Eranan Imtaq Dan Iptek Dalam Membangun Peradaban Indonesia Madani

May 4, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

ERANAN IMTAQ DAN IPTEK DALAM MEMBANGUN PERADABAN INDONESIA MADANI Pekanbaru, 15 Januari 2011 Disampaikan Mejelis pada Pengurus acara Kajian Wilayah membaca ICMI Ayat-ayat Orwil Kauniyah, Riau Bismillaahirrrahmaanirrahiim Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh "Innallaha la yughayyiru maa biqawmin, hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim‖, ‖Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum,sampai kaum itu merubahnya sendiri‖ (Qs.Ar-Ra‘du:11) Segala puja dan puji bagi Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala rahasia kehidupan, Yang Maha Mengatur lakon kehidupan yang dipentaskan oleh hamba-hamba-Nya di Bumi yang dihamparkan-Nya, Yang Maha Mencerahkan kalbu manusia, sehingga mereka menjadi khalifah dan hamba-Nya yang saleh, Yang Memutar roda perputaran bumi dan zaman, kebangkitan dan kehancuran bangsa, serta mengantarkan kecemerlangan peradaban manusia atau menghancurkannya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah untuk Baginda Rasulullah SAW, yang melalui ajarannya muncul manusia-manusia langka pilihan yang menjadi aktor pembangunan umat manusia. 1. PENDAHULUAN: KETERPADUAN AYAT KAULIYAH DAN KAUNIYAH Para ilmuwan Muslim memimpikan pupusnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmuilmu empiris. Sebab, tradisi Eropa yang telah memisahkan sains dari agama—yang sebelumnya padu di tangan saintis Muslim di Abad Pertengahan—adalah alasan utama untuk itu. Setelah empirisme yang dimulai oleh Roger Bacon dan Robert Grosseteste dari Oxford menjadi ikon kuat di Eropa pada awal abad ke-12 kemudian menjadi lebih populer di tangan Francis Bacon melalui karyanya yang terkenal Novum Organum dan New Atlantis—yang tidak lain diilhami tradisi ilmiah Islam—, maka genderang revolusi ilmiah dan spesialisasi ilmu menjadi trend ilmiah. Setelah itu yang terjadi adalah pemisahan antara ilmu-ilmu alam—yang berbasis metode eksperimental—dengan filsafat alam, yang berbasis metode rasional-spekulatif. Dinding-dinding antar disiplin ilmu pun makin tinggi dibangun, yang baru kemudian runtuh di abad moderen ini, dengan berfusinya beberapa disiplin ilmu untuk membentuk disiplin baru. Bersama pengalaman pahit inkuisisi agamawan Eropa atas ilmuwan di abad tengah, maka ketegangan dan keterpisahan ilmu dan agama semakin jauh. Dua medan pertentangan ilmu-agama yang layak dicatat adalah masalah penciptaan dalam evolusi Darwin dan dalam kosmologi—khususnya teori Steady State Universe (Keith Wilks, 1982). Dengan evolusi biologisnya Darwin secara tidak langsung menolak penciptaan manusia sempurna melalui Adam dan Hawa. Sementara teori ―jagad raya ajeg‖—yang dipelopori Bondi, Gold dan Hoyle—berhipotesis bahwa ruang sebesar Stadion Utama Senayan di alam semesta mampu menciptakan satu inti atom hidrogen setiap 100 tahun. Alam kekal, karena ruang berkemampuan menciptakan materi dan galaksi, bukan sebab-sebab metafisis lainnya (Baca: Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT). Bahkan fisika secara umum, bergerak hanya pada penjelasan-penjelasan material dan menolak penjelasan metafisis, yang dikokohkan dengan hukum ―kekekalan materi‖. Artinya, secara substansial antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris memang berbeda, dan sulit disatukan. Secara ontologis obyek kajian ilmu-ilmu agama adalah risalah kenabian (ayat kauliyah), sedang ilmu-ilmu empiris adalah manusia dan alam (ayat kauniyah). Secara epistemologis, basis ilmu-ilmu agama adalah metode tekstual, sementara untuk ilmu eksakta adalah metode rasional-eksperimental. Hanya keyakinan bahwa sumber ilmu itu satu—baik ayat kauliyah maupun ayat kauniyah—yang datangnya dari Allah SWT dan mesti berujung pada pencerahan dan pengamalan sebagai bukti prilaku hamba yang saleh (baca: ibadah), maka ilmu agama dan ilmu empiris mesti dipandang sebagai suatu yang padu, tanpa pertentangan dan dikotomi. Persoalan ini sebenarnya cukup klasik. Teori ―kebenaran ganda‖, yang digaungkan Siger Brabant—tokoh Averoisme latin—yang dianggap berasal dari Ibnu Rusyd, menyatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan akal budi murni dapat berbenturan dengan kebenaran wahyu (W. Montgomery Watt,1995). Namun menurutnya, kedua kebenaran itu harus diterima. Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah atau Al Qardhawi dalam Al Qur‘an dan As-sunnah Referensi Tertinggi Ummat Islam secara tegas menolak teori kebenaran ganda semacam itu. Kebenaran wahyu yang datangnya dari Allah SWT adalah kebenaran mutlak dan tertinggi, yang mengatasi kebenaran kognitif yang relatif. Dengan latar belakang ini, dapat difahami harapan agar ilmuwan Muslim dapat menguasai dan menjelaskan ilmu yang mereka kuasai dalam perspektif Islam, sehingga tidak terjadi split personality. Kajian membaca ayat-ayat Kauniyah, Mejelis Pengurus Wilayah ICMI Orwil Riau, memiliki spirit yang serupa. Saya menangkap kesan, bahwa forum ini akan berusaha membaca ulang ilmu-ilmu empiris (ayat-ayat kauniyah) dalam sinar keimanan, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam pemahaman kaum Muslimin atas hakekat ilmu, bahkan yang terjadi adalah sinergi dan daya dorong positif agama atas ilmu di satu sisi (bayan), dan penjelasan empiris ilmu atas pernyataan wahyu di sisi lain (burhan). 2. 2.1 PERADABAN Konteks INDONESIA MADANI Indonesia Masyarakat Madani secara teoritis didefinisikan sebagai masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara. Secara operasional dalam konteks Indonesia, pengertian genuin di atas perlu dipadukan dengan fakta kondisional masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI. Pluralitas etnik dan ideologis masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke—yang melebihi panjang dari pantai barat sampai pantai timur Benua Amerika—adalah sebuah realita kebhinekaan yang nyata dan obyektif. Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa, sebagai benua maritim, paru-paru dunia, dengan biodiversitas yang berlimpah, sumber daya alam di darat maupun di laut, secara geografis dan demografis memperlihatkan fakta empiris kekayaan alam di samping pluralitas kekayaan budaya. Karenanya masyarakat madani yang kita citakan secara visional adalah sebangun dengan ―Indonesia Baru‖ yang kita inginkan sebagai sebuah kondisi ideal normatif yang menjadi harapan masyarakat, bangsa dan negara. Arah pembangunan Indonesia yang kita citakan adalah terbentuknya masyarakat yang menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai landasan tata kehidupan mereka. Di dalamnya terisi dengan individu-individu yang bebas dari sikap menzalimi diri sendiri. Berkumpul dalam keluarga yang egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai kebaikan dan keimanan. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat dalam relasi yang proporsional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan ―amanah‖ penciptaan manusia. Hak-hak masyarakat terdistribusi secara proporsional hingga terbangun kesederajatan sosial dan kehidupan yang tenteram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat madani. Manusia Indonesia hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam koridor hukum dan agama, dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh. Di sana tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur dan mekanisme yudisial yang berkeadilan. Mereka berusaha dalam sistem ekonomi egaliter, sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang memungkinkan perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada seluruh rakyat sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang yang memicu jurang kesenjangan. Dimana pemanfaatan dan pengendalian ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) secara etis sebagai modal dasar pembangunan peradaban untuk kesejahteraan manusia Indonesia dan kemandirian bangsa. Warna-warni kehidupan mencerminkan pluralitas kebudayaan sebagai entitas yang berinteraksi secara harmonis menuju kemajuan peradaban. Individu dan masyarakat mendapat pendidikan yang integratif untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan ―amanah‖ penciptaannya menuju kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa. Itulah masyarakat yang relijius, yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong dalam mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat yang adil dan makmur, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu masyarakat dan bangsa yang hidup berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, masyarakat dengan budaya takwa. Indonesia yang kita citakan adalah kondisi masyarakat yang hidup penuh dengan kasih-sayang, yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, lakilaki bahu membahu dengan perempuan, dalam pluralitas kebudayaan. Sebuah taman sari kehidupan kolektif kita, yang bermuara pada terjaminnya manusia dalam memenuhi 5 (lima) kebutuhan primer hidupnya (maqosid syariah), yakni perlindungan atas: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Masyarakat adil, makmur, sejahtera dan bermartabat. 2.2 Strategi Transformasi Strategi transformasi bangsa bagi terwujudnya peradaban madani yang dicitakan di atas perlu dilakukan dalam kombinasi dua aras antara perubahan yang bersifat bottom-up dengan topdown: yakni melalui pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Pendekatan kultural dilakukan oleh individu maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan, yayasan/ormas dan berbagai lembaga/organisasi lainnya, melaksanakan pelayanan, penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up melalui pembangunan di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, kependudukan, kewanitaan, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya. Pendekatan struktural dilakukan oleh negara secara komprehensif dalam lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan sektor-sektor lain melalui mekanisme konstitusional dengan cara membangun sistem, merumuskan kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural dan top-down digunakan sebagai pedoman dalam rangka transformasi masyarakat menuju peradaban madani. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Kalau pendekatan kultural adalah ―politik garam‖ (perlahan, bertahap dan tak terlihat namun terasa asin), maka pendekatan struktural adalah ―politik cabai‖ (eksplisit, legal, imperatif dan tegas). Dalam era partisipatif dan demokratis sekarang ini tidak relevan lagi mendikotomikan kedua pendekatan di atas. Pendekatan kultural dan pendekatan struktural sama-sama penting dan wajib dilakukan. Kombinasi dan sinergi kedua pendekatan ini akan mempercepat laju transformasi bangsa menuju peradaban masyarakat madani yang kita citakan. Mencermati strategi transformasi bangsa di atas, maka ada urgensi, kestrategisan dan pentingnya peran Imtaq dan Iptek dalam membangun peradaban Indonesia Madani. 3. 3.1 Peran Imtaq Dimana peran Imtaq dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani? Maka jawabnya sangat jelas pada ―jantung‖ peradaban itu sendiri. Alasannya sederhana, karena Indonesia Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara. Kalau kita karakterisasi lebih lanjut, maka pertama, unsur manusia menjadi obyek dan subyek. Kedua, ruh dari peradaban madani adalah relijiusitas-keimanan. Ketiga, tujuannya adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. adalah nilai-nilai luhur yang merupakan diferensiasi dari nilai keimanan. Dengan demikian domain peradaban madani ekuivalen dengan domain Imtaq sendiri, karenanya peran Imtaq menjadi urgen, strategis dan dominan dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani. Pertama, karena membangun peradaban madani ini bertumpu pada manusia sebagai obyek sekaligus subyek (aktor), maka pembangunan manusia ini perlu dijalankan secara terpadu antara sisi brain (aqliyah), mind (qolbiyah), dan body (jasadiyah). Pada titik inilah pentingan Imtaqspiritualitas-relijiusitas. Membangun kecerdasan manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan PERANAN IMTAQ DAN IPTEK kemajuan budaya menuju peradaban madani atau dalam bahasa yang lebih operasional, menghapus kebodohan, kekerasan sosial, dan keterbelakangan budaya‖, sebab kita memandang kebodohan (rendahnya kualitas pendidikan), kekerasan (hilangnya kesantunan dan kedamaian dalam menyelesaikan segala bentuk konflik), serta keterbelakangan (kemandegan dan kejumudan) sebagai musuh sosial bangsa memerlukan kecerdasan bukan hanya dari sisi intelektual/rasional (IQ), namun juga mencakup sisi emosional (EQ) dan spiritual (SQ), agar sempurnalah sosok manusia Indonesia yang kita citakan (insan kamil). Sisi emosional dan spiritual perlu mendapat perhatian yang memadai dalam proses pembangunan manusia Indonesia ke depan. Manusia yang cerdas paripurna itu akan lebih mampu menanggung beban dan menghadapi segenap cobaan hidup (adeversity quotient/AQ) dalam menggerakkan roda dan sebagai subyek pembangunan bangsa. Manusia yang seimbang antara sisi intelektual, emosional dan spiritual itu sangat menyadari posisi dirinya dan tujuan yang akan dicapainya. Mereka tidak akan mudah mengalami krisis identitas sebagaimana terlihat pada sebagian warga di sekelilingnya, sehingga mereka dapat berperan sebagai unsur pengubah lingkungan dan pengarah masyarakat untuk menuju masyarakat madani. Mereka juga menyadari betul agenda reformasi yang harus diperjuangkan, dan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yang telah diproklamsikan sejak lama. Mereka tak mudah goyah dan larut dalam perubahan zaman, bahkan menjadi pilar penjaga nilai-nilai perjuangan dan membuat arus baru yang akan menyelamatkan masyarakat dari kebobrokan dan kehancuran sosial. Kedua, ruh dari peradaban madani adalah keimanan. Manusia yang cerdas tidak hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, tetapi memikirkan kepentingan dan keselamatan masyarakat umum. Mereka melawan egoisme dan individualisme, lalu bersungguhsungguh menumbuhkan semangat kolektif dan solidaritas sosial tanpa pamrih. Bagi insan kamil sebagai subyek masyarakat