Diskriminasi Terhadap Kaum Tionghoa Di Indonesia Pada Periode Orde Baru

May 5, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Etnis Cina atau orang – orang Tionghoa merupakan salah satu bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mana WNI keturunan Tionghoa ini berasal dari negeri Cina yang mana gelombang migrasi orang-orang Tionghoa secara Individual dari daratan China tepatnya dari berbagai provinsi di sebelah tenggara Cina ke berbagai pelosok wilayah di seluruh Indonesia yang mana hal ini telah berlangsung lama dan terjadi dari sebelum kedatangan penjajah Belanda. Namun, di dalam keberadaannya di Indonesia WNI keturunan Tionghoa tidak memiliki nasib sebagus seperti rakyat Indonesia yang lainnya secara politis dan berkembangnya mitos di masyarakat bahwa kaum Tionghoa ini mendominasi perekonomian yang mengakibatkan adanya rasa kecemburuan yang sangat kuat di tengah – tengah masyarakat di masyarakat pribumi yang mengakibatkan munculnya rasa sentimen anti - Cina.Adapun etnis Cina di dalam sejarah kehidupannya selama di Indonesia selalu diwarnai dengan peristiwa kekerasan, dari diskriminasi sampai kekerasan fisik seperti perampokan, pembunuhan, penjarahan, dan pemerkosaan yang mana hal ini bisa dilihat pada berbagai peristiwa seperti peristiwa September 1965 1 dan tentunya yang masih terekam sangat jelas di dalam ingatan kita semua yakni peristiwa kerusahan 13 - 15 Mei 1998 yang menyebabkan ratusan warga keturunan Cina meninggalkan Jakarta dan banyak memakan korban harta benda dari pertokoan dan perusahaan yang dianggap milik orang Tionghoa serta perempuan-perempuan Tionghoa. Sentimen anti-Cina bila dilihat dari sejarahnya memang telah lama ada. Hal ini sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh 1 Kekerasan anti-Komunis yang menyelimuti kudeta 30 September 1965 berubah menjadi gerakan anti-Cina yang kuat sampai akhir tahun 1966. pemerintah yang berkuasa khusunya pada jaman orde baru yang dipipin oleh Presiden Soeharto. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan konsep kekerasan Johan Galtung ? 2. Bagaimana keekrasan terhadap etnis tionghoa pada era orde baru ditinjau berdasarkan konsep kekerasan Johan Galtung ? BAB II PEMBAHASAN 2.1 KONSEP KEKERASAN JOHAN GALTUNG Johan Galtung sendiri membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) bagian yakni :  Kekerasan langsung (Direct violence) Kekerasan langsung sendiri melibatkan aktor atau pelaku yang menginginkan hasil atau dampak dari tindakannya tersebut dan juga kekerasan langsung sendiri merupakan manifestasi dari kekerasan struktural dan kultural. Kekerasan langsung ini dapat dilakukan dengan secara sengaja baik individu maupun kolektif. Kekerasan langsung sendiri dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Penganiayaan dan pembunuhan dapat dikategorikan sebagai kekerasan langsung. Adapun contoh dari kekerasan langsung di Indonesia bisa dilihat dari berbagai konflik kekerasan seperti kerusuhan Sampit yang melibatkan etnis Madura dan etnis Dayak, konflik Poso yang melibatkan antara umat Muslim dan Umat Kristen, dan yang terbaru adalah konflik di Lampung Selatan, di desa Balinuraga yang melibatkan antara etnis Bali yang tinggal di sana dengan masyarakat setempat.  