Daulah Syafawiyah

April 4, 2018 | Author: Anonymous | Category: Documents
Report this link


Description

I. PENDAHULUAN Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang sangat drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik- cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kemalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk, sebagaimana telah tercatat dalam sejarah menghancurkan pusat- pusat kekuasaan Islam yang lain. Keadaan politik umat Islam secara keseluruahan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar. Tiga kerajaann tersebut adalah Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Makalah ini akan berusaha mengkaji sejarah tentang kerajaan Shafawi yang ada di Persia. Dalam pengkajian sejarah dan peradaban Islam, sebenarnya ada dua dinasti yang sangat berperan dan dominan dalam menghidupkan dan menyebarkan paham syi’ah di Persia, yaitu dinasti Buwaihi dan dinasti Shafawi. Dinasti Buwaihi (932- 1055 M) berada pada periode klasik Islam, sedangkan dinasti Safawi (1501- 1722 M) hidup pada masa periode pertengahan lslam. II. PEMBAHASAN A. Asal Mula Berdirinya Daulah Syafawiyah. Mirip dengan asal usul Dinasti Murabithun dan Muwahhidun di Afrika Utara, kerajaan Shafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azarbaijan.[1] Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Utsmani. Nama Safawiyah diambil dari nama pendirinya, Safi Al- Din (1252- 1334 M) dan nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, masih dipertahankan sampai gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[2] Safi Al- Din yang lahir pada 1252/ 650 M, enam tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan Baghdad, berasal dari keturunan yang memilh sufi sebagai jalan hidupnya.[3] Ia keturunan Imam Syi’ah yang ke 6, Musa Al Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al- Din Ibrahim Zahidi (1216-1301) yang dikenal dengan julukan Zahid alGilani. Kemudian Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Ia mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia mengantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan memerangi orang- orang ingkar, dan golongan yang mereka sebut ahli- ahli bid’ah. Tarekat ini menjadi semakin penting setelah Safi AlDin mengubah bentuk tarekat ini dari pengajian Tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Di luar negeri- negeri Ardabil Safi menempatkan seorang wakil yang memimpin muridmuridnya. Wakil itu dibri gelar Khalifah. Lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang yang bermadzab selain syi’ah.[4] Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkritnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447- 1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik anatar Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu ( domba Hitam), salah satu bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu Juneid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru itu ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, Ak koyunlu ( Domba Putih) yang juga merupakan suku bangsa Turki. Ia tinggal di Istana Uzu Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia. Perlu diketahui juga bahwa dua kerajaan Turki, yakni Kara Koyunlu yang berkuasa di bagian Timur beraliran syi’ah sedangkan Ak koyunlu yang berkuasa di bagian Barat beraliran Sunni.[5] Selama dalam pengasingan Junaed tidak tinggal diam. Ia menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaed berusaha merebut Ardabil tetapi gagal. Tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircasia tetapi pasukan yang dipimpinya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut. Ketika itu anak Juneid bernama Haidar masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi tahun 1470 M. Hubungan Haidar dan Uzun Hazan semakin dekat setelah Haidar mengawini putri Uzun Hasan. Dari perkawinan itu lahirlah Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia. Haidar membuat perlambangan baru dari pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul, sebagi lambang dari 12 imam yang diagungkan dalam mazhab Syi’ah Istna Asyariah.[6] Kemenangan Ak koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu, membuat gerakan Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal sebelumnya Safawi adalah sekutu Ak Koyunlu. Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekutan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena itu ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, Ak Koyunlu mengirim bantuan pada pasukan Sirwan, sehinga pasukan Haidar kalah dan Haidar terbunuh. Ali, putra dan pengganti Haidar didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadp Ak Koyunlu. Tetapi Ya’kub Pemimpin Ak Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim, Ismail dan Ibunya di Fars selama empat setengah tahun ( 1489- 1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota Ak Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan. Ali bersama saudaranya kembali ke Ardabil. Akan tetapi, tak lama kemudian Rustam berbalaik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan itu pada tahun 1494 M.