madani, kesalehan bukan hanya semata bermakna ketaatan menjalankan ritual agama dan ketentuan hukum, melainkan juga mengobarkan spirit agama yang membebaskan dan substansi hukum yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Kesalehan (ascetism) berpangkal dari iman (faith) dan taqwa (pious), yang akhirnya melahirkan tindakan nyata yang bermanfaat bagi orang banyak. Karenanya menjadi jelas bila Imtaq-spiritualitasrelijiusitas menjadi strategis dalam pembangunan peradaban Indonesia madani. Aktor pembangunan masyarakat madani ialah mereka yang paling besar kontribusinya kepada masyarakat dan mengimplementasikan ketaatannya kepada Sang Khalik dengan berbuat kebajikan serta melayani semua makhluk. Kesalehan pribadi yang berakumulasi menjadi kesalehan publik akan membentuk lingkungan yang positif untuk berkembangnya seluruh potensi kemanusiaan (humanity) dan kewargaan (citizenry), melalui cermin peningkatan etos kerja, sikap terbuka akan kreasi dan inovasi baru, serta menguatnya solidaritas sosial. Ketiga, tujuan akhir dari peradaban Indonesia madani adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. yang merupakan nilai-nilai luhur diferensiasi dari nilai keimanan. Manusia madani berperan untuk menanggulangi krisis identitas dan modalitas bangsa; mengubah kondisi keterbelakangan menjadi kemajuan budaya. Kemajuan personal tidak hanya bersifat fisik, namun mengembangkan nilai-nilai universal kemanusiaan, sehingga tiap warga menyadari fungsi dan peran hidupnya sebagai seorang hamba, pemimpin, dan pembangun peradaban baru berbasis nilai-nilai keimanan. Kemajuan kolektif juga tak hanya bersifat fisik dan material, melainkan tumbuh suburnya nilai dan pranata keimanan, serta semakin menipisnya nilai dan pranata keburukan dan kemungkaran. Kemajuan budaya bagi suatu bangsa berarti bangsa ini menyadari kembali jati dirinya yang telah lama tererosi. Jati diri itu antara lain sebagai bangsa pejuang yang membenci segala bentuk penindasan, bangsa yang mandiri dan menolak segala format ketergantungan, serta bangsa yang terbuka terhadap perubahan dan menolak eksklusifisme atau fanatisme sempit. Bangsa yang maju tak selalu berarti meninggalkan nilai-nilai relijius, tradisional dan lokal, sepanjang itu masih mencerminkan substansi kebaikan dan kebenaran universal. Namun, bangsa yang mau adalah bangsa, yang mampu memadukan nilai-nilai modern yang lebih baik dengan warisan tradisional yang sesuai tuntutan zaman, yang berbasis keimanan. Dengan demikian peran Imtaq menjadi urgen, strategis dan dominan dalam seluruh bangunan peradaban Indonesia Madani. Imtaq menjadi ruh dan spirit peradaban Indonesia madani, yang menyiadakan basis epos, etos dan elan vital dinamika transformasi bangsa menuju keunggulan. 3.2 Peran Iptek Sekarang, dimana peran Iptek dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani? Perlukah sebuah rekonstruksi Iptek seperti di masa keemasan Islam? Mungkin sulit kita mengulang prestasi itu. George Sarton dalam Introduction: History of Science mewakili setiap setengah abad dengan satu tokoh ilmuwan. Setelah abad Yunani dan China, maka berturut-turut sejak tahun 750-1100 M disebut oleh Sarton sebagai abad Jabir al Hayyan, Al Khawarizmi, Al Razi, Masudi, Ibnu Wafa, Ibnu Sina, Al Biruni, Ibnu al Haytsam, dan Umar Khayam. Baru sejak tahun 1100 M muncul nama-nama Eropa seperti Roger Bacon dan Gerard de Cremona. Sampai 250 tahun setelah itu, pemikiran sains masih didominasi oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Ibnu Rusyd, Nasiruddin Al Tusi, dan Ibnu Navis. Menurut Abdus Salam untuk maju di bidang Iptek, maka diperlukan komitmen, kemandirian, orgaware yang kuat, dan manajemen yang tangguh. Ketika Al Ma‘mun (785-833M) berkuasa, komitmen itu terlihat, karenanya harus diakui gerakan keilmuan Islam menampakkan fajarnya. Al Kindi adalah tokoh rasional masa itu yang mengembangkan filsafat (falasifah) dan salah satu tokoh gerakan penerjemahan sistematik. Al Ma‘mun mensponsori gerakan intelektual ini dan menghimpun para ilmuwan di istananya serta membangun perpustakaan besar Bayt Al Hikmah. Dan merupakan tokoh yang paling berpengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan umat di Abad Pertengahan. Minat Al Ma‘mun terhadap Astronomi, matematika dan kedokteran dapat dengan mudah difahami, karena disiplin-disiplin ilmu ini menyatu dalam kehidupan harian umat. Ia pun menerjemahkan banyak karya filsafat Plotinus dan mazhab Alexandria lainnya. Pengembangan Iptek Islam terus berlanjut. Bahkan pada masa kesultanan Buwaih—tiga abad setelah Al Ma‘mun—ilmu pengetahuan umat mencapai puncaknya. Filosof dan ilmuwan Islam besar eksis pada masa ini seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al Biruni dlsb. Namun, kondisi umat kini sudah berubah. Abdus Salam, peraih Nobel Bidang Fisika tahun 1979 bersama-sama Sheldon L. Glashow dan Steven Weinberg mengembangkan risetnya di Cambridge University, London University dan ICTP (International Center for Theorytical Physics) di Itali bukan di Pakistan. Al Azhar yang berumur ratusan tahun masih harus kita tunggu prestasi keilmuan kauniyahnya. Karenanya secara normatif dan bahkan terbukti oleh sejarah, bahwa pembangunan peradaban material sangat bertumpu pada pembangunan Iptek. Iptek adalah engine for tommorow. Agar pembangunan Iptek memiliki dampak nyata bagi pembangunan peradaban, maka ia harus bersinergi dan terintegrasi serta membentuk Sistem Inovasi Nasional. Paling tidak ada 3 alasan yang menghajatkan orientasi pembangunan Iptek menuju Sistem Inovasi Nasional. Pertama Iptek adalah hasil olah akal-budi yang mengelola ide menjadi penemuan (invention). Penemuan ini akan menemui maknanya yang utuh dalam praksis (praxis) ketika menghasilkan nilai tambah (value added) secara ekonomi-sosial-hankam. Proses value creation inilah yang kita sebut sebagai inovasi (innovation). Dengan demikian, Iptek akan bermanfaat dalam praksis kehidupan ketika ia telah tumbuh menjadi inovasi. Kedua, Iptek adalah hasil olah akal-budi yang mengelola ide melalui suatu proses pembelajaran (learning) yang terus-menerus melintasi ruang-waktu generasi. Ide dapat merambat (menginspirasi), berkembang, dan saling menguatkan. Karenanya iklim yang kondusif bagi penumbuhsuburan ide adalah ruang yang memungkinkan bagi interaksi, sinergi, share dari ideide. Jaringan (network) yang membentuk sistem untuk mengelola ide menjadi inovasi adalah sebuah keniscayaan. Dengan demikian, pembangunan inovasi menuntut pendekatan sistem. Selain itu, Iptek bukanlah sebuah sektor, seperti pertanian atau industri, tetapi serupa dengan Lingkungan Hidup, Iptek adalah bidang pembangunan yang melekat pada setiap sektor, merupakan factor sukses dari sektor-sektor tersebut. Pembangunan Iptek secara sendirian dan mandiri akan menjadi "menara gading" dan sebuah enclave. Namun tanpa Iptek, sektor-sektor lain tidak akan mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka. Secara lugas kita dapat menempatkan Iptek sebagai engine of growth dan power for competitiveness. Karenanya pembangunan Iptek dan penguatan Sistem Inovasi Nasional menuntut koordinasi dan sinergi. Ketiga, Reformasi adalah proses yang mengokohkan demokratisasi yang berujung pada peningkatan kesadaran publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran ini menghasilkan peningkatan aspirasi dan kontribusi (peran) masyarakat dalam pembangunan nasional. Karenanya pendekatan para pihak (multi stake holders) dalam mengelola pembangunan menjadi prasyarat yang makin menonjol. Dengan demikian pembangunan Iptek akan lebih diorientasikan untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat (demand driven oriented), ketimbang mengembangkan pendekatan yang berat ke arah supply push technology (market pull). Keempat, perkembangan global yang makin cepat, kesadaran publik yang makin tinggi, serta diferensiasi tugas komponen negara yang semakin tajam menuntut redefinisi peran Negara. Semakin maju suatu bangsa, maka peran Negara harus semakin efisien pada wilayah-wilayah strategis saja. Dengan demikian, negara akan lebih diposisikan menjadi stabilisator, fasilitator dan dinamisator. Pelaku utama perubahan (transformasi) adalah masyarakat. Karenanya diffusion oriented yang menyebarkan hasil-hasil riset dan teknologi ke dalam masyarakat, sehingga dapat langsung dimanfaatkan untuk kepentingan daya saing industri, layanan masyarakat atau national security menjadi lebih mendapat prioritas. Dengan demikian, kunci sukses untuk mengintegrasikan Iptek dengan peradaban masyarakat madani adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, dan untuk memacu pertumbuhan menjadi bangsa yang terhormat, maju dan kompetitif. Sistem inovasi nasional mesti dibangun dan menjadi bagian integral dari peradaban kita. Artinya kita akan membangun bangsa inovasi (innovation nation) sebagai pilar kokoh bagi peradaban Indonesia madani. Terkait dengan kinerja Sistem Inovasi Nasional kita, saya ingin mengungkap data dari Global Competitiveness Index (WCI), World Economic Forum (WEF). Pada tahun 2010, peringkat daya saing Indonesia meningkat dari urutan ke-54 menjadi peringkat ke-44. Dari 12 pilar yang ada dalam Global Competitiveness Index, untuk pilar Kesiapan Teknologi (technological readiness) kita menempati peringkat ke-91, berada di bawah negara-negara ASEAN, kecuali terhadap Filipina. Technological readiness adalah indikator yang mencerminkan sejauh mana industri maupun masyarkat kita, secara umum, mempunyai kesiapan untuk menyerap teknologi dalam rangka meningkatkan produktifitas industri dan kemampuan ekonomi mereka. Rendahnya aspek ini menunjukkan bahwa industri dan masyarakat kita secara umum belum banyak memanfaat teknologi, baik teknologi yang dikembangkan di dalam negeri, maupun teknologi yang didatangkan dari luar negeri. Sedang untuk pilar Inovasi, Indonesia menempati peringkat ke-36, berada di atas negara-negara ASEAN, kecuali Singapura dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak bangsa dalam pengembangan inovasi sesungguhnya tidak perlu diragukan. 3.2 Kualitas Aktor Madani Selain faktor-faktor nomatif di atas, untuk mewujudkan pembangunan peradaban Indonesia madani, para aktornya harus memiliki kredebilitas yang cukup (credibility agent of change). Tanpa syarat kualitas ini, maka peradaban yang dicitakan tidak akan pernah terwujud apalagi membawa berkah bagi kehidupan kolektif. Tiga syarat kredibilitas itu adalah: integritas, akseptabilitas dan profesionalitas. Pengemban perubahan peradaban Indonesia madani mesti mempunyai integritas yang tinggi, baik dalam aspek moralitas (ilahiyah), humanitas (insaniyah) maupun nasionalitas (wathoniyah), sehingga kita memiliki vision, value dan commitment yang kokoh. Kredibilitas personal ini adalah modal dasar terkait sikap dan karakter, sekaligus sebagai komitmen nilai. Integritas moral menjamin para aktor perubahan ini untuk tidak menyimpang dari garis akhlak yang diturunkan dari langit, bahwa kita tidak diciptakan selain untuk beribadah kepada-Nya. Integritas kemanusiaan membekali kita dengan budi pekerti kemanusiaan, bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang satu, yang wajib at-taawun alal birri wa taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan), dengan visi kemanusiaan untuk memuliakan manusia. Integritas kebangsaan membekali para aktor perubahan akan wawasan kesatuan nasionalitas-Nusantara, bahwa Indonesia terdiri dari bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan bahasa yang satu, sehingga kita visi nasional yang kokoh untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Aktor perubahan peradaban Indonesia madani haruslah memiliki akseptabilitas yang tinggi, sehingga mereka dapat diterima dengan tulus oleh masyarakatnya. Kredibilitas sosial ini harus diraih melalui interaksi dan berdasar pada ruh kepeduliaan terhadap sesama. Kesetiakawanan sosial adalah semangat yang hidup dan tumbuh dari habituasi dalam kolektifitas, bukan sesuatu yang bisa dibuat-buat. Kualitas empati dan emotional quotion menjadi dasar bagi aktor perubahan Indonesia madani meraih simpati sosial ini. Dan terakhir, aktor perubahan peradaban Indonesia madani haruslah memiliki profesionalitas yang tinggi, sehingga mereka dapat diterima publik berbasis merit system, berbasis kualitas kepakaran bukan koneksitas. Kredibilitas profesional ini harus dibangun aktor perubahan Indonesia madani melalui bahan dasar kompetensi-ekspertis, kemampuan manajemen, strategic thinking, dan sikap open mind. Dalam konteks Indonesia hari ini, satu hal lagi yang harus ditambahkan, bahwa pembangunan peradaban Indonesia madani menuntut sinergitas sosial yang tinggi. Bangsa yang besar ini, dengan potensi kekayaan alam yang berlimpah, potensi kebudayaan yang mengagumkan, dengan luas teritorial yang membentang, jumlah penduduk yang besar, dengan ukuran ekonomi (economic scale) raksasa membutuhkan kolaborasi unsur-unsurnya secara optimal, agar kita tidak terjebak pada zero sum game—lost-lost solution—atau saling menyandera. The giant sleep ini harus dibangunkan lalu berdiri kokoh seperti kal bunyanun marshuus (bangunan yang kokoh), bekerja produktif ibarat kal syajarrot thoyyibah (pohon yang baik), dan solid seperti kal jasadu wahid (badan yang satu). 4. PENUTUP Membangun peradaban Indonesia Madani memerlukan dukungan Imtaq dan Iptek. Karena sudah sangat jelas pilar utama masyarakat madani adalah SDM-manusia. Manusia yang terdiri dari darah dan daging, dapat tegak berdiri hanya dan hanya jika ―ruh‖ ada di dalamnya. Kekuatan ruh menjelma dalam akal (rasio) dan hati (mind). Itulah mengapa Imtaq dan Iptek menjadi kepakan dua sayap, yang harus mengembang secara harmonis, sebab yang kita ingin bangun adalah peradaban yang digusung oleh manusia yang memiliki Integritas (IlahiyahInsaniyah-Wathoniyah), Akseptabilitas – dan Profesionalitas ‖--manusia yang punya kredibilitas (intelek sekaligus relijius). Pembangunan peradaban madani bukan hanya memerlukan kecerdasan akali tetapi juga qolbi—bukan hanya rasional-intelektual, tetapi juga sarat aturan moral-spiritual. Inilah pembangunan yang bukan hanya menuai keberkahan ―bumi‖, tetapi jugas restu dari ―langit‖, amin ya rabbal ‗alamin. # Wassalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh. Menteri Suharna Surapranata Negara Riset dan Teknologi ISLAM DAN IPTEK Oleh: M. Alfian Nurul Azmi A. Pendahuluan Islam adalah agama yang telah sempurna dan bersifat universal. Universalitas islam selain bermakna keberlakuan islam untuk semua manusia, semua bangsa dan Negara, juga substansi ajarannya. Kelengkapan ajaran islam dutunjukan melalui prinsip-prinsip kandungan yang terdapat dalam al-Qur‘an dan al-sunnah, misalnya tentang ekonomi, teknologi, sosial budaya, psikologi, sosiologi, antripologi, pendidikan, hukum dan sebagainya. Dan didalam makalah ini akan sedikit menerangkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan ajaran agama islam. Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, kini jarak tidak lagi menjadi masalah yang berarti dalam dimensi hidup manusia. Dunia menjadi kecil. Siapapun bisa saling bercerita panjang lebar dari dua sisi dunia yang berbeda. Semua pekerjaan rutin bisa diselesaikan dengan cepat. Tapi ternyata itu tak membuat manusia mengaku lebih bahagia. Manusia menjadi miskin terhadap perasaan kemanusiaannya sendiri. Di manakah sumber masalahnya? Manusianya? Ipteknya? B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Ilmu Pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya ―tunduk patuh‖, mempunyai makna ―tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah‖. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama. Bagian yang terbanyak daripada ayat-ayat Al-Qur‘an adalah perintah Allah kepada manusia agar menalari alam sekelilingnya. Dan setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur‘an bukanlah karangan Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung turun dari Allah SWT. 2. Empat pendekatan Secara umum, dikenal 4 kategori pendekatan iptek dengan Islam: a. I’jazul Qur’an. Pendekatannya adalah mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Qur‘an. Hal ini kemudian banyak dikritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap Qur‘an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Qur‘an juga bisa berubah. b. Islamization Disciplines. Yakni membandingkan iptek modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Penggagas utamanya Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan dan iptek islam. Rencana Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi al-Faruqi bertujuan: 1. Penguasaan disiplin ilmu iptek modern. 2. Penguaasaan warisan Islam. 3. Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang iptek modern. 4. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan iptek modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya). 5. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah. 6. Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam. c. Membangun iptek pada pemerintahan Islami. Ide ini terutama pada proses pemanfaatan iptek. ―Dalam lingkungan Islam pastilah iptek tunduk pada tujuan mulia.‖ Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok ini. d. Menggali epistimologi iptek Islam (murni). Epistimologi iptek Islam murni digali dari pandangan dunia dunia Islam, dan dari sinilah dibangun teknologi dan peradaban Islam. Dipelopori oleh Ziauddin Sardar, dalam bukunya: ―Islamic Futures: ―The Shape of Ideas to Come‖‖ (1985), edisi Indonesia: ―Masa Depan Islam, Pustaka, 1987). Sardar mengkritik ide Al-Faruqi dengan pemikiran: 1. Karena sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan politik yang menguasai dunia. 2. Tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak: ―psikologi‖, ―sosiologi‖, dan ilmu politik. 3. Menerima bagian-bagian disipliner pengetahuan yang dilahirkan dari epistimologi Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada peradaban Barat. e. Tatanan Praktis Dalam membangun dan mengejar perbaikan iptek dunia Islam, Sardar mengajukan 2 pemikiran dasar: 1. Menganalisa kebutuhan sosial masyarakat muslim sendiri, dan dari sinilah dirancang teknologi yang sesuai. 2. Teknologi ini dikembangkan dalam kerangka pandangan-dunia muslim. Kenyataannya, sangat tidak mudah bekerja di luar paradigma yang dominan, lantaran kita masih terikat dan terdikte dengan disiplin-disiplin ilmu yang dicetuskan dari, oleh dan untuk Barat. f. Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan dan teknologi. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan muslim C. Penutup Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Daftar Pustaka Shabran, Sudarno dkk. 2005. Studi Islam 3. Surakarta: LPID UMS - Artikel// Peran Islam Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi. - www.google.com//search//Islam dan Iptek www.WordPress.com. Iptek dan Peradaban Islam Posted on September 18, 2007 | 17 Comments IPTEKDAN Pendahuluan PERADABAN ISLAM Bicara tentang kejayaan peradaban Islam di masa lalu, dan juga jatuhnya kemuliaan itu seperti nostalgia. Orang bilang, romantisme sejarah. Tidak apa-apa, terkadang ada baiknya juga untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Karena bukankah masa lalu juga adalah bagian dari hidup kita. Baik atau buruk, masa lalu adalah milik kita. Kaum muslimin, pernah memiliki kejayaan di masa lalu. Masa di mana Islam menjadi trendsetter sebuah peradaban modern. Peradaban yang dibangun untuk kesejahteraan umat manusia di muka bumi ini. Masa kejayaan itu bermula saat Rasulullah mendirikan pemerintahan Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah di Madinah. Tongkat kepemimpinan bergantian dipegang oleh Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan seterusnya. Di masa Khulafa as-Rasyiddin ini Islam berkembang pesat. Perluasan wilayah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya penyebarluasan Islam ke seluruh penjuru dunia. Islam datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Penaklukan wilayah-wilayah, adalah sebagai bagian dari upaya untuk menyebarkan Islam, bukan menjajahnya. Itu sebabnya, banyak orang yang kemudian tertarik kepada Islam. Satu contoh menarik adalah tentang Futuh Makkah (penaklukan Makkah), Rasulullah dan sekitar 10 ribu pasukannya memasuki kota Makkah. Kaum Quraisy menyerah dan berdiri di bawah kedua kakinya di pintu Ka‘bah. Mereka menunggu hukuman Rasul setelah mereka menentangnya selama 21 tahun. Namun, ternyata Rasulullah justru memaafkan mereka. Begitu pula yang dilakukan oleh Shalahuddin al-Ayubi ketika merebut kembali Yerusalem dari tangan Pasukan Salib Eropa, ia malah melindungi jiwa dan harta 100 ribu orang Barat. Shalahuddin juga memberi ijin ke luar kepada mereka dengan sejumlah tebusan kecil oleh mereka yang mampu, juga membebaskan sejumlah besar orang-orang miskin. Panglima Islam ini pun membebaskan 84 ribu orang dari situ. Malah, saudaranya, al-Malikul Adil, membayar tebusan untuk 2 ribu orang laki-laki di antara mereka. Padahal 90 tahun sebelumnya, ketika pasukan Salib Eropa merebut Baitul Maqdis, mereka justru melakukan pembantaian. Diriwayatkan bahwa ketika penduduk al-Quds berlindung ke Masjid Aqsa, di atasnya dikibarkan bendera keamanan pemberian panglima Tancard. Ketika masjid itu sudah penuh dengan orang-orang (orangtua, wanita, dan anak-anak), mereka dibantai habishabisan seperti menjagal kambing. Darah-darah muncrat mengalir di tempat ibadah itu setinggi lutut penunggang kuda. Kota menjadi bersih oleh penyembelihan penghuninya secara tuntas. Jalan-jalan penuh dengan kepala-kepala yang hancur, kaki-kaki yang putus dan tubuh-tubuh yang rusak. Para sejarawan muslim menyebutkan jumlah mereka yang dibantai di Masjid Aqsa sebanyak 70 ribu orang. Para sejarawan Perancis sendiri tidak mengingkari pembantaian mengerikan itu, bahkan mereka kebanyakan menceritakannya dengan bangga. Fakta ini cukup membuktikan betapa Islam mampu memberikan perlindungan kepada penduduk yang wilayahnya ditaklukan. Karena perang dalam Islam memang bukan untuk menghancurkan, tapi memberi kehidupan. Dengan begitu, Islam tersebar ke hampir sepertiga wilayah di dunia ini. Peradaban Islam memang mengalami jatuh-bangun, berbagai peristiwa telah menghiasi perjalanannya. Meski demikian, orang tidak mudah untuk begitu melupakan peradaban emas yang berhasil ditorehkannya untuk umat manusia ini. Pencerahan pun terjadi di segala bidang dan di seluruh dunia. Sejarawan Barat beraliran konservatif, W Montgomery Watt menganalisa tentang rahasia kemajuan peradaban Islam, ia mengatakan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama. Satu dengan yang lain, dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan syariat Islam, sama pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan riset-riset ilmiah. Orientalis Sedillot seperti yang dikutip Mustafa as-Siba‘i dalam Peradaban Islam, Dulu, Kini, dan Esok, mengatakan bahwa, ―Hanya bangsa Arab pemikul panji-panji peradaban abad pertengahan. Mereka melenyapkan barbarisme Eropa yang digoncangkan oleh seranganserangan dari Utara. Bangsa Arab melanglang mendatangi ‗sumber-sumber filsafat Yunani yang abadi‘. Mereka tidak berhenti pada batas yang telah diperoleh berupa khazanah-khazanah ilmu pengetahuan, tetapi berusaha mengembangkannya dan membuka pintu-pintu baru bagi pengkajian alam.‖ Andalusia, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam, telah melahirkan ribuan ilmuwan, dan menginsiprasi para ilmuwan Barat untuk belajar dari kemajuan iptek yang dibangun kaum muslimin. Jadi wajar jika Gustave Lebon mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab, terutama buku-buku keilmuan hampir menjadi satu-satunya sumber-sumber bagi pengajaran di perguruanperguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Tidak hanya itu, Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arab-Persia lah yang dijadikan sandaran oleh para ilmuwan Barat seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philipi, Raymond Lull, san Thomas, Albertus Magnus dan Alfonso X dari Castella. Buku al-Bashariyyat karya al-Hasan bin al-Haitsam diterjemahkan oleh Ghiteleon dari Polska. Gherardo dari Cremona menyebarkan ilmu falak yang hakiki dengan menerjemahkan asy-Syarh karya Jabir. Belum lagi ribuan buku yang berhasil memberikan pencerahan kepada dunia. Itu sebabnya, jangan heran kalau perpustakaan umum banyak dibangun di masa kejayaan Islam. Perpustakaan al-Ahkam di Andalusia misalnya, merupakan perpustakaan yang sangat besar dan luas. Buku yang ada di situ mencapai 400 ribu buah. Uniknya, perpustakaan ini sudah memiliki katalog. Sehingga memudahkan pencarian buku. Perpustakaan umum Tripoli di daerah Syam, memiliki sekitar tiga juta judul buku, termasuk 50.000 eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Dan masih banyak lagi perpustakaan lainnya. Tapi naas, semuanya dihancurkan Pasukan Salib Eropa dan Pasukan Tartar ketika mereka menyerang Islam. Peradaban Islam memang peradaban emas yang mencerahkan dunia. Itu sebabnya menurut Montgomery, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‗dinamo‘nya, Barat bukanlah apaapa. Wajar jika Barat berhutang budi pada Islam. Empat belas abad yang silam, Allah Ta‘ala telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan ikutan bagi umat manusia. Beliau adalah merupakan Rasul terakhir yang membawa agama terakhir yakni Islam. Hal ini secara jelas dan tegas dikemukakan oleh Al-Qur‘an dimana Kitab Suci tersebut memproklamasikan keuniversalan misi dari Muhammad SAW sebagaimana kita jumpai dalam ayat-ayat berikut ini: Katakanlah, ―Wahai manusia , sesungguhnya aku ini Rasul kepada kamu sekalian dari Allah yang mempunyai kerajaan seluruh langit dan bumi. Tak ada yang patut disembah melainkan Dia.‖…………..(QS. 7:159). Dan kami tidaklah mengutus engkau melainkan sebagai pembawa kabar suka dan pemberi peringatan untuk segenap manusia……….(QS. 34:29). Dan tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh ummat…….(QS. 21:108). Nabi Muhammad SAW telah mengubah pandangan hidup dan memberi semangat yang menyalanyala kepada umat Islam, sehingga dari bangsa yang terkebelakang dalam waktu yang amat singkat mereka, mereka telah menjadi guru sejagat. Ummat Islam menghidupkan ilmu, mengadakan penyelidikan-penyelidikan. Fakta sejarah menjelaskan antara lain , bahwa Islam pada waktu pertama kalinya memiliki kejayaan, bahwa ada masanya ummat Islam memiliki tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina di bidang filsafat dan kedokteran, Ibnu Khaldun di bidang Filsafat dan Sosiologi, Al-jabar dll. Islam telah datang ke Spanyol memperkenalkan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu ukur, aljabar, arsitektur, kesehatan, filsafat dan masih banyak cabang ilmu yang lain lagi. Masa Kejayaan Islam Pertama telah menjadi bukti sejarah bahwa dengan mengamalkan ajaran Al-Qur‘an ummat Islam sendiri akan menikmati kemajuan peradaban dan kebudayaan diatas bumi ini. Di masa Kejayaan Islam Pertama, pimpinan Islam berada di tangan tokoh-tokoh yang setiap orangnya patuh sepenuhnya dan setia kepada Nabi Muhammad SAW, baik secara keimanan, keyakinan, perbuatan, akhlak, pendidikan, kesucian jiwa, keluhuran budi maupun kesempurnaan. Pimpinan Ummat Islam sesudah wafatnya nabi Muhammad SAW, Abubakar, Umar, Utsman dan Ali adalah merupakan pemimpin-pemimpin duniawi dengan jabatan Khalifah, yang menganggap kedudukan mereka itu sebagai pengabdian pada ummat Islam, bukan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan mutlak dan kemegahan. Dalam tiga abad pertama sejarah permulaaan Islam (650-1000M) , bagian-bagian dunia yang dikuasai Islam adalah bagian-bagian yang paling maju dan memiliki peradaban yang tinggi. Negeri-negeri Islam penuh dengan kota-kota indah, penuh dengan mesjid-mesjid yang megah, dimana-mana terdapat perguruan tinggi dan Univesitas yang didalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah yang bernilai tiggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan hal yang kontras dengan dunia Nasrani Barat, yang tenggelam dalam masa kegelapan zaman. 2. Pembahasan a. Kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah, nama lengkapnya yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial , dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan pola politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode: 1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia Pertama. 