angka & Suhartono (2000). Konsentrasi Fikosianin atau KF, dan nilai yield dihitung, kemudian warna yang dihasilkan setelah proses pengovenan dan sebelum pengovenan diamati dan dicatat. Nilai KF dan yield dipengaruhi oleh nilai OD (Optical Density) yakni nilai yang didapatkan dari absorbansi larutan dengan spektrofotometer. Warna yang pekat dan keruh akan meningkatkan nilai absorbansi (Fox, 1991). Dari hasil pengamatan yang diperoleh pada kloter C, nilai KF dan yield yang dihasilkan pada kelompok C1 dan C2 mendapatkan hasil yang sama, sedangkan OD615 dan OD652 kelompok C1 dan C2 hasilnya tidak berbeda terlalu signifikan. Sedangkan nilai KF dan yield pada kelompok C3 hingga C6 mendapatkan hasil yang sama pula. Jadi, pada hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa nilai OD mempengaruhi nilai KF dan yield yang dihasilkan pada masing-masing kelompok. Nilai yield yang dihasilkan juga berbanding lurus dengan nilai konsentrasi fikosianin yang dihasilkan, yakni semakin tinggi nilai konsentrasi fikosianinnya makan nilai yield yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. Pengamatan juga dilakukan secara visual yakni dengan mengamati warna dari sampel yang dihasilkan, yakni warna sebelum dikeringkan dan warna setelah dikeringkan. Dari hasil yang didapatkan masing-masing kelompok memiliki hasil yang seragam. Warna sebelum di-oven mendapatkan hasil biru tua, sedangkan warna setelah di-oven mendapatkan hasil biru muda. Tidak adanya perbedaan warna ini disebabkan karena konsentrasi dekstrin yang digunakan sama masing-masing kelompok. Konsentrasi dekstrin yang tinggi dapat menyebabkan bubuk fikosianin yang didapatkan memiliki warna yang lebih pudar atau lebih terang, karena dektrin sendiri memiliki warna putih yang dapat memudarkan warna fikosianin. Pada hasil yang telah di-oven, beberapa kelompok ada yang pencampurannya kurang homogen sehingga susah dihancurkan, hal ini dapat disebabkan karena adanya campuran dekstrin dan fikosianin yang kurang rata jadi dekstrin kurang dapat menangkap pigmen fikosianin sehingga tidak dapat melindungi warna pigmen saat pengeringan berlangsung yang dapat berdampak pada warna bubuk fikosianin yang makin pucat menurut teori dari Wiyono (2007). Pembahasan pertama dari jurnal yang berjudul “Phycocyanin extraction from Spirulina platensis and extract stability under various pH and temperature” oleh Duangsee et al. (2009). Pada jurnal ini dilakukan ekstraksi fikosianin dengan 3 metode, yakni metode sonikasi, pembekuan, dan thawing, dan metode enzimolisis. Metode sonikasi yakni metode yang menggunakan ultrasonik, sedangkan metode pembekuan dan thawing adalah metode yang menggunakan suhu -20oC. Setelah sel mengalami gangguan maka ekstraksi fikosianin ini akan keluar selama 4 jam dengan suhu berkisar 25 dan 37oC. Metode enzimolisis ini menggunakan putih telur yang mengandung lisozim. Dari hasil yang didapatkan dari percobaan pada jurnal ini, dapat diketahui bahwa metode sonikasi merupakan metode yang sangat efektif dalam mengganggu dinding sel dari Spirulina. Ekstraksi ini juga dipengaruhi oleh suhu dan juga pH. Dengan adanya pengontrolan pH dan suhu maka ekstraksi dapat berjalan dengan efektif. Pembahasan kedua berasal dari jurnal yang berjudul “Pigment production from Spirulina platensis using seawater supplemented with dry poultry manure” oleh Devanathan dan Ramanathan (2012). Dari jurnal ini, dapat diketahui bahwa Spirulina platensis ini merupakan sumber protein yang biasanya dikonsumsi baik oleh manusia maupun hewan. Spirulina banyak diminati masyarakat dunia karena mengandung fitonutrien dan pigmen yang bernilai tinggi karena banyak digunakan untuk kebutuhan pewarna seperti untuk kosmetik, obat-obatan, dan industri makanan. Spirulina ditanamkan pada empat macam medium yaitu SOT, SW1, SW2, SW3 dan tumbuh paling bagus pada SOT yang memiliki pH 9 meskipun tidak berbeda jauh dengan pada medium lain. Air laut alami disimpulkan bisa menjadi menumbuhkan Spirulina dengan pertumbuhan sel dan pigmen