Kekerasan tidak langsung (Indirect violence / Structural Violence) Menurut Galtung (1990), konsep dari kekerasan struktural merupakan ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem sosial yang ada antara manusia, diantara kelompok-kelompok manusia ( masyarakat ), antara kelompok-kelompok masyarakat ( aliansi-aliansi regional ) di dunia yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhannya (human needs) yang mana model kekerasan ini memiliki karakteristik yang ditunjukkan dengan rasa yang tidak aman (insecure) yang disebabkan oleh tekanan lembaga – lembaga militer yang dilandasi dengan kebijakan otoriter, pengangguran akibat sistem tidak menerima sumber daya di lingkungannya, diskriminasi ras atau agama oleh struktur sosial atau politik sampai tidak adanya akses pendidikan secara bebas (freedom of education) dan adil . Pada tingkat yang lebih tinggi kekerasan struktural bisa membunuh manusia seperti akibat kelaparan ataupun kesehatan yang tidak terjamin meskipun sumber daya yang tersedia sangat melimpah. (as cited in Susan, N. , 2009, p.119) Adapun salah satu contohnya adalah proses industri yang tidak melibatkan masyarakat setempat seperti PT. Freeport di Papua dan kekerasan struktural terhadap etnis Cina.  Kekerasan kultural (Cultural Violence) Kekerasan kultural atau budaya sendiri merupakan segala aspek budaya manusia seperti yang terdapat dalam agama, ideologi, bahasa, seni, ilmu pengetahuan dan hukum serta dalam media dan pedidikan yang memebenarkan kekerasan struktural (tidak langsung ) maupun kekerasan langsung. Galtung (1990, p.291) memberikan definisi bagi kekerasan budaya adalah aspek – aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia yang dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan emprirs dan formal (logis,matematis) yang bisa digunakan untuk melegitimasi kekerasan struktural dan langsung. (as cited in Susan, N. , 2009, p.122-123). Kekerasan kultural menjadikan direct violence dan indirect violence tampak terasa benar atau setidak-tidaknya dipandang sebagai sesuatu yang tidak salah. Dengan kata lain, kekerasan kultural menjadi motor dari kekerasan langsung maupun tidak langsung. Adapun Kekerasan kultural sendiri sering hadir di dalam relasi sosial. 2.2 KEKERASAN TERHADAP ETNIS CINA DITINJAU DARI KONSEP KEKERASAN GALTUNG Adapun berdasarkan 3 (tiga) tipologi kekerasan menurut Johan Galtung, ketiga bentuk kekerasan ini sebenarnya terjadi pada etnis Cina atau WNI keturunan Tionghoa selama era orde baru dan ke-3 (tiga) yang mana bentuk kekerasan ini saling berhubungan satu sama lain. Dari segi kekerasan kultural, kekerasan terhadap etnis cina pada masa orde baru bisa dilihat dari pandangan masyarakat pribumi terhadap etnis cina yang penuh dengan berbagai stigma yang negatif yang mana hal ini muncul dalam bentuk kampanye anti – Cina yang dimunculkan oleh pemerintah orde baru yang muncul sebagai akibat dari peristiwa G30SPKI. Segala hal yang berbau Cina pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang baru. Istilah Tionghoa pun diganti dengan Cina yang mana hal ini bertujuan untuk menghilangkan inferioritas rakyat pribumi terhadap kaum tionghoa dan perubahan istilah ini juga merupakan pelampiasan ketidaksukaan pribumi kepada Tiongkok yang komunis dan menghina etnis Tionghoa. (Kusumaningtyas, n.d.). Adapun berbagai stigma negatif terhadap etnis Cina, seperti dalam ( Suryadinata, 2002, p.16) : 1. suka bekelompok-kelompok, menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri; 2. selalu berpegang teguh kepada kebudayaan negeri leluhur mereka sehingga kesetiaan mereka kepada Indonesia, dalam keadaan paling baik meragukan, dalam keadaan paling buruk, bersikap bermusuhan terhadap Indonesia; 3. oportunis, memihak kepada Indonesia bila alasan menguntungkan perdagangan dan bisnis serta menghasilkan uang, tetapi sebenarnya mereka lebih memihak Negara dan rakyat leluhur mereka; 4. setelah diberi kedudukan dan kesempatan oleh pemerintah, mendominasi ekonomi Indonesia, melakukan penindasan terhadap massa Indonesia dan menghalang-halangi kebangkitan golongan pengusaha nasional atau pribumi sejak masa kolonial, dan masih banyak yang percaya mereka seperti itu sampai sat ini; 5. Adapun dalam (Coppel, 1994, p.26) dikatakan