BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani. Tingginya tingkat konsumsi daging disebabkan nilai gizi yang terkandung di dalam daging lebih banyak bila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, daging mempunyai asam amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein yang berasal dari nabati. Daging dan produk daging merupakan jenis pangan yang mudah rusak sehingga harus diolah secara tepat agar dapat memperpanjang masa simpannya. Daging harus diolah dengan komposisi bumbu-bumbu dan proses yang benar agar dapat menjadi produk yang lebih meningkatkan palatabilitas. Ikan segar sebagai bahan mentah pada umumnya mempunyai nilai gizi yang tinggi. Dengan dilakukan penanganan yang tepat dan cermat maka kesegaran ikan tersebut dapat dipertahankan, dengan kata lain penanganan ikan yang kurang cermat dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Dengan semakin majunya perkembangan usaha perikanan dewasa ini, maka ikan dan hasil-hasil perikanan lainnya bukan hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri saja, tetapi beberapa jenis hasil perikanan tertentu diusahakan untuk kebutuhan ekspor. Pengolahan ikan merupakan salah satu segi penting dalam industry perikanan yang semakin berkembang, agar dihasilkan produk akhir yang berkualitas baik, maka harus diketahui dengan benar cara-cara pengolalahan yang memenuhi persyaratan serta akibat-akibat yang ditimbulkan jika tidak dilakukan dengan baik. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana teknik pengolahan daging ? 2. Bagaimana teknik pengolahan ikan secara fisika ? 3. Bagaimana teknik pengolahan ikan pindang ? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui teknik pengolahan daging 2. Untuk mengetahui teknik pengolahan ikan secara fisika. 3. Untuk mengetahui teknik pengolahan ikan pindang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daging Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang dapat atau pantas digunakan sebagai bahan makanan termasuk di dalamnya jaringan otot, organ-organ seperti hati, limpa, ginjal, dan otak, serta jaringan lain yang dapat dimakan. Sementara itu, menurut Soeparno (1994), daging diartikan sebagai semua jaringan hewan yang dapat dimakan oleh manusia serta semua produk hasil olahan yang dapat dibuat dari jaringan tersebut. Daging yang dikonsumsi berasal dari hewan darat yang diternakkan atau hewan liar dan air.Produk daging yang telah diolah dengan baik memiliki kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Komponen terbesar dalam daging adalah air (65-80%) kemudian protein yang merupakan komponen terbesar dari berat kering (16-22%), lemak (1,3-13%), karbohidrat (0,5-1,3%) dan mineral (1%). Daging merupakan sumber potein yang tinggi, disebabkan protein daging merupakan komponen bahan kering yang terbesar pada daging. Menurut Lawrie, 1995, dipandang dari segi nutrisinya daging adalah sumber asam amino esensial yang sangat baik dan sedikit mineral-mineral tertentu. Komposisi daging relative mirip satu sama lain, terutama kandungan proteinnya yang berkisar 15-20 persen dari berat bahan. Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging. Protein yang terkandung di dalam daging, seperti halnya susu dan telur. Protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan yang bersumber dari bahan pangan nabati.Nilai protein daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino esensialnya yang lengkap dan seimbang. Daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karena daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pengawetan daging mempunyai tujuan antara lain untuk mengamankan daging dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan memperpanjang masa simpan (shelf life) daging. Pengawetn berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kimia dan kerusakan fisik daging.Pengawetan yang menghasilkan produk yang sifat fisiknya berubah dari bahan bakunya dikenal dengan istilah pengolahan Daging adalah sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.Namun perlu dingat,bahwa daging yang memiliki kandungan asam amino lengkap ternyata tempat terbaik bagi perkembangan mikroorganisme perusak dan pembusuk. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengetahuan bagaimana cara penyimpanan daging yang benar agar daging tidak menjadi sarang penyakit yang masuk ke tubuh kita.Adapun tata cara penyimpanan bahan makanan yang baik menurut higiene dan sanitasi makanan adalah sebagai berikut: 1. Ketika membeli daging segar,usahakan daging tersebut tidak berada dalam suhu ruang lebih dari dua jam.Daging yang dibiarkan pada suhu ruang membuat bakteri pembusuk dan mikroba cepat berkembang biak dan membuat daging menjadi layu atau tidak segar. 2. Cuci bersih daging segar tersebut dan potong-potong.Lalu,bungkus daging dengan kemasan plastik tebal atau wadah kedap udara yang bersih dan tertutup agar daging tidak mengalami dehidrasi. Daging yang dehidrasi akan mengalami perubahan warna menjadi cokelat kehitaman, akan terjadi penyimpangan rasa apabila diolah, dan alot. Kemudian, masukkan ke lemari pendingin. 3. Agar masa penyimpanan lebih lama, bekukan daging yang berada di dalam wadah tertutup tersebut. 2.2 Ikan Produk perikanan memiliki sumber nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terutama kandungan protein dan asam lemak tak jenuhnya (lihat Komposisi Kimiawi Ikan), dengan mengkonsumsi produk perikanan diharapkan kebutuhan protein intake masyarakat dapat terpenuhi. Produk perikanan termasuk highly perishable food dikarenakan komposisi biokimiawinya. Kandungan pada tubuh ikan yang didominasi oleh air, protein dan lemak menjadikan produk perikanan cepat busuk atau mudah rusak setelah dipanen maupun ditangkap. Selain faktor dari dalam tersebut, faktor luar seperti temperatur, ketersediaan oksigen, cahaya, peralatan yang kurang saniter dan higienis, kesalahan penanganan bahan baku dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi daya awet dan kesegaran produk. Faktor dari dalam yaitu Kadar air tinggi pada ikan menjadikan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba pembusuk maupun patogen. Selain dipengaruhi oleh faktor biologis (mikroba) kerusakan produk perikanan juga dapat disebabkan oleh proses kimiawi, kadar lemak tinggi pada beberapa spesies ikan menyebabkan ikan cepat mengalami oksidasi (ketengikan), proses ini lebih cepat berlangsung apabila terdapat katalisator berupa udara, kenaikan suhu maupun dari logam yang berunsur besi maupun turunannya, proses autolisa atau pembusukan yang disebabkan oleh enzim yang secara alamiah terdapat pada tubuh ikan. Ikan mati proses metabolisme pada tubuh ikan tidak dapat berjalan seperti pada kondisi ikan hidup. Komponen makro nutrient seperti lemak dan protein akan terurai menjadi komponen yang lebih sederhana yang mengarah pada pembentukan komponen yang tidak dikehendaki seperti amonia penyebab bau busuk merupakan hasil perombakan protein. Penyebab pertama pembusukan ikan setelah mati tidak dapat diketahui, apakah proses pembusukan secara biologis atau kimiawi maupun autolisa yang terlebih dahulu tidak dapat dipastikan. Lebih detail proses kemunduran ikan dapat dilihat pada BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengolahan Daging Daging termasuk jenis bahan pangan yang mudah rusak atau busuk, sehingga memerlukan upaya untuk memperpanjang daya tahan, daya simpan dan memperbesar daya guna daging tanpa mengurangi nilai gizi makanan. Selain hal tersebut pengolahan juga memungkinkan penganekaragaman jenis makanan berbahan daging yang mempermudah penyajian, memperluas wilayah perdangan, sebagai cadangan bahan makanan, penyerapan tenaga kerja dan memperoleh nilai tambah dari bahan makanan daging sapi. Berbagai hasil pengolahan daging sapi antara lain yaitu : 3.1.1 Sosis Sapi Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging ayam yang telah dicincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tanpa dimasak maupun diasapkan. Pada pemasakan sosis ada beberapa tahap yang harus dikerjakan, yaitu kyuring, pembuatan adonan, pengisian selongsong, pengasapan, dan perebusan. 