terbaik. Pembahasan ketiga berasal dari jurnal yang berjudul “A Large-Scale Preparation Method of High Purity C-Phycocyanin” oleh Wenjun Song et al. (2013). Spirulina plantesis menghasilkan C-Fikosianin yang dapat direkayasa kondisi produksinya supaya didapatkan hasil yang maksimal. Kondisi tersebut melibatkan presipitasi ammonium sulfat, kromatografi pertukaran ion, dan kromatografi filtrasi gel dan dapat dilakukan dalam skala besar. Ekstraksi protein awalnya dilakukan dengan homogenisasi bertekanan tinggi . Pemurnian yang efektif dari Spirulina plantesis berada pada rasio 5,32 dan tingkat pemulihan C-fikosianin sekitar 42%. Pembahasan keempat berasal dari jurnal yang berjudul “The relationship between the antioxidant system and phycocyanin production in Spirulina maxima with respect to nitrate concentration” oleh Raziye dan Leman (2011). Spirulina maxima merupakan cyanobakteria yang mengandung sumber vitamin, mineral, protein dan asam lemak. Populasi Spirulina hidup pada air tropis dan subtropis yang memiliki kandungan karbon, bikarbonat, dan pH alkali sampai 11. Sistem antioksidan dan produksi phycocyanin pada Spirulina maxima dipengaruhi oleh kadar nitrat. Semakin tinggi kadar nitrat, semakin tinggi kadar fikosianinnya karena membran pada Spirulina maxima terproteksi secara efektif. Hal ini terjadi karena cyanobakteria seperti Spirulina menggunakan nitrat sebagai sumber nitrogen untuk tumbuh dan berproduksi. Spirulina selain digunakan untuk keperluan nutrisi dan medis, juga digunakan untuk bioteknologi dan antioksidan. Pembahasan kelima berasal dari jurnal yang berjudul “Stable Isolation of Phycocyanin from Spirulina platensis Associated with High-Pressure Extraction Process” oleh Yong Chang Seo et al. (2013). Spirulina plantesis digunakan untuk membuat pewarna dengan cara ekstraksi yang digabungkan dengan tekanan tinggi. Tekanan dibutuhkan untuk membuat membran sel terpecah karena separasi ikatan yang lemah dan membuat perubahan struktural pada makromolekul. Hasil yang didapat oleh ekstraksi bertekanan tinggi dan bersuhu rendah adalah zat pewarna yang lebih murni dan stabil. Ekstraksi dilakukan bisa lebih efektif dengan mengisolasi fikosianin. Keunggulan lain dari metode ini adalah waktu lebih singkat dan langkah yang lebih sedikit. 12 13 3. KESIMPULAN · Pigmen dibagi menjadi 2 macam yakni alami dan buatan. · Pigmen buatan punya efek negatif terhadap kesehatan. · Pigmen alami lebih aman untuk digunakan. · Kelemahan pigmen alami: memiliki stabilitas terhadap panas, pH dan cahaya yang kurang, dan lebih mahal. · Mikroalga merupakan salah satu contoh dari pigmen alami. · Mikroalga punya waktu yang singkat dalam pertumbuhannya sehingga mudah diproduksi. · Alga yang digunakan sebagai pigmen adalah Spirulina. · Spirulina punya kandungan fikosianin. · Manfaat dari fikosianin adalah sebagai antioksidan, anti tumor dan anti viral. · Spirulina punya komponen GLA yang baik untuk mengontrol kolestrol. · Kandungan protein pada tumbuhan rendah, karena protein berikatan dengan senyawa lain yang dapat menurunkan niai kecernaan protein. · Spirulina punya dinding sel yang lembut jadi mudah dicerna. · Spirulina mudah larut pada pelarut polar maupun buffer. · Kandungan fikosianin dalam biomasa bergantung dari nitrogen yang dikonsumsi oleh Spirulina. · Fikosianin yang dihasilkan Spirulina memiliki warna biru. · Pengeringan merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mengurangi kadar air bebas. · Karakteristik fikosianin mudah mudar bila disimpan dalam beberapa hari. · Fikosianin termasuk golongan Billirubin yang dapat menghambat pembentukan koloni kanker. · Dekstrin memiliki fungsi dapat mengurangi komponen volatile yang hilang saat pengolahan, dapat melindungi stabilitas flavor, dapat mempercepat proses pengeringan, dapat meningkatkan total padatan, dan dapat menjaga agar tidak terjadi kerusakan akibat panas. · OD mempengaruhi nilai KF dan nilai yield yang dihasilkan. · Nilai OD yang tinggi berbanding lurus dengan nilai KF dan yield, yakni semakin tinggi nilai OD maka nilai KF dan yield yang sihasilkan juga semakin tinggi. Semarang, 11 September 2014 Asisten Dosen Agita Mustikahandini Melina Kiswandihardjo 12.70.0033 4. 