bahwa mereka bahkan terlibat dalam subversi ekonomi karena mereka ahli dalam bidang penyelundupan dan penyuapan Stigma – stigma negatif pada kelompok etnis cina yang dimunculkan oleh pemerintah orde baru yang disebabkan oleh ini pun memunculkan kekerasan struktural terhadap kelompok etnis cina (warga keturunan tionghoa) yang ada di Indonesia yang mana dari segi kekerasan struktural, kekerasan terhadap kelompok ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan diskriminatif yang membedakan perlakuan terhadap mereka dengan kelompok lainnya yang mana hal ini terlihat pada berbagai bidang kehidupan seperti misalnya dilarangnya penggunaan bahasa cina, penganjuran untuk penggunaan nama Indonesia bagi orang keturunan Tionghoa, dilarangnya agama Konghucu dicantumkan di dalam KTP mereka, dan lain – lain. Diskriminasi pada sisi legal atau hukum diawali dengan diterapkannya kebijakan asimilasi bagi orang Tionghoa-Indonesia demi alasan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa (sementara bagi suku bangsa dan etnis pribumi Indonesia diterapkan kebijakan integrasi). Kebijakan asimilasi ini muncul karena pendaapat pemerintah yang menyatkan bahwa peristiwa G30SPKI yang mana warga cina dianggap memiliki keterlibatan didalamnya terjadi karena warga Cina dianggap kurang berasimilasi dengan masyarkat Indonesia. Adapun kebijakan – kebijakan pemerintah pada era orde baru bisa dilihat pada berbagai aturan seperti : 1. Pada aspek pendidikan, WNI keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan untuk mendirikan sekolah Tionghoa. Beberapa sekolah Tionghoa dilebur menjadi sekolah nasional seperti misalnya Universitas Trisakti Jakarta. Adapun Orang Tionghoa - Indonesia tidak boleh mempelajari bahasa Cina di sekolah secara formal, tetapi mereka diizinkan belajar bahasa Cina sebagai ekstra-kurikuler. Surat kabar berbahasa Cina pun tidak boleh diterbitkan pada zaman itu, kecuali Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia yang setengah dari isinya berisi iklan dan berita mengenai kebijakan pemerintah Indonesia dan harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. (as cited in Kusumaningtyas, n.d., p.6-7) 2. Adapun munculnya anjuran mengganti nama bagi WNI keturunan Tionghoa yang mana WNI keturunan Tionghoa ini disarankan menganti namanya menjadi nama – nama Indonesia. Meskipun berupa anjuran, adanya tekanan-tekanan halus yang membuat banyak orang Cina-Indonesia mengganti nama mereka atau memakai dua nama, nama Indonesia sebagai nama resmi dan nama Tionghoa sebagai nama tidak resmi. Adapun (dalam Setiono, 2003, p.965) Keputusan No. 127/U/KEP/12/1966 yang dikeluarkan oleh Presidium Kabinet memberikan suatu kemudahan bagi orang – orang yang mau mengganti namanya. (as cited in Kusumaningtyas, n.d.,p.7) 3. Adapun (dalam Setiono, 2003, p.986) Instruksi Presiden (Inpres) no.14 / 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina yang mana isinya adalah tidak memperbolehkan orang Tionghoa dan Tionghoa-Indonesia untuk emnyelenggarakan acara – acara agama, kepercayaan, dan adat- istiadat mereka seperti perayaan Imlek dan kesenian Barongsai secara terbuka di depan umum yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada 1967 bertujuan untuk mewujudkan suatu asimilasi total. (as cited in Kusumaningtyas, n.d.,p.7) 4. Adapun (dalam Setiono, 2003, p.986-987 ) peraturan – peraturan yang telah disebutkan di atas sebelumnya ditambahkan lagi berbagai peraturan lainnya dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4555.