2. Periode Kedua (232 H/847 M – 234 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki Pertama. 3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M, masa kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia Kedua. 4. Periode Keempat (447 H/1055 M/ – 590 H/1194 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua. 5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa Khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad. Dalam zaman Daulah Abbasiyah, masa meranumlah kesusasteraan dan ilmu pengetahuan, disalin ke dalam bahasa Arab, ilmu-ilmu purbakala. Lahirlah pada masa itu sekian banyak penyair, pujangga, ahli bahasa, ahli sejarah, ahli hukum, ahli tafsir, ahli hadits, ahli filsafat, thib, ahli bangunan dan sebagainya. Zaman ini adalah zaman keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan memulai lukisannya tentang Bani Abbasiyah. Dalam zaman ini, kedaulatan kaum muslimin telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan, ataupun kekuasaan. Dalam zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam, dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Masa Daulah Abbasiyah adalah masa di mana umat Islam mengembangkan ilmu pengetahuan, suatu kehausan akan ilmu pengetahuan yang belum pernah ada dalam sejarah. Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan merefleksikan terciptanya beberapa karya ilmiah seperti terlihat pada alam pemikiran Islam pada abad ke-8 M. yaitu gerakan penerjemahan buku peninggalan kebudayaan Yunani dan Persia. Permulaan yang disebut serius dari penerjemahan tersebut adalah sejak abad ke-8 M, pada masa pemerintahan Al-Makmun (813 –833 M) yang membangun sebuah lembaga khusus untuk tujuan itu, ―The House of Wisdom / Bay al-Hikmah‖. Dr. Mx Meyerhof yang dikutip oleh Oemar Amin Hoesin mengungkapkan tentang kejayaan Islam ini sebagai berikut: ―Kedokteran Islam dan ilmu pengetahuan umumnya, menyinari matahari Hellenisme hingga pudar cahayanya. Kemudian ilmu Islam menjadi bulan di malam gelap gulita Eropa, mengantarkan Eropa ke jalan renaissance. Karena itulah Islam menjadi biang gerak besar, yang dipunyai Eropa sekarang. Dengan demikian, pantas kita menyatakan, Islam harus tetap bersama kita.‖ (Oemar Amin Hoesin) Adapun kebijaksanaan para penguasa Daulah Abbasiyah periode 1 dalam menjalankan tugasnya lebih mengutamakan kepada pembangunan wilayah seperti: Khalifah tetap keturunan Arab, sedangkan menteri, gubernur, dan panglima perang diangkat dari keturunan bangsa Persia. Kota Bagdad sebagai ibukota, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan ekonomi dan sosial serta politik segala bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukim di dalamnya, ada bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Hindi dan sebagainya. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu hal yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada umumnya khalifah adalah para ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan memuliakan pujangga. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, hal mana menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang, termasuk bidang aqidah, falsafah, ibadah dan sebagainya. Para menteri keturunan Persia diberi hak penuh untuk menjalankan pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamadun/peradaban Islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan kekayaannya untuk memajukan kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu pengetahuan, sehingga karena banyaknya keturunan Malawy yang memberikan tenaga dan jasanya untuk kemajuan Islam. b. Latar Belakang dan Faktor-faktor yang Memunculkan ―Revolusi Abbasiyah‖ Menjelang akhir daulah Umawiyah (akhir abad pertama Hijriyah) terjadilah bermacam-macam kekacauan dalam segala cabang kehidupan negara; terjadi kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para khalifah dan para pembesar negara lainnya, terjadilah pelanggaranpelanggaranterhadap ajaran-ajaran Islam. Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang diperbuat, yaitu: Politik kepegawaian negara didasarkan pada klik, golongan, suku, kaum dan kawan (nepotisme) Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Imam Ali bin Abi Thalib RA pada khususnya dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiah) pada umumnya. Menganggap rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-haka asasi manusia dengan cara yang terangterangan. Prof. Dr. Hamka melukiskan keadaan tersebut ―Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, waktu itulah mulai disusun dengan diam-diam propaganda untuk menegakkan Bani Abbas. Keadaan dan cara Umar bin Abdul Aziz memerintah telah menyebabkan suburnya propaganda untuk Daulat yang akan berdiri itu. Sebab sejak zaman Muawiyah Daulat Bani Umayyah itu didirikan dengan kekerasan. Siasat yang keras dan licik, yang pada zaman sekarang dalam ilmu politik disebut ―Machiavellisme‖, artinya mempergunakan segala kesempatan, sekalipun kesempatan yang jahat untuk memperbesar kekuasaan. Umpamanya memburuk-burukkan dan menyumpah Ali bin Abi Thalib RA dalam tiap khutbah Jum‘at; itu sudah terang tidak dapat diterima umat dengan rela hati.‖. Selanjutnya Dr. Badri Yatim, MA,.mengungkapkan dalam bukunya c. Kegemilangan Iptek di Masa Khilafah Abasiyyah Kekhilafahan Abbasiyah tercatat dalam sejarah Islam dari tahun 750-1517 M/132-923 H. Diawali oleh khalifah Abu al-‘Abbas as-Saffah (750-754) dan diakhiri Khalifah al-Mutawakkil Alailah III (1508-1517). Dengan rentang waku yang cukup panjang, sekitar 767 tahun, kekhilafahan ini mampu menunjukkan pada dunia ketinggian peradaban Islam dengan pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di dunia Islam. Di era ini, telah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagai penemuannya yang mengguncang dunia. Sebut saja, al-Khawarizmi (780-850) yang menemukan angka nol dan namanya diabadikan dalam cabang ilmu matematika, Algoritma (logaritma). Ada Ibnu Sina (980-1037) yang membuat termometer udara untuk mengukur suhu udara. Bahkan namanya tekenal di Barat sebagai Avicena, pakar Medis Islam legendaris dengan karya ilmiahnya Qanun (Canon) yang menjadi referensi ilmu kedokteran para pelajar Barat. Tak ketinggalan al-Biruni (973-1048) yang melakukan pengamatan terhadap tanaman sehingga diperoleh kesimpulan kalau bunga memiliki 3, 4, 5, atau 18 daun bunga dan tidak pernah 7 atau 9. Pada abad ke-8 dan 9 M, negeri Irak dihuni oleh 30 juta penduduk yang 80% nya merupakan petani. Hebatnya, mereka sudah pakai sistem irigasi modern dari sungai Eufrat dan Tigris. Hasilnya, di negeri-negeri Islam rasio hasil panen gandum dibandingkan dengan benih yang disebar mencapai 10:1 sementara di Eropa pada waktu yang sama hanya dapat 2,5:1. Kecanggihan teknologi masa ini juga terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur mesjid Agung Cordoba; Blue Mosque di Konstantinopel; atau menara spiral di Samara yang dibangun oleh khalifah al-Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang dibangun di Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang dibangun di atas bukit yang menghadap ke kota Granada. Kekhilafahan Abbasiyah dengan kegemilangan ipteknya kini hanya tercatat dalam buku usang sejarah Islam. Tapi jangan khawatir, someday Islam akan kembali jaya dan tugas kita semua untuk mewujudkannya. Dinasti Abbasiyiah membawa Islam ke puncak kejayaan. Saat itu, dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Tradisi keilmuan berkembang pesat. Masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahun dan teknologi, kata Ketua Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia, Dr Muhammad Lutfi, terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dia adalah khalifah dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 786. Saat itu, kata Lutfi, banyak lahir tokoh dunia yang kitabnya menjadi referensi ilmu pengetahuan modern. Salah satunya adalah bapak kedokteran Ibnu Sina atau yang dikenal saat ini di Barat dengan nama Avicenna. Sebelum Islam datang, kata Luthfi, Eropa berada dalam Abad Kegelapan. Tak satu pun bidang ilmu yang maju, bahkan lebih percaya tahyul. Dalam bidang kedoteran, misalnya. Saat itu di Barat, jika ada orang gila, mereka akan menangkapnya kemudian menyayat kepalanya dengan salib. Di atas luka tersebut mereka akan menaburinya dengan garam. ‖Jika orang tersebut berteriak kesakitan, orang Barat percaya bahwa itu adalah momen pertempuran orang gila itu dengan jin. Orang Barat percaya bahwa orang itu menjadi gila karena kerasukan setan,‖ jelas Luthfi. Pada saat itu tentara Islam juga berhasil membuat senjata bernama ‗manzanik‘, sejenis ketepel besar pelontar batu atau api. Ini membuktikan bahwa Islam mampu mengadopsi teknologi dari luar. Pada abad ke-14, tentara Salib akhirnya terusir dari Timur Tengah dan membangkitkan kebanggaan bagi masyarakat Arab. Lain lagi pada masa pemerintahan dinasti Usmaniyah — di Barat disebut Ottoman — yang kekuatan militernya berhasil memperluas kekuasaan hingga ke Eropa, yaitu Wina hingga ke selatan Spanyol dan Perancis. Kekuatan militer laut Usmaniyah sangat ditakuti Barat saat itu, apalagi mereka menguasai Laut Tengah. Kejatuhan Islam ke tangan Barat dimulai pada awal abad ke-18. Umat Islam mulai merasa tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi setelah masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu Napoleon masuk dengan membawa mesin-mesin dan peralatan cetak, ditambah tenaga ahli. Dinasti Abbasiyah jatuh setelah kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahannya diserang oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Di sisi lain, tradisi keilmuan itu kurang berkembang pada kekhalifahan Usmaniyah. Salah langkah diambil saat mereka mendukung Jerman dalam perang dunia pertama. Ketika Jerman kalah, secara otomatis Turki menjadi negara yang kalah perang sehingga akhirnya wilayah mereka dirampas Inggris dan Perancis. Tanggal 3 Maret 1924, khilafah Islamiyah resmi dihapus dari konstitusi Turki. Sejak saat itu tidak ada lagi negara yang secara konsisten menganut khilafah Islamiyah. Terjadi gerakan sekularisasi yang dipelopori oleh Kemal At-Taturk, seorang Zionis Turki. Kini 82 tahun berlalu, umat Muslim tercerai berai. Akankah Islam kembali mengalami zaman keemasan seperti yang terjadi di 700 tahun awal pemerintahannya? Ketua MUI, KH Akhmad Kholil Ridwan menyatakan optimismenya bahwa Islam akan kembali berjaya di muka bumi. Ridwan menyebut saat ini merupakan momen kebangkitan Islam kembali. ‖Seperti janji Allah, 700 tahun pertama Islam berjaya, 700 tahun berikutnya Islam jatuh dan sekarang tengah mengalami periode 700 tahun ketiga menuju kembalinya kebangkitan Islam,‖ ujarnya. Meskipun saat ini umat Islam banyak ditekan, ujar Ridwan, semua upaya ini justru semakin memperkuat eksistensi Islam. Ini sesuai janji Allah yang menyatakan bahwa meskipun begitu hebatnya musuh menindas Islam namun hal ini bukannya akan melemahkan umat Islam. ‖Ibaratnya paku, semakin ditekan, Islam akan semakin menancap dengan kuat,‖ujarnya. Sementara itu, Luthfi menyatakan sistem khilafah Islamiyah masih relevan diterapkan pada zaman sekarang ini asal dimodifikasi. Ia mencontohkan konsep pemerintahan yang dianut Iran yang menjadi modifikasi antara teokrasi (kekuasaan yang berpusat pada Tuhan) dan demokrasi (yang berpusat pada masyarakat). Di Iran, kekuasaan tertinggi tidak dipegang parlemen atau presiden, melainkan oleh Ayatullah atau Imam, yang juga memiliki Dewan Ahli dan Dewan Pengawas. Sistem pemerintahan Iran ini, menurut Luthfi, merupakan tandingan sistem pemerintahan Barat. ‖Tak heran kalau Amerika Serikat sangat takut dengan Iran karena mereka bisa menjadi tonggak peradaban baru Islam.‖ Konsep khilafah Islamiyah, kata Luthfi, mengharuskan hanya ada satu pemerintahan Islami di dunia dan tidak terpecah-belah berdasarkan negara atau etnis. ‖Untuk mewujudkannya lagi saat ini, sangat sulit,‖ kata dia. Sementara Kholil Ridwan menjelaskan ada tiga upaya konkret yang bisa dilakukan umat untuk mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau. Yang pertama adalah merapatkan barisan. Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 103 yang isinya ―Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.‖ Upaya lainnya adalah kembali kepada tradisi keilmuan dalam agama Islam. Dalam Islam, jelasnya, ada dua jenis ilmu, yaitu ilmu fardhu ‗ain dan fardhu kifayah. Yang masuk golongan ilmu fardhu ‗ain adalah Al-Quran, hadis, fikih, tauhid, akhlaq, syariah, dan cabang-cabangnya. Sedangkan yang masuk ilmu fardhu kifayah adalah kedokteran, matematika, psikologi, dan cabang sains lainnya. Sementara upaya ketiga adalah dengan mewujudkan sistem yang berdasarkan syariah Islam. d. Runtuhnya sebuah kejayaan Jatuh itu memang menyakitkan. Apalagi ketika kita udah berada jauh di puncak kesuksesan. Setelah berhasil membangun kejayaan selama 14 abad lebih, akhirnya peradaban Islam jatuh tersungkur. Inilah kisah tragis yang dialami peradaban Islam. Bukan tanpa sebab tentunya. Serangan pemikiran dan militer dari Barat bertubi-tubi menguncang Islam. Akibatnya, kaum muslimin mulai goyah. Puncaknya, adalah tergusurnya Khilafah Islamiyah di Turki dari pentas perpolitikan dunia. Saat itu, Inggris menetapkan syarat bagi Turki, bahwa Inggris tak akan menarik dirinya dari bumi Turki, kecuali setelah Turki menjalankan syarat-syarat berikut: Pertama, Turki harus menghancurkan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah dari Turki, dan menyita harta bendanya. Kedua, Turki harus berjanji untuk menumpas setiap gerakan yang akan mendukung Khilafah. Ketiga, Turki harus memutuskan hubungannya dengan Islam. Keempat, Turki harus memilih konstitusi sekuler, sebagai pengganti dari konstitusi yang bersumber dari hukum-hukum Islam. Mustafa Kamal Ataturk kemudian menjalankan syarat-syarat tersebut, dan negara-negara penjajah pun akhirnya menarik diri dari wilayah Turki (Jalal al-Alam dalam kitabnya Dammirul Islam Wa Abiiduu Ahlahu, hlm. 48) Cerzon (Menlu Inggris saat itu) menyampaikan pidato di depan parlemen Inggris, ―Sesungguhnya kita telah menghancurkan Turki, sehingga Turki tidak akan dapat bangun lagi setelah itu… Sebab kita telah menghancurkan kekuatannya yang terwujud dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah.‖ Jadi terakhir kaum muslimin hidup dalam naungan Islam adalah di tahun 1924, tepatnya tanggal 3 Maret tatkala Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki alias Konstantinopel diruntuhkan oleh kaki tangan Inggris keturunan Yahudi, Musthafa Kemal Attaturk. Nah, dialah yang mengeluarkan perintah untuk mengusir Khalifah Abdul Majid bin Abdul Aziz, Khalifah (pemimpin) terakhir kaum muslimin ke Swiss, dengan cuma berbekal koper pakaian dan secuil uang. Sebelumnya Kemal mengumumkan bahwa Majelis Nasional Turki telah menyetujui penghapusan Khilafah. Sejak saat itulah sampai sekarang kita nggak punya lagi pemerintahan Islam. Akibatnya, umat Islam terkotak-kotak di berbagai negeri berdasarkan letak geografis yang beraneka ragam, yang sebagian besarnya berada di bawah kekuasaan musuh yang kafir: Inggris, Perancis, Italia, Belanda, dan Rusia. Di setiap negeri tersebut, kaum kafir telah mengangkat penguasa yang bersedia tunduk kepada mereka dari kalangan penduduk pribumi. Para penguasa ini adalah orang-orang yang mentaati perintah kaum kafir tersebut, dan mampu menjaga stabilitas negerinya. Kaum kafir segera mengganti undang-undang dan peraturan Islam yang diterapkan di tengahtengah rakyat dengan undang-undang dan peraturan kafir milik mereka. Kaum kafir segera mengubah kurikulum pendidikan untuk mencetak generasi-generasi baru yang mempercayai persepsi kehidupan menurut Barat, serta memusuhi akidah dan syariat Islam. Khilafah Islamiyah dihancurkan secara total, dan aktivitas untuk mengembalikan serta mendakwahkannya dianggap sebagai tindakan kriminal yang dapat dijatuhi sanksi oleh undang-undang. Harta kekayaan dan potensi alam milik kaum muslimin telah dirampok oleh penjajah kafir, yang telah mengeksploitasi kekayaan tersebut dengan cara yang seburuk-buruknya, dan telah menghinakan kaum muslimin dengan sehina-hinanya (Syaikh Abdurrahman Abdul Khalik, dalam kitabnya al-Muslimun Wal Amal as-Siyasi, hlm. 13) Beginilah kita sekarang sobat. Tapi jangan bersedih, sebab kita akan kembali mengagungkan kejayaan Islam itu. Yakinlah, kita masih bisa merebutnya, meski dengan nyawa sebagai tebusannya. Kita lahir ke dunia ini dengan berlumur darah, maka kenapa musti takut mati dengan berlumur darah. Syahid di medan tempur. e. Pandangan Islam terhadap IPTEK Ahmad Y Samantho dalam makalahnya di ICAS Jakarta (2004): mengatakan bahwa kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh peradaban Barat satu abad terakhir ini, mencegangkan banyak orang di pelbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan Iptek modern tersebut membuat banyak orang lalu mengagumi dan meniru-niru gaya hidup peradaban Barat tanpa dibarengi sikap kritis terhadap segala dampak negatif dan krisis multidimensional yang diakibatkannya. Peradaban Barat moderen dan postmodern saat ini memang memperlihatkan kemajuan dan kebaikan kesejahteraan material yang seolah menjanjikan kebahagian hidup bagi umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut tidak seimbang, pincang, lebih mementingkan kesejahteraan material bagi sebagian individu dan sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8) saja dengan mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam negara lain dan orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan militernya, maka kemajuan di Barat melahirkan penderitaan kolonialisme-imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur & Selatan. Kemajuan Iptek di Barat, yang didominasi oleh pandangan dunia dan paradigma sains (Iptek) yang positivistik-empirik sebagai anak kandung filsafat-ideologi materialisme-sekuler, pada akhirnya juga telah melahirkan penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak manusia baik di Barat maupun di Timur. Krisis multidimensional terjadi akibat perkembangan Iptek yang lepas dari kendali nilai-nilai moral Ketuhanan dan agama. Krisis ekologis, misalnya: berbagai bencana alam: tsunami, gempa dan kacaunya iklim dan cuaca dunia akibat pemanasan global yang disebabkan tingginya polusi industri di negara-negara maju; Kehancuran ekosistem laut dan keracunan pada penduduk pantai akibat polusi yang diihasilkan oleh pertambangan mineral emas, perak dan tembaga, seperti yang terjadi di Buyat, Sulawesi Utara dan di Freeport Papua, Minamata Jepang. Kebocoran reaktor Nuklir di Chernobil, Rusia, dan di India, dll. Krisis Ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin, terjadi akibat ketidakadilan dan ‘penjajahan‘ (neoimperialisme) oleh negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, saat ini pada umumnya adalah negaranegara berkembang atau negara terkebelakang, yang lemah secara ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan sains-teknologi. Karena nyatanya saudarasaudara Muslim kita itu banyak yang masih bodoh dan lemah, maka mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara Barat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis (‘matre‘) dan sekular (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan teknologi informasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa Muslim. Kenyataan memprihatikan ini sangat ironis. Umat Islam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah dan peradaban dan Iptek Islam yang jaya di masa lalu, justru kini terpuruk di negerinya sendiri, yang sebenarnya kaya sumber daya alamnya, namun miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan dan Ipteknya). Ketidakadilan global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 20 % penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara 80% penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisa makanan pesta pora bangsa-bangsa negara maju. Ironis bahwa Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam minyak dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaan BBM. Ironis bahwa di tengah keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan tembaga serta kayu hasil hutan yang ada di Indonesia, kita justru mengalami kesulitan dan krisis ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakit akibat kemiskinan rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang Allah berikan kepada tanah air dan bangsa Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara penghutang terbesar dan terkorup di dunia? Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknya menjadi cambuk bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk gigih memperjuangkan kemandirian politik, ekonomi dan moral bangsa dan umat. Kemandirian itu tidak bisa lain kecuali dengan pembinaan mental-karakter dan moral (akhlak) bangsa-bangsa Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi keimanan-taqwa kepada Allah SWT. Serta melawan pengaruh buruk budaya sampah dari Barat yang Sekular, Matre dan hedonis (mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu). Akhlak yang baik muncul dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT hanya akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan Allah SWT dan terhadap alam semesta sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan Keagungan-Nya. Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang ‘matre‘ dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengembang amanat Khalifatullah (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur‘an yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat: ―Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ―Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.‖ (QS Ali Imron [3] : 190-191) ―Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.‖ (QS. Mujadillah [58] : 11 ) Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal) Ke-MahaKuasa-an dan Keagungan Allah SWT. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmited knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur‘an), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif. Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ‘ilmu pengetahuan‘ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut. Karena alam semesta –yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan–, dan ayat-ayat suci Tuhan (AlQur‘an) dan Sunnah Rasulullah SAAW — yang dipelajari melalui agama– , adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah SWT, maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta. f. Keutamaan Mukmin yang berilmu Keutamaan orang-orang yang berilmu dan beriman sekaligus, diungkapkan Allah dalam ayatayat berikut: ―Katakanlah: ‗Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?‘ Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.‖ (QS. AzZumar [39] : 9). ―Allah berikan al-Hikmah (Ilmu pengetahuan, hukum, filsafat dan kearifan) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-Hikmah itu, benar-benar ia telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (berdzikir) dari firman-firman Allah.‖ (QS. Al-Baqoroh [2] : 269). ―… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan‖. (QS Mujaadilah [58] :11) Rasulullah SAW pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. ―Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.‖ (Al-Hadits Nabi SAW). ―Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.‖ (Al-Hadits Nabi SAW). Mengapa kita harus menguasai IPTEK? Terdapat tiga alasan pokok, yakni: 1. Ilmu pengetahuan yg berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara barat. Ini fakta, tdk bisa dipungkiri. 2. Negara-negara barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara Islam. Ini fakta yang tak dapat dipungkiri. 3. Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya, misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk sendiri, ramai sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri. Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur‘an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa ―serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia‖, dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam. Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar ―kedudukan kaum Muslim di Eropa‖ dan ―dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim.‖ Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul ―Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa‖ membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja. g. Dampak Kemajuan Islam di bidang IPTEK 1) Gereja Katolik dan Perkembangan Islam Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar Gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar. (1) Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. (2)Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa. Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas. (3) Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam. h. Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa. Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (10951291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun. i. Bersatu pada Pijakan Bersama: ―Monoteisme‖ Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialogdialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur‘an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama: Katakanlah: ―Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ―Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).‖ (QS. Ali ‗Imran, 3: 64) Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an. j. Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur‘an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur‘an 14 abad yang lalu: Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orangorang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur‘an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33) Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur‘an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut: Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah) … Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437) Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan … (Sunan Ibnu Majah) Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud) Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23) Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur‘an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia. Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Negara Iran dan Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur‘an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini. k. Kekuatan Iptek Hampir menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek merupakan dasar dan pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa itu terhadap Iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan mengembangkan Iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.(2) Diakui bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan ―berkah‖ dan anugrah yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan ―petaka‖ yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan uamt manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.(3) Di Eropa, sejak abad pertengahan, timbul konflik antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (gereja). Dalam konflik ini sains keluar sebagai pemenang, dan sejak itu sains melepaskan diri dari kontrol dan pengaruh agama, serta membangun wilayahnya sendiri secara otonom.(4) Dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat , terutama sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi ―agama baru‖ atau ―agama palsu‖(Pseudo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat, timbul mazhab baru yang dinamakan ―saintisme‖ dalam arti bahwa sains telah menjadi isme, ideologi bahkan agama baru.(5) Namun sejak pertengahan abad XX, terutama seteleh terjadi penyalahgunaan iptek dalam perang dunia I dan perang dunia II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya integrasi ilmu dan agama, iptek dan imtak. Pembicaraan tentang iptek mulai dikaitkan dengan moral dan agama hingga sekarang (ingat kasus kloning misalnya). Dalam kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral (agama) di harapkan bukan hanya pada aspek penggunaannya saja (aksiologi), tapi juga pada pilihan objek (ontologi) dan metodologi (epistemologi)-nya sekaligus. Di negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini sudah lama digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya. Kekhwatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak dilakukan justru oleh orangorang yang secara akademik sangat terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan nasional kita. Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena empat alasan. Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, tanpa asas imtak, iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi. (6) Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita. (7) Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani), tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat. (8) Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu (Q.S. AnNur:39). Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do‘a yang setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah :201). l. Menuju Integrasi Imtak dan Iptek Untuk membangun sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu : 1) Filsafat dan orintasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia), 2) Tujuan Pendidikan 3) Filsafat ilmu pengetahuan (Episemologi), dan 4) Pendekatan dan metode pembelajaran. Dalam filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan semacam ini mengandung banyak kelemahan. Selain dapat timbul degradasi (penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami sebagai transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh satu aspek saja, aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata dengan mengabaikan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) peserta didik. Dengan filosofi seperti itu, peserta didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya sebagai wahana pemberdayaan manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia dalam arti yang sebenar-benarnya. Berbicara filsafat pendidikan, mau tidak mau, kita harus membicarakan pula tentang filsafat manusia. Soalnya, proses pendidikan itu dilakukan oleh manusia dan untuk manusia pula. Pendeknya, pendidikan melibatkan manusia baik sebagai subjek maupun objek sekaligus. Tanpa mengenal siapa manusia itu sebenarnya, proses pendidikan, akan selalu menemui kegagalan seperti yang selama ini terjadi. Manusia, dalam pandangan Islam, adalah puncak dari ciptaan tuhan (Q.S. At-Thiin : 4), mahluk yang dimuliakan oleh Allah dan dilebihkan dibanding mahluk lain (Q.S. Al-Isra : 70), merupakan mahluk yang dipercaya oleh Tuhan sebagai Khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah : 30, Shad :36), manusia dibekali oleh Allah potensi-potensi baik berupa panca indera, akal pikiran (rasio), hati (Qalb), dan sanubari (Q.S. As-Sajadh : 9). Dengan demikian, manusia adalah mahluk rasional dan emosional, makhluk jasmani dan rohani sekaligus. Bertolak dari filsafat manusia ini, maka pendidikan tidak lain harus dipahami sebagai ikhtiar manusia yang dilakukan secara sadar untuk menumbuhkan potensi-potensi baik yang dimiliki manusia sehingga ia mampu dan sanggup mempertanggung jawabkan eksistensi dan kehadirannya di muka bumi. Dalam perspektif ini, adalah pendidikan manusia seutuhnya, dan harus diarahkan pada pembentukan kesadaran dan kepribadian manusia. Disinilah, nilai-nilai budaya dan agama, imtak dan akhlaqul al-Karimah, dapat ditanamkan, sehingga pendidikan, selain berisi transfer ilmu, juga bermakna transformasi nilai-nilai budaya dan agama (imtak). Lalu, apa tujuan pendidikan itu? Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan tidak berbeda dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu beribadah kepada Allah SWT (Q.S. Al-Dzariyat: 56). Dengan kata lain, pendidikan harus menciptakan pribadi-pribadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT yang dapat mengantar manusia meraih kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam berorientasi pada penciptaan ilmuwan (ulama) yang takut bercampur kagum kepada kebesaran Allah SWT (Q.S. Fathir : 28), dan berorientasi pada penciptaan intelektual dengan kualifikasi sebagai Ulul Albab yang dapat mengembangkan kualitas pikir dan kualitas dzikir (imtaq dan iptek) sekaligus (Q.S. Ali Imran : 191-193). Proses integrasi imtak dan iptek, seperti telah disinggung di muka, pada hemat saya, harus pula dilakukan dalam tataran atau ranah metafisika keilmuan, khususnya menyangkut ontologi dan epistemologi ilmu. Ontologi ilmu menjelaskan apa saja realitas yang dapat diketahui manusia, sedang epiremologi menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan itu dan dari mana sumbernya.(9) Dikotomi keilmuan yang terjadi selama ini sesungguhnya bermula dari sini. Untuk itu integrasi imtak dan iptek, harus pula dimulai dari sini. Ini berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan imtak dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah SWT seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer semacam Ismail Raji al-Faruqi, Prof. Naquib al Attas, Sayyed Hossein Nasr, dan belakangan Osman Bakar. (10) Selain pada pada aspek filsafat, orientasi, tujuan, dan epistemologi pendidikan seperti telah diuraikan di atas, integrasi imtak dan iptek itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan imtak pada akhirnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam disemua jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik, integralistik dan fungsional. Dengan pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam dan Ihsan, atau pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya melahirkan dan memparkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya ―berilmu amaliah dan beramal ilmiah‖. Integrasi ilmu dan amal, imtak dan iptek haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan islam. (11) Dengan pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini berarti, belajar sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari belajar agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan (Al -Quran), sama dan tidak berbeda dengan belajar agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang selama ini hanya diberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum ilmuan (Saintis) dan intelektual. Dengan secara fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam dan kaum muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan umat manusia yang seluasluasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Semetara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan kecerdasan peserta didik demata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan keteladanan prilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman praksis (al aql al amali). Pemikiran teoritis bertugas mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran yang ditemukan itu dalam kehidupan nyata sehingga tugas dan kerja intelektual pada hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam paradigma ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai. Pengembangan iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai imtak), sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra‘ bismi rabbik. Ini berarti pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari imtak. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Dalam perspektif ini, maka pengembangan pendidikan bermajna dakwah dalam arti yang sebenar-benarnya m. Penyikapan terhadap Perkembangan IPTEK Setiap manusia diberikan hidayah dari Allah SWT berupa ―alat‖ untuk mencapai dan membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk menangkap kebenaran fisik, (2) naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup manusia secara probadi maupun sosial, (3) pikiran dan atau kemampuan rasional yang mampu mengembangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan biasa, ilmiah dan filsafi). Akal juga merupakan penghantar untuk menuju kebenaran tertinggi, (4) imajinasi, daya khayal yang mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan pengetahuannya, (5) hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk dapat menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk yang harus bermoral. Dalam menghadapi perkembangan budaya manusia dengan perkembangan IPTEK yang sangat pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut Mehdi Ghulsyani (1995), dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan muslim dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok; (1) Kelompok yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Qur‘an yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan berusaha membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi yang mengintrodusir istilah ―islamisasi ilmu pengetahuan‖. Dalam konsep Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan ―jalan‖ untuk menemukan kebenaran Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang dikembangkan dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritialitas, martabat manusia secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia ketingkat yang lebih rendah martabatnya. Dari uraian di atas ―hakekat‖ penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT. Kebenaran IPTEK menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri. IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuantujuannya (yang baik), (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas. n. Keselarasan IMTAQ dan IPTEK ―Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu‖ (Al-Hadist). Perubahan lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia. Di sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini menuntut perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang kerap bersentuhan langsung dengan siswa. Dari sisi positif, perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan. Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu. Don Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan survei terhadap para remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri itu, para remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak terbatas. Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga inovatif, bersikap lebih dewasa, investigative arahnya pada how use something as good as possible bukan how does it work. Mereka pemikir cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama pada informasi palsu, serta cek ricek menjadi keharusan bagi mereka. Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di akhirat. Jika hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa depannya serta memperburuk citra kepelajarannya. Amatilah pesta tahunan pasca ujian nasional, yang kerap dipertontonkan secara vulgar oleh sebagian para pelajar. Itulah salah satu contoh potret buram kondisi sebagian komunitas pelajar kita saat ini. Untuk itu, komponen penting yang terlibat dalam pembinaan keimanan dan ketakwaan (imtak) serta akhlak siswa di sekolah adalah guru. Kendati faktor lain ikut mempengaruhi, tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor paling dominan. Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh kuat pada pembentukan karakter siswa. Kepada guru harapan tercapainya tujuan pendidikan nasional disandarkan. Ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Intinya, para pelajar kita disiapkan agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Sekaligus jadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan intelektual dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara dikhotomis. Namun praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya bertumpu pada peran guru agama. Ini dirasakan cukup berat, sehingga pengembangan kedua aspek itu tidak berproses secara simultan. Upaya melibatkan semua guru mata ajar agar menyisipkan unsur keimanan dan ketakwaan (imtak) pada setiap pokok bahasan yang diajarkan, sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama. Survei membuktikan, mengintegrasikan unsur ‗imtaq‘ pada mata ajar selain pendidikan agama adalah sesuatu yang mungkin. Namun dalam praktiknya, target kurikulum yang menjadi beban setiap guru yang harus tuntas serta pemahaman yang berbeda dalam menyikapi muatan-muatan imtaq yang harus disampaikan, menyebabkan keinginan menyisipkan unsur imtak menjadi terabaikan. Memang tak ada sanksi apapun jika seorang guru selain guru agama tidak menyisipkan unsur imtaq pada pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Jujur saja guru umumnya takut salah jika berbicara masalah agama, mereka mencari aman hanya mengajarkan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sesungguhnya ia bukan sekadar tanggung jawab guru agama, tapi tanggung jawab semuanya. Dalam kacamata Islam, kewajiban menyampaikan kebenaran agama kewajiban setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. o. Islamimisasi IPTEK Sains adalah sarana pemecahan masalah mendasar setiap peradaban. Ia adalah ungkapan fisik dari world view di mana dia dilahirkan. Maka kita bisa memahami mengapa di Jepang yang kabarnya sangat menghargai nilai waktu demikian pesat berkembang budaya ―pachinko‖ dan game. Tentu disebabkan mereka tak beriman akan kehidupan setelah mati, dan tak mempunyai batasan tentang hiburan. Kini ummat Islam hanya sebagai konsumen sains yang ada sekarang. Kalaupun mereka ikut berperan di dalamnya, maka – secara umum — mereka tetap di bawah kendali pencetus sains tersebut. Ilmuwan-ilmuwan muslim masih sulit menghasilkan teknologi-teknologi eksak — apalagi non-eksak — untuk menopang kepentingan khusus ummat Islam. Dunia Islam mulai bangkit (kembali) memikirkan kedudukan sains dalam Islam pada dekade 70an. Pada 1976 dilangsungkan seminar internasional pendidikan Islam di Jedah. Dan semakin ramai diseminarkan di tahun 80-an. Secara umum, dikenal 4 kategori pendekatan sains Islam: 1. I‘jazul Qur‘an (mukjizat al-Qur‘an). I‘jazul Qur‘an dipelopori Maurice Bucaille yang sempat ―boom‖ dengan bukunya ―La Bible, le Coran et la Science‖ (edisi Indonesia: ―Bibel, Qur‘an dan Sains Modern―). Pendekatannya adalah mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Qur‘an. Hal ini kemudian banyak dikritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap Qur‘an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Qur‘an juga bisa berubah. 