5. 6. DAFTAR PUSTAKA Achmadi SS. Jayadi dan Tri-Panji. 2002. Produksi Pigmen oleh Spirulina platensis yang Ditumbuhkan pada Media Limbah Lateks Pekat. Hayati. September 2002: 80-84. Angka SI dan Suhartono MT. (2000). Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor : PKSPL-IPB. Arylza, IS. (2005). Isolasi Pigmen Biru Fikosianin dari Mikroalga Spirulina plantesis. Journal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38:79-92. Borowitzaka MA dan Borowitzka LJ. (1988). Dunaliella dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds). Mikroalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. Boussiba S. and Richmond A. (1980). c-Phycocianin as A Storage Protein in The Blue-green Alga Spirulina plantesis. Archives of Microbiology 125, 143-147. Candra, Budi Atrika. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Chang, Yong Seo; Seok, Woo Choi; Ho, Jong Park; et al. (2013). Stable Isolation of Phycocyanin from Spirulina platensis associated with high-pressure extraction process. International Journal of Molecular Sciences. Korea Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal Of Food Engineering, 77:64-70. Devanathan J, Ramanathan N. (2012). Pigment Production from Spirulina platensis Using Seawater Supplemented with Dry Poultry Manure. Journal of Algal Biomass Utilization. India Duangsee, Rachen; Phoopat N; Ningsanond S. (2009). Phycosianin Extraction from Spirulina platensis and Extract Stability Under Various pH and Temperature. Asian Journal of Food and Agro Industry. Thailand Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London. Kozlenko R, Henson RH. 2007. The Study of Spirulina: Effect on The AIDS, Cancer and Immune System. J Heal and Nat 2007: 1-2 Mohammad, Johan. (2007). Produksi dan Karakteristik Biopigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis serta Aplikasinya Sebagai Pewarna Minuman. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Murtala, S. S. (1999). Pengaruh Kombinasi Jenis Dan Konsentrasi Bahan Pengisi Terhadap Kualitas Bubuk Sari Buah Markisa Siul (Passiflora edulis F. Edulis). Tesis. Pasca Sarjana Universitas Bawijaya Malang. 70 hal. Raziye OU dan Leman T. (2011). The relationship between the antioxidant system and phycocyanin production in Spirulina maxima with respect to nitrate concentration. Science Faculty.Turkey Ribut, S. dan S. Kumalaningsih, (2004). Pembuatan bubuk sari buah sirsak dari bahan baku pasta dengan metode foam-mat drying. Kajian Suhu Pengeringan, Konsentrasi Dekstrin dan Lama Penyimpanan Bahan Baku Pasta. http://www.pustaka-deptan.go.id. Richmond A. (1988). Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor.Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press. Romay C, Armesto J, Remirez D, González R, Ledón N, García I. (1998). Antioxidant and anti-inflammatory properties of c-phycocyanin from blue-green algae.Inflammation Research 47:36-41. Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.; Bioresour. Technol. 2007, 98, 1629. Song, Wenjun; Zhao, Cuijuan; dan Wang, Suying. (2013). A Large Scale Preparation Method of High Purity C-Phycocyanin. International Journal of Bioscience, Bioinformatics Vol 3 No 4. China. Tietze H. W. (2004). Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing. Walter, Alfredo, Julio Cesar de C., Vanete T. S., Ana B. B., Vanessa G., and Carlos R. S. (2011). Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis Under Different Light Spectra.Vol. 54, pp 675-682. Wiyono, R. (2007). Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin, Konsentrasi Asam Sitrat dan Na-Bikarbonat. 7. LAMPIRAN 7.1. Perhitungan Rumus : Perhitungan : Kelompok C1 Kelompok C2 Kelompok C3 Kelompok C4 Kelompok C5 Kelompok C6 7.2. Foto Setelah Dihaluskan 7.3. Scan Viper 7.4. Diagram Alir 7.5. Laporan Sementara


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.