3.1.2 Daging Asap Secara umum ada dua cara pengasapan yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya (misalnya sabuk kelapa serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pengasapan tradisional paling mudah diterapkan oleh industri kecil. Asap cair yang diperlukan untuk pengasapan dingin sulit ditemukan dipasaran. Oleh karena itu akan kita bahas lebih lanjut pengasapan tradisional. 3.1.3 Kornet Sapi Kornet merupakan salah satu jenis daging olahan yang berupa daging giling kasar dengan bahan tambahan bahan pengisi dan bahan pengikat serta bumbu-bumbu (Subyantoro, 1996). Menurut Dewan Standarisasi Nasional (1995), kornet umumnya dibuat dari daging sapi, dalam pembuatan kornet daging yang digunakan merupakan potongan daging segar atau beku (yang telah memenuhi persyaratan dan peraturan yang berlaku), boleh dicampur dengan daging bagian kepala dan hati. 3.1.4 Daging Kering Daging kering merupakan produk daging yang paling mudah pembuatannya. Daging disayat tipis, kemudian dijemur atau dikeringkan dengan alat pengering. Daging kering mempunyai aroma yang agak berbeda dengan daging segar terjadinya oksidasi lemak menyebabkan daging kering mempunyai aroma yang khas. 3.1.5 Bakso Sapi Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50 persen) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bumbu BTP (bahan tambahan pangan) yang diizinkan. Pembuatan bakso biasanya menggunakan daging yang segar. Daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Fase pre-rigor berlangsung selama 5 sampai 8 jam setelah postmortem. Berdasarkan jenis daging sebagai bahan baku untuk membuat bakso, maka dikenal bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan, bakso kerbau, dan bakso kelinci. 3.1.6 Dendeng Dendeng adalah irisan kering daging yang telah diberi bumbu, dan kadang - kadang telah mengalami proses pemasakan. Dengan demikian dendeng berbeda dengan daging kering yang tidak diberi bumbu (kecuali garam). Pembuatan dendeng tidak sulit, dan dapat dilakukan dengan alat-alat yang biasa terdapat di rumah tangga. Dendeng sendiri terdiri atas dendeng sayat, dendeng giling, dan dendeng ragi. 3.2 Pengolahan Ikan 3.2.1 Pengolahan ikan secara Fisikawi Pengolahan hasil perikanan memanfaatkan sifat-sifat fisikawi terutama penggunaan suhu merupakan prinsip dasar dalam bidang pengolahan hasil perikanan. Penggunaan suhu dikenal dengan suhu rendah (chilling dan freezing) dan suhu tinggi yang meliputi (boiling, pasteurisasi, dan sterilisasi). Berikut masing-masing pnejelasan proses tersebut. A. Chilling Chiling atau dalam bahasa umumnya adalah pendinginan merupakan proses pengolahan ikan yang sangat sederhana dan sering digunakan, pendinginan berprinsip menurunkan suhu serendah mungkin yang dilakukan dengan cepat. Pendinginan hanya mampu memperlambat proses pembusukan oleh bakteri maupun aktifitas enzim pembusuk. Suhu pendinginan berkisar antara (0 â 40C) dan patokan suhu ini yang dijadikan pembeda antara proses pendinginan dengan freezing atau lebih dikenal dengan pembekuan. Media pendingin dapat berupa gas, cairan maupun padatan contohnya es, es lebih sering digunakan. Es sebagai media pendingin dapat berbentuk balok maupun curai dan dapat dibuat dari air tawar yang didinginkan, air laut yang didinginkan, dan air larutan garam yang didinginkan. Pendinginan dengan es dapat digunakan secara langsung untuk mengawetkan ikan dengan susunan (es, ikan, es, ikan dst) maupun ditambahkan dengan air (es, air, dan ikan). Kebutuhan es sebagai media pendingin ikan adalah 1 : 1 (1 kg ikan : 1 kg es). B. Freezing Freezing atau yang