[7] Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azarbaijan, Syiria, Anatolia. Pasukan yang dipersiapkannya itu dinamai Qizilbash ( Baret Merah).[8] Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur, dekat Nackhcivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukan Tabriz, ibu kota ak Koyunlu dan berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama di dinasti Safawi, yang kemudian disebut Ismail I.[9] B. Perkembangan Daulah Syafawiyah. Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani. Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya negara Iran dewasa ini.[10] Ismail I berkuasa kurang lebih selam 23 tahun, yaitu antara tahun 1501- 1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaanya. Ia dapat menghancurkan sisa- sisa kekuatan ak Koyunlu di Amadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505- 1507 M), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M), dan Khurasan (1510 M).[11] Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Timur ( Fortile Crescent). Tidak sampai disitu, ambisi politik mendorongnya untuk terus melebarkan sayap menguasai daerah- daerah lainnya, seperti ke Turki Utsmani. Namun, Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Utsmani terjadi pada tahun 1514 M, di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan organisasi militer kerajaan Utsmani, Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamtkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di Negerinya. Peperangan ini, seperti para sejarawan menduga, bisa jadi berasal dari kebencian Sultan Salim dan pengejaran terhadap seluruh umat muslim Syi’ah di daerah kekuasaannya. Fanatisme Sultan Salim memaksanya membunuh 40.000 orang yang didakwa telah mengingkari ajaran- ajaran Suni.[12] Secara militer, Syah Ismail dan para penerusnya harus menghadapi permusuhan sengit dari tetangga- tetangga mereka yang sunni, Utsmaniyah di barat dan Ozbeg Turkmen di timur laut. Di tapal batas Oxuz, para syah cukup dapat mempertahankan milik mereka meskipun kota- kota batas batas seperti Heart, Masyhad dan Sarakh sering berpindah tangan; tapi serangan Turkmen untuk melakukan penjarahan untuk mendapatkan budak terus terjadi hingga abad ke 19. Utsmaniyah lebih berbahaya, ketika berada pada puncak kekuasaan mereka pada abad ke 16; kemenangan Salim si Kejam atas Shafawiyah di Chaldiran pada tahun 1514 merupakan suatu kemenangan logistik bagi Utsmaniyah, dan juga merupakan peragaan keunggulan persenjataan. Tak lama kemudian, Kurdistan, Diyarbakr, dan Baghdad jatuh ke tangan Utsmaniyah, dan Azarbayjan sendiri sering diserbu; kemudian ibukota Shafawiyah dipindahkan ke Tabriz ke Qazwin dan kemudian ke Ishfahan.[13] Kekalahan tersebut meruntuhkan kebnaggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura- hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negative bagi Kerajaan Safawi, yaitu terjadinya persaingan segitiga antara pemimpin suku- suku Turki, pejabatpejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam merebut pengaruh unutk memimpin kerajaan Safawi.[14] Berikut urutan penguasa kerajaan Safawi : 1. Isma'il I 2. Tahmasp I 3. Isma'il II 4. Muhammad Khudabanda 5. Abbas I 6. Safi Mirza 7. Abbas II 8. Sulaiman 9. Husein I 10. Tahmasp II 11. Abbas III (1501-1524M) (1524-1576M) (1576-1577M) (1577-1587M) (1587-1628M) (1628-1642M) (1642-1667M) (1667-1694M) (1694-1722M) (1722-1732M) (1732-1736 M) [15] C. Kemajuan dan Kejayaan Daulah Syafawiyah. Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggalan Ismail I. Peperangan- peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I ( 1524- 1576 M), Ismail II ( 1576- 1577 M), dan Muhammad Khudabanda ( 1577- 1587 M). Pada massa tiga kerajaan tersebut, kerajaan Safawi dalam keadaan lemah.[16] Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja Shafawi kelima, Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588- 1628 M. Popularitas Abbas I ditopang oleh sikap keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syi’ah yang shaleh. Sebagai bukti atas kesalehannya adalah bahwa dia sering berziarah ketempat suci Qum dan Masyhad. Disamping itu Ia pun melakukan perubahan struktur birokasi dalam lembaga politik keagamaaan. Abbas 1 telah berhasil menciptakan kemajuan pesat dalam bidang keagamaan, yang membuat ideologi Syi’ah semakin dikukuhkan.[17] Langkah- langkah yang diambil Abbas I dalam memulihkan kerajaan Safawi adalah: 1. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak- budak, berasal dari tawanan bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I. 2. Pemindahan ibukota ke Isfahan.