2. Islamization Disciplines. Yakni membandingkan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Penggagas utamanya Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan. Rencana Islamisasi pengetahuan al-Faruqi bertujuan: 1. Penguasaan disiplin ilmu modern. 2. Penguaasaan warisan Islam. 3. Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern. 4. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya). 5. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah. 6. Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam. 3 Membangun sains pada pemerintahan Islami. Ide ini terutama pada proses pemanfaatan sains. ―Dalam lingkungan Islam pastilah sains tunduk pada tujuan mulia.‖ Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok ini. 4. Menggali epistimologi1 sains Islam (murni). Epistimologi sains Islam murni digali dari pandangan dunia dunia Islam, dan dari sinilah dibangun teknologi dan peradaban Islam. Dipelopori oleh Ziauddin Sardar, dalam bukunya: ―Islamic Futures: ―The Shape of Ideas to Come‖‖ (1985), edisi Indonesia: ―Masa Depan Islam‖, Pustaka, 1987). Sardar mengkritik ide Al-Faruqi dengan pemikiran: 1. Karena sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan politik yang menguasai dunia. 2. Tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak: ―psikologi‖, ―sosiologi‖, dan ilmu politik. 3. Menerima bagian-bagian disipliner pengetahuan yang dilahirkan dari epistimologi Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada peradaban Barat. 1Epistimologi: teori pengetahuan, titik dari setiap pandangan dunia. Pokok pertanyaannya: ―Apa yang dapat diketahui dan bagaimana kita mengetahuinya. Penemuan kembali sifat dan gaya sains Islam di zaman sekarang merupakan salah satu tantangan paling menarik dan penting, karena kemunculan peradaban muslim yang mandiri di masa akan datang tergantung pada cara masyarakat muslim masa kini menangani hal ini. Dalam seminar tentang ―Pengetahuan dan Nilai-Nilai‖ di Stocholm, 1981, dengan bantuan International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS), dikemukakan 10 konsep Islam yang diharapkan dapat dipakai dalam meneliti sains modern dalam rangka membentuk cita-cita Muslim. Kesepuluh konsep ini adalah: Paradigma Dasar: (1) tauhid — meyakini hanya ada 1 Tuhan, dan kebenaran itu dari-Nya. (2) khilafah — kami berada di bumi sebagai wakil Allah — segalanya sesuai keinginan-Nya. (3)`ibadah (pemujaan) — keseluruhan hidup manusia harus selaras dengan ridha Allah, tidak serupa kaum Syu‘aib yang memelopori akar sekularisme: ―Apa hubungan sholat dan berat timbangan (dalam dagang)‖. Sarana: (4) `ilm — tidak menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat material, tapi juga metafisme, semisal diuraikan Yusuf Qardhawi dalam ―Sunnah dan Ilmu Pengetahuan‖. Penuntun: (5) halal (diizinkan). (6)`adl (keadilan) — semua sains bisa berpijak pada nilai ini: janganlah kebenciankamu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah 5 : 8). Keadilan yang menebarkan rahmatan lil alamin, termasuk kepada hewan, misalnya: menajamkan pisau sembelihan. (7) istishlah (kepentingan umum). Pembatas: (8) haram (dilarang). (9) zhulm (melampaui batas). (10) dziya‘ (pemborosan) — ―Janganlah boros, meskipun berwudhu dengan air laut‖. Dalam membangun dan mengejar perbaikan iptek dunia Islam, Sardar mengajukan 2 pemikiran dasar: 1. Menganalisa kebutuhan sosial masyarakat muslim sendiri, dan dari sinilah dirancang teknologi yang sesuai. 2. Teknologi ini dikembangkan dalam kerangka pandangan-dunia muslim. Kenyataannya, sangat tidak mudah bekerja di luar paradigma yang dominan, lantaran kita masih terikat dan terdikte dengan disiplin-disiplin ilmu yang dicetuskan dari, oleh dan untuk Barat. Namun paling tidak ada dua agenda praktis yang dapat dijadikan landasan: jangka pendek: membekali ilmuwan Islam dengan syakhshiyah Islamiyah, dan jangka panjang: perumusan kurikulum pendidikan Islam yang holistik. Program perumusan kurikulum pendidikan Islam ini sudah mulai terlihat bentuknya di Indonesia, dengan lahirnya banyak sekolah sekolah Islam. Secara umum garis besarnya berlandaskan: SD: habitual; SMP: habitual dengan konsep; SMU: habitual dengan konsep dan ideologi. Diharapkan, anak anak yang dididik di sini, pada saat memasuki universitas, sudah siap bertarung secara ideologi. Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Keberadaban Islam Islam merupakan agama yang punya perhatian besar kepada ilmu pengetahuan. Islam sangat menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman, Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah pengajar (‗Allamahu al-Bayan) bagi umat Islam. Dalam agama-agama lain selain Islam kita tidak akan menemukan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk belajar. Kita tahu bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah Surat Al-‗Alaq yang memerintahan kita untuk membaca dan belajar. Allah mengajarkan kita dengan qalam – yang sering kita artikan dengan pena. Akan tetapi sebenarnya kata qalam juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata Qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam. Dalam surat Al‗Alaq, Allah Swt memerintahkan kita agar menerangkan ilmu. Setelah itu kewajiban kedua adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi berikutnya. Dalam hal pendidikan, ada dua kesimpulan yang dapat kita ambil dari firman Allah Swt tersebut; yaitu Pertama, kita belajar dan mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Kedua, berkenaan dengan penelitian yang dalam ayat tersebut digunakan kata qalam yang dapat kita artikan sebagai alat untuk mencatat dan meneliti yang nantinya akan menjadi warisan kita kepada generasi berikutnya. Dalam ajaran Islam – baik dalam ayat Qur‘an maupun hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling tinggi nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan sifat Allah Swt adalah Dia memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seorang penyair besar Islam mengungkapkan bahwa kekuatan suatu bangsa berada pada ilmu. Saat ini kekuatan tidak bertumpu pada kekuatan fisik dan harta, tetapi kekuatan dalam hal ilmu pengetahuan. Orang yang tinggi di hadapan Allah Swt adalah mereka yang berilmu. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw menganjurkan kita untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Tidak ada Nabi lain yang begitu besar perhatian dan penekanannya pada kewajiban menuntut ilmu sedetail nabi Muhammad Saw. Maka bukan hal yang asing jika waktu itu kita mendengar bahwa Islam memegang peradaban penting dalam ilmu pengetahuan. Semua cabang ilmu pengetahuan waktu itu didominasi oleh Islam yang dibangun oleh para ilmuwan Islam pada zaman itu yang berawal dari kota Madinah, Spanyol, Cordova dan negara-negara lainnya. Itulah zaman yang kita kenal dengan zaman keemasan Islam, walaupun setelah itu Islam mengalami kemunduran. Di zaman itu, di mana negara-negara di Eropa belum ada yang membangun perguruan tinggi, negara-negara Islam telah banyak membangun pusat-pusat studi pengetahun. Sekarang tugas kita untuk mengembalikan masa kejayaan Islam seperti dulu melalui berbagai lembaga keilmuan yang ada di negara-negara Islam. Saya cukup apresiatif dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Hal itu juga yang kami lakukan di negara kami, Iran. Sehingga generasi Islam mendatang pada masa yang sama, mereka ahli dalam ilmu pengatahuan dan ahli dalam bidang agama. Dalam Al-Qur‘an sudah dijelaskan bahwa orang yang mulia di sisi Allah hanya karena dua hal; karena imannya dan karena ketinggian ilmunya. Bukan karena jabatan atau hartanya. Karena itu dapat kita ambil kesimpulan bawa ilmu pengetahuan harus disandingkan dengan iman. Tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan iman akan menghasilkan peradaban yang baik yang disebut dengan Al-Madinah al-Fadhilah. Dalam menuntut ilmu tidak mengenal waktu, dan juga tidak mengenal gender. Pria dan wanita punya kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Sehingga setiap orang baik pria maupun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita sehingga potensi itu berkembang dan sampai kepada kesempurnaan yang diharapkan. Karena itulah, agama menganggap bahwa menuntut ilmu itu termasuk bagian dari ibadah. Ibadah tidak terbatas kepada masalah shalat, puasa, haji, dan zakat. Bahkan menuntut ilmu itu dianggap sebagai ibadah yang utama, karena dengan ilmulah kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah yang lainnya dengan benar. Imam Ja‘far As-Shadiq pernah berkata: ―Aku sangat senang dan sangat ingin agar orang-orang yang dekat denganku dan mencintaiku, mereka dapat belajar agama, dan supaya ada di atas kepala mereka cambuk yang siap mencambuknya ketika ia bermalas-malasan untuk menuntut ilmu agama‖. Alhamdulillah saya melihat di negara Indonesia kaum pria dan wanita punya kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu. Itu semua karena ajaran agama Islam yang menekankan kewajiban menuntut ilmu tanpa mengenal gender. Karena menuntut ilmu sangat bermanfaat dan setiap ilmu pasti bemanfaat. Kalau kita dapati ilmu yang tidak bermanfaat, hal itu karena faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Sedangkan ilmu itu sendiri pasti sesuatu yang bermanfaat. 3. Penutup Kejayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang luar biasa. Bahkan Eropa pun seolah-olah tidak berdaya menghadapi kemajuan Islam terutama di bidang IPTEK. Walaupun pada akhirnya kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah telah berakhir dan hanya menjadi kenagngan manis belaka kita sebagai generasi penerus harus senantiasa berusaha untuk menjadi generasi yang pantang menyerah apalagi di zaman serba modern ini kemajuan IPTEK semakin sulit untuk dibendung. Kemajuan IPTEK merupakan tantangan yang besar bagi kita. Apakah kita sanggup atau tidak menghadapi tantangan ini tergantung pada kesiapan pribadi masing-masing . Diantara penyikapan terhadap kemajuan IPTEK masa terdapat tiga kelompok yaitu: (1) Kelompok yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasilhasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Qur‘an yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan berusaha membangunnya. Daftar Pustaka Farhana.Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah;Kebangkitan dan Kemajuan. Media ilmu. Agar Umat Islam Mandiri.http://hidayatulloh.com Samantho, Y.Ahmad.IPTEK dari Sudut Pandang Islam.http://ahmadsamantho.wordpress.com Solihin, O.Sejarah Kejayaan Islam.www.gaulislam.com Sa‘aduddin, Nadri.Proletar : Masa Kejayaan Islam Pertama.http://www.mail-archive.com Taher, Tarmizi.Ummatan Wasathan.www.republika.co.id Yahya, Harun.Islam : Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa.www.harunyahya.com Mustafawi, Prof.Dr. Ayatulloh Sayyid Hasan Sadat.Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Keberadaan Islam.www.umj.ac.id Hafidz.Kegemilangan IPTEK di Masa Khilafah Abbasiyah.http://sobatmuda.multiply.com Uli dan Rio L.Dulu Islam Pernah Berjaya.www.swaramuslim.net Dinamika Madinatus Salam.www.republika.co.id Share this: Dari sekian banyak pemikir muslim nampaknya Ibnu Khaldun menjadi pelopor bagi perkembangan ilmu sejarah baik dari segi metode ataupun kritiknya terhadap karya-karya sejarah sebelumnya. Sejarah sebagai suatu disiplin ilmu menjadi nampak berkembang berkat jasa Ibnu Khaldun. Hal tersebut berimplikasi khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan keislaman dan juga umumnya merupakan sumbangsih keilmuan secara luas. Karena diakui atau tidak karya-karya Ibnu Khaldun dijadikan rujukan oleh para ilmuan barat (orientalis). Semisal sejarawan Arnold Toynbee, yang menyatakan bahwa ―Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah yang menguraikan tentang sejarah umum, telah menciptakan dan menyusun filsafat sejarah yang tidak syak lagi merupakan hasil karya terbesar dalam ilmu yang pernah diciptakan oleh otak manusia dalam ruang dan waktu manapun‖[1]. Asumsi yang melekang kuat dalam benak masyarakat muslim selama berabad-abad adalah selepas runtuhnya Baghdad karena serangan bangsa Mongol, peradaban Islam menjadi mundur dan hancur. Peradaban Islam, baik di Timur maupun Barat, bergerak turun menuju titik nadir. Cerita kegemilangan dan optimisme sarjana raksasa Islam Klasik menguap. Berganti menjadi pesimisme dan glorifikasi atas tradisi dan warisan masa silam. Inovasi adalah sebuah kelangkaan. Sementara ketundukan dan kepasrahan adalah sikap yang dominan. Banyak sejarawan sepakat dengan asumsi di atas. Bagi mereka, pasca keruntuhan Baghdad, peradaban Islam telah bangkrut dan gulung tikar. Yang tampil ke permukaan adalah sekadar pengulangan; tanpa berhasil menjelitkan nuansa baru. Budaya komentar (syarh), penjelasan (hasyiyah), ringkasan (talkhis) dan membuat syair (nudhum) adalah lebih dari sekadar bukti untuk meneguhkan tesis kemunduran dan kebangkrutan peradaban Islam. Figur-figur brilian semodel Ibn Rushd yang mencoba mensinergikan antara syariat dengan filsafat, al-Farabi yang menggagas konsep ―al-Madinah al-Fadhilah‖ dan Ibn Arabi dengan tawaran Wihdat al-Adyan-nya merupakan figur yang hampir mustahil terlahir kembali. Mayoritas para sarjana Islam Klasik sesudah mereka yang hidup pasca keruntuhan Baghdad memilih taklid (budaya epigonisme) dalam segala bidang sebagai corak dinamika intelektual. Sebuah genre yang bertolak belakang dengan style dinamika intelektual pra keruntuhan Baghdad[2]. Sesungguhnya, opini di atas tidaklah sepenuhnya tepat. Bahwa peradaban Islam selepas jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol tak berdaya, benar adanya. Namun, ia tak benar-benar mati. Beberapa sarjana besar juga terlahir dalam masa kegelapan Islam. Mereka tidak hanya mengekor. Mereka justru kelak menjadi sarjana besar karena inovasi-inovasi dan langkahlangkah intelektualnya yang begitu meraksasa. Teori-teori ilmiah mereka bahkan tetap eksis hingga masa sekarang. Salah satunya ialah Ibnu Khaldun yang memberikan sumbangsih keilmuan di bidang ilmu sejarah, sosiologi, politik, bahkan juga