sering dikenal pembekuan adalah proses dimana suatu produk diturunkan suhunya hingga dibawah titik beku dan sebagian dari air yang terkandung didalamnya telah menjadi kristal es (Fellows, 1990). Dari pengertian tersebut penggunaan suhu lebih rendah dari -20C bahkan sampai -300C atau lebih rendah lagi digunakan dalam proses pembekuan. Titik beku air yang terkandung dalam tubuh ikan adalah 00C sehingga kondisi diluar tubuh ikan untuk mencapai titik beku tersebut haruslah lebih rendah dari 00C. Perbedaan penggunaan suhu inilah yang menjadikan pembeda antara proses pendinginan dan pembekuan. C. Boiling Boiling merupakan salah satu tehnik pengolahan ikan dengan cara merebus ikan dalam air yang telah diberi garam maupun tanpa garam. Boiling fish atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan pindang merupakan tehnik pengawetan ikan yang bersifat singkat. Hal ini dikarenakan bahan baku ikan yang digunakan kurang memenuhi standar, tehnik pengolahan, serta pengemasan yang masih bersifat sederhana. Jenis ikan yang sering dijadikan pindang adalah kembung (Rastrelliger), Layang (Decapterus), Tongkol (Euthynnus) atau Caranx sp. Proses pengolahan ikan pindang pada masing-masing daerah berbeda-beda tergantung dari teknologi / peralatan yang digunakan. Secara umum proses pemindangan ikan adalah sebagai berikut : Proses pemindangan ikan memberikan efek positif maupun negatif terhadap nutrisi, tekstur dan sensori produk. Hasil penelitian Oluwaniyi, O et al. (2010) menunjukkan bahwa Ikan Clupea harengus, Scomber scombrus, Trachurus trachurus and Urophycis tenuis yang telah dihilangkan kepala dan tulangnya dimasak selama 10 menit pada suhu 1000C hingga matang menunjukkan bahwa pemanfaatan panas dalam proses pengolahan ikan (boiling) 1). Mampu mengurangi kadar protein daging ikan yang nantinya menyebabkan kerusakan dan tidak tersediannya asam-asam amino, hal ini dikarenakan semakin lama dan tinggi temperatur yang digunakan pada proses pemindangan menyebabkan perubahan kandungan asam amino pada daging. Berikut ini disajikan perubahan asam amino beberapa jenis ikan. (Sumber : Oluwaniyi, O et al. 2010). 3.2.2 Teknik Pengolahan Ikan Pindang Ikan yang dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit mampu menurunkan nilai EPA dan DHA, akan tetapi EPA dan DHA ikan yang dipindang tersebut mengalami penurunan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan ikan yang digoreng menggunakan minyak bunga matahari pada suhu 150-1700C selama 15-20 menit (Gladyshev, M. I. et al. 2007). A. Pasteurisasi Proses pengolahan yang memanfaatkan suhu tinggi tetapi tidak melebihi titik didih air (1000 Câ). Pasteurisasi digunakan untuk menginaktifkan enzim, membunuh sebagian bakteri pembusuk maupun patogen, dan mampu memperpanjang daya simpan. Penggunaan pasteurisasi disesuaikan dengan karakteristik bahan yang akan diolah dan biasanya bahan yang dipasteurisasi tidak tahan terhadap panas. Produk perikanan yang biasa dipasteurisasi adalah rajungan, kepiting, oyster. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), bahwa suhu dalam wadah pasteurisasi rajungan 1800 â 1900 F atau 82,20 â 87,80 C selama 115 â 118 menit B. Sterilisasi Sterilisasi merupakan pengolahan yang menggunakan suhu sangat tinggi, dapat melebihi titik didih air. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C selama 15 menit dengan mengacu pada spora bakteri termophilus seperti Clostridium botulinum dan Bacillus lebih resisten pada suhu tersebut. Sterilisasi dapat merusak nilai gizi bahan yang diolah oleh karena itu dikenal adanya sterilisasi komersial. Sterilisasi komersiil merupakan tingkat sterilisasi dimana semua bakteri patogen dan pembentuk toksin, mikroorganisme jika ada dan yang dapat tumbuh dibawah penanganan dan kondisi penyimpanan normal dapat dimusnahkan. Makanan yang telah disterilisasi komersial mungkin masih mengandung sejumlah kelompok mikroba