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng dan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan tulisan / Iklan beraksara dan berbahasa Cina, ditambah dengan Peraturan Daerah Daerah Tingkat I DKI Jakarta No. K-I/OS-11/OS-12 tentang keharusan warga Negara Indonesia keturunan tionghoa di daerah DKI Jakarta melapor dan mengisi formulis K-I. Melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia SKB 01-UM.09.30-80, No. 42 wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI. (as cited in Kusumaningtyas, n.d.,p.7-8) 5.Adapun dalam (Suryadinata, 1995), Masyarakat keturunan Cina di Indonesia juga mengalami tekanan dari segi agama di mana sesuai sidang kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden tahun 1979 yang tidak lagi mengakui Konghucu sebagai agama. Konghucu diputuskan sebagai falsafah dan tidak boleh dicantumkan sebagai agama dalam KTP. (as cited in Kusumaningtyas,n.d., p.8) Berdasarkan hal ini, secara tidak langsung akan berakibat pada bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina hanya boleh memeluk lima agama “resmi” yang telah ditetapkan oleh pemerintah yakni Islam, Hindu, Kristen, Protestan, dan Buddha. Kekerasan struktural dan kultural yang terus meneurus terjadi menimbulkan kekerasan langsung yang terjadi pada kelompok etnis Cina yang ada di Indonesia yang mana hal ini bisa dilihat dari berbagai kerusuhan rasial yang melibatkan etnis Tionghoa seperti misalnya seperti kerusuhan di Pekalongan pada 31 Desember 1972; kerusuhan di Palu, 27 Juni 1973; Bandung, 5 Agustus 1973; Ujungpandang, April 1980; Medan, 12 April 1980; kerusuhan pada 20 Desember 1980 di Solo dan lain - lain. (Nugroho, 2011) Namun puncak kerusuhan yang melibatkan kekerasan terhadap keturunan Tionghoa terjadi pada Mei 1998 yang mana konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. (Nugroho,2011) Selain perusakan rumah dan kendaraan, dalam kerusuhan ini juga terjadi pemerkosaan yang dilakukan secara rama – ramai lalu dianiaya secara sadis, dan kemudian dibunuh. Kerusuhan ini sendiri menimbulkan penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas, kekerasan terhadap terhadap masyarakat keturunan Cina pada era orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto sangat terlihat pada berbagai hal seperti adanya pandangan stereotipe dari masyarakat Indonesia mengenai masyarakat tionghoa, kebijakan – kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah orde baru mengenai segala hal yang berkaitan dengan etnis cina (Tionghoa) baik itu dari segi pendidikan; kebudayaan; identitas; dan agama dan berbagai kerusuhan yang dimana etnis cina menjadi korban dari kerusuhan tersebut seperti kerusuhan di Solo pada Desember 1980 dan khususnya peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang memberikan luka sejarah yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa. Adapun jika kekerasan pada etnik cina pada era pemerintahan presiden Soeharto ini ditelusuri berdasarkan pada 3 (tiga) tipolgi kekerasan yang dikeluarkan oleh Johan Galtung, 3 (tiga) bentuk kekerasan ini sebenarnya saling berhubungan satu sama lain dan memiliki relevansi yang mana kekerasan pada etnis cina (warga keturunan TIonghoa) ini diawali dengan adanya kekerasan kultural berupa stereotipe (penstigmaan) terhadap masyarakat keturunan Tionghoa oleh pemerintah orde baru yang dilatarbelakangi oleh peristiwa G30SPKI yang mana segala hal berbau Cina dianggap sebagai sesuatu yang baru. Istilah Tionghoa pun diganti dengan Cina yang mana hal ini bertujuan untuk menghilangkan inferioritas rakyat pribumi terhadap kaum tionghoa dan perubahan istilah ini juga merupakan pelampiasan ketidaksukaan pribumi kepada Tiongkok yang komunis dan menghina etnis Tionghoa yang mana etnis Tionghoa dicirikan seperti lebih suka berkelompok dengan sesamanya dan tidak mau bergaul dengan masyarakat pribumi, oportunis, selalu berpegang teguh pada kebudayaan negeri leluhur mereka, selalu melakukan penindasan