ilmu ekonomi. Maka dari itu penulis akan sedikit menguraikan perihal metode penulisan sejarah Ibnu Khaldun dalam tulisan ini. Bagaimana Ibnu Khaldun menguraikan metode penulisan sejarah yang berisikan kritikan-kritikan terhadap para sejarahwan sebelumnya yang kemudian terangkum dalam filsafat sejarahnya yang tidak diragukan lagi merupakan gagasan yang sangat brilian di bidang ilmu sejarah dan sosiologi. PEMBAHASAN Biografi Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 Hijrah bersamaan dengan tanggal 27 Mei 1332 Masehi. Dengan nama lengkap ‗Abd ar-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadhrami atau Abu Zaid ‗Abd ar-Rahman ibn Khaldun[3]. Beliau dilahirkan dari keluarga yang berasal dari Sevilla, Spanyol. Ketika beranjak remaja, beliau belajar al-Qur‘an dari kedua orang tuanya, para ilmuwan dan sejarawan Tunisia dan Spanyol. Pada tahun 1375 M, Beliau berhijrah ke Granada untuk mengasingkan diri dari kondisi Tunisia yang mulai ricuh akan perebutan kekuasaan. Ternyata kondisi perpolitikan Granada juga sedang memanas, maka beliau akhirnya memutuskan untuk pergi ke Aljazair (Semenanjung Arab). Di Aljazair, beliau menetap di kampung kecil bernama Qal‘at Ibnu Salamah sebuah wilayah antara Fez dan Tunis. Disana waktunya dihabiskan mempelajari ilmu pengetahuan dan menulis buku. Dari tempat itu pula, terbitlah beberapa buku tulisan Ibnu Khaldun yang luar biasa. Seperti Kitab al-‘Ibar[4]. Kitab ini mengandungi enam jilid dan yang paling terkenal, ialah kitab Mukaddimah. Kitab ini pula yang menjadi rujukan umat Islam dalam bidang sosial, ekonomi, sejarah, filsafat dan tata pemerintahan. Kitab Mukaddimah menerangkan dengan jelas mengenai perubahan sosial dalam sebuah masyarakat, rangkuman sejarah umat-umat terdahulu, proses pembentukan Negara, serta proses pembentukan tata niaga industri dan pertanian. Akibat karya-karyanya yang termahsyur inilah, beliau kemudian dikenal sebagai ―Prolegomena: oleh para ilmuwan barat yang artinya Ilmuwan yang mengenalkan berbagai ilmu mengenai kehidupan manusia (sebuah pondasi awal berdirinya ilmu sosiologi modern). Namun meskipun Ibnu Khaldun banyak diperbincangkan sebagai penggagas berdirinya sosiologi tinimbang Ibnu Khaldun sebagai pengasas perkembangan filsafat sejarah, hal ini dikarenakan pengkajian terhadap karya-karya Ibnu Khaldun terjadi pada penggal pertama abad ke-20, dan ketika itu sosiologi termasuk ilmu pengetahuan baru . terlebih lagi karena pada waktu itu belum banyak yang mengkaji metoda-metoda penelitian sosiologi yang baru dan tentunya disamping Mukaddimah membahas filsafat sejarah, didalamnya pun tercantum substansi sosiologi[5]. Kebijaksanaan Ibnu Khaldun dalam menuangkan pikirannya ke dalam tulisan membuat Sultan Mesir, Sultan Burquq mengangkatnya sebagai Kadi (Hakim Tinggi Negara). Dan beliau mendapat gelar ―Waliyudin‖. Sebagai Hakim Negara Mesir, beliau merupakan penasehat sultan dalam berbagai bidang. Belaiu memberikan terobosan-terobosan penting mengenai pembelajarn sejarah, tata kelola pemerintahan kerajaan, pemberdayaan ekonomi, ilmu-ilmu alam (fisika dan kimia) serta memberikan konsepsi besar akan sebuah pemerintahan yang ideal. Beliau beranggapan bahwa tugas Negara (kerajaan) adalah mensejahterakan rakyatnya. Negara bukan sebagai lintah penghisap yang terus-terusan menghisap harta rakyatnya melalui pajak dan retribusi. Beliau mendorong agar kerajaan melakukan perdagangan bebas dengan Negara lain agar mendapatkan devisa. Beliau juga menganjurkan agar masyarakat bisa dikelola dengan baik oleh Negara agar timbul hubungan timbal-balik yang menguntungkan. Dr. Zainab al-Khudhairi meringkas kehidupan Ibnu Khaldun ke dalam empat fase, hal ini dirasa penting karena banyak kritikan oleh para ahli sejarah masa kini tentang berbagai perjalanan, perantauan, dan kepribadian-kepribadian Ibnu Khaldun[6]. Fase-fase tersebut yakni: Pertama: fase studi hingga usia dua puluh tahun. Atau dari tahun 732 H sampai dengan 752 H, fase ini ai lalui di Tunis. Kedua: fase berkecimpung di dunia politik, fase ini berlangsung lebih dari dua puluh tahun yakni dari tahun 752 H sampai dengan 776 H. Ketiga: fase pemikiran dan kontemplasi di benteng sulaiman milik banu ‗Arif. Fase ini berlangsung selama empat tahun, yakni hingga akhir tahun 780 H. Keempat: fase bergerak di bidang pengajaran dan peradilan. Ketika berada di Tunisyakni pada tahun 780 H hingga 784 H ia hanya mengajar saja, sedangkan ketika Ibnu Khaldun menetap di Mesir ia melakukan keduanya. Fase ini berlangsung dari tahun 784 H hingga 806 H yakni ketika Ibnu Khaldun meninggal dunia. Dalam fase ini pula ia merevisi karyanya al-Ta‘rif (malah ada yang menyatakan bahwa karya itu ia susun semuanya di di Mesir), Mukaddimah, dan sebagian al-Ibar. Metode Sejarah Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah menyatakan bahwa: ―sejarah adalah salah satu disiplin ilmu yang dipelajari secara luas oleh bangsa-bangsa dan generasi-generasi. Pada permukaanya sejarah tidak lebih daripada sekadar keterangan tentang peristiwa-peristiwa politik, negara-negara, dan kejadian-kejadian-kejadian masa lampau. Ia tampil dengan berbagai bentuk ungkapan dan perumpamaan. Sedang pada hakikatnya terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa‖.[7] Dari kutipan di atas Ibnu Khaldun membagi pembabakan sejarah kedalam dua bentuk, yakni ilmu sejarah sebagai landasan lahiriahnya atau ―seni sejarah‖ dan sejarah sebagai hasil dari kontemplatif atau batiniah. Yang pertama adalah uraian tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa yang telah lampau dan perbincangan tentang bagaimana negara-negara tegak, berkembang dan kemudian mengalami kehancuran. Sedangkan yang kedua adalah salah satu cabang dari hikmah atau filsafat, sebab ia mengkaji berbagai sebab peristiwa dan hukum-hukum yang mengendalikannya.[8] Dalam bentuk yanng kedua tersebut Ibnu Khaldun menerapkan pengkajiannya atas sejarah dengan menggunakan pendekatan filsafat, ia menguraikan bagaimana sejarah sebagai suatu objek disusun berdasarkan asas-asas ilmu sejarah. Ia melakukan kajian terhadap karyakarya sejarah para sejarahwan sebelumnya, yang dengan sikap kritisnya ia banyak mendapatkan banyak kekeliruan dalam karya-karya tersebut. Menurut Ibnu Khaldun ada beberapa sebab yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam penulisan sejarah, diantaranya yakni[9]: Pertama: adanya sikap kepemihakan kepada suatu kepercayaan atau pendapat. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kejernihan pikiran seseorang yang menyebabkan kaburnya pengambilan sumber informasi tentang objek yang akan dituliskan. Denmgan kata lain kesalahan pertama dalam penulisan sejarah ialah kecenderungan orang untuk menerima begitu saja berita yang sesuai dengan pendapat atau kepercayuaannya tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Kedua: adanya kepercayaan yang berlebihan terhadap para penutur, padahal penutur apapun seharusnya bisa diterima apabila telah dilakukan ta’dil dan tajrih. Kesalahan yang di sebabkan kebanyakan para ahli sejarah ialah terlalu yakin terhadap para penutur, hal ini akan menyebabkan kefatalan dalam penulisan sejarah karena si penulis tidak hati-hati terhadap para pewarta[10]. Ketiga: ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Banyak para penulis sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena mereka tidak dapat memahami dari hakikat suatu peristiwa masa lalu. Dan juga karena mereka terlalu melajur persepsi mereka terhadap suatu peristiwa yang sebenarnya persepsi mereka keliru tentang hakikat sejarah tersebut. Keempat: kepercayaan yang salah terhadap kebenaran. Masudnya ialah si penulis sejarah terlalu memutlakkan kebenaran yang dituturkan oleh si penutur tanpa mengotak-atik lagi kebenaran tersebut. Kelima: ketidaksanggupan menempatkan dengan tepat suatu kejadian dalam hubungan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya, karena kabur dan rumitnya keadaan. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikan peristiwa itu. Si penulis sejarah harus lebih teliti lagi dalam meneliti asal usul suatu peristiwa sejarah karena ditakutkan adanya sebagian orang yang tidak bertanggung jawab berupaya memperdaya orang banyak dengan menciptakan beberapa peristiwa dan hal ini tentunya tidak benar. Keenam: keinginan umum untuk mengambil hati orang-orang yang berkedudukan tinggi (penguasa) dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyhuran, membujuk-bujuk, menganggap baik setiap perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka. Hal ini menyebabkan kesalahan yang membahayakan dalam penulisan sejarah, karena jika seorang sejarahwan melakukan tindakan ini maka hasil penulisannya hanyalah kebohongan belaka. Ketujuh: tidak mengetahui hukum-hukum watak dan perubahan masyarakat. Maksudnya ialah kebanyakan para ahli sejarah tidak memahami hukum-hukum perubahan pada masyarakat. Hal ini penting karena dalam penulisan suatu peristiwa sejarah perlu adanya pertimbangan konteks pada masanya sehingga akan memahami kemungkinan dan ketidakmungkinan yang mungkin terjadi. Menurut Ibnu Khaldun sebab ketujuh ini merupakan sebab paling penting karena merupakan awal dalam penulisan sejarah. Dari sebab-sebab di atas kita dapat memahami bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun merupakan sejumlah kritikan terhadap para pendahulunya yakni para ahli sejarah. Kemudian disamping hal itu ia juga membenahi metode-metode penelitian sejarah dalam suatu formulasi yang di kemudian hari dijadikan rujukan oleh para sejarahwan barat. Namun disamping metode-metode sejarah tersebut masih terdapat kekurangan dalam sebagian karya Ibnu Khaldun. Misalnya Ibnu Khaldun suka mengambil hati para pemegang kekuasaan guna memperoleh suatu jabatan atau previlise[11]. Hal ini cukup memberikan dampak terhadap penulisannya tentang sejarah karena ia menerima sumber berita yang tak mampu bertahan di hadapan kritik sosial. Seperti yang tertuang dalam mukaddimahnya, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa: ―Adapun cerita tentang kecanduan Harun ar-Rasyid terhadap khamr sama sekali tidak benar. Maha suci Allah, sungguh kami tidak mengetahuinya telah melakukan kejahatan yang demikian. Hal ini tidak cocok dengan kedudukan dan tugas ar-Rasyid melakukan kewajibankewajiban agama, dan keadilan dalam kedudukannya sebagai seorang khalifah at-Thabari dan sejarahwan lain menceritakan bahwa ar-Rasyid shalat nafilah (sunat) seratus rakaat setiap hari. Satu tahun dia berperang melawan orang-orang yang tidak beriman, dan setahun lagi melakukan ibadah haji‖[12]. Dari kutipan di tersebut jelas Ibnu Khaldun tidak konsisten dengan metode-metode yang telah ia kemukakan. Namun meskipun demikian hal tersebut menjadi semacam kewajaran karena Ibnu Khaldun adalah seorang pemuka jalan dalam perkembangan kemajuan ilmu sejarah, maka jika ia terbata-bata dalam menempuh jalannya (menerapkan metode-metode sejarah yang ia formulasikan) bisa kita maklumi karena lagi-lagi bagi seorang pemuka jalan tentunya hambatan dan rintangan bisa dikatakan lebih berat. Dan membincang sejarah kita bisa mengkacamatainya lewat dua perspektif yakni tinjauan analitik sejarah dan tinjauan kontemplatif sejarah atau tinjauan filosofis terhadap sejarah. SIMPULAN Sebentuk refleksi dari jari-jemari yang menari di atas mesin dengan berjajarnya hurufhuruf alfabet acak, segerombolan kata-kata yang membentuk frase, kemudian sederetan paragraf demi paragraf mengisi kekosongan layar sepuluh inci. Semuanya bersatupadu membentuk serangkaian makna yang tak perlu lagi diulang, karena kami yakin kalau pembaca yang budiman akan sedikit mengerti atau banyak mengenai tema-tema juga bahasannya. Setelah panjang lebar namun juga hanya semacam fragmen dari magnum opus-nya Ibnu Khaldun yakni Mukaddimah, kita bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa sejarah tidak melulu membicarakan masa lalu karena pada kenyataannya kita sekarang tidak bisa melepaskan diri untuk terjun bebas dari tautan sejarah, kita terikat dalam sekat-sekatnya untuk kemudian menjalani hari ini dan menggantungkan pengharapan di hari esok. Maka dari itu penulis jadi teringat penggalaan percakapan dari film V for Vendetta yakni, ―bukanlah pedangku yang membunuhmu, akan tetapi masa lalumu lah yang membunuhmu‖. Dari penggalan tersebut kita diingatkan agar jangan karam ke dalam masa yang telah lalu (sejarah), dengan terlalu romantis membicarakan masa lalu hingga kita lupa akan hari ini dan asa di hari esok pun sirna. Sepertinya penulis akan segera menghentikan jari-jemarinya yang menari untuk segera terpaku, karena nampaknya hanya sekian pengotak-atikan kata-kata yang berujung pada makna hasil tafsiran pembaca. BAHAN RUJUKAN Choirul Mahfud, 39 Sosiologi Politik Dunia: Dari Socrates Hingga Barrack Obama, (Surabaya: Jaring Pena, 2009). Dr. Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995). http://lakpesdam.numesir.com/ diakses pada tanggal 25/03/2012. Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, Ahmadie Thoha (penerj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000). Dr. Zainab al-Khudhairi, filsafat sejarah Ibnu Khaldun, ( Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), h. 7. [2] Lihat mawhiburrahman, Membumikan Gagasan Ibn Khaldun (Sebuah Pembacaan atas Konsep Sosiologi dan Filsafat Sejarah) dalam http://lakpesdam.numesir.com/ diakses pada tanggal 25/03/2012. [3] Choirul Mahfud, 39 tokoh sosiologi politik dunia, (Surabaya: Jaring Pena, 2009), h. 47. [1] lengkapnya adalah kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabarfi Ayyam al‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Zawi as-Sulthan al-Akbar. [5] Dr. Zainab al-Khudhairi, Op-cit, h. 3. [6] Dr. Zainab al-Khudhairi, Ibid, h. 20. [7]Ibnu Khaldun, muqaddimah, penerjemah Ahmadi thoha, (Jakarta: Pustaka firdaus, 2000) h. 3. [8] Dr. Zainab al-Khudhairi, Op-cit, h. 44. [9] Dr. Zainab al-Khudhairi, Ibid, 45-48. [10] Maksudnya ialah adakalanya para pewarta itu seorang pendusta dan suka mengada-ngada. [11] Dr. Zainab al-Khudhairi, Ibid, h. 53 [12] Ibnu Khaldun, Op-cit, h. 28. [4] Judul


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.