dalam bentuk spora yang tahan panas, akan tetapi spora ini sudah inaktif atau tidak dapat membelah diri dan hanya dapat hidup bila diisolasi dan ditumbuhkan. C. Deep Frying Deep frying sama halnya dengan proses pengolahan ikan memanfaatkan suhu tinggi yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh mikroba pembusuk dan patogen yang nantinya meningkatkan daya awetnya serta memperbaiki tekstur dan citarasa produk yang dihasilkan akan tetapi yang membedakan disini adalah media perambatan panas yang digunakan berupa minyak. Minyak yang digunakan seperti minyak kelapa sawit, bunga matahari, canola, kedelai, maupunminyak sayur. Hal yang perlu diperhatikan pada proses penggorengan adalah jenis minyak yang digunakan, suhu pemanasan dan lama waktu pemanasan karena ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan oksidasi minyak maupun lemak khususnya asam lemak seperti EPA dan DHA yang terkandung pada ikan. Penelitian Gladyshev, M. I. et al. (2007) dan Emanuelli et al. (2008) menunjukkan bahwa kandungan EPA dan DHA mengalami penurunan yang signifikan pada ikan yang digoreng jika dibandingkan dengan ikan yang diolah secara direbus maupun dipanggang. D. Iradiasi Prinsip pengolahan hasil perikanan dengan iradiasi adalah bahan pangan diiradiasi pengion (Cobalt 60, Celsium 137, Mesin Berkas Elektron, Sinar X) sehingga sel hidup (mikroorganisme) mengalami eksitasi, ionisasi, dan perubahan kimia yang nantinya berpengaruh terhadap proses biologis mikroorganisme sehingga makanan mempunyai daya awet yang lebih lama. Di Indonesia pengolahan ikan secara iradiasi masih jarang kita jumpai hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya yang digunakan harus benar-benar terlatih serta mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan. BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Dari teknik pengolahan daging didapat hasil pengolahan daging berupa sosis sapi, kornet, daging asap, dendeng, bakso sapi, dan daging kering. 2. Untuk teknik pengolahan ikan secara fisika dapat dilakukan dengan Chiling atau pendinginan, Freezing atau pembekuan, Boiling atau perebusan. 3. Untuk teknik pengolahan ikan pindang dapat dilakukan dengan cara pasteurisasi, sterilisasi, deep frying, dan iradiasi. Daftar Pustaka 1. Winarno, F.G.I. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan konsumsi. Jakarta; Gramedia Pustaka. 2. Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta. 3. Anonimus. 2005. Produksi daging, telur dan olahannya. Kumpulan Standar Mutu, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal 4. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.Edi Suryanto,Ph.D.Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta 5. Tugas akhir.D3 Teknik Kimia FTI-ITS. 6. Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging : An introducing. In R. Ahvenainen (Ed), Novel food packaging techniques (pp. 6). Boca Raton, FL : CRC Press. LLC 7. Emanuelli, Tatiana., Jucieli Weber., Vivian C. Bochi., Cristiane P. Ribeiro., Andre de M. Victorio. 2008. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106 (2008) 140 â 146. 8. Gladyshev, Michail. I., Nadezdha N. Suschik., Galina A. Gubanenko., Sevilia M. Demirchieva., Galina S. Kalachova. 2007. Effect of boiling and frying on the content of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of four species. Food Chemistry 101 (2007) 1694 â 1700. 9. Martinez, Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen, Carmen Casas. 2010. Effect of freezing on the phsicochemical, texture and sensorial characteristic of salmon (Salmo salar) smoked with liquid smoke flavouring. LWT â Food Science and Technology 43 (2010) 910 â 918. 10. Oluwaniyi, O.O., O.O. Dosumu., G. V. Awolola. 2010. Effect of local processing methods (boilling, frying and roasting) on the amino acid composition of four marine fishes commonly consumed in Nigeria. Food Chemsitry 123 (2010) 1000 â 1006.