[18] 3. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian damai Abbbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebgaian wilayah Luristan. Abbas I juga berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam, yakni, Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam khotbah- khotbah Jum’at. Bahkan sebagai jaminan, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagi sandera di Istambul. Usaha- usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Shafawi kuat kembali. Kemudian Abbas I mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wilayah- wilayah kekuasaannya yang hilang. Tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuasaan terbina dengan baik ia juga berhasil mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tak pernaha padam. Abbas I mengarahkan seranganserangannya ke wilayah kekuasaan kerajaan Utsmani. Pada tahun 1602 M, disaat Turki Utsmani berada dibawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota- kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis dapat dikuasai tahun 1605- 1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[19] Pada tahun 1902 M, pecahlah perang Turki dengan Austria dan tentara Turki yang lain terpaksa pergi memadamkan pemberontakan kaum tarekat Jalaliah ( Maulawiyah) di Asia kecil. Kesempatan ini diambil oleh Syah Abbas dan berhasil merebut kembali Tibriz dari tangan Turki. Setelah itu, dirampas juga Sirwan dan akhirnya diambilnya Baghdad kembali yang sudah berkali- kali jatuh ke tangan Turki.[20] Pemerintahan Syah Abbas I, yang hampir sewaktu dengan penguasa besar seperti Elizabeth I dari Inggris, Philip II dari Spanyol, Ivan si mengerikan dari Rusia dan kaisar Mughal Akbar menandai puncak kekuasaan politik Shafawiyyah dan juga kultur serta peradaban Shafawiyyah, yang sebagian prestasi besarnya terlihat dalam keindahan arsitektur Ishfahan yang tiada tandingannya. Pada masa ini Utsmaniyyah disingkirkan dari Azarbyjan dan kendali Persia atau Caucacus timur dan teluk Persia menjadi kuat. Hubungan diplomatik dengan Eropa dibina meski rancangan persekutuan bersar Shafawiyyah- Eropa untuk melawan Utsmaniyah tidak pernah termanifestasikan., dan tumbuh pula kontak perdagangan secara kultural.[21] Pada Masa Abbas I inilah kerajaan Shafawi mengalami masa kejayaan yang gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah : 1. Bidang Politik. Secara politik ia mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya. Di bawah pemerintahan Abbas I Kerajaan Safawi mencapai kekuasan politiknya yang tertinggi. Pemerintahannya merupakan sebuah pemerintahan keluarga yang sangat dihormati dengan seorang penguasa yang didukung oleh sejumlah pembantu, tentara administrator pribadi. Sang penguasa saecara penuh mengendalikan birokrasi dan pengumpulan pajak, memonopoli kegiatan industri dan penjualan bahanbahan pakaian dan produk lainnya yang penting, membangun sejumlah kota besar, dan memugar sejumlah tempat keramat dan jalan-jalan sebagai ekspresi dari kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyatnya.[22] 2.Bidang Ekonomi. Dalam bidang ekonomi terjadi perkembangan ekonomi yang pesat setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antaraTimur dan Barat yang biasanya diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama didaerah Bulan sabit subur (Fortile Crescent).[23] Sedangkan di utara, di sekitar laut Kaspia, Shafawi juga menjalin hubungan dagang dengan Rusia. Perdagangan di darat dari sentral Asia, tetapi melalui kota- kota penting Shafawi, seperti Heart, Merv, Noshafur, Tbriz dan Baghdad.[24] 3.Bidang lmu Pengetahuan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dam mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan yang hadir di majlis istana antara lain, Baha al-Din al- Syaerazi (generalis ilmu pengetahuan), Sadar al Din al- Syaerazi, filosof, dan Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah). Dalam bidang ilmu pengetahuan, mungkin dapat dikatakan Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani. 4.Bidang Pembangunan Fisik dan Seni. Dalam bidang Pembangunan Fisik dan Seni. Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Disana terdapat bangunanbangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan rakasasa di atas Zende Rudd dan istana Chilil Sutun. Dalam hal seni, terdapat dalam kemajuan pada arsitektur bangunan yang terlihat pada mesjid Shah yang dibangun pada 1611 M dan mesjid Lutf Allah yang dibangun pada 1603 M. Terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan lain- lain. Seni lukis mulai dirintis pada masa raja Tahmasp I. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. (144-145).[25] D. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Shafawi. Sepeninggal Abbas I, Shafawi diperintah oleh raja-raja yang lemah dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang respon dan timbul sikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Raja-raja yang memerintah setelah Abbas I adalah : Safi Mirza. Ia adalah raja yang kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Pada pemerintahannya kota Qandahar ( sekarang termasuk wilayah Afghanistan) jatuh ketangan kerajaan Mughal dan Baghdad direbut Turki Usmani. Abbas II. Ia adalah raja yang suka mabuk, minum-minuman keras sehingga jatuh sakit dan meninggal. Sepeninggalnya kota Qandahar dapat direbut kembali oleh wazirwazirnya. Sulaiman. Ia juga seorang pemabuk dan sering bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Shah Husein. Ia adalah pemimpin yang alim. Ia memberi kesempatan kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan kehendak terhadap penganut aliran sunni. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan bangsa Afghan yang dipimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir Mahmud ini, kota Qandahar lepas dari Safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah.[26] Tahmasp II. Dengan dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di Astarabad. Kemudian ia bekerja sama dengan Nadhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M. Abbas III. Ia adalah pengganti Tahmasp II yang diangkat pada saat masih kecil. Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian Kerajaan safawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Shafawi. Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran.[27] Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Shafawi : 1. Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mazhab antara kedua kerajaan. 2. Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin Safawi. 3. Pasukam Ghulam yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang seperti Qilzibash yang dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani. 4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.[28] III. PENUTUP Safawi adalah salah satu dari ketiga kekhilafahan atau kerajaan Islam yang dikategorikan besar di masa sejarah Islam pertengahan. Kekhilafahn ini berpusat di Persia (sekarang, Iran). Dinasti Safawi berasal dari gerakan tarekat Safawiyah di Ardabil, sebuah kota di Azarbaijan. Nama Safawi diambil dari nama pemimpin tarekat Safi al- Din. Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab Negara. Dibanding dengan masa Turki Utsmani, masa pemerintahan Safawi tidak terlalu lama, sekitar dua setengah abad kurang sedikit. Sekalipun dinasti Safawi tidak setaraf dengan kemajuan yang dicapai Islam pada masa klasik, tetapi kerajaan ini telah meberikan sumbangan kontribusi yang cukup besar dalam bidang peradaban melalui kemajuankemajuan di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, arsitektur, kesenian dan tarekat. IV. DAFTAR PUSTAKA Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Azmah. 2009. Bosworth, C.E. Dinasti- Dinasti Islam.Bandung: Mizan. 1993. Hakim, Moh. Nur. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press. 2004. Lapidus,Ira m. Sejarah Sosoial Umat Islam. Jakarta: Rajawalipers. 1999. Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Uin Jakarta Press. 2007. Supriyadi, Dedi. Sejarah dan Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Yatim, Badri. Sejarah dan Peradaban Islam. Jogjakrta: PT Raja Grafindo Persada. 1998. Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial ,Polotik dan Budaya Umat islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004. [1] Moh. Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban Islam, ( Malang: UMM Press, 2004), hal. 141. [2] Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 138. [3] Ajid, Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004), hal. 167. [4] Dr. Badri Yatim, hal. 139. [5] Ajid Thohir, hal. 170. [6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Azmah, 2009), hal. 188. [7] Dr. Badri Yatim, hal. 140 [8] Samsul Munir Amin, hal. 189. [9] Ibid. [10] Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 138. [11] Ibid, hal. 143. [12] Samsul Munir, hal. 190. [13] Bosworth, hal. 197. [14] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Uin Jakarta press,2007), hal. 179. [15] Nur Hakim, hal. 142. [16] Dr. Badri Yatim, hal. 142. [17] Didin Saepudin, hal. 180. [18] Dedi Supriyadi, Sejarah dan Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 255. [19] Dr. Badri Yatim, hal. 143. [20] Dedi Supriyadi, hal. 255. [21] Bosworth, hal. 198. [22] M. Ira Lapidus, Sejarah Sosoial Umat Islam, (Jakarta: Rajawalipers,1999), hal. 452. [23] Dr. Badri Yatim, hal. 144. [24] Ajid Thohir, hal. 176. [25] Dedi Supriyadi, hal. 257. [26] Dr. Badri Yatim, hal. 157. [27] Dr. Badi Yatim, hal. 156 [28] Ibid, hal.158


Comments

Copyright © 2024 UPDOCS Inc.