terhadappara pengusaha lokal dan terlibat dalam subversi ekonomi yang dicirikan dengan tindakan penyuapan. Kemudian, Kekerasan kultural ini menyebabkan munculnya kekerasan struktural yang terlihat dari politik asimilasi yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru pimpinan Presiden Soeharto pada masyarakat keturunan TIonghoa yang mana didalamnya terdapat berbagai kebijakan yang diskriminatif seperti misalnya dilarangnya penggunaan bahasa cina, penganjuran untuk penggunaan nama Indonesia bagi orang keturunan Tionghoa, dilarangnya agama Konghucu dicantumkan di dalam KTP mereka, dan lain – lain. Adapun kekerasan struktural dan kultural yang terus menerus terjadi pada masyarakat Tionghoa yang terus menerus dibiarkan menimbulkan adanya kekerasan langsung pada etnik Cina yang mana hal ini bisa dilihat pada berbagai kerusuhan rasial yang mana etnis Cina selalu menjadi korban di dalamnya khusunya kerusuhan Mei 1998 yang memiliki dampak sangat signifikan bagi masyarakat Tionghoa yang mana ratusan warga keturunan Cina meninggalkan Jakarta dan banyak memakan korban harta benda dari pertokoan dan perusahaan yang dianggap milik orang Tionghoa serta perempuan-perempuan Tionghoa. DAFTAR PUSTAKA Suryadinata, Leo. (2002). Negara dan Etnis Tionghoa. Kasus Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Setiono, Benny G. (2003) Tionghoa dalam Pusaran Politik,Jakarta : ELKASA Coppel, Charles A. (1994) Tionghoa Indonesia dalam Krisis. (Tim Penerjemah PSH, Trans), Jakarta : . Pustaka Sinar Harapan Susan, N. (2009). PENGANTAR SOSIOLOGI KONFLIK DAN ISU – ISU KONTEMPORER, Jakarta : Kencana Hendro, E.P. (n.d.). MULTIKULTURALISME SEBAGAI MODEL INTEGRASI ETNIK TIONGHOA : Tinjauan Dari Aspek Historis Diakses 06 November 2012 dari http://eprints.undip.ac.id/3249/2/7_artikel_P%27_Eko.pdf Danandjaja,James (n.d.). DISKRIMINASI TERHADAP MINORITAS MASIH MERUPAKAN MASALAH AKTUAL DI INDONESIA SEHINGGA PERLU DITANGGULANGI SEGERA Diakses 06 November 2012 dari http://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/Diskriminasi%20terhadap%20minoritas%20-%20james%20danandjaja.pdf Kusumaningtyas, P. (n.d.) Perlakuan Diskriminatif terhadap Etnis Tionghoa di Amerika dan di Indonesia (Suatu Studi Banding) Diakses 06 November 2012 dari http://purplelotusmandala.weebly.com/uploads/1/2/5/3/1253653/diskriminasi_terhadap_et nis_cina.pdf Darini, Ririn (n.d.) KEBIJAKAN NEGARA DAN SENTIMEN ANTI-CINA: PERSPEKTIF HISTORIS Diakses 06 November 2012 dari http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Ririn%20Darini,%20SS.,M.Hum./kebijk%20 neg%20thd%20etnis%20tiong-ISTORIA.pdf Nugroho, B.S.(2011) Meneliti Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Etnis TiongHoa di Wilayah Pecinan( Social Problem: Prasangka, dan Diskriminasi ) Diakses 06 November 2012 dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=meneliti%20kehidupan%20sosial%20budaya %20etnis%20tionghoa&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CCEQFjAB&url=http%3A %2F%2Fbayusembilan.blog.fisip.uns.ac.id%2Ffiles%2F2011%2F12%2FMenelitiKehidupan-Sosial-Budaya-Masyarakat-EtnisTiongHoa.docx&ei=jmGcUJiKDMrprAfp2ICICg&usg=AFQjCNHMj88y7Fe4BEniViwp JfV0yY6MXA Panggabean, R.S.&Smith, B. (2009) Explaining Anti-Chinese Riots in Late 20th Century Indonesia Diakses 07 November 2012 dari http://www.benjaminbsmith.net/uploads/9/0/0/6/9006393/panggabean.smith.wd.p df “ KEKERASAN TERHADAP KAUM TIONGHOA (ETNIS CINA) DI INDONESIA PADA PERIODE ORDE BARU ” (BERDASARKAN KONSEP KEKERASAN JOHAN GALTUNG) I Made Wisnu Seputera Wardana (1021105002) JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL / SEMESTER V FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA 2012-2013


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.